Selasa, 15 Agustus 2017

LATAR BELAKANG KONFLIK SOSIAL DI LAMPUNG



Konflik yang terjadi di Lampung disebabkan oleh beragam sebab. Seiring berkembangnya zaman, perubahan kini tidak terelakan. Perubahan yang terjadi telah menggerus kearifan lokal budaya yang ada. Generasi-generasi baru saat ini mulai meninggalkan budaya luhur yang sejak dahulu terpelihara sebagai modal menciptakan kerukunan hidup bersama. Sikap toleransi antar sesama memudar berganti dengan etnosentrisme sehingga memupuk kebencian antara etnis yang satu dengan yang lainya. Keadaan yang dulunya tentram, rukun serta damai antara etnis pribumi dengan etnis pendatang kini berubah menjadi konflik yang sering berlatar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Menurut Wijono (2012), konflik itu dapat dipahami dan dipelajari sebagai suatu proses yang dinamis. Sebaliknya, konflik tidak dapat dipahami, jika konflik tersebut dipandang sebagai suatu yang sifatnya statis dan kaku. Pada umumnya, konflik sering kali melibatkan intervensi di antara berbagai pihak yang saling betentangan, baik konflik dalam diri individu, konflik antar pribadi/kelompok, maupun konflik organisasi.

Adapun ciri-ciri konflik adalah sebagai berikut:

a)           Paling tidak ada dua pihak secara pribadi maupun kelompok terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan satu sama lain.
b)          Timbul ertentangan antara dua pihak secara pribadi maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memaikan peran, ambigus, dan adanya nilai-nilai atau norma-norma yang saling bertentangan satu sama lain.
c)           Munculnya interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling mengadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain. Tujuanya adalah untuk memperoleh keuntungan di antaranya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, seperti materi, tatus dan jabatan. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan sosial psikologis, seperti rasa aman, relasi, kepercayaan diri, kasih, penghargaan, dan alkulturasi diri.
d)          Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertentangan yang berlarut-larut.
e)           Adanya ketidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan misalnya kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan prestasi.

Menurut Franz Magnis-Suseno (2003) yang melatarbelakangi konflik itu timbul adalah:

a)         Modernisasi dan globalisasi
b)        Akumulasi kebencian dalam masyarakat
c)         Budaya kekerasan
d)        Sistem politik

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui  bahwa keempat faktor itulah yang kemudian menjadikan kesensitifan warga semakin tipis, modernisasi dan globalisasi, akumulasi kebencian dalam masyarakat, budaya kekerasan, dan sistem politik merupakan celah kecil yang bisa menyebabkan sebuah konflik sosial berupa kerusuhan itu terjadi. Bukan hanya faktor dari masyarakat saja yang bisa memicu konflik, namun  faktor dari aparatpun turut menyumbang betapa semakin sempitnya gesekan itu terjadi. Menurut penjelasan Robin (dalam Wijono 2012) bahwa suber konflik meliputi:

a)    Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources)
b)   Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)
c)    Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)
d)   Masalah status (status problem)
e)    Rintangan komunikasi (communication barriers)
f)    Sifat-sifat individu (individual traits)

Dalam penjelasan di atas diketahui adanya ketergantungan terhadap tugas, kekaburan deskripsi tugas, masalah status, rintangan komunikasi, sifat-sifat individu yang melekat pada aparat pemerintah maupun penegak hokum, juga menjadikan celah bagi masyarakat untuk berkonflik. Tindakan aparat yang hanya bertugas sesuai perintah, ataupun kekaburan deskripsi tugas yang diterimanya atau juga rintangan komunikasi yang menyebabkan salah dalam menerima informasi (miscomunication), bahkan sifat-sifat individu para aparat penegak hukum dan pemerintah yang terlalu mementingkan individunya, mengakibatkan tugas utama untuk mencitakan ketentaman, kesejahteraan dan keamanan menjadi terkesampingkan.

Konflik sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Konflik sangat erat kaitanya dengan kerusuhan. Dalam kerusuhan ini objek yang paling sering menjadi sasaran adalah benda-benda yang mudah dilihat dan ada di mana-mana, misalnya, fasilitas umum kota. Berikutnya, objek yang menjadi sasaran kerusuhan, adalah benda-benda yang mewakili atribut atau simbol kemapanan dan kemakmuran, seperti : kios, toko swalayan, bangunan megah, dan sebagainya. Benda lainnya adalah yang mewakili simbol kekuasaan dan otoritas, seperti : pos keamanan, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Objek kerusuhan tidak hanya berupa material tetapi juga objek fisik yang lebih sering memakan korban jiwa.

Namun demikian pada dasarnya tidak ada sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dan tidak akan ada sebuah pertikaian yang melibatkan masa apabila salah satu kelompok masa tersebut tidak merasakan sebuah tekanan yang begitu berat yang dimana mereka memandang kelompok lain sebagai kelompok beruntung yang kemudian menurut kelompok tersebut adalah sebagai musuh, akibatnya untuk meluapkan tekanan itu adalah pemberontakan berupa kekerasan yang dilakukan secara masa.
Konflik yang terjadi di Lampung pada umumnya merupakan konflik kesekian kalinya yang pernah terjadi. Persoalan yang sederhana kadang begitu mudah dijadikan alasan untuk berkonflik atau melakukan penyerangan antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya. Tercatat beberapa konflik antar etnis sering terjadi di Lampung.

ANGKON MUWAKHI SEBAGAI INSTRUMEN RESOLUSI KONFLIK SOSIAL



Dari realitas penanganan konflik di Lampung Selatan pada 2 tahun terakhir,  ternyata belum dapat menyelesaikan konflik secara tuntas. Hal ini disebabkan karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal, akar masalah, dan latar belakang konflik yang terjadi. Menurut penuturan informan, ada beberapa faktor penyebab sulitnya penanganan konflik di Lampung pada umumnya, krn telah terjadi timbunan konflik laten sebelumnya. Timbunan konflik laten ini diantaranya adalah sebagai berikut: 

  1. Resolusi konflik tdk tepat, lemah, tdk tuntas/formalitas (dilapangan) mediator/pihak ke-3 tdk dipercaya (fungsi independensi dan perilaku tdk memberi sumbangan nyata bagi masyarakat yg berkonflik), akar masalah tidak ditemukan, ibarat perlu kail diberi cangkul
  2. Proses resolusi konflik cenderung subyektif/memihak, shg keputusan tidak diakui dan tidak membawa kesadaran masyarakat
  3. Kemampuan pemerintah dlm mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal rendah (tdk memahami), kebiasaan/tradisi yg melekat dlm kehidupan masyarakat makin pudar, spt falsafah hidup dan sistem kemuakhian lemah.
  4. Adanya kepentingan thdp konflik, pengalihan masalah, dan pencitraan, shg sasaran resolusi konflik menjadi samar/semu atau penerapan adat kemuarian yg salah, krn kepentingan ttt, ini memudarkan/mebelokkan tujuan kemuarian (dijelaskan berikut).
  5. Resolusi konflik dg intimidasi dan kekerasan sekedar meredam sementara...
  6. Butir2 janji perdamaian topdown, tdk aspiratif, dipaksakan, campur tangan pemerintah menggilas kearifan lokal, tempat, lembaga adat danTokoh yg terlibat tdk mewakili lembaga dan tokoh lokal yg dipercaya
  7. Rendahnya kualitas keharmonisan sosial interaetnik dan interetnik (antar klpk satu kepenyimbangan marga, beberapa  kepenyimbangan marga dlm kesatuan kebandaran, beberapa klpk penyimbangan kebandaran wilayah, kelopok jurai budaya, dan antar klpk penyimbang adat Lampung (Sang Bumi Ruwa Jurai) dengan kelompok masyarakat adat pendatang, kesatuan etnis dan komunitas sosial lainnya.
Untuk menyelesaikan konflik dan memelihara kembali perdamaian pasca konflik, perlu melibatkan tokoh-tokoh adat setempat dengan memanfaatkan norma-norma hukum adat yang masih dijiwai oleh masyarakat adat setempat sebagai unsur kearifan lokal. Kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat.
Salah satu kearifan lokal Lampung yang biasa digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah “adat muwakhi” (mewarei=bersaudara=pepadun), yang berarti bersaudara atau adat persaudaraan dalam hubungan sosial. Muwakhi berasal dari kata puwakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Muwakhi merupakan nilai dasar etika sosial dilandasi falsafah hidup Piil Pesenggiri. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dipelihara, dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber M. Abas Syahputra gelar/Adok Pangeran Sasuhunan Sampurna Jaya Marga Katibung, dalam kutipan hasil wawancara sebagai berikut:

Angkon itu secara umum bisa kita bedakan menjadi dua macam, yang pertama ngangkon secara adat yang kedua ngangkon secara umum. Nah, ngangkon yang secara adat ini yang harus melalui prosesi adat ataupun tata cara adat, ada tahapan-tahapanya dan biasanya membutuhkan biaya besar jika melihat situasi zaman sekarang. Sedangkan yang kedua, untuk ngangkon secara umum itu lebih simpel dan tidak membutuhkan biaya besar karna hanya pertemuan antara kedua belah pihak yang mau ngangkon, kemudian musyawarah. Saat ini yang wajar dilakukan ngangkon yang umum yang tau-tau sudah ngangkon dan si A punya adok ini dan si B punya adok itu.( Hasil Wawancara tanggal 09 Mei 2017).

Sedangkan untuk tempat beguwai adat mewaghi/muwakhi bagi masyarakat adat Pepadun, menurut ketentuan adatnya adalah di Sessat Agung. Akan tetapi bisa juga dilaksanakan di Nuwo Balak atau Nuwo Ghatcak, tergantung besar kecilnya gawi (guwaian), mesak matahnya (matang mentahnya) pola begawi adat yang di sepakati dalam peppung/hippun perwatin.

Alasan angkon muwakhi bagi masyarakat adat Lampung pada umumnya adalah sebagai upaya mempererat tali persaudaraan bagi sesama kerabat dekat, kerabat jauh, warga sekitar di luar keluarga utama (saudara kandung atau kerabat dekat) dan warga luar adat/kampung/pekon, termasuk warga pendatang dari berbagai asal usul, agama, suku dan golongan. Di samping alasan lain yang sifat dan tujuannya untuk menghentikan dan menyelesaikan perselisihan/konflik antar warga, baik laten maupun terbuka dengan tujuan agar tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi sebagaimana hubungan saudara kandung. Hal ini senada dengan penjelasan dari kutipan hasil wawancara dengan Zainal Abidin gelar/Adok Pangeran Naga Beringsang Marga Dantaran sebagai berikut:

Menurut Zulkifli Tahir dengan gelar/Adok Temenggung Niti Zaman Bandar Kesugihan Marga Legun, bahwa pelaksanaan kegiatan mewarei (sebatin=muwakhi) tersebut biasanya melalui beberapa tahapan paska konflik. Pelaksanaan adat muwakhi ini didasarkan atas dukungan niat yang luhur dan kemampuan dari kedua belah pihak guna penyelesaian konflik yang terjadi. Dalam bagian penting dari prosesi adat muwakhi itu  adalah tahap penegasan status/posisi mereka yang angkon muwakhi (angkat saudara) dalam suatu tatanan masyarakat adat setempat.
Karena peristiwa mewakhi berpedoman pada status hirarki dan status dalam keluarga dan masyarakat, maka pedoman awal yang digunakan adalah status pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Status pihak yang dimaksud adalah kedudukan pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adatnya, yaitu secara tegas apakah yang bersangkutan berstatus sebagai punyimbang marga, penyimbang pekon/tiyuh, penyimbang suku, atau masyarakat adat biasa yang berada di bawah salah satu status kepemimpinan/penyimbang adat.
Dalam prinsip sosiokultural hubungan tali persaudaraan/kemuwakhian ini dikukuhkan secara formal adat, yaitu melalui perayaan/upacara pengukuhan atau beguwai adat angkon muwakhi. Beguwai adat muwakhi ini merupakan simbol pertalian saudara antar pihak, di mana masing-masing telah sepakat secara ikhlas menjadi saudara kandung dengan segala tanggungjawab, hak dan kewajibannya. Hubungan persaudaraan dalam adat angkon muwakhi ini dikuatkan oleh ikatan perjanjian dan sumpah setia yang disaksikan dan disahkan oleh segenap tuha khaja (para penyimbang adat) dan perangkat adat lainnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa tujuan angkon muwakhi itu adalah untuk mengikat dan mendekatkan hubungan persaudaraan/kekeluargaan secara mendalam, sehati se-iya sekata, senasib sepenanggungan, seiring sejalan dan musyawarah mufakat dalam segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping berfungsi sebagai strategi ampuh dalam penyelesaian masalah jika pada suatu ketika terjadi perselisihan diantara warga masyarakat adat setempat.
Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Lampung telah teruji keampuhannya, paling tidak ketika proses perubahan dan konflik berlangsung, dapat diredam dengan mengingatkan dan mendarakan kembali bahwa mereka memiliki nilai-nilai falsafah hidup luhur sebagai masyarakat yang mengutamakan kerukunan.
Dalam rangka penanganan konflik yang selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola yang tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakay adat setempat, pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru, yaitu diantaranya konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka susulan yang sulit diprediksi.
Ada beberapa alasan pentingnya merevitalisasi dan implementasi kearifan lokal angkon muwakhi tersebut, yaitu:

  1. Masyarakat adat Lampung nilai-nilai kearifan lokal  berupa tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
  2. Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
  3. Landasan adat kemuarian adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis  dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat. Masyarakat adat Lampung selalu terbuka, baik thdp sesama etnis Lampung maupun pendatang
  4. Maksud : tradisi penyelesaian konflik dg model angken muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yg terlibat konflik menjadi saudara angkat. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki ikatan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, tak ada dusta, dan hapus semua bentuk perselisihan.
  5. Dalam ikrar/sumpah/janji mewarei terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.
  6. adat mewarei ditetapkan melalui hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki DAYA IKAT yang relatif kuat dan sanksi yg cukup berat jika ingkar/dilanggar.
  7. Tujuan : Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Artinya, agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional.
  8. Bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yg sangat sakral dan agung itu
  9. Maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei sbg pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.
 Langkah-langkah untuk membangun kearifan lokal adat muwakhi itu, maka para pemuka adat, masyarakat, dan tokoh agama secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kelompok warga masyarakat adat untuk memberikan pencerahan akan arti pentingnya adat muwakhi untuk menciptakan kerukunan intern dan antar warga. Kecuali itu agar masyarakat tidak terseret pada pemikiran sempit yang memanfaatkan konflik demi kepentingan pribadi dak golongan. Hal ini diharapkan dapat mencerahkan semangat baru kearifan lokal angkon muwakhi yang dapat memelihara dan membangun kerukunan masyarakat meski dalam suasana multikultural dan multietnis.

ADAT ANGKON MUWAKHI SEBAGAI SUMBERDAYA STRATEGIS PENANGANAN KONFLIK



Dari realitas penanganan konflik di Lampung Selatan pada 2 tahun terakhir,  ternyata belum dapat menyelesaikan konflik secara tuntas. Hal ini disebabkan karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal, akar masalah, dan latar belakang konflik yang terjadi. Menurut penuturan informan, ada beberapa faktor penyebab sulitnya penanganan konflik di Lampung pada umumnya, krn telah terjadi timbunan konflik laten sebelumnya. Timbunan konflik laten ini diantaranya adalah sebagai berikut: 

  1. Resolusi konflik tdk tepat, lemah, tdk tuntas/formalitas (dilapangan) mediator/pihak ke-3 tdk dipercaya (fungsi independensi dan perilaku tdk memberi sumbangan nyata bagi masyarakat yg berkonflik), akar masalah tidak ditemukan, ibarat perlu kail diberi cangkul
  2. Proses resolusi konflik cenderung subyektif/memihak, shg keputusan tidak diakui dan tidak membawa kesadaran masyarakat
  3. Kemampuan pemerintah dlm mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal rendah (tdk memahami), kebiasaan/tradisi yg melekat dlm kehidupan masyarakat makin pudar, spt falsafah hidup dan sistem kemuakhian lemah.
  4. Adanya kepentingan thdp konflik, pengalihan masalah, dan pencitraan, shg sasaran resolusi konflik menjadi samar/semu atau penerapan adat kemuarian yg salah, krn kepentingan ttt, ini memudarkan/mebelokkan tujuan kemuarian (dijelaskan berikut).
  5. Resolusi konflik dg intimidasi dan kekerasan sekedar meredam sementara...
  6. Butir2 janji perdamaian topdown, tdk aspiratif, dipaksakan, campur tangan pemerintah menggilas kearifan lokal, tempat, lembaga adat danTokoh yg terlibat tdk mewakili lembaga dan tokoh lokal yg dipercaya
  7. Rendahnya kualitas keharmonisan sosial interaetnik dan interetnik (antar klpk satu kepenyimbangan marga, beberapa  kepenyimbangan marga dlm kesatuan kebandaran, beberapa klpk penyimbangan kebandaran wilayah, kelopok jurai budaya, dan antar klpk penyimbang adat Lampung (Sang Bumi Ruwa Jurai) dengan kelompok masyarakat adat pendatang, kesatuan etnis dan komunitas sosial lainnya.

Untuk menyelesaikan konflik dan memelihara kembali perdamaian pasca konflik, perlu melibatkan tokoh-tokoh adat setempat dengan memanfaatkan norma-norma hukum adat yang masih dijiwai oleh masyarakat adat setempat sebagai unsur kearifan lokal. Kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat.
Salah satu kearifan lokal Lampung yang biasa digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah “adat muwakhi” (mewarei=bersaudara=pepadun), yang berarti bersaudara atau adat persaudaraan dalam hubungan sosial. Muwakhi berasal dari kata puwakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Muwakhi merupakan nilai dasar etika sosial dilandasi falsafah hidup Piil Pesenggiri. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dipelihara, dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Menurut Zulkifli Tahir dengan gelar/Adok Temenggung Niti Zaman Bandar Kesugihan Marga Legun, bahwa pelaksanaan kegiatan mewarei (sebatin=muwakhi) tersebut biasanya melalui beberapa tahapan paska konflik. Pelaksanaan adat muwakhi ini didasarkan atas dukungan niat yang luhur dan kemampuan dari kedua belah pihak guna penyelesaian konflik yang terjadi. Dalam bagian penting dari prosesi adat muwakhi itu  adalah tahap penegasan status/posisi mereka yang angkon muwakhi (angkat saudara) dalam suatu tatanan masyarakat adat setempat.
Karena peristiwa mewakhi berpedoman pada status hirarki dan status dalam keluarga dan masyarakat, maka pedoman awal yang digunakan adalah status pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Status pihak yang dimaksud adalah kedudukan pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adatnya, yaitu secara tegas apakah yang bersangkutan berstatus sebagai punyimbang marga, penyimbang pekon/tiyuh, penyimbang suku, atau masyarakat adat biasa yang berada di bawah salah satu status kepemimpinan/penyimbang adat.
Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Lampung telah teruji keampuhannya, paling tidak ketika proses perubahan dan konflik berlangsung, dapat diredam dengan mengingatkan dan mendarakan kembali bahwa mereka memiliki nilai-nilai falsafah hidup luhur sebagai masyarakat yang mengutamakan kerukunan.
Dalam rangka penanganan konflik yang selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola yang tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakay adat setempat, pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru, yaitu diantaranya konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka susulan yang sulit diprediksi. Ada beberapa alasan pentingnya merevitalisasi dan implementasi kearifan lokal angkon muwakhi tersebut, yaitu:

  1. Masyarakat adat Lampung nilai-nilai kearifan lokal  berupa tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
  2. Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
  3. Landasan adat kemuarian adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis  dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat. Masyarakat adat Lampung selalu terbuka, baik thdp sesama etnis Lampung maupun pendatang
  4. Maksud : tradisi penyelesaian konflik dg model angken muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yg terlibat konflik menjadi saudara angkat. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki ikatan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, tak ada dusta, dan hapus semua bentuk perselisihan.
  5. Dalam ikrar/sumpah/janji mewarei terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.
  6. adat mewarei ditetapkan melalui hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki DAYA IKAT yang relatif kuat dan sanksi yg cukup berat jika ingkar/dilanggar.
  7. Tujuan : Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Artinya, agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional.
  8. Bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yg sangat sakral dan agung itu
  9. Maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei sbg pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.

Langkah-langkah untuk membangun kearifan lokal adat muwakhi itu, maka para pemuka adat, masyarakat, dan tokoh agama secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kelompok warga masyarakat adat untuk memberikan pencerahan akan arti pentingnya adat muwakhi untuk menciptakan kerukunan intern dan antar warga. Kecuali itu agar masyarakat tidak terseret pada pemikiran sempit yang memanfaatkan konflik demi kepentingan pribadi dak golongan. Hal ini diharapkan dapat mencerahkan semangat baru kearifan lokal angkon muwakhi yang dapat memelihara dan membangun kerukunan masyarakat meski dalam suasana multikultural dan multietnis.