Minggu, 25 November 2018

TEKNOLOGI SOSIAL BAGIAN 2


 Unsusr-unsur Teknologi Sosial Lanjutan...

33. Memperluas keterbukaan/obyektif dan memperkecil kerahasiaan
34. Konsisten menjaga kesesuaian/keseimbangan antara pebuatan dan pernyataan
35. Menjaga intensitas kesetiaan sosial/tdk khianat (jika sahabat sdh khianat, berarti kejahatan dan musuh2 sdh mendekat, keamanan sdh terancam)
36. Strategi menahan diri/menutupi perbedaan prinsip/ketidaksukaan/kemarahan/kebencian/kontra versi, agar tidak beselisih/konflik, dan memelihara keserasian masa depan komunitas pertemanan (jangan terlalu keras membanting pintu, krn suatu ketika kita akan mengetuk pintu yang sama)
37. Menjaga dampak perluasan cabang hubungan sosial (terjadi kerenggangan intensitas hubungan soaial antara warga/anggota suatu komunitas) Iaan sosial
38. Kesabaran sosial (kemampuan menagan ego dari kepentingan pribadi, golongan, nepotismen)
39. Kesadaran sosial (tau diri dalam masyarakat)
40. Kesadaran individu (koreksi diri)
41. Kompak dalam kerjasama (pembagian kerja sesuai dg keahlian, sekaligus saling mendukung dalam suau sistem)
42.     Kerelaan (keikhlasan) ringan tangan dalam memberikan jasa2 atau bantuan sisial, kerjasama utk kepentingan umum
43. Memelhara demokrasi sosial secara normatit ( berdasarkan aturan, teratur agar tetap relevan dengan kepentingan umum dan tidak bebas lepas kendali)
44. Implementasi strategi pembauran sosial dan dampak ekslusivitas sosial
45. Memelihara pola perilaku ssial/kebiasaan dalam perubahan sosial
46. Manajemen keragaman dan keseagaman
47. Memelihara normalitas kepribadian/jati diri (pria maskulin, wanita peminim, tak berubah jender)
48. Strategi perilaku hubungan sosial vertikal (hubungan berstrata) dan perilaku hubungan sosial horizontal (hubungan kesetaraan)
49. Kemampuan membaca/memahami simbol2 perilaku sosial
50. Strategi teknis dlm perilaku kritik/saran/rekomendasi efektif agar dapat di terima dipahami dan berguna bagi publik
51.  Ketepatan dalam memprediksi gerak perubahan sosial
52. Kemampuan menggali dan menerapkan potensi daya serap/pemahaman terhadap harapan sosial (aspirasi masyarakat)
53. Kemampuan menjaga keseimbangan hubungan sosial/socil equilibrium (berdua, bertiga dst. Memelhara keadilan pembagian perhatian)
54. Berperilaku prosedural/sesuainomor antri dalam urusan embagian jatah/quota kepentingan sosial
55. Strategi pelayanan sosial (teknis bersikap dan berperilaku dalam memberikan tanggapan atas masalah sosial)
56. Percepatan pelayanan kepada kepentingan masyarakat
57. Memelihara pretige sosial (menjaga kehormatan/nama baik kelompok/komunitas atau nama besar lembaga sosial)
58. Memberikan kekebasan kpd orang lain
59. Mendukung kebenaran
60. Menghargai/menghormati martabat/status orang lain
61. Bertindak sopan (bertata-krama)
62. Berkata jelas dan santun
63. Mampu memberi/mendoron semangat meningkatkan volume bekerja keras
64. Memberi peluang dan solusi (tdk menghalangi)
65. Mempermudah orang lain
66. Setia dlm hidup bersama dan bekerjasama (tdk wanprestasi dan khianat)
67. Suka menanamkan nilai2 persaudaraan/persahabatan dlm pergaulan
68. Memberikan manfaat kpd orang lain
69. Memberi teladan/panutan
70. Mampu menerima pendapat/kritik orang lain
71. Keterampilan sosial (kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dg orang lain, Saling menghargai, mendenarkan pendapat orang lain, bertindak sesuai dg norma yg berlaku
72. Memperluas pelayanan sosial (memperkuat relasi dg lingkunan sosial, konseling before-After perkawinan/keluarga)
73. Meningkatkan intensitas hubungan sosial (frekuensi, intensitas, popularitas) 146
74. Memelihara stabilitas imbalan sosial/social reward (jangan ada hitang budi)
75.  Imitasi
       Imitasi merupakan suatu tindakan meniru sikap, tingkah laku, atau penampilan orang lain. Tindakan ini pertama kali dilakukan manusia di dalam keluarga dengan meniru kebiasaan-kebiasaan anggota keluarga yang lain, terutama orang tuanya. Imitasi akan terus berkembang ke lingkungan yang lebih luas, yaitu masyarakat. Dewasa ini proses imitasi dalam masyarakat semakin cepat dengan berkembangnya media masa, seperti televisi dan radio. Dalam interaksi sosial, imitasi dapat bersifat positif, apabila mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku sehingga tercipta keselarasan dan keteraturan sosial.
       Namun, imitasi juga dapat berpengaruh negatif, apabila yang dicontoh itu adalah perilaku-perilaku menyimpang. Akibatnya berbagai penyimpangan sosial terjadi di masyarakat yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan sosial budaya. Imitasi yang berlebihan dapat melemahkan bahkan mematikan daya kreativitas manusia.
76.  Sugesti
       Sugesti adalah cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu, sehingga orang tersebut mengikuti pandangan atau pengaruh tersebut tanpa berpikir secara kritis dan rasional. Sugesti terjadi karena pihak yang menerima anjuran itu tergugah secara emosional dan biasanya emosi ini menghambat daya pikir rasionalnya.
       Sugesti umumnya dilakukan dari orang-orang yang berwibawa, mempunyai sifat otoriter, atau kelompok mayoritas dalam masyarakat. Selain itu juga dapat dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa kepada anak-anak, maupun iklan di berbagai media massa. Contohnya seorang dokter anak yang membujuk atau memengaruhi pasiennya untuk minum obat agar cepat sembuh.
77.  Identifikasi
       Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi 'sama' dengan orang lain yang menjadi idolanya. Identifikasi merupakan bentuk lebih lanjut dari imitasi dan sugesti. Dengan identifikasi seseorang mencoba menempatkan diri dalam keadaan orang lain, atau 'mengidentikkan' dirinya dengan orang lain. Proses identifikasi ini tidak hanya meniru pada perilakunya saja, bahkan menerima kepercayaan dan nilai yang dianut orang lain tersebut menjadi kepercayaan dan nilainya sendiri. Jadi, proses identifikasi dapat membentuk kepribadian seseorang.
       Bagaimana identifikasi berlangsung? Proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang melakukan identifikasi benar-benar mengenal orang lain yang menjadi tokoh atau idolanya, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui televisi). Contohnya seorang remaja yang mengubah penampilannya, mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, dan model rambut sesuai dengan artis idolanya. Ia mengidentifikasikan dirinya dengan artis tersebut.
78.  Simpati
       Simpati adalah perasaan 'tertarik' yang timbul dalam diri seseorang dan kemampuan untuk merasakan diri kita seolaholah berada dalam keadaan orang lain. Simpati bisa disampaikan kepada seseorang, kelompok, atau institusi. Dalam simpati seseorang ikut larut merasakan apa yang dialami, dilakukan, dan diderita oleh orang lain. Misalnya kita merasa sedih melihat penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah gempa dan tsunami di daerah Pangandaran, Tasikmalaya, Jawa Barat.
79.  Motivasi
       Motivasi merupakan dorongan, rangsangan, pengaruh yang diberikan oleh individu kepada individu lain, sehingga individu yang diberi motivasi menuruti atau melaksanakan apa yang diberikan itu secara kritis, rasional, dan penuh rasa tanggung jawab. Motivasi juga dapat diberikan oleh individu kepada kelompok, kelompok kepada kelompok, atau bahkan kelompok kepada individu. Contohnya untuk memotivasi semangat belajar siswanya, seorang guru memberikan tugas-tugas yang berhubungan dengan materi yang telah disampaikan.
        Dalam kontek untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan hubungan sosial yang harmonis, kerumunan sosial, kedamaian, persatuan masyarakat, dalam rangka mencapai kepuasan, ketenteraman dan kesejahteraan lahir dan batin, makapara pembaharu agen pembangunan) harusnya memiliki motivasi yang didukung oleh kesadaran moral, memiliki panggilan jiwa dan mempunyai kewajiban intelektual serta rasa tanggungjawab. Motivasi yang diberikan kepada masyarakat adalah dorongan yang dilandasi panggilan jiwa dan dengan prinsip penegakan kebenaran, rasional, tapi dalam praktiknya mampu menekan pamrih.
80. Solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial)
81. Integritas sosial
82. Loyalitas sosial
83. Mengetahui konsep-konsep Teknologi Hubungan Sosial
1.      Pengertian hubungan sosial : Menurut Alisyahbana (dalam Ali dan Asrori. 2006). Hubungan sosial adalah cara- cara individu bereaksi terhadap orang- orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.
Soekanto (2007) hubungan sosial, adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan mengandung kesadaran untuk saling menolong. Hubungan sosial terjadi karena ada interaksi sosial yang melibatkan emosi atau perasaan. Hubungan sosial ini mula- mula dimulai dari rumah sendiri kemudian berkembang lebih luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun demikian yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, temen sebaya baru kemudian teman sekolah.
2.    Mengetahui Kriteria Hubungan Sosial
Hubungan sosial memeliki beberapa kriteria hal ini senada diungkapkan Walgito (2010: 82), bahwa baik tidaknya hubungan sosial anatara individu yang satu dengan yang lain dapat dilihat dari beberapa segi yaitu:
a.  Frekuensi hubungan
     Frekuensi hubungan adalah sering atau tidaknya anak atau individu tersebut bergaul. Makin sering individu bergaul maka pada umumnya individu itu makin baik dalam segi hubungan sosialnya. Jika individu itu mengisolasi diri maka individu itu kurang baik dalam hubungan sosialnya. Walau namun pada frekuensi ini masih sulit seseorang mengukurnya karena akan menentukan batasan jumlah dikatakan baiak, cukup, dan kurang.
b.  Intensitas hubungan
     Intensitas ini adalah dalam tidaknya anak dalam bergaul atau intim-tidaknya nanak dalam bergaul. Makin anak mendalam seseorang dalam bergaul dalam hubungan sosialnya maka semakin baik pula kemampuan hubungan sosial anak. Teman yang intim berarti memiliki intensitas yang mendalam, teman yang akrab berarti hubungan sosialnya lebih baik namun dalam hal ini juga tidak bisa dijadikan tolak ukur yang pasti.
c.  Popularitas hubungan
     Poplaritas hubungan ini adalah banyak tidaknya teman bergaul hal ini dapat dijadikan dalam mengetahui dasar pakah seseorang memiliki hubungan sosial yang baik atu tidak orang yang memiliki teman bergaul banyak maka ia memiliki hubungan sosial yang baik.
84.    Mengetahui Faktor- faktor yang mempengaruhi hubungan sosial
a.  Lingkungan keluarga
     Dalam lingkungan keluarga ada beberapa faktor yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman dan kebebasan untuk menyatakan diri. Kebutuhan akan rasa aman ini sangat penting bagi anak, anak akan merasa kebutuhan dilindungi terhadap orang tua tercukupi. Perlindungan emosional ini menjauhkan ketegangan, membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan menstabilkan emosi anak. Dengan kata lain perkembangan sosial anak dilingkungan keluarga akan baik jika didukung dengan lingkungan keluarga yang kondusif. Iklim keluarga kondusif adalah; a.)ketika karakteristik internal keluarga berbeda dengan keluarga yang lainnya; b.) ketika ketika karakteristik indivudu tersebut mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu termasuk pada remaja; c.) unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap, dan harapan individu terhadap keluarga tersebut.
     Remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut keluarga, maka hal ini adalah salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi anggota keluarga. Gander (dalam Walgito, 2010: 95) mengemukakan penelitianya pada tahun 1983 bahwa interaksi antara anggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja.
b.  Lingkungan sekolah
     Kehadiran lingkungan sekolah merupakan perluasan lingkungan sosial individu atau bahkan menjadi sebuah lingkungan yang menantang atau bahkan mencemaskan bagi diri remaja. Guru dan teman sebayanya membentuk lingkungan norma bagi dirinya. Selama tidak ada pertentangan maka selama itu pula remaja akan tidak akan mengalami kesulitan . jika pertentangan terjadi maka remaja akan mencari teman yang dapat menerima dirinya dalam penyesuaian diri.
     Ada empat tahap proses penyesuaian diri yang harus dilakukan anak selama membangun hubungan sosialnya, yaitu sebagai berikut.
1. anak dituntut untuk dapat menghormati dan menghargai hak orang lain
2. anak didik untuk menaati aturan dan menyesuaiakn diri dengan norma-norma kelompok
3. anak dituntut untuk dewasa dalam melakukan interaksi sosial berdasar asas saling memberi dan menerim
4. anak dituntut untuk memahami orang lain.                
Keempat proses ini dilakukan dengan tahap sederhana ke proses yang semakin komplek dan menuntut respon yang kompleks pula. Pada proses ini sangat mungkin terjadi anak menghadapi konflik yang berakibat pada terhambatnya perkembangan sosial mereka.
Menurut Barrow & Wood (dalam Psikologi Remaja 2010 :97). Sebagaimana dilingkungan keluarga lingkungan sekolah juga membutuhkan lingkungan yang kondusif pula. Kondusif tidaknya iklim yang ada di sekolah bagi perkembangan hubungan sosial siswa tersimpul dari interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos kerja dan kualitas guru sehingga dapat menjadi model bagi siswa secara favourable dapat mempengaruhi perkrmbangan hubungan sosial remaja, meskipun disadari bahwa sekolah bukanlah satu- satunya faktor penentu.
c.  Lingkungan Masyarakat
     Menurut Walgito (2010: 97). Salah satu masalah yang dihadapi remaja pada proses sosialisasinya adalahbahwa tidak jarang masyarakat tidak bersikap konsisiten pada remaja.di satu sisi mereka dikatatakan dewasa namun kenyataannya di sisi lain remaja tidak diberikan kesempatan untuk melakukan perah penuh sebagai orang dewasa. Untuk menghadapi masalah-masalah penting dan menentukan remaja masih sering dianggap sebagai anak kecil, sehingga menimbulkan kejengkelan dan kekecewaan pada diri remaja. Seperti lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah yang dituntut untuk perkembangan sosial remaja, lingkungan masyarakat juga dituntut kondusif.
85.  Mengetahui Hubungan Pekerjaan Sosial, Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan Sosial
Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan  aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk  meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang  bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006). Pembangunan melalui investasi sosial mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan  pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan sosial akan  meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan  melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas,  maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi  dan budaya yang sangat mendasar. 
       Dalam dunia pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial, pembangunan sosial populer di awal 1980-an. Dimana hal ini terkait dengan keterlibatan beberapa pekerja sosial dari Amerika Serikat yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan mempunyai program pada negara-negara yang sedang berkembang (Midgley:1995:30).
86. Mengetahui 3(tiga) strategi pembangunan masyarakat
       Pembangunan sosial mempunyai 3 strategi yang dimana strategi tersebut berbanding lurus dengan apa yang ada di konsep pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Dimana individu, komunitas dan masyarakat bisa mengembangkan potensi-potensi yang ada adalam dirinya sehingga dapat mencapai aktualisasi diri, serta bisa meningkatkan keberfungisan sosialnya. Tiga strategi tersebut meliputi:
1.  Pembangunan Sosial melalui individu (Social Development by Individuals), dimana individu-individu dalam sebuah masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat (Community Empowerment)
2.  Pembangunan Sosial Melalui Komunitas (Social Development by Communities), yang dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya
3.  Pembangunan sosial melalui pemerintah (Social Development by Goverment), dimana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah. (Midgley 1995:103-138). Contoh kebijakan mengenai Pembangunan sosial untuk kesejahteraan masyarkat

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA*


IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI
DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA*
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**


I.  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG 

Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh,  Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. ________________________
*     Disampaikan pada kegiatan pembekalan Kulaih Kerja Nyata (KKN)  Mahasiswa berbasis Kebngsaan Di Pangkalan TNI AL (LANAL) Lampung, Piabung, Kab. Pesawaran, tanggal 25 Juni 2018
**   Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada  kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana  masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan  Piil Pesenggiri  merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk  meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.

Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak­lanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

II.   IMPLEMENTASI  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG PIIL PESENGGIRI  

1.  Pengertian Kearifan Lokal

Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

2.  Implentasi Piil Pesenggiri

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.

Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),  dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. Demikian juga sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan kampus, mereka memiliki tanggungjawab moral selama memikul statusnya agar dapat diimplementasikan sesuai dengan peranannya. Sebagai mahasiswa, bertanggungjawab dengan peranannya dalam belajar mengejar prestasi. Demikian juga dosennya harus mampu memberikan pencerahan dan membangun semangat mahasiswa asuhannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat
kampus dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian budaya akademik. Sivitas akademika memiliki jiwa piil pesenggiri dengan wujud keperdulian terhadap upaya meningkatkan prestasi akademik, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti
sivitas akademika dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar dalam beriteraksi di kampus; mampu bergaul, berpartisipasi dalam segala kegiatan kemahasiswaan, akademik dan administrasiarti secara santun sikap perbuatan dan tutur kata. Makna yang lebih dalam sebagai masarakat kampus adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat
kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM., khususnya di dunia kampus. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi kehidupan kampus dari segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan ikatan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, diharapkan perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas kekuasaannya di kampus demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, dapat dihindari.

III.   SUMBER DAYA NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI DALAM MEMBANGUN
        KEMANDIRIAN DESA

Piil pesenggiri  artinya rasa harga diri dan martabat yang mulya, Da;am prakteknya seseorang harus mampu berperan memperjuangkan status terhormat di tengah-tengah masyarakat. Berarti dalam usaha mencapai kehormatan hidup harus diikuti semangat kerja keras berdasarkan standar moral dan prinsip kebenaran, yang menghasilkan prestasi yang bermanfaat bagi publik.

Berkaitan dengn upaya membangun kemandirian desa, berarti mampu menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan sumber dayanya sendiri, tanpa tergantung dengan pihak manapun, tak terkecuali terhadap instansi-instansi, lembaga dan pemerintah. Dalam hal ini sangat relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, yaitu dengan semangat juang usaha untuk mencapai status hidup yang bermartabat terhormat, maka konsekuenasinya harus mampu membangun kemandirian desa demi tujuan tersebut, Pemerintah Desa dan masyarakat desa berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola potensi desa dengan Sumber dayanya sendiri, jika tidak, maka memurut prinsip piil pesenggiri, pimpinan dan segenap masyarakat desa akan menanggung malu.

Demikian juga dengan implementasi unsur-unsur Piil Pesenggiri Bejuluk-beado (bernama dan bergelar adat). Dengan diberikankannya gelar adat terhadap penyimbang dan masyarakat adat, berarti pemangkunya betrkewajiban menerapkan sikap perilaku sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, orang yang menyandang gelar adat ataupun gelar formal pendidikan, harus mampu berbuat sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang terkandung dalam gelar itu secara ideal. Dengan gelar adat seseorang harus mampu memberi teladan dalam sikap perilaku, dan  memotivasi masyarakat dalam aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya menunjukkan kemampuan mengatur rumah tanga desanya sendiri dengan sumber dayanya sendiri dalam menciptakan kemandirian desa  Sanksi sosial bagi seseorang yang ingkar terhadap tanggungjawabnya gelarnya, maka ia akan di caap sebagai orang yang tidak punya malu..

Implementasi unsur Piil Pesenggiri Nemui-nyimah, yang mengandung pengertian ramah dan terbuka terhadap tamu dan masyarakat denan tidak membedakan asal usul, suku, agama, ras dan antar golongan.. Hal ini erat kaitannya dengan penegakan prinsip transparansi/keterbukaan, keteraturan, ketertiban, persatuan, toleransi dan empati dalamm kehidupan masyarakat desa. Dengan prinsip-prinsip ini sangat penting fungsinya dalam mendorong sumber daya masyarakat untuk dapat berejasama dan bekerjasama dalam upaya membangun kemandirian desa. Dengan prinsip nemui-nyimah, maka pemimpin, tokoh desa dan masyarakat desa diharapkan mampu mewujudkan kemandirian desa..

Unsur Nengah-nyappur yang mengandung arti suka bergaul, suka berbaur di tengah-tengah masyarakat dalam segala kegiatan dan suka ikutserta dalam penyelesaian masalah sosial. Dengan prinsip nemui-nyimah merupakan semangat suka bekerjasama, kepedulian dan suka berpartisipasi dalam kegiatan pemecahan masalah masyarakat berdasarkan  nilai solidaritas sosial yang tinggi antar sesamanya. Prinsip nemui-nyimah ini sangat pentinginya sebagai sumer daya masyarakat dalam kegiatan membangun kemandirian desa, khususnya mewujudkan kesejahteraan masyarakay desa.

Unsur Sakai-sambayan yang mengandung arti suka melakukan kegiatan tolong menolong dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan sakay-sambayan merupakan  partisipasi, rasa kepedulian dan solidaritas terhadap sesama anggota masyarakat setempat, baik dalam kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana prinsip sakay-sambayan, maka pimpina , tokok dan masyarakat desa akan merasa kurang terpandang jika tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan desa. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi secara suka rela dalam kegiatan membangun desa tanpa tergantung dengan pihak-pihak lain. Segebap pimpinan,Tokoh dan masyarakat desa yang memahami nilai-nilai karifan loal sakay-sambayan memiliki semangat dan kehendak yang tinggi untuk melakukan pekerjaan membangun kemandirian desa, karena mereka merasa malu dan akan kehilangan kehormatan jika tidak mampu berpartisipasi dalam memberi pertolongan dan kegiatan gotong royong. Dengan demikian prinsip sakay sembayan di lingkungan desa sangat berguna untuk menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong dalam bekerja untuk menciptakan kemandirian desa.

IV.  SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan  dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan, khususnya masyarakat dea.

Khususnya dalam rangka upaya mewujudkan kemandiriandesai, berarti harus memiliki kemampuan menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan sumber dayanya sendiri. Dalam hal ini sangat relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, yaitu dengan semangat juang atas kehormatannya, maka harus mampu mewujudkn desa mandiri, Pemerintah Desa dan masyarakat desa berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola potensi desa dengan Sumber dayanya sendiri, jika tidak, maka pimpinan dan segenap masyarakat desa akan menanggung malu.

Untuk mewujudkan cita-cita kemandirian desa, perlu keterbukaan dan kejujuran dalarn setiap aktualisasi program pembangunan desa dalam rangka menciptakan kemandirian desa, sesuai dengan standar nilai-nila piil pesenggiri bersama dengan 4 (empat) unsurnya. Nilai-nilai budaya budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai nemui-nyimah (keramahtamahan) yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Piil pesenggiri sebagai sumber nilai ketulusan perlu dijadikan modal dasar bagi tokoh dan masyarakat desa, hususnya dalam proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses membangun kemandirian desa dapat dicapai dengan mudah tanpa hambatan yang berarti.


REFERENSI

_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.