Sabtu, 02 Juli 2022

IMITASI, SUGESTI DAN IDENTIFIKASI SEBAGAI INSTRUMEN TEKNOLOGI SOSIAL

 

Imitasi, Sugesti  dan  Identifikasi

 

Imitasi merupakan suatu tindakan meniru sikap, tingkah laku, atau penampilan orang lain. Tindakan ini pertama kali dilakukan manusia di dalam keluarga dengan meniru kebiasaan-kebiasaan anggota keluarga yang lain, terutama orang tuanya. Imitasi akan terus berkembang ke lingkungan yang lebih luas, yaitu dalam kehidupan masyarakat. Dewasa ini proses imitasi dalam masyarakat semakin cepat dengan berkembangnya media masa, seperti televisi, dan media sosial. Dalam interaksi sosial, imitasi dapat bersifat positif, apabila mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku sehingga tercipta keselarasan dan keteraturan sosial. Tujuan seseorang melakukan imitasi, yaitu dengan meniru apa yang dilakukan/ dipakai/ diperbuat orang yang diimitasi karena dinilai cocok, bagus, baik, menguntungkan dalam interaksi sosial adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlakupada perilaku orang yang ditiru.

 

Dalam teori imitasi bahwa kecenderungan untuk meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari (learned) atau diperoleh melalui suatu proses pengkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku tertentu. Perilaku peniruan manusia terjadi karena merasa ingin menambah volume kapasitas pribadi setelah melakukan peniruan terhadap sumberdaya orang lain, seolah-olah merasa tidak percaya diri dengan hanya mengandalkan jatidiri sendiri. Dalam perspektif psikologi imitasi didefinisikan sebagai proses belajar dari perilaku mengamati orang lain.

 

Dengan menerapkan sikap perilaku imitasi sebagai teknologi sosial dapat memberi peluang dan kesempatan seseorang untuk dapat masuk dan diterima oleh komunitas tetentu. Dengan mengubah sikap perilaku sebagaimana orang lain dalam masyarakat, maka ia akan lebih mudah dalam berinteraksi dalam hubungan masyarakat, sehingga segala sesuatu yang akan diproduksi untuk kepentingan kesejeharaan bersama dengan kerjasama dapat dicapai dengan mudah. Dalam konsep pembangunan sosial, menurut Soetomo (2006) bahwa melalui strategi ini diharapkan akan disalurkan berbagai program secara cepat dan langsung kepada sasaran, sehingga dapat mengentaskan mereka dari kondisi kemiskinan, dengan demikian minimal dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Oleh sebab itu dapat dipahami, apabila sementara orang menempatkan strategi ini memiliki kaitan dan landasan konseptual dengan prinsip negara kesejehteraan (welfare state) dan konsep kebutuhan dasar sebagai salah satu sumber perspektif dalam pembanguan nasional. Sebagai suatu strategi pembangunan, sudah tentu konsep ini memiliki karakteristik yang bersifat khusus yang dapat membedakannya dengan strategi lain.

 

Perbedaan karakteristik tersebut dapat dilihat dari orientasi dan landasan konseptual yang mendasarinya, ruang lingkup kegiatannya serta pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaannya. Di samping untuk dapat melihat perbedaannya dengan strategi yang lain, pemahaman tentang beberapa karakteristik dari strategi ini juga diperlukan sebagai prasyarat minimal untuk memahami, apalagi menerapkan strategi ini dalam praktik, karena aplikasi dari suatu strategi juga berarti operasionalisasi lebih lanjut dari berbagai prinsip dan karakteristik yang ada. Kemudian dijelaskan bahwa hal itu dapat dipahami apabila kelompok sasaran yang memperoleh prioritas bagi strategi ini adalah warga masyarakat yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya melalui proses dan mekanisme dalam kehidupan sosial yang berlangsung. Dengan demikian kepada mereka dibutuhkan semacam intervensi atau bantuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut. Dengan kemampuan menerapkan pola imitasi yang ideal, maka tanggungjawab yang melekat pada diri seseorang agen pembangunan sosial dapat mempengaruhi masyarakat untuk dapat mengikuti petunjuk program pelayanan dan fasilitas yang disediakan sebagai tujuan untuk memenuhi kesejahteraan sosial mereka.

 

Di samping itu, dengan imitasi seseorang dapat menyetarakan diri dengan pola sikap perilaku, nolai-nilai dan norma sosial yang berlaku, sehingga ia dapat memperjuangkan bersama segala aspirasi sosial yang tumbuh dalam lingkungan sosial sekitarnya, Namun, imitasi juga dapat berpengaruh negatif, apabila yang dicontoh itu adalah perilaku-perilaku menyimpang. Akibatnya berbagai penyimpangan sosial terjadi di masyarakat yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan sosial budaya. Akan tetapi berimitasi yang tidak berlebihan karena dapat melemahkan bahkan mematikan daya kreativitas manusia.

 

Selain dari unsur imitasi, ada juga unsur sugesti dalam hubungan masyarakat, yaitu cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu, sehingga orang tersebut mengikuti pandangan atau pengaruh tersebut tanpa berpikir secara kritis dan rasional. Sugesti terjadi karena pihak yang menerima anjuran itu tergugah secara emosional dan biasanya emosi ini menghambat daya pikir rasionalnya.Sugesti umumnya dilakukan dari orang-orang yang berwibawa, mempunyai sifat otoriter, atau kelompok mayoritas dalam masyarakat. Selain itu juga dapat dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa kepada anak-anak, maupun iklan di berbagai media massa. Contohnya seorang dokter anak yang membujuk atau memengaruhi pasiennya untuk minum obat agar cepat sembuh. Sugesti berguna untuk mempengaruhi dan mengarahkan pemikiran komunitas tertentu dari keadaan terbelenggu dengan tradisi tertentu, wawasan tertinggal dan gagal paham terhadap kemajuan teknologi, menjadi terbuka, tertarik dan bersemangat untuk ikutserta dengan ajaran-ajaran baru sesuai dengan kehendak dari pihak yang  berperan memainkan unsur sugesti dalam terapan teknologi sosial. Meminjam istilah strategi pembangunan sosial yang dikemukakan oleh Soetomo (2006) bahwa agar strategi pembangunan sosial ini dapat menjangkau lapisan masyarakat yang paling membutuhkan pelayanan sosial, maka perlu dilakukan implementasi atas berbagai karakteristiknya ke dalam berbagai bentuk program pelayanan sosial. Sesuai dengan pendekatannya melalui pola perilaku terapan sugesti dimungkinkan dapat mempengarhui percepatan pemahaman dan keingian masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan yang ditawarkan kepada mereka.

 

Lebih dari itu, agar pelaksanaan program pelayanan sosial menjadi lebih efektif dan tepat sasaran, maka perlu melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan menggalang kerjasama. Dalam pemahaman teknologi sosial, dengan sugesti dapat merubah pandangan orang lain menjadi sesuai dengan arah program kerjasama pembangunan ketahanan sosial budaya, baik dari lembaga-lembaga penggiat strategi dari unsur pemerintah, maupun dari lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Dengan perubahan pandangan pandangan itu, maka masyarakat dapat diajak bekejasama dalam melaksanakan kegiatan pertahanan dan keamanan, sebaliknya dapat menggerakkan semangat masyarakat untuk menangkal ancaman, baik dari segi sosial budaya, ideologi, pertahanan dan keamanan, ekonomi, maupun dari sehi penegakan hukum.

 

Kemudian, dengan pandangan hidup yang baru masyarakat dapat diarahkan untuk mengatasi ancaman dibidang ekonomi sebagai elemen penting dalam mengukur tingkat kemiskinan masyarakat. Dalam kenyataan tingkat kehidupan ekonomi atau daya beli masyarakat semakin rendah, karena kian banyak penduduk angkatan kerja yang nganggur, sehingga banyak sekali anggota masyarakat yang miskin. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan itu, maka perlu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan cara: 1) membuka lapangan pekerjaan untuk warga masyarakat yang masih nganggur agar mempunyai pendapatan tetap untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari. 2) membuat program usaha rumah tangga agar masyarakat dapat membuat produk sendiri untuk menambah penghasilan tambahan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Jika memunginkan usaha rumah tangga ini dapat dikembangkan sebagai produksi ekspor. 3) memberikan pelatihan kerja untuk generasi muda dengan metode dan program kerja produktif yang dapat langsung memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.

 

Khususnya ancaman sosial budaya dapat diketahui dari semakin menipisnya kesadaran dalam bersikap perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya yang tunduk pada prinsip moral dan kebenaran. Akibat menipisnya kesadaran sosial budaya ini, maka cenderung tumbuh berbagai ancaman, seperti konflik sosial akibat perselisihan antar golongan, suku, dan agama. Hal ini berkembang menjadi perbuatan manifest saling merendahkan dengan membuli dan saling menyakiti. Dalam upaya menangkal ancaman sosial budaya, maka dengan teknologi sosial sugesti dapat menumbuhkan kesadaran tentang perlunya pelestarian nilai-nilai budaya lokal yang penuh dengan ajaran moral. Dengan kesadaran moral ini pihak agen pembangunan dapat megarahkan masyarakat untuk dapat bersikap  menolak budaya asing yang tidak relevan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Arah kegiatan yang perlu dilakukan selanjutnya adalah: 1) melakukan kegiatan bersama, sepeti gotong royong atau membuat lembaga-lembaga sosial kemsyarakatan dalam rangka mendidik masyarakat agar mampu memahami keragaman suku bangsa, sehingga dapat tercipta kerukunan dan persatuan masyarakat. 2) melestarikan budaya yang ada dengan cara mengadakan lomba tentang kebudayaan dan mengajarkan kebudayaan kepada generasi muda. Tujuannya adalah untuk dapat mencegah pudarnya nilai-nilai budaya bangsa, meningkatkan komunikasi antar warga masyarakat, dan melestarikan budaya agar tidak diakui oleh orang asing. 3) menerapkan nila-nilai budaya yang positif dan mencampakkan nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

 

Sedangkaan identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi “sama” dengan orang lain yang menjadi idolanya. Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari imitasi dan sugesti. Dengan identifikasi seseorang mencoba menempatkan diri dalam keadaan orang lain, atau “mengidentikkan” dirinya dengan orang lain. Proses identifikasi ini tidak hanya meniru pada perilakunya saja, bahkan menerima kepercayaan dan nilai yang dianut orang lain tersebut menjadi kepercayaan dan nilainya sendiri. Jadi proses identifikasi dapat membentuk kepribadian seseorang. Akan tetapi dalam terapan teknologi sosial, seorang aktor identifikasi dalam memainkan perannya harus mampu menghadirkan, menunjukkan dan mengekpresikan sikap perilakunya secara meyakinkan sebagaimana tokoh yang diidolakan oleh komunitas tertentu yang hendak diubah peningkatan kondisi kehidupan kesejahteraan sosialnya.

 

Proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang melakukan identifikasi benar-benar mengenal orang lain yang menjadi tokoh atau idolanya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian penampilannya di hadapan orang atau komunitas lain disekitarnya dapat menggantikan tokoh aslinya, sehingga segala sesuatu yang ingin disampakan atau direkomendasikan dapat lebih mudah diterima atau diakui sebagai cara baru dalam upaya merubah kehidupannya dari ketertinggalan.

 

Contohnya seorang penggiat sosial yang bekerja atas panggilan nuraninya mendampingi masyarakat dalam memcari keadilan dengan mengidentifikasi diri atau mengubah penampilannya sebagai tokoh adil, mulai cara berpakaian, cara berbicara, dan model rambut sesuai dengan tokoh adil tersebut. Dengan perilaku penampilan yang relatif idektik itu dapat mempengaruhi suatu komunitas untuk berpikir dan bertindak yang sama, dengan harapan akan mendapatkan keadilan sebagaimana rekomendasi yang disampaikan. Dalam konteks teknologi sosial langkah ini merupakan alat atau cara strategis yang digunakan untuk mempengaruhi pandangan dan harapan orang lain agar menjadi lebih responsif dalam merubah sikap untuk segera beralih kepada prinsip-prinsip penegakan kadilan yang berpihak pada kebenaran. Dengan demikian diharapkan kepedulian ini dapat menangkal tumbuhnya emosi dan pemikiran terbelakang yang pada kenyataannya menjadi santapan para pelaku penipu dan kejahatan pada umumnya. Pengaruh identifikasi dapat juga mengembalikan jati diri seseorang, sehingga dalam pergaulannya dalam hubungan masyarakat yang penuh ancaman, seperti isu terorisme dan kekerasan jadi tidak mudah terpancing. Di samping itu dapat meningkatkan kesadaran pribadi dan sosial dalam memilih prioritas kepentingan yang bermanfaat, baik dalam mempersiapkan diri sederhana dan bijak dalam bersikap dan berperilaku. Sikap dan perilaku ini dapat menangkal ancaman negatif tentang maraknya gaya hidup konsumtif, sifat hedonisme, sikap individualisme, gejala westernisasi, memudarnya semangat gotong royong, dan lunturnya nilai keagamaan dalam kehidupan masyarakat.

 

Seperti telah dipaparkan di atas bahwa identifikasi merupakan keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi “sama” dengan orang lain, pada prinsipnya setiap orang memiliki cita-cita yang bersifat nuraniah atau kejiwaaan untuk meniru, terutama tentang kehebatan atau kelebihan yang membanggakan pada kepribadian orang lain. sebagaimana dalam pengertian imitasi. Oleh karena itu dalam strategi praktis dalam hubungan masyarakat agar dapat diterima dalam interaksi pergaulan, tidak terkecuali dalam rangka mensosialisasikan program pembangunan kerjasama, persatuan dan kesejahteraan masyarakat, maka bagi pihak pembaharu atau agen pembangunan dapat mempersiapkan diri. Dalam hal ini tentu saja sebelumnya telah di observsi tentang sumber daya dan kepribadian tokoh yang diidolakan masyarakat setempat pada umumnya, mungkin kepribadian yang religius, kritikus politik yang menyuarakan hati nurani rakyat, atau tokoh yang kharimatik dan lainnya.

 

Dengan demikian pada waktu tokoh agen pembangunan bergabung terjun berinteraksi dalam hubungan masyarakat untuk kepentingan sosialisasi program tersebut tidak mengalami kesulitan, bahkan dapat diterima bagai gayung bersambut, pucuk dicinta ulam tiba. Hal ini sesuai prinsip identifikasi, di mana seseorang mencoba menempatkan diri dalam keadaan orang lain, atau “mengidentikkan” dirinya dengan orang lain. Dalam proses penerimaannya tidak sekedar suka atau tertarik pada perilakunya yang dikehendaki, tetapi sampai pada keyakinan dan kepercayaan bahwa kepribadian yang diidolakan itu merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai ketenangan, ketenteraman, persatuan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan kemampuan menerapkan teknologi sosial melalui identifikasi ini, maka sekaligus agen pembangunan dapat memanfaatkan unsur sugesti untuk dengan pemberian pandangan kepada masyarakat, bahwa sosialisasi program pembangunan yang sedang berjalan merupakan program prioritas dan unggul yang dapat mewujudkan perubahan tingkat kesejehteraan masyarakat menjadi lebih baik.

 

Kecuali dengan menerapkan unsur-unsur imitasi, sugesti dan identifikasi tersebut, ada unsur sosial lain yang tidak kalah ampuhnya dalam upaya menciptakan kerukunan, perdamaian, kebersamaan dan persatuan masyarakat, bahkan merupakan instrumen penting dalam penyelesaian konflik sosial, yaitu tradisi “angkon muwakhi” (Lampung=pengakuan bersaudara). Angkon muwakhi merupakan wujud dari semangat persaudaraan yang berrakar dari kearifan lokal adat budaya yang dimiliki masyarakat adat Lampung. Pemaknaan dari angkon muwakhi merupakan janji suci lahir dan batin, yang bersifat mengikat untuk menjadi saudara kandung, sehingga setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan baik layaknya saudara dalam sebuah keluarga. Kearifan lokal tradisi “angkon muakhi” (pengakuan bersaudara), artinya adat istiadat yang mengukuhkan tali persaudaraan antar pihak warga yang merasa berkepentingan dengan alasan yang sangat kuat.

 

Alasan angkon muwakhi adalah sebagai upaya mempererat tali persaudaraan bagi sesama kerabat dekat, kerabat jauh, warga sekitar di luar keluarga utama (saudara kandung atau kerabat dekat) dan warga luar adat/kampung/pekon, termasuk warga pendatang dari berbagai asal usul, agama, suku dan golongan. Di samping alasan lain yang sifat dan tujuannya untuk menghentikan dan menyelesaikan perselisihan/konflik antar warga, baik laten maupun manifes (terbuka) dengan tujuan agar tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi sebagaimana hubungan saudara kandung. Tadisi angkon muwakhi mengandung nilai kearifan lokal yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat dan berfungsi mengikat tali persaudaraan tingkat tinggi antar warga masyarakat, sehingga diakui mampu mencegah dan menyelesaikan konflik. Dikatakan pertalian hubungan saudara tingkat tinggi, karena ikatan tali persaudaraan terjadi bukan hanya sebatas kekuatan ikatan keturunan ata satu darah, melainkan antar ummat yang tidak membedakan garis keturunan, suku, golongan ras ataupun asal usul dan warna kulit.

 

Untuk memelihara ikatan persaudaraan itu ada 7 (tujuh) prinsip kemuwakhian, yaitu:

 

1.    Wat angon wat khupa, atinya jika ada kehendak atau hasrat hati, maka harus diwujudkan dengan bentuk nyata, baik berkaitan dengan rencana, cara kerjasama, tujuan dan manfaatnya bagi kepentingan bersama.

2.    Wat khupa wat dikhasa, artinya jika ada bentuk/wujud nyata sebagamana point 1, maka harus rasional dan hasil kerjasama dapat dinikmati bersama.

3.    Wat hakhop wat amalan, artinya jika ada cita-cita, teori dan harapan yang disosialisasikan, harus diikuti dengan praktik nyata.

4.    Wat guwaian ditutuk khagom, artinya jika ada program kerja untuk kepentingan masyarakat, maka harus dapat dilaksanakan secara bersama-sama secara kompak.

5.    Pehalu susah setawitan, artinya jika dalam kehidupan pergaulan masyarakat sehari-hari terdapat warga atau pihak-pihak yang terkena masalah atau mendapat musibah, maka pihak lainnya membantu menyelesaikannya.

6.    Wat gekhok sepandaian (Ngabekh), artinya jika ada rencana hajatan atau acara semarga / sekerajaan atau acara pekawinan adat penyimbang (pimpinan adat), maka harus diumumkan kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi penuh dalam acara tersebut.

7.    Wat mawat hasil jejama, artinya jika dalam perjalanan hidup masyarakat, khususnya dalam perjuangan bersama terjadi kegagalan atau mengalami kerugian, maka semua ditanggung bersama; sebaliknya jika memperoleh kemakmuran, maka hasilnya dinikmati bersama.

 

Berdasarkan hasil penelitian budara daerah tentang  Penetapan Status Kekerabatan Dalam Prosesi Adat Angkon Muwakhi Pasca Penyelesaian Konflik” (Abdul Syani, 2015/2016), dituturkan bahwa:

“Salah satu tradisi penyelesaian konflik dalam masyarakat adat Lampung pada umumnya adalah dengan angkon muari (angkat saudara/pengakuan bersaudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yang konflik menjadi saudara angkat. Dengan bersaudara dimaksudkan agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional. Menurut adat Lampung, simbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa kedua-belah pihak memiliki hubungan dekat secara lahir batin, tanpa cela, tanpa keritik, tanpa rasa curiga, dan hapus semua bentuk perselisihan.

 

Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri.Hubungan saudara angkat sifatnya sakral, karena dalam pengikraran mewarei itu terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat muwakhi ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Dalam acara pengucapan ikrar muwakhi adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan atau konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang bandar kelompok Pemerintahan Adat.

 

Penyelesaian konflik dengan tradisi adat muwakhi dalam kehidupan masyarakat adat merupakan strategi pamungkas, setelah menempuh cara-cara dan model pendekatan sosial budaya secara persuasif berdasarkan elemen nemui-nyimah (ramah-tamah) dan nengah-nyappur (bergaul-bermasyarakat) dalam prinsip hidup piil pesenggiri (hidup terhormat). Disebut demikian oleh karena ikrar dalam adat muwari melibatkan banyak pihak dan berdasarkan hukum adat yg memiliki daya ikat yang kuat, sanksi sosial dan hukum adat yang berat jika dilanggar. Oleh karena itu tidak sembarang dilakukan hanya dalam kondisi mendesak menyangkut ancaman terhadap kerukunan publik saja, akan tetapi acara adat muwari ini digelar dengan kesadaran pribadi dari lubuk hati yang benar-benar bertanggung jawab terhadap  semua resiko ikrar dan sumpah atas nama Tuhannya.

 

Bagi pihak-pihak yg telah bermuwakhi adat (angkat saudara/pengakuan bersaudara) itu, senantiasa telah terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yang notabene sangat sakral dan agung itu. Salah satu sanksi berat bagi pelanggar ikrar adat muwari itu, diantaranya dikucilkan dari pergaulan, dikeluarkan dari adat kebuwaian (tidak diakui sebagai warga masyarakat adat), sampai diusir dari kampung di mana mereka tinggal. Dengan alasan ini, maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat muwari sebagai pedoman strategis dalam penyelesaian konflik. Dalam penyelesaian konflik biasanya dilakukan secara bertahap dan berjenjang antar pribadi, antar keluarga, antar suku, bahkan tidak tertutup kemungknan antar kampung atau marga/kebuwaian.

 

Pada prinsipnya nilai-nilai kearifan lokal tradisi angkon muwari merupakan budaya yang menghendaki adanya kerukunan, persatuan dan kedekatan hubungan kekerabatan, tanpa memperhitungkan unsur sedarah seketurunan. Tujuannya adalah agar kehormatan diri dan kelompok terselamatkan dari konflik berkepanjangan; agar hubungan perkawinan dan kekerabatan pihak-pihak keluarga besar dapat dipertahankan selamanya; dan agar hubungan kebaikan antar pihak yang terikat dengan sumpah angkon muwari tidak berubah. Bagi masyarakat adat Lampung yang memiliki ikatan persaudaraan, cenderung berusaha menghindari perselisihan, dalam setiap usaha kerjasama senantiasa mengedepankan kepentingan bersama. Oleh karena itu jika prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal angkon muwari ini di jadikan landasan dalam implementasi program pembangunan daerah, maka upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai secara mudah dan efektif.

 

Lebih dari itu tradisi angkon muwakhi merupakan strategi ampuh dalam teknologi sosial dalam upaya mempersatukan  masyarakat multikultur, terutama dalam memelihara kerukunan, perdamaian dan menciptakan persatuan abadi dalam kehidupan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar