Sabtu, 02 Juli 2022

ETIKA PERILAKU DALAM MASYARAKAT

 

ETIKA PERILAKU  DALAM  MASYARAKAT

 

Etika berasal dari bahasa Latin “ethicus” yang berarti karakter yang tumbuh dari kebiasaan berbuat yang diakui bersama, di mana etika merupakan nilai, norma, dan moral yang dijadikan pegangan orang/kelompok (http://www.academia.edu/33721284/ Etikadan_Perilaku).

 

Sedangkan secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Dengan demikian etika dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan tata cara dalam berprilaku/berbuat/bertindak didalam lingkungan masyarakat.

 

Standar etika adalah bentuk perilaku /tindakan yang berpedoman pada nilai-nilai moral atau kebaikan yang mencerminkan ketinggian akhlak dan ketaatan terhadap norma-norma dalam hidup bermasyarakat. Standar etika secara umum dalam kehidupan masyarakat diantaranya adalah:

 

1.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan yang dianut;

2.      Menghargai ilmu pegetahuan, teknologi, sastra dan seni;

3.      Menjunjung tinggi kebudayaan nasional;

4.      Menjaga kewibawaan dan nama baik ;

5.      Aktif ikut memelihara sarana dan prasarana umum;

6.      Mejaga integritas pribadi sebagai warga ;

7.      Sopan santun, ramah tamah;

8.      Menghormati orang lain tanpa membedakan suku, agama, ras dan status social;

9.      Menghargai pendapat orang lain;

10.  Bertanggungjawab;

11.  Menghindari perbuatan yang bertentangan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Beberapa pengertian Etika menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

 

DR. James J. Spillane SJ

Pengertian Etika adalah mempertimbangkan atau memperhatikan perilaku manusia dalam mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan moral. Etika lebih mengarah pada penggunaan akal budi manusia dengan objektivitas untuk menentukan benar atau salahnya dan perilaku seorang pada orang lain.

 

Prof. DR. Franz Magnis Suseno

Pengertian Etika adalah suatu pengetahuan yang memberikan arahan, acuan dan pijakan kepada tindakan manusia.

 

Soergarda Poerbakawatja

Etika adalah sebuah filsafat berkaitan dengan nilai-nilai, tentang baik dan buruknya tindakan serta kesusilaan.

 

Drs. H. Burhanudin Salam

Mengungkapkan bahwa etika adalah suatu cabang pengetahuan filsafat yang berbicara tentang nilai-nilai dan etika yang bisa menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupannya.

 

Drs. O. P. Simorangkir

Menjelaskan bahwa etika adalah pandangan manusia terhadap baik dan buruknya tingkah laku manusia.

 

H. A. Mustafa

Mengungkapkan etika sebagai pengetahuan yang menyelidiki terhadap tingkah laku mana yang baik dan yang buruk serta dengan memperhatikan perbuatan manusia sejauh apa yang sudah diketahui oleh akal pikiran.

 

W. J. S. Poerwadarminto

Menjelaskan etika sebagai ilmu dan pengetahuan tentang beberapa azas atau beberapa dasar moral dan akhlak.

 

Drs. Sidi Gajabla

Menjelaskan etika sebagai teori tentang tingkah laku atau perbuatan manusia yang dilihat dari sisi baik dan buruknya sejauh mana bisa ditetapkan oleh akal manusia.

 

K. Bertens

Etika adalah nilai serta etika moral sebagai acuan untuk manusia dengan cara individu maupun golongan dalam mengatur segala tingkah lakunya.

 

Ahmad Amin

Mengemukakan bahwa etika adalah satu pengetahuan yang menjelaskan tentang arti baik dan buruk serta apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, juga menyatakan satu tujuan yang perlu diraih manusia dalam perbuatannya serta menunjukkan arah untuk melakukan apa yang seharusnya didilakukan oleh manusia.

 

Hamzah Yakub

Etika adalah pengetahuan yang menyelidiki suatu perbuatan mana yang baik dan buruk serta memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat di ketahui oleh akal pikiran.

 

Aristoteles

Mengemukakan etika kedalam dua pengertian yaitu: Terminius Technicus end Manner and Custom. Terminius Technicus adalah norma dipelajari sebagai ilmu dan pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua yaitu, manner and custom adalah suatu pembahasan etika yang terkait dengan tata cara dan etika kebiasaan yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang begitu terikat dengan arti “baik & buruk” suatu tingkah laku, perilaku atau perbuatan manusia.

 

Maryani dan Ludigdo

Mengemukakan etika sebagai seperangkat etika, ketentuan atau dasar yang mengatur semua tingkah laku manusia, baik yang perlu dikerjakan serta yang perlu ditinggalkan yang diyakini oleh sekumpulan orang-orang atau segolongan orang-orang.

 

Martin

Mengemukakan kalau etika adalah satu disiplin pengetahuan yang bertindak sebagai acuan atau dasar untuk mengontrol perilaku atau tingkah laku manusia.

 

Menurut KBBI

Etika adalah pengetahuan mengenai baik serta buruknya tingkah laku, hak serta keharusan moral; sekumpulan asa atau nila-nilai yang terkait dengan akhlak; nilai tentang benar atau salahnya perbuatan atau tingkah laku yang dianut masyarakat (https://www.ngelmu.co/pengertian-etika-jenis-fungsi-dan-manfaat-etika/).

 

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian etika adalah cara-cara berperilaku dengan penggunaan akal budi sebagai acuan dasar moral untuk menentukan baik buruk, benar salah dan apa yang seharusnya dilakukan seorang pada orang lain. Etika adalah cara-cara berbuat/berperilaku/bertindak dalam kehidupan masyarakat dengan berpedoman pada prinsip moral. Moral ini dibentuk oleh keberlakuan norma-norma sosial, praktek-praktek budaya, tradisi, kebiasaan dan pengaruh hukum-hukum agama yang dianut masyarakat tertentu. Etika berlaku untuk semua aspek kehidupan bersama dalam interaksi sosial, di mana etika mewujud relevan dengan tindakan individu, kelompok, dan organisasi dalam kerjasama upaya mencapai cita-cita bersama.

 

Etika berkaitan dengan tatacara atau kepantasan berperilaku dengan standar nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tertentu. Secara umum banyak kalangan menyebutnya sebagai tata-laku, tata-krama, atau sopan santun dalam bertindak. Etika yang sesuai dengan kehendak masyarakat dengan berpegang pada nilai dan norma yang berlaku, kemudian tumbuh menjadi kebiasaan bertindak, dan kebiasaan bertindak kemudian membentuk kelakuan pribadi. Etika yang selaras dengan nilai dan norma-norma sosial diakui sebagai peraturan bertindak yang berfungsi sebagai pedoman cara-cara manusia berbuat dalam  pergaulan hidup bermasyarakat.

 

Etika menurut sampel cabang filsafat, etika dapat dikategorikan dalam ilmu normatif karena erat kaitannya dengan aturan perilaku manusia. Untuk ini dibedakan dari ilmu formal dan empiris. Ilmu-ilmu sosial empiris bertemu pada titik-titik tertentu dengan kepentingan etika karena keduanya merupakan perilaku studi sosial. Dalam studi sosial bersangkutan dengan usaha untuk menentukan hubungan antara etika individu dan perilaku sosial. Berdasarkan kajian para Filsuf yang telah berusaha untuk mempelajari perilaku individu secara menyeluruh kemudian menyimpulkan bahwa ada perilaku yang baik dan perilaku buruk. Untuk menimbang studi ini didasarkan pada 2 (dua) prinsip, yaitu: pertama berarti nilai final dan yang kedua adalah nilai yang digunakan berakhir. Dalam kehidupan masyarakat, kedua prinsip ini akan selalu berada dalam alternatif menuju keputusan sikap. Pada satu sisi adakalanya keputusan sikap negatif (buruk) bertentangan dengan aspirasi publik didasarkan kepentingan mendesak, individual, egoistik, subyektif dan keuntungan rasional; akan tetapi pada sisi yang lain dapat terjadi keputusan sikap positif yang memihak kepada aspirasi publik didasarkan pada kepentingan umum, obyektif, Altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain), cenderung menonjolkan kecerdasan emosi, moral (kebaikan) dan hati nurani.

 

Menurut Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.Senada dengan definisi tersebut, Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan (Hariyanto: Error! Hyperlink reference not valid.).


Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka definisi etika menyatakan bahwa ada 4 (empat) model utama perilaku: kebahagiaan atau kesenangan, tugas, kebajikan dan kesempurnaan, kewenangan . Hal itu mengarah pada tindakan yang baik melalui sebuah kehendak. Ketika kehendak Tuhan adalah otoritas, maka harus mematuhi perintah-perintah Tuhan dan teks-teks Alkitab, jika model tersebut adalah otoritas yang tepat. Perilaku moral terkadang muncul dari hasil dari pikiran rasional (http://id.shvoong.com/ social-sciences/sociology/2157937-pengertian-etika/). Sedangkan secara sosiologis, etika menitik beratkan pada keserasian berperilaku dalam hubungan masyarakat, di mana etika sebagai alat mencapai keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Jadi etika lebih berfokus pada kajian perilaku/cara berbuat seseorang dalam menjalankan hidupnya di tengah masyarakat.

 

Ada beberapa fungsi / manfaat utama dari etika dalam hubungan masyarakat, yaitu:

 

1.     Tempat untuk mendapatkan orientasi kritis yang berhadapan dengan berbagai suatu moralitas yang membingungkan.

2.     Untuk menunjukan suatu keterampilan intelektual yakni suatu keterampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.

3.     Untuk Orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil suatu sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.

4.     Dapat menolong suatu pendirian dalam beragam suatu pandangan dan moral.

5.     Dapat membedakan yang mana yang tidak boleh dirubah dan yang mana yang boleh dirubah.

6.     Dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas ataupun suatu sosial lainnya yang membingungkan suatu masyarakat dengan suatu pemikiran yang sistematis dan kritis.

7.     Dapat menggunakan suatu nalar sebagai dasar pijak bukan dengan suatu perasaan yang bikin merugikan banyak orang. Yaitu Berpikir dan bekerja secara sistematis dan teratur (step by step).

8.     Dapat menyelidiki suatu masalah sampai ke akar-akarnya bukan karena sekedar ingin tahu tanpa memperdulikannya

(https://www.ngelmu.co/pengertian-etika-jenis-fungsi-dan-manfaat-etika/).

 

Dalam kehidupan bermasyarakat di perlukan suatu system yang mengatur seharusnya manusia berinteraksi dalam pergaulan. Pengaturan pergaulan agar menjadi saling mengerti dan saling menghormati dengan perilaku sopan santun dan tata karma yang berlaku. Untuk menjaga kepentingan masing-masing dalam pergaulan itu agar saling merasa tenteram, terlindung dan terjamin perbuatannya sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya.

 

Keberlakuan etika diukur dari orientasi nilai-nilai kebaikan, moralitas dan  manfaatnya bagi kepentingan masyarakat umum.  Nilai etika adalah suatu  ukuran  kepantasan  dalam bersikap  dan bertingkah laku menurut pandangan  pribadi  dan pandangan  masyarakat   yang  berfungsi sebagai pembatas  kehendak  pribadi yang senantiasa tak terbatas. Sedangkan perilaku sendiri dapat diartikan sebagai tindakan fisik, aksi atau penampilan seseorang, sebagai wujud sikap yang didasarkan pada pemahaman tentang makna suatu gejala sosial budaya tertentu atau obyek yang menjadi pusat perhatianya.

 

Menurut  Kluckhohn, bahwa nilai bukanlah keinginan  melainkan apa  yang diinginkan, ialah apa yang tidak hanya  diharapkan, tetapi dirasakan sebagai pantas dan benar bagi diri kita  dan bagi orang lain. Jadi nilai-nilai merupakan ukuran-ukuran yang mengatasi  kemauan  pada  saat dan  situasi yang kebetulan. Parsons, menyatakan bahwa orientasi-nilai itulah yang memberikan arah kepada perbuatan, jadi jumlah dari semua aspek yang membawa seorang dalam situasi tertentu atas dasar norma-norma atau  kriteria lain-lain untuk memilih antara  berbagai  cara berbuat. Keberlakuan norma-norma sosial dalam bertindak didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan dan pengakuan  masyarakat tentang nilai-nilai kebaikandan kebenaran. Keadaan ini menunjukkan bahwa betapa penerapan etika atau tata kelakuan tidak bisa dipisahkan dari kedua konsep norma  dan nilai tersebut.

 

Nilai-nilai sosial dapat menciptakan norma-norma sosial tertentu, seperti tentang bagaimana seseorang harus berperikelakuan dalam pergaulannya dalam masyarakat.  Keduanya akan mejadi lingkaran yang tak terputus  dan secara bergantian berpengaruh terhadap  cara-cara bertindak. Parsons menyatakan bahwa ada  sistem-sistem orientasi-nilai yang erat hubungannya dengan pola-pola kultur  (sistem-sistem kepercayaan dan ide-ide  dan  lambang-lambang  yang ekspresif). Terus menerus diadakan  penunjukkan kepada  proses-proses internalisasi, yang membuat orang  bertindak  "terarah",  yaitu memperbesar kemungkinan,  bahwa  ia dalam  situasi-situasi "status-peranan") akan  patuh  kepada nilai-nilai yang berlaku dalam pola kultur tersebut.

 

Apabila terjadi sebaliknya, karena perkembangan zaman ataukarena kepatuhan masyarakat terhadap nilai-nilai tadi berkurang,  maka  akan  terjadi kebimbangan  dan pertentangan  paham  tentang cara-cara bertindak yang telah berlaku sekian lama, sehingga terjadi proses dis-integrasi struktural-sosial. Dalam peristiwa ini nilai-nilai sosial sudah perlu untuk dievaluasi dalam upaya menegakkan standard norma-norma baru dalam berperilaku. Soedjito Sosrodihardjo  (1986) dalam  bukunya  yang berjudul  "Transformasi Sosial Menuju  masyarakat  industri", bahwa nilai-nilai itu merupakan ukuran-ukuran didalam menilai tindakan  dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan  nilai-nilai  sosial ini orang satu dapat memperhitungkan  apa  yang akan dilakukan oleh orang lain. Hal ini dapat dipahami bahwa eksistensi nilai-nilai  sosial itu mengandung standard norma  tertentu  untuk  mengatur perilaku seseorang  dalam  kehidupan bermasyarakat. Menurut  Kluckhohn  (Koentjaraningrat,1984),  bahwa semua sistem nilai-budaya di dunia ini, pada dasarnya  mengenai lima masalah pokok, yaitu :

 

1. Nilai mengenai hakekat dari hidup manusia

2. Nilai mengenai hakekat dari karya manusia

3. Nilai mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam  ruang waktu

4. Nialai mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan  alam sekitarnya.

5. Nilai mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan  sesamanya.

 

Dari kelima nilai masalah pokok seperti yang telah disebutkan diatas, menunjukkan adanya variasi nilai dalam kehidupan ini. Supaya kehidupan tersebut dapat menjadi  relatif sempurna dan tertib, maka manusia dalam hal itu  dituntut untuk  berusaha semaksimal mungkin dalam merangkum  dan  menselaraskan  antara kelima nilai masalah pokok  itu.  Terhadap nilai  mengenai  hakekat  dari hidup  manusia  misalnya,  ada kebudayaan yang memandang bahwa pada hakekatnya hidup manusia itu buruk dan menyedihkan,  dan oleh karena itu harus  dihindarkan. Terhadap nilai mengenai hubungan manusia yang  bertujuan  untuk  hidup lebih layak dan  terhormat,  maka  manusia harus  bekerja sekuat tenaga supaya tujuan hidup  yang  lebih layak itu dapat diwujudkan. Terhadap nilai mengenai  hubungan manusia degan alam misalnya, ada manusia yang pasrah terhadap alam,  ada yang berkeinginan untuk menundukkan alam  dan  ada pula yang menilai bahwa manusia itu selayaknya mencari  kesejajaran dengan alam.

 

Mengenai  nilai hidup manusia terhadap sesamanya  (lingkungan sosial), adalah: Pertama, adanya nilai-nilai budaya yang amat mementingkan hubungan vertikal antara sesamanya. Pola kelakuan semaca ini  biasanya  berpedoman kepada  tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior atau  orang-orang atasan. Kedua, nilai-nilai kebudayaan yang mementingkan  hubungan horizontal antara sesamanya, dan  usaha  untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya  merupakan suatu etika sosial yang dianggap sangat penting dalam hidupnya. Kedudukan individu atau  kelompok  lain dianggap amat berharga untuk mendapatkan kepuasan, kesenangan dan kesejahteraan hidupnya. Kedudukan dan peranan masyarakat dianggap sangat berarti bagi kehidupan pribadi,  seolah tak ada tempat bagi  penentu  hak-hak  pribadi. Ketiga, nilai-nilai sosial  yang lebih mementingkan etika individualis.  Banyak orang yang menganggap bahwa manusia  itu  harus bisa  berdiri  sendiri  dan dalam  usaha  mencapai  tujuannya sedapat mungkin menghindar dari bantuan orang lain. Seseorang akan  memilih cara bertindak yang dianggap menguntungkan menurut  perhitungannya sendiri, pikirnya sendiri dan hanya sedikit mempertimbangkan nilai-nilai kepentingan bersama.

Dalam handbook Pendidikan Etika dan Kearifan Lokal (Abdul Syani, 2018) di paparkan bahwa sejak  hampir 3 (tiga) dasawarsa terakhir berbagai kalangan menaruh perhatian yang cukup tajam terhadap etika. Ada sejumlah faktor yang dominan mempengaruhi mengapa kajian terhadap etika mjulai menemukan jati dirinya.  Hasil perenungan, evaluasi terhadap manusia dan kehadiran manusia lain (sejak semula telah dipahami dan disadari manusia adalah mahluk zoon politicoon selalu peduli dalam kebersamaan), hingga munculnya perkembangan basis teknologi yang berimplikasi pada kehidupan dunia nyata. Etika merupakan refleksi manusia tentang apa yang dilakukan dan kerjakannya.  Etika adalah wahana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental; bagaimana manusia harus hidup, bagaimana bertindak, dan lain-lain. Etika sering disebut sebagai filsafat moral.  Etika tidak saja membantu manusia menyuluhi kesadaran moralnya, dan turutserta mencari pemecahan yang dapat dipertanggungjawabkan, bila manusia tidak tahu apa yang boleh dan pantas untuk dilakukan pada masa yang sulit. Etika juga membantu untuk mencari alasan mengapa suatu perbuatan harus dilakukan atau sebalikna tidak untuk dilakukan.  Dengan demikian etika menuntun orang agar sungguh-sungguh menjadi baik, agar memiliki sikap etis.  Orang yang bersikap etis, tidak akan munafik, tetapi selalu akan mengutamakan kejujuran dan kebenaran.

Manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicoon) adalah mahluk yang selalu ingin bergaul dengan seksama.  Nyaris tidak ada manusia yang mampu bertahan hidup dan berjalan pada alur harmonisasinya dalam kesendirian.  Kenyataan telah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun manusia mampu melaksanakan tata kehidupannya secara sempurna dan memuaskan dalams kesendirannya.  Manusia tidak dapat terlepas dan terbebas dari tatanan nilai.  Namun, dalam tata pergaulan antara manusia satu dengan lainnya hampir dapat dipastikan bahwa kehendak bebas yang sebebas-bebasnya tidak pernah dapat terwujud.  Terdapat sejumlah benturan yang harus diwujud menjadi setara dan berimbang antar manusia dalam tata pergaulan itu. Oleh karena benturan itulah maka etika pergaulan yang serasi dan selaras harus diwujudkan dan harus dapat dikembalikan kepada jalinan nilai agar semua pihak dapat menerimanya secara moral.  Pengembalian kepada hakekat moral itu dilandasi pada filosofi bahwa nilai moral adalah perwujudan hak-hak dasar manusia sehingga sudah sepatutnya dikedepankan.

Atas dasar filosofi moral itu, maka selain terbatas hanya pada cara melakukan suatu perbuatan, etika juga memberi norma tentang perbuatan.  Etika memberikan batasan pengertian secara mendasar apakah sesuatu itu boleh atau tidak dilakukan.  Karena mempergunakan logika umum, maka ketentuan etika bersifat universal.  Etika dapat dilakukan dimanapun dan dalam situasi apapun juga.  Misalnya, masuk rumah orang lain tanpa izin adalah perbuatan yang tidak baik.  Di manapun ketentuan seperti ini bersifat rasional.  Cara masuk bukanlah persoalan, apakah melompat, mempergunakan tangga dan lain-lain.

 

Etika dalam wujud perbuatan dapat dikategorikan bentuk perilaku dalam hubugnan masyarakat, di mana Etiket menyangkut suatu cara perbuatan harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh manusia secara baik dan benar sesuai dengan yang diharapkannya.  Dari berbagai kemungkinan perbuatan yang mungkin  dapat dilakukan oleh manusia, maka salah satunya harus memenuhi standar moral untuk dilakukan.  Kalau etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri, maka etiket menunjukkan mana diantara perbuatan tersebut memenuhi syarat moral meski pada prinsipnya tetap dapat dilakukan. Contoh: manusia makan mempergunakan tangan.  Meskipun kedua tangan dapat digunakan namun akan menunjukkan etiket apabila seseorang makan mempergunakan tangan kanan, bukan dengan tangan kiri. Dalam hal ini jelas bahwa wujud etika dalam bentuk cara berbuat lahiriah dengan standar moral itu merupakan strategi untuk memperoleh pengakuan dari komunitasnya atau kelompok pergaulan dalam lingkungan sosialnya. Dalam bentuk praktis terapan dalam pergaulan, etika perilaku nampak terlihat dari luar dalam bentuk sopan santun, ramah tamah atau dengan gerak yang lemah lembut, sebagaimana norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.

 

Sehubungan dengan etika perilaku praktik manusia dalam kehidupan masyarakat, Abdul Syani (2018) menjelaskan bahwa etika perilaku terapan itu termuat dalam konsep falsafah hidup masyarakat adat Lampung piil pesenggiri dengan 4 (empat) unsur penopangnya, di manatelah mengajarkan tentang tata-cara berperilaku dalam masyarakat agar menjadi orang, keluarga dan segenap komunitas adat memiliki harga diri, terhormat dan bermartabat. Salah satu unsurnya adalah nemui-nyimah atau bepudak-waya yang secara harfiah berarti ramah tamah, pemurah, dengan wajah yang ceria, terbuka tangan dan sopan satun dalam setiap bertindak. Nemui-nyimah (ramah dan terbuka) merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran. Pada hakekatnya  nemui-nyimah   dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.  Dengan demikian, maka  elemen  budaya nemui-nyimah tidak dapat  diartikan  keliru  yang  mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yangberlaku. Bentuk  konkrit  nemui nyimah  dalam  konteks  kehidupan  masyarakat dewasa  ini  lebih  tepat  diterjemahkan  sebagai  sikap  kepedulian   sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang   memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai  kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

Pada masyarakat adat Jawa ada prinsip-prinsip hidup yang mengajarkan tata-krama dalam perilaku sebagai pedoman untuk mencapai kehidupan masyarakat yang rukun bersama, damai, bersatu dan sejahtera. Diantara pedoman hidup yang populer adalah:

 

1.    tri ojo (ojo kagetan/jangan gampang kaget/tawaqkal, ojo gumunan/jangan mudah heran/arif/bijak, dan ojo dumeh/jangan mentang-mentang/rendah hati).

2.    sugih tampo bondo (kaya tanpa didasari kebendaan), digdoyo/sekti tanpo aji (berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan), ngluruk tampo bolo (berjuangan tanpa perlu membawa massa), dan menang tampo ngasorake (menang tanpa mempermalukan/merendahkan yang lain).

Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh pamer kekayaan  (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu  demonstratif   dalam tindakan  persuasif  (ngluruk tanpo bolo),   dan  jangan  terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake). Konsep ini dirumuskan para bangsawan,  tetapi  apa  arti  kebangsawanannya tanpa  rakyat. Karena itu, rakyat tidak boleh disakiti,melainkan dilindungi dengan memelihara hubungan emosinal dan mampu menghargai sesama manusia yang memiliki kesamaan kepentingan hidup. Tetapi kenyataannya banyak rakyat  ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas kebijakan yang sepihak.

 

Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat jawa, apabila  ada resi yang protes atas kebijakan orang istana,ia harus menjemur dirinya  (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan  ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Serngenge (jangan meludahi mata hari). Artinya jika seorang Resi, sesepuh, Ustadt atau Ulama sudah turun tangan dengan memprotes kebijakan Raja atau Pemerintah, itu tandanya ada masalah besar yang barkaitan dengan ketidakadilan; ada banyak kebijakan pemerintah yang tidak adil, merugikan, menekan dan memangkas berbagai kepentingan rakyat. Secara simbolik tindakan ini bagai menepuk air di dulang memercik di muka sendiri”, di mana merupakan perilaku yang memalukan bangsa sendiri dalam suatu kerajaan atau pemerintah.

 

Oleh karena itu bagi Kerajaan atau Pemerintahan yang baik, seharusnya mampu memelihara keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, agar terhindar dari terjadi huru-hara, kecurangan, konflik sosial yang dapat menjatuhkan kehormatan dan martabat bangsa sendiri. Jika suatu Kerajaan atau suatu Pemerintahan memiliki jiwa pemimpin yang jujur dengan niat yang tulus untuk berpihak membela dan melindungi rakyat dengan simbol I Love You,  maka kalimat kecil ini mampu menundukkan dan menangkal segala rintangan yang menghalangi perjuangan menuju kehidupan yang adil dan makmur.

Berkaitan dengan etika perilaku dalam pergaulan hidup bermasyarakat, Abdul Syani kemudian menjelaskan bahwa norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai sebagai dasar oleh masyarakat untuk mengukur sampai sejauh mana kebaikan seseorang itu dalam rangka interaksi sosialnya. Dengan norma-norma moral inilah kita sebagai manusia akan betul-betul dinilai. Dengan kerangka berpikir demikian, maka tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa penilaian moral selalu mempunyai bobot lebih dibandingkan berbagai model penilaian lainnya.  Manusia dilihat sebagai sesuatu wujud yang utuh, bukan sebatas misalnya apakah dia sebagai wajib pajak telah menyetorkan nominal pajak yang tinggi sekaligus karena harta kekayaan melimpah.  Sama sekali bukan, sebab mungkin saja perilakunya tidak terpuji karena ia menetapkan keuntungan tinggi dengan nilai jual pada produk barang dan jasa. Orang seperti ini pantas dan layak disebut munafik.

Sebuah tindakan yang baik dari segi moral ialah tindakan bebas manusia yang mengafirmasi nilai moral obyektif dan yang mengafirmasi hukum moral.  Buruk secara moral ialah sesuatu yang bertentangan dengan nilai moral dan hukum moral.  Sumber dari kepatutan dan ketidakpatutan moral terletak pada keputusan bebas kehendak, sikap bijak yang timbul dari keputuan bebas tersebut, dan pribadi atau subjek moral.  Melalui perumusan dan penilaian moral, manusia akan sampai pada baik atau buruk.  Itulah yang menjadi permasalahan pokok bidang moral. Walaupun moralitas dihubungkan dengan sikap dan perilaku individu, namun individu-individu hanya bisa bersikap dalam konteks masyarakat yang memiliki budaya, struktur sosial, politik dan ekonomi tertentu.  Moralitas juga akan berkaitan dengan struktur tersebut.  Itu berarti moralitas individu mendapat ruang gerak dalam wilayah moralitas masyarakat (publik) yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik juga. Moralitas publik yang dilatarbelakangi oleh moralitas individual akan menghasilkan suatu kepatutan untuk kepentingan bersama bilamana kebijakan moralitas mengutamakan kepentingan publik dan bukan semata-mata kepentingan pribadi maupun golongan.  Dalam konsekuensi kehidupan yang serba multi, baik etnis, pola pemikiran, sosial budaya latar belakang yang berbeda, tidak jarang kita kesulitan untuk mencapai kesatuan pendapat moral.

Ditinjau dari sudut pandang sosiologis, masih perlu dilakukan pengukuran tentang kepercayaan terhadap kebenaran dan obyektivitas keberlakuan norma perilaku yang diterapkan dalam hubungan masyarakat. Pengukuran ini dapat dilihat dari proses kebiasaan seseorang dalam bertindak atau berperilaku dalam hubungan sosialnya, dari bentuk cara berbuat/bertindak spontanitas menurut kehendak subyektif individual, sampai pada bentuk perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama, tertata, dan disertai berlakunya norma-norma hukum yang memiliki sanksi keras terhadap pelanggarnya. Menurut pemahaman komunikasi interpersonal/kepribadian atau komunikasi simbolik, kondisi hubungan sosial yang terakhir ini merupakan tolok ukur untuk menentukan tingkat akhir pemahaman terhadap makna dan tujuan setiap tindakan (aksi-reaksi) dari masing-masing individu/komunitas dalam suatu hubungan masyarakat.

 

Ada kesepakatan pemahaman bersama secara mapan tentang makna dan tujuan suatu tindakan (aksi) tertentu, sehingga dalam melakukan tindakan balasan (reaksi) cenderung relevan dengan harapan dari pihak yang beraksi. Sebagai contoh kasus, seseorang tersenyum dan bersalaman kala bertemu dengan orang lain sebagai tanda sopan-santun dalam hubungan masyarakat; lalu orang lain (pihak ke-2) ini menanggapi dengan senyuman dan membalasan ayunan salamannya; tapi apakah kedua pihak ini saling mengerti atas makna dan tujuan pelilaku masing-masing..? Dapat dikatakan saling mengerti (komunikatif) jika bentuk tindakan itu sudah dikenal, diketahui, dipahami, dialami sebelumnya berulang-ulang, dirasakan sebagai kebutuhan hidup dan diakui sebagai kewajiban bersama dalam sebuah pergaulan hubungan masyarakat. Jika diketahui ada seseorang atau pihak yang melanggar norma hukum adat yang berlaku, maka ia akan mendapatkan sanksi keras, sekurang-kurangnya sanksi gunjingan negartif atau mendapat cempala (sanksi norma hukum adat) dilarang keras berpartisipasi dalam rapat rapat atau panitia keramaian tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar