Kamis, 21 November 2013

POLITIK SEKELIK EKAM (Sebuah asumsi Demokrasi dari Produk Politik Kekerabatan)

Oleh Abdul Syani Kld

Politik pada umumnya dipandang sebagai kegiatan yang berhubungan dg proses/upaya memperoleh, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan adalah kekuatan untuk mempengaruhi orang/kelompok lain agar berperilaku spt yg dikehendaki.

Sedangkan Kekerabatan secara sosiologis dapat diartikan sbg bentuk ikatan kelompok berdasarkan garis/hubungan keturunan keluarga dan budaya yang menyertainya.

Dengan demikian Politik kekerabatan dapat diartikan sebagai bentuk upaya bersama berdasarkan ikatan keluarga, kerabat dan kroninya utk memperoleh, melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan.

Upaya bersama itu merupakan strategi politik agar kekuasaan tidak berpindah pada orang/golongan lain sebagai rival politiknya, melainkan tetap berada pd gemgaman keluarga dan kerabatnya. Tegasnya setelah masa jabatan seseorang habis, segera akan digantikan oleh isteri, anak, adik, anggota keluarga atau kroninya yg telah teruji kesetiaannya.

Sebagaimana halnya sistem Dinasti kerajaan, jabatan akan diturunkan kepada anak2nya atau kerabatnya yang satu arah dalam garis keturunan keluarga.

Dengan demikian, kekuasaan yg telah habis masanya akan dg mudah di wariskan kepada keluarganya atau kerabat yang mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya.
Oleh krn itu Politik dengan pola strategi pewarisan ini kemudian disebut politik dinasti.

Kekuasaan yang secara politis diwariskan melalui satu garis keturunan atau dengan sistem kekeluargaan, cenderung mengarah pd adanya tujuan untuk berbagi kekuasaan atau jabatan dlm struktur pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini didasarkan pada anggapan bahwa kekuasaan milik bersama, milik keluarga, milik kerabat atau milik partai. Oleh karena politik jenis ini cenderung berurusan dengan kepentingan pembagian jabatan dan harta bersama, maka kemudian banyak orang menyebutnya sebagai politik gono gini.

Dalam perkembangan politik daerah, di mana untuk mencari pengganti Gubernur/Bupati/Walikota yang telah habis masa jabatannya, maka para suksesor bermunculan dengan segala upaya mencitrakan dirinya sebagai calon pemimpin yang terbaik tanpa cela dan dosa, baik di dunia maupun akhirat.

Baleho besar2 tersebar di mana2, dari sudut kota, pertokoan, disepanjang jalan protokol sampai dengan plosok desa, di pohon2, di tiang listrik dan di warung2. Di situ terpampang foto2 suksesor yg terbaik dengan tertulis slogan2 dan janji2 ideal seolah jiwa raganya akan dikorbankan untuk rakyat dengan gaya seperti khalifah yang diturunkan untuk menegakkan keadilan.

Strategi lain, para suksesor juga sibuk kontrak dengan media massa lokal sbg sarana utk memuat sebaik-baiknya kronologis profile/jati diri mulai dari hidup sederhana sampai dengan keberhasilannya dalam berbagai usaha, sederet gelar jenjang pendidikan, pengalaman memimpin dan segudang jasa, penghargaan, serta bintang kehormatan.

Tdk luput pulaa para suksesor blusu'an (seolah lebih hebat dari Jokowi) terjun ke publik konstituennya untuk memproklamirkan diri sbg ratu piningit yang akan menghapus segala kesulitan masyarakat.

Di tengah2 hiruk pikuknya persaingan meraih pemenangan pilkada, nampak diantara suksesor dan kelompok petarung tersebut adalah kerabat dekat dari penguasa sebelumnya. Mungkin orang ini anak, kemenakan, keluarga besan, bahkan semua jajaran kerabat ikutserta dengan segala cara, termasuk obral bingkisan tali kasih, bagi sembako, mengisi kotak amal, dan lain2, sampai pd strategi menutup akses dan menjungkir-balikkan rival politiknya.

Secara konstitusional, cara2 tersebut dianggap lumrah dalam strategi politik kekerabatan. Atas nama demokrasi, gerakan politik ini sah-sah saja, dibenarkan dan tidak melanggar hukum dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Namun demikian perlu disadari bahwa situasi demokrasi Indonesia belum berjalan sempurna. Fungsi demokrasi yang secara ideal memberi kebebasan publik utk memilih dan berpartisipasi dalam proses politik cenderung disimpangkan untuk meraih tampuk kekuasaan yang sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan.

Nafas demokrasi yang ditujukan untuk memperjuangkan dan membangun kehidupan masyarakat yang tertib dan aman, sehingga mereka dapat memperoleh pekerjaan yg layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.., ternyata amat sulit diwujudkan.

Harapan publik agar hasil pesta demokrasi dapat menebarkan kesejahteraan dan membuka peluang masyarakat untuk memperoleh akses pengembangan SDM juga belum tercapai.

Harapan publik agar pemimpin yang dipilih langsung secara demokratis dapat menciptakan kehidupan yang berkeadilan sosial, justeru makin menjauh bagai mimpi.., tatkala terbangun menjadi sesalan.

Dari fenomena terakhir, mungkin akan menjadi lebih berkepanjangan dan akan terjadi ketimpangan di segala segi kehidupan dikala demokrasi pemerintahan diperolah melalui produk politik kekerabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar