Sabtu, 23 November 2013

MULTIKULTURALISME LAMPUNG: PENGHARGAAN ATAS KEARIFAN LOKAL UNTUK MENCIPTAKAN STABILITAS DAERAH

MULTIKULTURALISME LAMPUNG:
PENGHARGAAN ATAS KEARIFAN LOKAL
UNTUK MENCIPTAKAN STABILITAS DAERAH*

Oleh:
Drs. Abdul Syani, M.IP.**

Multikulturalisme di Lampung
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman (plural) atau ragam perbedaan kebudayaan. Masyarakat Multikultural (multicultural society) adalah masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Dapat pula diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Masyarakat multikultural terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, golongan, dll yang hidup dalam suatu kelompok dan menetap di wilayah tertentu. Setiap masyarakat menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang paham bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.
Ciri-ciri masyarakat multikultural menurut  Pierre van den Berghe  (http://sosialsosiologi.blogspot.com/2013/01/masyarakat-multikultural.html):
a. Segmentasi (terbagi) ke dalam kelompok-kelompok
b. Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama)
c. Sering mengalami konflik
d. Integrasi sosial atas paksaan
e. Dominasi (penguasaan) suatu kelompok atas kelompok lain.
Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat La mpung adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.
____________________________________
* Disampaikan pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional bagi Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Elemen masyarakat di Provinsi Lampung oleh Badan Kesbangpol dengan tema ”Meningkatkan Kewaspadaan nasional melalui deteksi dini, cegah dini, dan kewaspadaan dini demi tercapainya suawana kondusif di Provinsi Lampung, di Hotel Andalas Permai Jl.S.Parman, Bandar Lampung pada tanggal 25 Juni 2013
** Dosen Sosiologi Fisip Universitas Lampung.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka, sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai. Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun. Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.
Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi "Sumpah Pemuda", dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.

Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Keragaman (pluralitas) masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat Lampung.
tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan. Pluralisme dapat dijadikan wahana produktifitas hubungan sosial antar anggota masyarakat, di mana masing-masing pihak dapat menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara bersahabat, tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa setiap golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, dan kebutuhan-kebutuhannya yang tidak tergantung dari ukuran status atau keahliannya, melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu sikap kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong siapa saja, dan keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, ras dan golongan, kelompok dan berbagai identitas lainnya.

Berikut adalah distribusi kelompok etnis di Lampung: Lampung, Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga keturunan, dan Warga asing (China, Arab, dll). Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) kelompok adat, yaitu: masyarakat adat Lampung Sai Batin dan masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung yang disebut ”Sang Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut.

Masyarakat adat Sai Batin terbagi dari ragam marga (teritorial) atau kebuwaian (garis keturunan), diantaranya:

Sai Batin Marga 5 (lima) Kalianda dan sekitarnya, yang terdiri dari:
Marga Ratu
Marga Legun
Marga Rajabasa (2 Kepenyimbngan Adat)
Marga dantaran (2 Kepenyimbangan Adat)
Marga Katibung (Menyata, Pubian)
Sai Batin Marga Lunik
Sai Batin Marga Balak
Sai Batin Marga Bumi Waras Teluk Betung
Sai Batin Punduh (7 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Pedada (8 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Way Lima
Sai Batin Kedundung
Sai Batin Gedung Tataan
Sai Batin Ratai (Sanggi Padang cermin)
Sai Batin Kelumbayan (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Talang Padang
Sai Batin Marga Pertiwi (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Kuta Agung dan sekitar
Sai Batin Marga Way Sindi
Sai Batin Ngaras dan Bengkunat
Sai Batin Way Suluh
Sai Batin Ngambur
Sai Batin Pugung
Sai Batin Penggawa Lima (Pesisir Tengah)
Sai Batin Kuripan (Pesisir Utara)
Sai Batin Sukau (Liwa)
Sai Batin Buway Nyerupa (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Pernong (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Belunguh (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Lapah di Way (Paksi pak Skala Brak)
Buway Buay Tumi (keterangan pangeran Syafei Kenali, Buway yang terlibat dalam mendirikan Paksi Pak Skala Brak)
Buay Sandang (idem)
Buay Rawan (idem)
Buay Runjung (idem)
Buay Nerima (dari istilah Paksi Pak ke Lima, Buay Nerima = keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan Luas/nama wilayah/riwayat tersendiri)
Sai Batin Liwa, Kenali, Belalau dan Tiyuh sekitar
Sai Batin Paksi Keratuan Semaka:
Marga Benawang (terdiri dari 4 kebandaran):
Marga Limau
Marga Badak
Marga Putih
Marga Pertiwi
Marga Kelumbaiyan (Sutan Syah Marga)
Pekon Unggak
Pekon Susuk
Pekon Negeri
Pekon Sukarame
Pekon Limbungan
Pekon Tanjung Agung
Pekon Sukabandung
Marga/Buway Belunguh (asal Blunguh)
Marga Ngarip (Ngakhip)
Marga Pematang Sawa
Sai Batin Tanjung Bintang, Merbau Mataram dan sekitar
Sai Batin Keratuan Melinting (Maringgai, Wana, Tebing) dan Marga Sai batin lain-lain...

Sedangkan kelompok masyarakat adat Pepadun juga terbagi dalam ragam marga atau kebuwaian adat budaya yang berbeda, yaitu diantaranya:
Pepadun Abung Siwo Mego (sembilan marga), yang terbagi dalam 9 (sembilan) marga dan kebuwaian, yaitu:
Nuban
Nunyai
Unyi
Anak Toho
Nyerupo
Selagai
Beliyuk
Kunang
Subing
(ditambah Pepadun marga Manik yang berkedudukan di Negara ratu Suka dana)
Pepadun Mego Pak (empat marga), yang terdiri dari 4 (empat) marga dan kebuwaian, yaitu:
Bolan (bulan)
Tegamo’an
Aji
Suwai Umpu
Pepadun Pubian Telu Suku , terdiri dari 3 (tiga) suku yang setara dengan marga dan kebuwaian, yaitu:
Manyarakat (banyarakat/manyakhakat)
1. Buay Kediangan
2. Buay Manik
3. Buay Nyurang
4. Buay Gunung
5. Buay Kapal
6. Buay Selagai Jurai Rawan
Tambapupus
1. Buay Nuwat
2. Buay Pemuka Pati Pak Lang
3. Buay Pemuka Menang
4. Buay Semima
5. Buay Pemuka Halom Bawak
6. Buay Kuning
Buku Jadi (bukuk jadi)
1. Buay Sejadi
2. Buay Sejaya
3. Buay Sebiyai
4. Buay Ranji
5. Buay Kaji
6. Buay Pukuk
Buway Gunung (Kampung Negerisipin, sekitar Way sekampung bagian hulu, keturunan dari Pubian Manyarakat)
Buway dari suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan:
1. Lebar Daun
2. Anak Dalam
3. Serang
4. Naga Barisang
5. Dayang
6. Rakihan (Ratu Di Belalaw/diperkirakan dari Pagaruyung)
Kebuwayan yang datang dari Pagaruyung Laras ada 2 (dua) empu, selain rakihan, yaitu:
1. Empu Cangih (bergelar RAtu Di Puncak)
2. empu Serunting (bergelar Ratu Di Pugung)
Buay Balam (Keturunan dari Poyang Sakti, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Buay Nuwat ((Keturunan dari Poyang Serata Di Langik, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Pepadun 5 (lima) marga Way Kanan dan Sungkai, secara garis besar terdiri dari beberapa marga dan kebuwaian, yaitu antara lain:
Marga Semenguk
Marga Pemuka (Pengiran Udik, Pengiran Ilir, Pengiran Tuha, Bangsa raja)
Barasatti (Barasakti)
Baradatu (Tiyuh Balak, Way kanan)
Bahuga.
Kecuali itu ada pula marga-marga lain yang telah hidup sejajar dengan jurai Pepadun lainnya yang tersebar di wilayah Tanah Abang, Negeri Ujungkarang, dan sekitarnya, yaitu antara lain:
Harayap (Sukadana Ilir, Udik, Sungkai Selatan)
Debintang (Bandar Agung, Sungkai Selatan)
Si Gajah (Negara Tulang bawang, Sungkai Selatan)
Si Lembasi (Tanah Abang)
Si Reja (Perja) Negeri Ujungkarang
Liwa (kuta napal, Sungkai Selatan)
Buway Silamayang (di sekitar daerah Way Besai)
Buway Menyata (keturunan dari perkawinan Minak Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
Marga/Negeri Balau (Dari Persekutuan Hukum Adat Lampung Abung Kota Tanjungkarang/Telukbetung dan Lampung Selatan):
a. Buway Turgak (Kampung Rajabasa, gedungmeneng, Labuhan ratu. Anak dari Minak
     Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
b. Buway Manik (Kampung Rajabasa, Gedungmeneng, keturunan dari Pubian suku
     Manyarakat)
c. Buway Selagai runjung (Gedungmeneng)
     13. Marga-marga lain dan sub-sub Marga yang belum tersebutkan....
Provinsi Lampung yang oleh karena keragaman suku dan adat budayanya seringkali dijuluki "Indonesia Mini". Hal ini karena di sini hidup beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama dan ras. Kabupaten Lampung Tengah merupakan contoh representatif memenuhi syarat ini karena dihuni oleh berbagai suku di Indonesia, seperti suku Bali eks transmigran, misalnya di Seputih Raman, Seputih Mataram, dan Seputih Surabaya. Sedangkan suku Lampung menetap antara lain di Terbanggi Besar, Gunung Sugih, dan Blambangan Pagar, dan suku Jawa menyebar merata di seluruh wilayah itu. Tiga suku itu (Bali, Jawa, Lampung) merupakan mayoritas di Lampung Tengah. Interaksi tiga suku melahirkan satu basis sosial baru, yakni kelas pedagang di Bandarjaya. Proses pembauran (inkulturasi) Jawa dan Lampung berlangsung cepat.

Sementara itu pada wilayah lain menyebar juga Suku Padang, Batak, Semendo (Sumsel), Bugis, Banten, Lombok, Madura hingga warga keturunan, juga eksis di provinsi Lampung. Berbagai kesenian, seperti Barong Sai, Reog Ponorogo atau kesenian Jawa, tari-tarian adat Lampung dan atraksi kesenian lainnya sering saling mengisi seremoni sosial, baik formal maupun informal.

Akan tetapi faktanya masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat. Adanya diversitas (keragaman) ini sangat mungkin menimbulkan ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang enggan untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis dan budaya.

Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat bertahan tanpa konflik, kebersamaan dalam konteks Sang Bumi Ruwa Jurai dapat goyah jika kepentingan sepihak diantara mereka makin ekstrim, nilai-nilai budaya asli dibangun dan ditonjolkan terhadap kelompok yang lain, terjadi persaingan di bidang usaha, atau salah satu kelompok mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu seringkali berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual maupun kolektif. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan.

Dalam kenyataannya Pluralitas budaya di Lampung tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak, kendati masih banyak kalangan yang masih bersikap anti pluralitas karena dianggap dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Sekalipun masing-masing pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua bisa mewujudkan secara bebas keberadaannya dengan hubungan sosial terbuka saling menghargai; masih ada saja pihak yang tidak rela atas keberadaan kelompok lain.

Nilai-nilai Kearifan Lokal Piil Pesenggiri dalam kehidupan masyarakat Lampung

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

     a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lai

     c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik atau bangsa.

Penghargaan atas Nilai-nilai Kearifan Lokal
Sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri itu perlu adanya upaya revitalisasi, sosialisasi, pemahaman, penghayatan, penjiwaan dan aktualisasi elemen2 piil pesenggiri dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian diharapkan upaya menciptakan perdamaian, kesatuan dan kerukunan dalam rangka memelihara stabilitas darah dan jauh dari ancaman konflik dapat lebih efektif.

Untuk menghargai nilai-nilai luhur kearifan lokal, maka mau tidak mau segenap warga Negara harus menggali, memelihara, menjiwai dan mengamalkan (menerapkan) nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam rangka meningkatkan stabilitas daerah. Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Ada beberapa bentuk penghargaan atas nilai-nilai kearifan lokal untuk menciptakan stabilitas daerah, yaitu:
Mengermbangkan Sikap Toleransi dan empati. Toleransi adalah sikap rela menerima dan menghargai perbedaan dengan pihak lain. Empati merupakan sikap mau merasakan pikiran dan perasaan orang lain. Sikap toleran dan empati sangat penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat multicultural. Dengan pengembangan sikap toleransi dan empati sosial, diharapkan masalah-masalah yang timbul akibat atas keberagaman sosial budya akan dapat dikendalikan, sehingga tidak terjadi pertentangan sosial yang dapat mengancam stabilitas daerah.
Mengembangkan Sikap disiplin. Dalam upaya menghargai nilai-nilai kearifan lokal harus memiliki kepribadian dengan sikap dan perilaku disiplin, keterbukaan, tertib dijalan raya, rapi dalam berbusana, mandiri dalam kehidupan, sikap menghargai waktu, sikap positif dalam olah raga, dan sejenisnya. Sikap dan perilaku hidup tertib dan disiplin sangat berguna untuk membina moral dan mentalitas masyarakat lokal.
Meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya nilai-nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter budaya daerah.
Mengembangkan budaya daerah melalui pendekatan multi kulturalisme berdasarkan nilai –nilai Falsafah hidup piil pesenggiri dengan senantiasa bercermin pada sejarah perjuangan lokal.
Mensosialisasikan dan mencari solusi terhadap pengaruh negatif globalisasi pada nilai-nilai budaya lokal.
Mengaktualisasikan budaya kepemimpinan yang menjiwai nilai-nilai piil pesenggiri yang diharapkan mampu memelihara stabilitas kesatuan, keamanan dan kerukunan warga daerah.
Mengakulturasikan budaya asli (sang bumi ruwa jurai), budaya etnis pendatang, dan budaya asing untuk pembentukan budaya daerah yang mendukung stabilitas sosial budaya daerah, sehingga terhindar dari konflik.
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tugas dan fungsi birokrat, pemimpin daerah untuk memfasilitasi dan mendukung pengembangan budaya daerah.
Memberikan pengamanan (Regulasi) dan koordinasi antar pihak untuk mencapai keselarasan tindakan dalam upaya mendeteksi, mencegah dan menangkal kemungkinan pengaruh negatif masyarakat multicultural dan pengaruh globalisasi.
Meningkatakan pembinaan terhadap pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarga-negaraan secara nyata dengan meningkatkan pemahaman dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan budaya, baik formal maupun informal dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dini agar terpeliharanya stabilitas daerah.
Mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal yang sarat dengan prinsip-prinsip hidup, seperti : merevitalisasi, menjiwai dan mengemplementasikan adat pepung (rembug desa), adat manjau, warahan, dan seni suara yang mengandung pesan kehidupan.

REFERENSI:

Abdul Syani, 2007. SOSIOLOGI Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.
__________, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/
_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Pierre van den Berghe, 2013:  (http://sosialsosiologi.blogspot.com/2013/01/masyarakat-multikultural.html)



Jumat, 22 November 2013

BUHIPPUN DALAM ISTILAH MASYARAKAT ADAT LAMPUNG

BUHIPPUN DALAM ISTILAH MASYARAKAT ADAT LAMPUNG
Oleh:
Abdul Syani

Dalam kepemimpinan struktur Pemerintahan Adat dan kehidupan pergaulan masyarakat adat Lampung, terdapat istilah atau sebutan terhadap pimpinan adat, diantaranya adalah:

1. Perwatin/Proatin/purwatin

Perwatin adalah para Penyimbang adat/dewan adat/tokoh adat/tuha khaja/pimpinan adat (subyek). Sebagai perwatin adat memiliki hak dan kewajiban memimpin segala aktivitas Pemerintaan Adat atau urusan yang berhubungan langsung dengan hippun/peppung (musyawarah) adat. Sebagai penyimbang adat berkewajiban untuk membina dan menjaga stabilitas pemerintahan adat kerukunan warga adat yang dipimpinnya.

Demikian juga halnya jika ada peristiwa yang berkaitan dengan masalah pelanggaran norma susila, moral (cempala), pidana adat, atau sengketa atas hak-hak warga, maka para penyimbang berkewajiban menyelesaikannya secara bijaksana dan berkeadilan sosial.

2. Mekhatin (merwatin)

Merkhatin artinya para penyimbang adat berkaitan dengan kegiatan musyawarah adat. Para penyimbang adat ini adalah penyimbang marga/buway, tiyuh dan penyimbang suku.

Mekhatin adat adalah musyawarah mengenai urusan yang berkenaan dengan urusan adat yang dilakukan oleh para penyimbang adat dan dipimpin oleh penyimbang adat tertinggi (penymbang marga/Bandar) atau penyimbang yang ditunjuk mewakili.

Menurut sebagian penyimbang adat, perwatin diartikan sebagai pelaksana musyawarah adat; sedangkan Merwatin diartikan sebagai warga non-penyimbang sbg pelaku musyawarah). Pendapat ini juga dapat diterima kebenarannya sesuai dengan pemahaman maknanya bagi kepenyimbangan adat dan para kelompok masyarakat setempat (lokal).

Merwatin juga dapat diartikan sebagai tokoh/pemimpin/jakhu/pimpinan warga di luar struktur adat yang melakukan (me=kata kerja, predikat) kegiatan musyawarah. Pada dasarnya istilah merwatin menunjukkan pada kegiatan peppung/buhippun (musyawarah), baik dari para penyimbang adat, maupun dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Sedangkan mekhatin warga di luar struktur adat dalam kehidupan sosial sehari-hari sering diartikan sebagai kegiatan peppung/buhippun (musyawarah), baik mengenai urusan adat atas sepengatahuan penyimbang adat, maupun urusan kepentingan umum warga.

Sementara itu ada juga kegiatan mekhatin yang diartikan kumpul berkomunikasi atau berdialog bersama antar beberapa warga/tetangga/teman, baik secara kebetulan atau dilakukan sengaja untuk membicarakan suatu rencana, peristiwa, tukar pendapat/informasi atau sekedar ngerumpi.

Dalam budaya masyarakat jawa kegiatan musyawarah secara umum, bahkan secara nasional disebut rembug. Rembug desa artinya kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh perangkat desa setempat. Desa dalam bahasa Lampung disebut pekon, tiyuh, kampung atau anek. Dengan kata lain rembug adalah istilah musyawarah menurut bahasa Jawa.

Kecuali itu ada beberapa pengertian atau istilah musyawarah dalam bahasa Lampung, diantaranya adalah sbb:

BUHIPPUN

Buhippun/buhimpun secara bahasa terdiri dari bu = ber =melakukan; hippun diartikan sebagai kegiatan kumpul, mengumpulkan, menghimpun (pendapat), atau menjaring aspirasi warga.

Buhippun adat artinya kegiatan musyawarah yang dilakukan penyimbang adat berkaitan dengan peristiwa, perihal atau urusan adat istiadat dan budaya setempat. Misalnya buhippun mengenai rencana acara buakhak atau prosesi ngarak (arak-arakan) pengantin di jalan papekonan (desa) tentang formasi, pihak-pihak tuha khaja yang terlibat, dan alat-alat yang digunakan.

Dengan demikian buhippun artinya melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai kesamaan pendapat atau kata sepakat (supaya mencapai kesepakatan, kesepahaman) thdp rencana, kegiatan, peristiwa, atau cara pemecahan masalah tertentu.

Buhippun merupakan anonim dari suatu upaya untuk mencapai atau mencari kesepakatan; maksudnya usaha menghimpun pendapat khalayak agar suatu rencana dan keputusan yang diambil bersama lebih aspiratif dan mewakili semua lapisan sosial.

Secara ringkas, buhippun dapat diartikan sebagai kegiatan musyawarah untuk mencapai mupakat. Istilah ini umumnya digunakan masyarakat adat Saibatin lima marga Kalianda dan sekitar utk menyebut kegiatan musyawarah.  

KUPPULAN/KAKUPPULAN

Kuppulan atau kakuppulan artinya musyawarah atau rapat. Kuppulan adat adalah rapat adat yang dilakukan oleh para penyimbang, tuha khaja, atau tokoh-tokoh adat. Kuppulan pekon artinya musyawarah kampung/desa (Istilah ini umumnya digunakan masyarakat adat Lampung barat).

Setiap masyarakat adat akan melakukan kegiatan sosial/kemasyarakatan, perencanaan pembangunan atau acara/resepsi Nayuh (prosesi resepsi perkawinan adat), acara nyambai, atau canggot (acara muli-mekhanai = bujang-gadis), biasanya didahului dengan acara rapat atau musyawarah penyimbang adat yang lazim disebut kuppulan adat. Tujuan kuppulan ini agar acara tari dan berbalas pantun muli-mekhanai berjalan dengan lancar dan menyenangkan pihak baya (pihak yang nayuh).

BUPAHUM/BEKHUNDING

Bupahum atau bekhunding artinya musyawarah atau berunding; bupahum adat artinya kegiatan musyawarah yang berkaitan dengan urusan adat istiadat.

Apabila para perwatin/penyimbang adat atau komunitas/kelompok/masyarakat tertentu yang ingin mengambil suatu kesamaan pendapat/pemahaman sikap-perilaku, ketetapan atau keputusan bersama tentang sesuatu, maka biasanya diawali dengan cara melakukan kegiatan bupahum atau musyawarah berdasarkan kehendak bersama atau dengan landasan hukum adat yang berlaku (istilah bupahum umumnya digunakan oleh masyarakat adat marga lima Kalianda).

KHAKOT

Khakot artinya rapat atau musyawarah. Khakot adalah rapat yg digelar oleh para Penyimbang/Perwatin adat yang secara khusus bisa dihadiri oleh para Penyimbang saja, atau bersama-sama dengan masyarakat adat non-Penyimbang, atau oleh kelompok masyarakat adat setempat saja.

Khakot digelar, biasanya untuk keperluan menentukan langkah/tindakan atau penetapan tupoksi kegiatan lembaga-lembaga adat, organisasi, kepanitiaan, atau bisa juga digelar untuk mencari pemecahan masalah (solusi, rekomendasi) perbedaan pandang, sengketa/konflik angtar warga kampung. istilah ini umumnya digunakan oleh masyarakat Lampung Saibatin Way Lima, Kedudung, Punduh, Pedada, dan sekitarnya).

BUBALAH/BUBABAH

Bubalah artinya berdialog atau dengar pendapat antar Penyimbang adat atau warga masyarakat/publik untuk mengambil suatu kebijakan atas perbedaan prinsip/pandangan atau karena adanya tindakan individu/kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Dalam berdialog, yang penting adalah mengedepankan toleransi, saling menghargai dan saling mengormati untuk memperoleh kesepakatan semua pihak berkaitan dengan strategi penyelesaian masalah atau keputusan bersama untuk kepentingan bersama.

PEPPUNG

Peppung artinya kegiatan musyawarah. Istilah peppung umumnya digunakan masyarakat adat Pepadun Abung siwo mego, Megow Pak Tulang Bawang, dan sebagian Pubian dalam menyebut kegiatan musyawarah.

Peppung adat artinya kegiatan berkumpul bersama antara penyimbang adat untuk mencapai kesepakatan tentang kepentingan yang berkaitan dengan penyelesaian masalah adat, revitalisasi hukum-hukum adat atau untuk mengembangkan rasionalisasi adat istiadat demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat adat setempat.

Relatif sama dengan pengertian istilah buhippun, Peppung berarti melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai kesepakatan, kesepahaman atau kesamaan pendapat terhadap rencana, kegiatan, atau langkah-langkah tertentu untuk kepentingan bersama.

Peppung pada dasarnya menunjuk pada suatu usaha menghimpun aspirasi publik sebagai bahan pertimbangan dalam mencari keputusan bersama tentang solusi atas suatu perkara atau strategi progres tentang rencana tertentu. Secara umum, peppung dipahami sebagai aktivitas musyawarah untuk mencapai kesamaan pendapat.


Kamis, 21 November 2013

ADAT SEBAMBANGAN PERLUKAH DILESTARIKAN..

ADAT SEBAMBANGAN PERLUKAH DILESTARIKAN...
Oleh:
Abdul Syani Kld

Adat sebambangan, kini tidak sedikit pihak yang memandang negatif, dengan alasan meresahkan orang lain, memaksakan kehendak dan bertentangan dengan hukum. Timbulnya pandangan negatif ini karena sebambangan diartikan sebagai tindakan melarikan (menculik) seorang gadis tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tuanya, serta tidak melalui musyawarah dengan penyimbang adat setempat.

Tindakan itulah yang dipandang bertentangan dengan hukum, kriminal, bahkan melanggar Syariat Islam. Hal ini perlu sedikit koreksi, karena tidak demikian pengertian, maksud dan tujuan sebambangan menurut ketentuan adat Lampung.

Menyimak pendapat sebagian pengamat dan peneliti budaya Lampung, yang diantaranya menyatakan bahwa adat sebambagan sama dengan kawin lari, yaitu melarikan gadis untuk dinikahi tanpa prosedur adat, tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua, kerabat, termasuk penyimbang adatnya. Akibatnya adat sebambangan dianggap negatif, melanggar hukum dan dicap sebagai tindakan kriminal. Akhirnya citra adat sebambangan ini menjadi buruk dimata masyarakat, terutama pihak yang tidak memahami filosofi dan makna sebambangan sebenarnya.

Tapi meski demikian bisa dimaklumi, krn upaya menggali dan memahami hakikat adat budaya lokal secara arif memang tidak mudah. Penelitian awal pendekatan sosial, belum menjamin dapat menjaring data yang benar, lengkap dan akurat. Terlebih data yang diperoleh tidak bersumber dari penyimbang adat pemegang/penglaku pemerintahan adat original yang mengetahui dengan benar syarat dan prosedur adat sebambangan itu. Oleh karenanya lumrah jika informasi yang diperoleh belum menyentuh makna dan tujuan adat sebambangan yang sebenarnya.

Perlu diketahui bahwa latar belakang terjadinya sebambangan karena adanya rintangan atau terhalangnya hubungan cinta kasih antara muli-mekhanai (gadis dan bujang). Rintangan ini mungkin diantaranya karena hubungan cinta keduanya tidak mendapat restu dari salah satu atau kedua orang tua mereka dengan berbagai alasan. Boleh jadi karena ketidaksanggupan pihak mekhanai/bujang untuk memenuhi mahar dan permintaan keluarga muli/gadis. Atau sebagai upaya untuk menghindar dari prosedur adat perkawinan jujur/lamaran yang panjang dengan biaya besar. Sebab lain mungkin karena perbedaan status dan strata adat, perbedaan status sosial ekonomi, atau karena ada larangan tidak boleh melangkahi saudaranya yg lebih tua, alasan menghindari zina dan fitnah atau karena adanya perselisihan antar orang tua sebelumnya, dan lain-lain.

Sebambangan adalah adat Lampung yang khusus mengatur prosedur pelarian bersama (lari bersama artinya upaya pergi atau menghindari rintangan secara bersama atas kesepakatan bersama tanpa tekanan antara keduanya) muli/gadis dan mekhanai/bujang ke rumah penyimbang adat (pihak mekhanai/bujang). Tujuannya untuk meminta bantuan, perlindungan, saran/pendapat agar mereka mendapat persetujuan dari orang tua si gadis (atau kedua orang tua mereka). Untuk ini dilakukan melalui musyawarah adat antara kedua belah pihak penyimbang adat dengan kedua orang tua dari muli-mekhanai, sehingga dapat diperoleh kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.

Langkah awal perjalanan sebambangan, keduanya (muli-mekhanai) meninggalkan surat dan uang (tengepik) sebesar kemampuan mekhanai sebagai informasi rahasia yang intinya menerangkan keberadaan mereka. Tentu saja maksudnya agar orang tua mereka tidak terlalu cemas dan dapat mempertimbangan secara bijak dengan harapan dapat merestui hubungan cinta keduanya, serta dapat menyelesaikannya secara damai sampai pada jenjang pernikahan.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam adat sebambangan yang sebenarnya, tidak ada unsur pemaksaan atau melarikan secara sepihak oleh bujang terhadap hadis, melainkan dilakukan atas kesepakatan bersama, bahkan (meski rahasia) disetujui dan seizin orang tua pihak gadis. Tentu fenomena ini telah disadari bersama bahwa jika melalui adat perkawinan jujur (pelamaran) memerlukan waktu, tenaga, biaya dan sarana yang mahal, maka dengan sebambangan kelemahan itu dapat dihindari. Hal ini justeru menjadi sumber motivasi bagi kedua-belah pihak untuk melakukan silaturahmi, musyawarah, berdamai untuk mencapai kesepakatan dan solusi yang meringankan.

Secara ringkas, Sebambangan dpt diartikan sebagai proses pelarian bersama bujang-gadis (secara rahasia) kerumah pemangku adat, agar terjadi musyawarah dan persetujuan kedua orang tuanya sebelum akad nikah. Sebambangan biasanya berakhir dengan damai dan terjadi pernikahan dengan restu kedua orang tua dan kerabatnya. Keputusan/persetujuan kedua belah pihak, termasuk penyelesaian persyaratan biaya, rupa-rupa sesan, dan denda adat, merupakan kunci berlangsungnya pernikahan menurut ketentuan adat yg berlaku.

Sebagai adat budaya Lampung tentu di dalamnya terkandung kearifan lokal nilai-nilai moral, saling mengormati sesama, terbuka, mengedepankan musyawarah dalam setiap menyelesaikan masalah; semuanya merupakan bagian falsafah hidup piil pesenggiri yang menjunjung tinggi kehormatan bersama. Nilai-nilai yang terkandung dalam adat sebambangan inilah yang perlu dilestarikan, terutama dalam praktek penyelesaian masalah perkawinan, rumah tangga, sengketa, konflik dan masalah sosial budaya lain, yang ternyata kini timbul akibat terkikisnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, kebersamaan dan keadilan sosial.

Tapi meski demikian, sesuai dengan modernitas pergaulan, luasnya jaringan informasi dan kemajuan IPTEK., maka praktik pisik adat sebambangan tidak perlu diterapkan pada masa kini, karena masing-masing remaja, para orang tua dan para penyimbang adat sudah sangat terbuka untuk bertemu secara langsung dengan pola pikir yang rasional efisien. Di samping itu semua pihak mau tidak mau harus mampu berempati dan beradaptasi dengan perkembangan jaman, khususnya kemampuan menyesuaikan tata-cara adat perkawinan masa lalu dengan aspirasi masyarakat terkini, dengan tetap melestarikan nilai-nilai kearifan lokal secara adaptif, sehingga tdk ada tindakan dan perlakuan yang meresahkan atau melanggar hukum.
4 Juni

POLITIK JARUM DALAM JERAMI

Abdul Syani Kld

Bagai mencari jarum ditumpukan jerami, begitu sulitnya mengurai akar masalah dan kemelut politik Lampung, khususnya realisasi jadual pilkada cagub/cawagub Lampung.

Satu pihak/rezim menginginkan pilkada 2015 atau kalau perlu untuk seterusnya. Pihak lain, KPU dengan hak dan tanggungjawabnya sesuai peraturan yang berlaku berusaha menetapkan jadual pilgub lampung 2013.

Legislatif, sebagai wakil rakyat yg sejayanya mengontrol eksekutif, tidak lagi efektif karena secara implisit lebih fokus pada kepentingan pribadi, partai, golongan dan koalisi politik, termasuk gubernur dan pejabat politik lainnya.

Yudikatif demikian juga, karena ada korelasi jabatan itu dengan campurtangan kekuasaan/eksekutif, bahkan mungkin merupakan kalaborasi kepentingan antara ke-3 oknum lembaga-lembaga tersebut.

Oleh karena itu semua kebijakan dan program pemerintah selalu di-amini oleh kedua oknum lembaga-lembaga lainnya, yg notabene mereka masih satu kerabat, alias memiliki kesamaan asal usul etnik politik juga; konsekuensinya semua pembahasan usul, realisasi program, dan pertanggungjawabannya, cenderung mengerucut berakhir dengan kompromi setuju-setuju saja, atau bahkan harus setuju.

Bagaimana dengan peran KPU..? Meski memiliki kekuatan hukum dalam menentukan jadual pilkada, tapi dalam kinerjanya terkait erat dg sistem politik (lokal) dan tidak imun pengaruh kepentingan rezim penguasa. Artinya, jika perannya tidak linier atau menentang kehendak (produk) sistem politik tsb., mk KPU harus kontra sistem dan berjuang sekuat tenaga demi kebenaran, hukum, dan keadilan; KPU harus siap meluruskan sistem yang bengkok..; atau ikut lebur dalam sistem, tutup mulut, dan duduk manis menunggu imbalan alakadarnya.

Sementara itu, kenyataannya dari 5 pasang cagub/cawagub yg berkepentingan juga seolah tak peduli terhadap kemelut pilgub yg kontradiktif; bahkan kontras sibuk beraksi sendiri-sendiri, dari senyum manis, intimidasi, berlomba slogan indah, s/d politik atas nama kurban. Semua mengatasnamakan kepentingan rakyat dengan sikap ramah, sopan santun, dan religius; tapi entahlah bedanya tipis.., apakah damai itu indah, atau justeru berbohong itu indah.

Di tengah kebimbangan publik, salah satu calon cawagub (Lukman Hakim, Lampos, 25 Oktober 2013) mengaku kesal dengan KPU Lampung yang tidak lagi bersikukuh memperjuangkan pemilihan Gubernur Lampung dilaksanakan seperti awal. Dia menilai hal itu sengaja dilakukan KPU dengan target utama memperpanjang masa jabatan. Sebelumnya KPU ngotot dengan membuka pendaftaran calon, tapi kemudian setelah jabatannya diperpanjang, ternyata tdk ngotot lagi. Mereka (KPU) hanya berwacana, tapi tidak bisa merealisasikan pilgub 2013, begitu tandas Lukman.

Karena tak ada klarifikasi, maka timbul dugaan.., bahwa sikap pasrah dan menerima keputusan untuk menggelar Pilgub Lampung setelah Pilpres 2014, karena misi KPU Lampung memperjuangkan perpanjangan masa jabatan sudah tercapai.

Hal itu ditandai keluarnya persetujuan KPU pusat, sehingga komisioner tidak lagi memperjuangkan hak dari 5 pasangan calon yang sdh mendaftar sebagai kotestan pilgub di KPU Lampung. Indikator lain bahwa keputusan KPU pusat itu adalah hasil konsultasi KPU Lampung dengan KPU pusat; ini membuktikan bahwa peta politik berkembang semakin mengerucut kearah persamaan dengan kehendak gubernur dan kroni politiknya.

Jadi apa yg dikatakan Lukman cukup beralasan, karena memang kenyataannya jadual pilgub Lampung semakin tidak jelas.

Ibarat skala 9:1, 9 penjahat, 1 ustadz; siapkah 1 ustadz melawan 9 penjahat?, jika tidak, lebih baik belajar jadi penjahat, inilah persimpangan jalan yg biasa ditempuh...

Itulah sebuah prediksi politik tanpa ujung, formalisasi atau sungguhan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Pada helaian jerami mana jarum terselip; ataukah ada relasi gayung bersambut, jarum sengaja mencari persembunyian yg paling rumit, sementara jerami menawarkan perlindungan yg paling tak terjangkau, sehingga tak ada lagi kemungkinan siapapun dapat memberi informasi apalagi menemukannya.

Lantaran jarum yg dicari tersembunyi atau sengaja disembunyikan, akibatnya semua pihak dan elemen rakyat jelata menjawab dg dugaannya sendiri; wajar jika tersesat, karena mungkin sengaja dibuat tersesat. Sementara semua pihak tersesat, berputar-putar tak tentu arah.., oknum pelaku kesesatan dg leluasa membuat jalannya sendiri.., entah kemana aset negeri akan dibawa, hanya mereka yg tahu..?

Hari Ini, Minggu pukul 1:48

POLITIK SEKELIK EKAM (Sebuah asumsi Demokrasi dari Produk Politik Kekerabatan)

Oleh Abdul Syani Kld

Politik pada umumnya dipandang sebagai kegiatan yang berhubungan dg proses/upaya memperoleh, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan adalah kekuatan untuk mempengaruhi orang/kelompok lain agar berperilaku spt yg dikehendaki.

Sedangkan Kekerabatan secara sosiologis dapat diartikan sbg bentuk ikatan kelompok berdasarkan garis/hubungan keturunan keluarga dan budaya yang menyertainya.

Dengan demikian Politik kekerabatan dapat diartikan sebagai bentuk upaya bersama berdasarkan ikatan keluarga, kerabat dan kroninya utk memperoleh, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan.

Upaya bersama itu merupakan strategi politik agar kekuasaan tidak berpindah pada orang/golongan lain sebagai rival politiknya, melainkan tetap berada pd gemgaman keluarga dan kerabatnya. Tegasnya setelah masa jabatan seseorang habis, segera akan digantikan oleh isteri, anak, adik, anggota keluarga atau kroninya yg telah teruji kesetiaannya.

Sebagaimana halnya sistem Dinasti kerajaan, jabatan akan diturunkan kepada anak2nya atau kerabatnya yang satu arah dalam garis keturunan keluarga.

Dengan demikian, kekuasaan yg telah habis masanya akan dg mudah di wariskan kepada keluarganya atau kerabat yang mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya.
Oleh krn itu Politik dengan pola strategi pewarisan ini kemudian disebut politik dinasti.

Kekuasaan yang secara politis diwariskan melalui satu garis keturunan atau dengan sistem kekeluargaan, cenderung mengarah pd adanya tujuan untuk berbagi kekuasaan atau jabatan dlm struktur pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini didasarkan pada anggapan bahwa kekuasaan milik bersama, milik keluarga, milik kerabat atau milik partai. Oleh karena politik jenis ini cenderung berurusan dengan kepentingan pembagian jabatan dan harta bersama, maka kemudian banyak orang menyebutnya sebagai politik gono gini.

Dalam perkembangan politik daerah, di mana untuk mencari pengganti Gubernur/Bupati/Walikota yang telah habis masa jabatannya, maka para suksesor bermunculan dengan segala upaya mencitrakan dirinya sebagai calon pemimpin yang terbaik tanpa cela dan dosa, baik di dunia maupun akhirat.

Baleho besar2 tersebar di mana2, dari sudut kota, pertokoan, disepanjang jalan protokol sampai dengan plosok desa, di pohon2, di tiang listrik dan di warung2. Di situ terpampang foto2 suksesor yg terbaik dengan tertulis slogan2 dan janji2 ideal seolah jiwa raganya akan dikorbankan untuk rakyat dengan gaya seperti khalifah yang diturunkan untuk menegakkan keadilan.

Strategi lain, para suksesor juga sibuk kontrak dengan media massa lokal sbg sarana utk memuat sebaik-baiknya kronologis profile/jati diri mulai dari hidup sederhana sampai dengan keberhasilannya dalam berbagai usaha, sederet gelar jenjang pendidikan, pengalaman memimpin dan segudang jasa, penghargaan, serta bintang kehormatan.

Tdk luput pulaa para suksesor blusu'an (seolah lebih hebat dari Jokowi) terjun ke publik konstituennya untuk memproklamirkan diri sbg ratu piningit yang akan menghapus segala kesulitan masyarakat.

Di tengah2 hiruk pikuknya persaingan meraih pemenangan pilkada, nampak diantara suksesor dan kelompok petarung tersebut adalah kerabat dekat dari penguasa sebelumnya. Mungkin orang ini anak, kemenakan, keluarga besan, bahkan semua jajaran kerabat ikutserta dengan segala cara, termasuk obral bingkisan tali kasih, bagi sembako, mengisi kotak amal, dan lain2, sampai pd strategi menutup akses dan menjungkir-balikkan rival politiknya.

Secara konstitusional, cara2 tersebut dianggap lumrah dalam strategi politik kekerabatan. Atas nama demokrasi, gerakan politik ini sah-sah saja, dibenarkan dan tidak melanggar hukum dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Namun demikian perlu disadari bahwa situasi demokrasi Indonesia belum berjalan sempurna. Fungsi demokrasi yang secara ideal memberi kebebasan publik utk memilih dan berpartisipasi dalam proses politik cenderung disimpangkan untuk meraih tampuk kekuasaan yang sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan.

Nafas demokrasi yang ditujukan untuk memperjuangkan dan membangun kehidupan masyarakat yang tertib dan aman, sehingga mereka dapat memperoleh pekerjaan yg layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.., ternyata amat sulit diwujudkan.

Harapan publik agar hasil pesta demokrasi dapat menebarkan kesejahteraan dan membuka peluang masyarakat untuk memperoleh akses pengembangan SDM juga belum tercapai.

Harapan publik agar pemimpin yang dipilih langsung secara demokratis dapat menciptakan kehidupan yang berkeadilan sosial, justeru makin menjauh bagai mimpi.., tatkala terbangun menjadi sesalan.

Dari fenomena terakhir, mungkin akan menjadi lebih berkepanjangan dan akan terjadi ketimpangan di segala segi kehidupan dikala demokrasi pemerintahan diperolah melalui produk politik kekerabatan.

Minggu, 17 November 2013

PLURALITAS BUDAYA DI LAMPUNG, KONFLIK DAN SOLUSINYA

PLURALITAS BUDAYA DI LAMPUNG, KONFLIK DAN SOLUSINYA
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.

1. Pluralitas Budaya di Lampung
Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka, sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai. Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun. Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.
Pada masa Orde Baru, kesadaran plural tersebut diredam dengan kemasan kesatuan dan persatuan yang prinsipnya monokulturalisme, sehingga wawasan multikulturalisme, khususnya masyarakat Lampung berkembang relatif lambat. Seringkali timbul pemahaman bahwa multikultur justru dapat mempertegas batas identitas antar individu, bahkan multi kultur dapat memperuncing masalah asli atau tidak asli.
Untuk mewujudkan masyarakat Lampung yang multikultural adalah dengan memperdalam pemahaman yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kultur. Dengan pola ini, melihat suatu keragaman kebudayaan berlaku umum dalam masyarakat secara umum, artinya dalam masyarakat Lampung tercakup semua kebudayaan dari kelompok-kelompok yang berbeda lebih kecil, kemudian membentuk kelompok yang lebih besar. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi “Sumpah Pemuda”, dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.
Dalam konteks wawasan nusantara, pluralisme budaya dalam perkembangannya dapat dijadikan sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing. Pandangan yang diharapkan ke depan adalah agar semangat hubungan yang harmonis dan sinergis antarkelompok masyarakat adat dalam hubungan internal maupun eksternal dapat terpelihara. Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Pluralitas masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
1. perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
2. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
3. adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat Lampung.
4. tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
5. dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
6. karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Signifikansi pluralisme baru berarti jika dalam aktualitas kegiatan pergaulan hidup sehari-hari antar warga masyarakat berjalan secara harmonis, yaitu membiasanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda dapat dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya secara bebas.
Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan. Pluralisme dapat dijadikan wahana produktifitas hubungan sosial antar anggota masyarakat, di mana masing-masing pihak dapat menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara bersahabat, tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa setiap golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, dan kebutuhan-kebutuhannya yang tidak tergantung dari ukuran status atau keahliannya, melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu sikap kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong siapa saja, dan keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, ras dan golongan, kelompok dan berbagai identitas lainnya.
Berikut adalah distribusi kelompok etnis di Lampung:
Lampung, Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga keturunan, dan Warga asing (China, Arab, dll)
Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) kelompok adat, yaitu: masyarakat adat Lampung Sai Batin dan masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung yang disebut ”Sang Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut.
Masyarakat adat Sai Batin terbagi dari ragam marga (teritorial) atau kebuwaian (garis keturunan), diantaranya:
1. Sai Batin Marga 5 (lima) Kalianda dan sekitarnya, yang terdiri dari:
a. Marga Ratu
b. Marga Legun
c. Marga Rajabasa (2 Kepenyimbngan Adat)
d. Marga dantaran (2 Kepenyimbangan Adat)
e. Marga Katibung (Menyata, Pubian)
2. Sai Batin Marga Lunik
3. Sai Batin Marga Balak
4. Sai Batin Marga Bumi Waras Teluk Betung
5. Sai Batin Punduh (7 Kepenyimbangan Adat)
6. Sai Batin Pedada (8 Kepenyimbangan Adat)
7. Sai Batin Way Lima
8. Sai Batin Kedundung
9. Sai Batin Gedung Tataan
10. Sai Batin Ratai (Sanggi Padang cermin)
11. Sai Batin Kelumbayan (dari Paksi Keratuan Semaka)
12. Sai Batin Talang Padang
13. Sai Batin Marga Pertiwi (dari Paksi Keratuan Semaka)
14. Sai Batin Kuta Agung dan sekitar
15. Sai Batin Marga Way Sindi
16. Sai Batin Ngaras dan Bengkunat
17. Sai Batin Way Suluh
18. Sai Batin Ngambur
19. Sai Batin Pugung
20. Sai Batin Penggawa Lima (Pesisir Tengah)
21. Sai Batin Kuripan (Pesisir Utara)
22. Sai Batin Sukau (Liwa)
23. Sai Batin Buway Nyerupa (Paksi pak Skala Brak)
24. Sai Batin Buway Pernong (Paksi pak Skala Brak)
25. Sai Batin Buway Belunguh (Paksi pak Skala Brak)
26. Sai Batin Buway Lapah di Way (Paksi pak Skala Brak)
27. Buway Buay Tumi (keterangan pangeran Syafei Kenali, Buway yang terlibat dalam mendirikan Paksi Pak Skala Brak)
28. Buay Sandang (idem)
29. Buay Rawan (idem)
30. Buay Runjung (idem)
31. Buay Nerima (dari istilah Paksi Pak ke Lima, Buay Nerima = keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan Luas/nama wilayah/riwayat tersendiri)
32. Sai Batin Liwa, Kenali, Belalau dan Tiyuh sekitar
33. Sai Batin Paksi Keratuan Semaka:
a. Marga Benawang (terdiri dari 4 kebandaran):
1. Marga Limau
2. Marga Badak
3. Marga Putih
4. Marga Pertiwi
5. Marga Kelumbaiyan (Sutan Syah Marga)
- Pekon Unggak
- Pekon Susuk
- Pekon Negeri
- Pekon Sukarame
- Pekon Limbungan
- Pekon Tanjung Agung
- Pekon Sukabandung
b. Marga/Buway Belunguh (asal Blunguh)
c. Marga Ngarip (Ngakhip)
d. Marga Pematang Sawa
34. Sai Batin Tanjung Bintang, Merbau Mataram dan sekitar
35. Sai Batin Keratuan Melinting (Maringgai, Wana, Tebing) dan Marga Sai batin lain-lain…
Sedangkan kelompok masyarakat adat Pepadun juga terbagi dalam ragam marga atau kebuwaian adat budaya yang berbeda, yaitu diantaranya:
1. Pepadun Abung Siwo Mego (sembilan marga), yang terbagi dalam 9 (sembilan) marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Nuban
b. Nunyai
c. Unyi
d. Anak Toho
e. Nyerupo
f. Selagai
g. Beliyuk
h. Kunang
i. Subing
(ditambah Pepadun marga Manik yang berkedudukan di Negara ratu Suka dana)
2. Pepadun Mego Pak (empat marga), yang terdiri dari 4 (empat) marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Bolan (bulan)
b. Tegamo’an
c. Aji
d. Suwai Umpu
3. Pepadun Pubian Telu Suku (empat suku), yang terdiri dari 3 (tiga) suku yang setara dengan marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Manyarakat (banyarakat/manyakhakat)
1. Buay Kediangan
2. Buay Manik
3. Buay Nyurang
4. Buay Gunung
5. Buay Kapal
6. Buay Selagai Jurai Rawan
b. Tambapupus
1. Buay Nuwat
2. Buay Pemuka Pati Pak Lang
3. Buay Pemuka Menang
4. Buay Semima
5. Buay Pemuka Halom Bawak
6. Buay Kuning
c. Buku Jadi (bukuk jadi)
1. Buay Sejadi
2. Buay Sejaya
3. Buay Sebiyai
4. Buay Ranji
5. Buay Kaji
6. Buay Pukuk
4. Buway Gunung (Kampung Negerisipin, sekitar Way sekampung bagiajn hulu, keturunan dari Pubian Manyarakat)
5. Buway dari suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan:
1. Lebar Daun
2. Anak Dalam
3. Serang
4. Naga Barisang
5. Dayang
6. Rakihan (Ratu Di Belalaw/diperkirakan dari Pagaruyung)
6. Kebuwayan yang datang dari Pagaruyung Laras ada 2 (dua) empu, selain rakihan, yaitu:
1. Empu Cangih (bergelar RAtu Di Puncak)
2. empu Serunting (bergelar Ratu Di Pugung)
7. Buay Balam (Keturunan dari Poyang Sakti, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
8. Buay Nuwat ((Keturunan dari Poyang Serata Di Langik, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
9. Pepadun 5 (lima) marga Way Kanan dan Sungkai, secara garis besar terdiri dari beberapa marga dan kebuwaian, yaitu antara lain:
a. Marga Semenguk
b. Marga Pemuka (Pengiran Udik, Pengiran Ilir, Pengiran Tuha, Bangsa raja)
c. Barasatti (Barasakti)
d. Baradatu (Tiyuh Balak, Way kanan)
e. Bahuga.
Kecuali itu ada pula marga-marga lain yang telah hidup sejajar dengan jurai Pepadun lainnya yang tersebar di wilayah Tanah Abang, Negeri Ujungkarang, dan sekitarnya, yaitu antara lain:
a. Harayap (Sukadana Ilir, Udik, Sungkai Selatan)
b. Debintang (Bandar Agung, Sungkai Selatan)
c. Si Gajah (Negara Tulang bawang, Sungkai Selatan)
d. Si Lembasi (Tanah Abang)
e. Si Reja (Perja) Negeri Ujungkarang
f. Liwa (kuta napal, Sungkai Selatan)
10. Buway Silamayang (di sekitar daerah Way Besai)
11. Buway Menyata (keturunan dari perkawinan Minak Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
12. Marga/Negeri Balau (Dari Persekutuan Hukum Adat Lampung Abung Kota Tanjungkarang/Telukbetung dan Lampung Selatan):
a. Buway Turgak (Kampung Rajabasa, gedungmeneng, Labuhan ratu. Anak dari Minak
Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
b. Buway Manik (Kampung Rajabasa, Gedungmeneng, keturunan dari Pubian suku
Manyarakat)
c. Buway Selagai runjung (Gedungmeneng)
13. Marga-marga lain dan sub-sub Marga yang belum tersebutkan….
Provinsi Lampung yang oleh karena keragaman suku dan adat budayanya seringkali dijuluki “Indonesia Mini”. Hal ini karena di sini hidup beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama dan ras. Kabupaten Lampung Tengah merupakan contoh representatif memenuhi syarat ini karena dihuni oleh berbagai suku di Indonesia, seperti suku Bali eks transmigran, misalnya di Seputih Raman, Seputih Mataram, dan Seputih Surabaya. Sedangkan suku Lampung menetap antara lain di Terbanggi Besar, Gunung Sugih, dan Blambangan Pagar, dan uku Jawa menyebar merata di seluruh wilayah itu. Tiga suku itu (Bali, Jawa, Lampung) merupakan mayoritas di Lampung Tengah. Interaksi tiga suku melahirkan satu basis sosial baru, yakni kelas pedagang di Bandarjaya. Proses pembauran (inkulturasi) Jawa dan Lampung berlangsung cepat.
Sementara itu pada wilayah lain menyebar juga Suku Padang, Batak, Semendo (Sumsel), Bugis, Banten, Lombok, Madura hingga warga keturunan, juga eksis di provinsi Lampung. Berbagai kesenian, seperti Barong Sai, Reog Ponorogo atau kesenian Jawa, tari-tarian adat Lampung dan atraksi kesenian lainnya sering saling mengisi seremoni sosial, baik formal maupun informal.
Akan tetapi faktanya masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat. Adanya diversitas (keragaman) ini sangat mungkin menimbulkan ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang enggan untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis dan budaya.
Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat bertahan tanpa konflik, kebersamaan dalam konteks Sang Bumi Ruwa Jurai dapat goyah jika kepentingan sepihak diantara mereka makin ekstrim, nilai-nilai budaya asli dibangun dan ditonjolkan terhadap kelompok yang lain, terjadi persaingan di bidang usaha, atau salah satu kelompok mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu seringkali berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual maupun kolektif. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan.
Dalam kenyataannya Pluralitas budaya di Lampung tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak, kendati masih banyak kalangan yang masih bersikap anti pluralitas karena dianggap dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Sekalipun masing-masing pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua bisa mewujudkan secara bebas keberadaannya dengan hubungan sosial terbuka saling menghargai; masih ada saja pihak yang tidak rela atas keberadaan kelompok lain.
2. Konflik Budaya
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan membuatnya tidak berdaya atau melenyapkannya. Akan tetapi secara rinci, istilah konflik dapat diartikan sebagai berikut:
1. sebagai bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena adanya perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kepentingan;
2. merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang merasa memiliki harapan tertentu, akan tetapi masing-masing memiliki perbedaan yang tajam tentang pemikiran, perasaan, dan cara berbuat;
3. merupakan pertikaian karena ada perbedaan motifasi dalam kegiatan atau usaha tertentu;
4. merupakan proses mempengaruhi pihak lain dengan cara curang atau negatif, dengan cara kekerasan fisik yang membuat orang lain serta fisiknya merada tidak nyaman;
5. merupakan bentuk pertentangan yang bersifat fungsional, yaitu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada sebelumnya;
6. merupakan suatu proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
7. merupakan bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis; kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.
Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik antarbudaya yang sering muncul dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik.
Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kelompok yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan perklawanan di kalangan masyarakat. Konflik dalam kehidupan manusia hampir tidak mungkin dapat dihilangkan secara sempurna, karena setiap manusia atau kelompok selalu memiliki perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya. Jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi dengan baik dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya itu, maka besar kemungkinan akan terjadi benturan yang menimbulkan konflik.
Menurut Samuel P. Huntington (2003) yang meramalkan bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sayangnya belum ada pemetaan mengenai pola hubungan antar etnik didalam masyarakat di Indonesia. Jika saja pemetaan diadakan, hal itu akan sangat berguna dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik sehingga bisa diupayakan pencegahannya.
Dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keragaman etnis dan budaya, terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya konflik, yaitu:
1. Rasa kesukuan individu atau kelompok pendatang dan pribumi yang kuat melekat pada sifat dan perilaku dalam pergaulan sehari-hari. Jika rasa kesukuan ini masing-masing diacungkan tinggi-tinggi di hadapan yang lain, maka seringkali menimbulkan perilaku penolakan, sehingga dapat menimbulkan pertengkaran antarindividu, kemudian tumbuh menjadi pertengkaran antarkelompok, pertikaian antarkelompok yang akhirnya menjadi perang suku.
2. Kecenderungan terjadi pengelompokan suku dalam pola pemukiman, sehingga memperkuat paham etnosentris dan terhalangnya proses asimilasi dari pluralitas suku tersebut.
3. Krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan.
Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
4. Perbedaan latar belakang kebudayaan dapat membentuk perbedaan pola pemikiran, pendirian kelompok dan kepribadian, sehingga kemudian dapat memicu terjadinya konflik sosial.
5. Adanya perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi konflik antar kelompok atau antara kelompok dengan individu.
6. Posisi ekonomi dan tingkat pendidikan etnis pendatang relatif rendah, cenderung sulit mengolah informasi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya yang berbeda.
7. Perbedaan agama dan adat istiadat, juga merupakan bom budaya yang mempunyai daya ledak tinggi terjadinya konflik.
8. Tingginya frekuensi penggunaan bahasa daerah asal masing-masing suku juga menambah jauhnya harmonisasi hubungan kekeluargaan. Hal ini seringkali menimbulkan jarak sosial, kesalah-pahaman dan prasangka buruk diantara kelompok paham, sehingga rentan terjadinya konflik sosial.
9. Pandangan primodial, di mana konflik terjadi karena adanya pandangan masyarakat yang berbeda tentang faktor genetika seperti suku, ras juga agama.
10. Masyarakat memandang bahwa suku, agama dan identitas yang lain sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar keuntungan.
Pada prinsipnya konflik terjadi karena:
1. lemahnya ikatan emosional diantara kelompok masyarakat yang memiliki keragaman budaya.
2. tidak ada kesepahaman dan kesepakatan bersama antar etnis
3. budaya yang diyakini oleh tiap etnis seringkali dijadikan alat justifikasi masing-masing dalam bertindak, sehingga konflik sering terjadi.
4. Kekeliruan sepihak atau masing-masing etnis dalam memahami pengetahuan dan informasi yang diterima, sehingga menimbulkan prasangka buruk.
5. Rendahnya keinginan, kesadaran dan kerelaan masing-masing pihak untuk membuka diri dalam menyelesaikan konflik.
3. Solusi Penyelesaian Konflik
3.1 Syarat Utama Penyelesaian konflik
Penyelesaian konflik akibat dari pluralitas kultur dapat diwujudkan dengan cara: (1), menyebarluaskan pentingnya pemahaman konsep pluralisme terhadap kelompok etnis budaya lokal, sehingga dapat diadopsi sebagai pedoman hidup bersama. (2), Adanya kesungguhan dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut dengan menekankan bahwa pluralitas (keragaman) kebudayaan dalam kesederajatan. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuat pedoman etika sesuai nilai-nilai budaya dan moral yang terserap dalam hak dan kewajiban sekaligus dibakukan menjadi pedoman bertindak dalam berbagai interaksi sosial.
3.2 Sistem pendidikan nasional
juga mengadopsi pemahaman keragaman budaya untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Sebaiknya multikulturalisme atau pluralitas dimasukkan dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler yang menjadi bagian dari kurikulum sekolah, khususnya di daerah Lampung yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Dengan mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna keragaman budaya, sehingga dapat mendorong masing-masing etnis yan berbeda saling memerlukan, saling menghormati, dan saling bertoleransi dalam setiap interaksi sosial dan usaha bersama.
3.3 Menumbuhkan integrasi nasional
Upaya menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi nilai-nilai budaya lokal yang mencakup asas kebiasaan musyawarah, mufakat, dan sistem kesetaraan antar etnis dan budaya yang berbeda. Di samping memperkuat pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan pemeliharaan rasa kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan dalam ruang lingkup pergaulan sesama warga masyarakat.
3.4 Rekonsiliasi
Rekonsiliasi, yaitu melakukan pertemuan kembali antara penyimbang adat, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pejabat pemerintah untuk konsolidasi (melakukan penguatan) membahas berbagai masalah budaya (tradisi, adat-istiadat) Lampung. Rekonsiliasi diharapkan dapat memperoleh kesepakatan baru yqng berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam mengatur rumah tangga sendiri, dan selanjutnya dikukuhkan dengan peraturan daerah, sehingga mendapat pengakuan masyarakat adat secara luas.
3.5 Pendekatan budaya
Orang Lampung memiliki filsafat hidup berupa piil pesenggiri, nilai-nilai filosofis dalam budaya yang sangat luhur. Orang Jawa juga memiliki tradisi tata-krama yang halus dalam bergaul, di mana masing-masing mempunyai kesamaan makna dalam segi moral dan etika pergaulan, sehingga mereka menyadarai tidak boleh menganggap budaya satu pihak lebih tinggi dari pada yang lain. Mengenai upaya memelihara kehormatan nilai-nilai budaya satu suku bangsa dengan cara menghormati keberadaan budaya kelompok yang lain. Jika sikap perilaku ini dapat diaktualisasikan, maka akan meningkatkan kerukunan dan keutuhan dalam kehidupan bersama secara berdampingan. Tampaknya justru ketika membiarkan suatu kelompok dengan identitas budayanya, di ikuti dengan menumbuhkan toleransi antar kelompoklah yang akan mencipta persatuan yang hakiki. Dengan demikian, berarti etika pluralitas budaya atau multikulturalisme dapat dijadikan sumber daya yang handal dalam mengartikulasikan kebenaran budaya dengan tidak saling merugikan antara kelompok masyarakat.
Pendekatan yang paling ampuh dalam mengelola konflik adalah pendekatan budaya, di mana nilai budaya menjadi media, sesuai latar belakang budaya masing-masing. Pendekatan budaya ini dapat melalui kerjasama dengan tokoh-tokoh setempat, pemerhati budaya, dan lembaga-lembaga terkait. Ketika nampak gejala konflik yang berbau SARA (Suku, agama, ras dan antargolongan), maka langkah preventif yang dapat dilakukan adalah pedekatan sosial budaya, antara lain melalui dialog dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Langkah preventif ini pernah dilakukan yaitu dalam bentuk istigosah (doa bersama) umat semua agama dalam satu tanah lapang tanpa sekat, dengan ritus masing-masing dan dalam waktu yang sama. Istigosah lintas agama ini bertujuan untuk membangun toleransi atau saling menghargai dalam perbedaan.
Penyelesaian konflik akan lebih efektif dengan menggunakan model-model pendekatan terhadap budaya setempat. Penyelesaian konflik idealnya dilakukan atas sebesar-besarnya inisiatif masyarakat yang masih memegang teguh adat lokal. Biasanya mereka menyadari tentang pentingnya nilai-nilai budaya lokal dalam menjaga dan menjamin kerukunan masyarakat. Tradisi dan kearifan lokal yang masih berlaku dalam kehidupan masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai.
3.6 Pendekatan dialogis
Pendekatan dialogis atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi gejala-gejala konflik. Ada 3 (tiga) syarat dalam proses pendekatan hubungan timbal balik dalam masyarakat plural, yaitu:
(a) Pengetahuan budaya, yaitu memiliki cukup pengetahuan budaya lokal yang memungkinkan mereka dapat terlibat dalam hubungan komunikatif, sehingga dapat membuat interpretasi-interpretasi yang berguna untuk tercapainya konsesus dalam kehidupan masyarakat plural.
(b) Pengetahuan kemasyarakatan, yaitu bagi mereka yang memiliki pengetahuan kemasyarakatan memungkinkan dapat terlibat dalam hubungan komunikatif, sehingga dapat memperkuat solidaritas soaial dalam kehidupan masyarakat plural.
(c) Pengetahuan kepribadian, yaitu dengan pengetahuan kepribadian, seseorang mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik antar etnis budaya, dan dapat memelihara kerukunan tanpa harus kehilangan jati diri dalam ragam gelombang perubahan.
Dengan paradigma tersebut, intensitas proses interaksi sosial antarkomunitas perlu ditingkatkan agar upaya membangun kerukunan hidup bersama lebih mudah. Bentuk interaksi yang paling efektif adalah membuka seluas-luasnya komunikasi antarkomunitas sosial yang bersangkutan secara dialogis lintas etnis, budaya, agama dan golongan, terutama dalam pelaksanaan aktivitas bersama. Kecuali itu dapat pula dengan membentuk wadah musyawarah kerukunan masyarakat adat, yang dapat diprakarsai oleh siapa pun yang menghendaki terciptanya kerukunan hidup berdampingan dalam keragaman budaya.
Untuk merealisasikan semua harapan itu, maka harus ada jaminan dari segi fasilitas, dukungan dan perlindungan hukum dari pemerintah terhadap kedudukan dan peranan setiap kesatuan budaya yang ada. Tanpa adanya dukungan secara kelembagaan, baik informal maupun formal, maka akan sangat sulit untuk mewujudkan harapatn tersebut dalam aplikasinya yang nyata dalam kehidupan masyarakat.

Referensi
Abdul Syani, 2011. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
__________, 2009. MASYARAKAT, Dinamika kelompok dan Implikasi Kebudayaan dalam Pembangunan. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
__________, 1995. SOSIOLOGI dan PRUBAHAN MASYARAKAT. Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya (anggota IKAPI), Jakarta.
Samuel P. Huntington, 2003. Tertib Politik, di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Tim Peneliti Universitas Lampung, 2000. Konsep Pengelolaan dan Desain Museum Budaya Lampung. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lampung, Bandar Lampung.