Selasa, 15 Agustus 2017

SOSIOLOGI: STRUKTUR DAN PELAPISAN MASYARAKAT



1.        Struktur Masyarakat
Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Secara sosiologi, struktur sosial dapat diartikan sebagai tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok kelompok sosial dalam masyarakat.

Istilah struktur dapat diterjemahkan sebagai susunan, bagan, bangunan, skema, gambar konkret tentang sesuatu.  Struktur masyarakat atau disebut juga sebagai struktur sosial adalah susunan atau bangunan masyarakat yang penggambaran tentang sesuatu lembaga kemasyarakatan atau pranta sosial yang berlapis-lapis.  Dalam struktur masyarakat terdapat hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris.

Struktur masyarakat mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial.  Perangkat struktur masyarakat yang paling utama adalah status dan peranan yang keduanya tersusun atas tinggi rendahnya dan besar kecil secara teratur.  Dalam sosiologi, struktur masyarakat sering digunakan untuk menjelaskan tentang keteraturan sosial yang menunjuk pada prinsip perilaku yang berulang-ulang dengan bentuk dan cara yang sama.

Dengan menggunakan istilah struktur sosial Soerjono Soekanto (1983) memberikan pengertian sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan.  Interaksi dalam sistem sosial dikonsepkan secara lebih terperinci dengan menjabarkan tentang manisia yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya (dalam sosiologi disebut pendekatan struktural fungsional). Sedangkan Talcott Parsons memandang struktur sosial  sebagai aspek yang  relatif statis dari pada aspek fungsional dalam usaha sistem sosial.

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton (1967) dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.

Sedangkan Merton (1964) mempunyai pandangan yang berbeda dengan Linton. Menurut Merton ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang tidak hanya melibatkan satu peran, melainkan sejumlah peran yang saling terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set).

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur masyarakat adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Sedangkan kelas merupakan pembagian dari status yang bertanggungjawab terhadap peran-peran yang terkandung di dalamnya.

2.    Fungsi Struktur Masyarakat

Dengan adanya struktur, maka secara psikologis  anggota masyarakat merasa berada pada batas-batas kewenangan tertentu dalam setiap melakukan aktivitasnya; individu senantiasa menyesuaikan diri dengan ketertiban dan keteraturan masyarakat yang ada.  Jadi, nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan diharapkan dapat berfungsi sebagai pembatas pereilaku individu agar tidak melanggar batas-batas hak dan kepentingan anggota masyarakat yang lain.  Menrut Mayor Polak (1979), struktur berfungsi sebagai pengawasan sosial, yaitu sebagai penekan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma, nilai-nilai dan peraturan-peraturan tadi, sehingga disiplin dalam kelompok  cenderung dapat dipertahankan.  Pengawasan dimaksudkan sebagai tujuan untuk mendisiplinkan para anggota kelompok dan menghindarkan atau membatasi adanya penyelewengan-penyelewengan dari norma-norma kelompok.

Tujuan untuk mendisiplinkan kelompok pada dasarnya didorong oleh suatu keinginan dan semangat persatuan diantara anggota kelompok, kesadaran menerima hukum dan norma-norma yang berlaku, dan tunduk kepada  kepentingan dan kesejahteraan kelompok secara keseluruhan.   Untuk itu diharapkan individu senantiasa dapat melaksanakan pengawasan terhadap diri sendiri dan terhadap anggota-anggota masyarakat yang lain.  Dengan keadaan masyarakat yang relatif terikat terhadap struktur sosialnya, maka kelangsungan hidup sebagaimana tercermin dalam ikatan moral dapat dipertahankan.  Ada kecenderungan sikap masyarakat lebih tenteram dalams keadaan bersahaja daripada melakukan perubahan dengan perjuangan melawan variasi gejolak sosial, perselisihan dan berbagai penyimpangan yang tidak kunjung rampung.  Anggota masyarakat pada umumnya lebih condong untuk mengidentifikasi dirinya dengan kebiasaan dan perilaku yang berbuah nyata dan langsung sifatnya.  Mereka beranganggapan bahwa ketertiban dan kestabilan masyarakat sangat tergantung pada norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada saat tertentu.

Menurut Emile Durkheim (Abdul Syani: 1987), bahwa keteraturan ini disebabkan adanya faktor pengikatnya yang ditingkatkan menjadi moralitas masyarakat.  Fakta itu adalah antara lain:  

1.       Kontrol sosal
2.      Stabilitas keluarga yang besar
3.      Sifat heterogenitas lebih kecil daripada sifat kolektivitas.

Dalam teori sibenertik tentang General system of action (Ankie M.M. Hoogvelt: 1985), dijelaskan bahwa suatu masyarakat akam dapat dianalisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya yaitu:

1.     Fungsi mempertahankan pola (pattern maintenance).
Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kebudayaan.  Hal itu berarti mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat, oleh karena diorientasikan realitas yang terakhir.
2.    Funsi integrasi.  Hal ini mencakup jaminan terhadap koordinasi yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial, khususnya yang berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan peranannya dalam keseluruhan sistem.
3.    Fungsi pencapaian tujuan (goal attainment).  Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem aksi kepribadian.  Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi warga masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
4.    Fungsi adaptasi yang menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem organisme perilaku dan dengan dunia fisika organik, Hal ini secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari lingkungan hidupnya.

Struktur dalam kehidupan masyarakat dapat juga berfungsi sebagai dasar untuk menanaman suatu disiplin sosial; karena aturan disiplinnya berasl dari dalam kelompok sendiri, maka perlakuan pengawasan dalam kelompoknya cenderung lebih mudah untuk dapat diterima sebagai kepentingan sendiri.  Setiap anggota masyarakat akan mendapat pengetahuan dan kesadaran, terutama perihal sikap, adat kebiasaan dan kepercayaan group.  Dengan demikian, anggota kelompok dapat mengetahui cara-cara bersikap dan berprilaku yang sesuai dengan ketentuan dan harapan-harapan umum, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan paham sedikit dapat dikurangi.

3.    Pelapisan dan Sistem Pelapisan dalam Masyarakat

Menurut Petirin A. Sorokin (Abdul Syani: 1994), bahwa stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarkhis).  Pelapisan masyarakat merupakan pembedaan (diferensiasi) yang berhubungan dengan perngertian perbedaan tingkat, dimana anggota-aggota masyarakat berada di dalamnya.  Pelapisan dalam masyarakat dapat pula didasarkan atas perbedaan jenis kelamin, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, pembagian kerja dan sebagainya.

Dengan istilah sebagaimana digunakan Sorokin,  Abdul Syani (1994) memperinci ciri umum adanya pelapisan dalam masyarakat ke dalam beberapa bagian yaitu:

1.     Pemilikan atas kekayaan yang bernilai ekonomis dalam berbagai bentuk dan ukuran; artinya strata dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dari nilai kekayaan seseorang dalam masyarakat.
2.    Status atas dasar fungsi dalam pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh atau pekerja teknis dan sebagainya semua ini sangat menentukan status seseorang dalam masyarakat.
3.    Kesolehan seseorang dalam beragama; jika seseorang sungguh-sungguh penuh dengan ketulusan dalam menjalankan agamanya, maka status seseorang tadi akan dipandang lebih tinggi oleh masyarakat.
4.    Status atas dasar keturunan, artinya keturunan dari orang yang dianggap terhormat (ningrat) merupakan ciri seseorang yang memiliki status tinggi dalam masyarakat.
5.    Latar belakang rasial dan lamanya seseorang atau sekelompok orang tinggal pada suatu tempat.  Pada umumnya seseorang sebagai pendiri suatu kampung atau perguruan tertentu, biasanya dianggap masyarakat sebagai orang yang berstatus tinggi, terhormat dan disegani.
6.    Status atas dasar jenis kelamin dan umur seseorang.  Pada umumnya seseorang yang lebih tua umurnya lebih dihormati, dan  dipandang tinggi statusnya dalam masyarakat.  Begitu juga jenis kelamin; laki-laki pada umumnya dianggap lebih tinggi statusnya dalam keluarga dan dalam masyarakat.

Dari beberapa ciri tersebut kemudian berproses ke dalam berbagi kondisi sosial masyarakat, misalnya perbedaan ciri biologis, etnis, ataupun ras. Jika diantaranya terdapat kelompok yang mampu menguasai yang lainnya, maka terjadilah pembedaan status yang menunjuk pada eksistensi pelapisan masyarakat.

Sementara itu Robin Williams J.R. (1967) menyebutkan pokok-pokok pedoman tentang proses terjadinya stratifikasi dalam masyarakat, yaitu sebagai berikut:

1.    Sistem stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat.  Sistem demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat tertentu yang menjadi objek penyelidikan.
2.    Sistem stratifikasi sosial dapat dianalisism dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai berikut:
a.    distribusi hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan, keselamatan (kesehatan, laju angka kejahatan), wewenang dan sebagainya;
b.    sistem pertentangan yang diciptakan warga-warga masyarakat (prestige dan penghargaan);
c.    kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang aau kekuasaan;
d.   lambang-lambang status, seperti misalnya tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi dan sebagainya;
e.    mudah atau sukarnya bertukar status;
f.     solidaritas diantara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki status yang sama dalam sistem sosial masyarakat:
i.      pola-pola interaksi (struktur cliqe, keanggotaan organsiasi perkawinan dan sebagainya);
ii.    kesamaan atau perbedaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai-nilai;
iii.  kesadaran akan status masing-masing;
iv.  aktivitas sebagai organ kolektif.

Semakin kompleks dan majunya pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat, maka sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat akan semakin kompleks pula.  Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah.  Istilah kelas merupakan pengertian paralel dengan lapisan, tanpa harus terikat dengan perbedaan faktor dasar lapisan.  Kelas sosial sebagaimana dinyatakan oleh Hassan Shadiliy (1983), adalah sebagai golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan kedudukan yang tinggi dan yang rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam  kelas itu masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang  lain.

Unsur-unsur yang ada dalam kelas-kelas itu adalah status dan peranan; keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang berfungsi menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Soerjono Soekanto membedakan status dengan status sosial; status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang  lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok berhubungan dengan kelompok-kelompok lainnya didalam kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan status sosial diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestigenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannuya.  Dalam kehidupan kelompok masyarakat, seseorang senantiasa memiliki suatu status sosial, yaitu merupakan kedudukan individu dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.

Sementara itu yang dimaksud dengan peranan adalah aspek dinamis dari status.  Peranan merupakan wqujud perbuatan tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya.  Peranan lebih banyak menunjukkan proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya.  Seseorang dapat dikatakan berperanan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya di dalam masyarakat.  Jika seseorang memiliki status tertentu dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya ada  kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru.  Dari harapan-harapan ini seseorang kemudian akan bersikap dan bertindak atau berusaha untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimilikinya.  Oleh karena itu, peranan dapat juga didefinisikan sebagai kumpulan harapan yang terencana seseorang yang mempunyai status tertentu dalam masyarakat.  Dengan singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan seseorang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat.  Dengan singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan seseorang sesuai dengn statusnya dalam masyarakat.  Jadi, status dapat memberikan pengaruh, kehormatan kewibawaan pada seseorang; sedangkan peranan merupakan sikap tindak seseorang yang mengundang status dalam kehidupan masyarakat.  

Dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan status antara orang satu dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan yang lainnya.  Ada yang mempunyai status sosial yang tinggi dan ada pula yang mempunyai status yang paling rendah dalam kehidupan masyarakat.  Jika dilihat dari bentuknya seakan-akan status manusia dalam masyarakat itu berlapis-lapis dari atas ke bawah. Menurut konsep status sosial, bahwa di dalam sekelompok masyarakat pasti di dalamnya terdapat beberapa orang yang lebih dihormati dari pada orang lainnya.

Sistem pelapisan sosial dalam masyarakat ada yang bersifat terbuka dan ada pula yang besifat tertutup.  Pelapisan sosial yang terbuka ada kemungkinan anggota masyarakat dapat untuk berpindah dari status satu ke status yang lainnya berdasarkan usaha-usaha tertentu.  Sistem pelapisan terbuka lebih dinamis, dan anggota-anggotanya selalu mengalami kehidupan yang tegang dan was-was, lantaran di dalam memperjuangkan cita-cita itu selalu bersaing dan berebut kesempatan untuk naik status yang jumlahnya relatif terbatas; sebgai akibatnya banyak anggota masyarakat yang mengalami goncangan dan konflik antar sesamanya.

Pada sistem pelapisan sosial yang tertutup terdapat pembatasan kemungkinan untuk pindah dari status satu ke status yang lainnya  dalam masyarakat.  Dalam sistem ini, satu-satunya kemungkinan untuk dapat masuk pada status tinggi dan terhormat dalam masyarakat adalah karena kelahiran atau keturunan.  lHal ini jelas dapat diketahui dari kehidupan masyarakat yang mengagungkan kasta seperti di India misalnya; atau dalam kehidupan masyarakat yang masih menganut paham feodalisme, atau dapat pula terjadi pada suatu masyarakat dimana statusnya ditentukan  atas dasa ukuran perbedaan ras dan suku bangsa.

Pelapisan tertutup lebih bersifat statis, lebih-lebih bagi mereka yang termasuk dalam golongan bawah, jarang ada yang memiliki cita-cita yang tinggi. Sistem pelapisan tertutup ini sering disebut sebagai sistem yang kaku dan ekstrem, oleh karena seseorang yang dilahirkan sebagai penyimbang adat, ia tidak dapat ingkar atau meninggalkannya; kemampuan pribadi tidak diperhitungkan dalam menentukan tinggi rendahnya status.

Pelapisan masyarakat dapat terjadi secara tidak disengaja (terjadi dengan sendirinya) dalam kehidupan masyarakat, dapat pula dibentuk dengan sengaja dalam rangka usaha manusia untuk mengejar cita-cita bersama.  Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya, seperti pembedaan umur, sifat keaslian adat istiadat, atau mungkin harta benda karena warisan.  Sedangkan pelapisan yang dibentuk dengan sengaja, biasanya berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai politik, angkatan bersenjata dan lain-lain bentuk perkumpulan.  Pembagian kekuasaan dan sebagainya itu sama halnya dengan sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang menyangkut pembagian uang, tanah, kehormatan dan benda-benda ekonomi lainnya.  Uang dapat dibagi secara bebas    diantara anggota suatu organisasi berdasarkan kepangkatan atau ukuran senioritas tanpa merusak keutuhan organisasi yang bersangkutan.

Abdul Syani (1994) menyatakan bahwa sumber dasar dari terbentuknya stratifikasi (pelapisan) dalam masyarakat adalah suku bangsa (etnis) dan unsur sosial.  Stratifikasi yang terbentuk bersumber dari etnis apabila ada atau lebih grup etnis, dimana grup etinis yang satu menguasai grup etnis yang lainnya dalam waktu yang relatif lama.

Sedangkan stratifikasi yang terbentuk dari sumber sosial, karena adanya tuntutan masyarakat terhadap faktor-faktor sosial tertentu.  Faktor-faktor sosial itu merupakan ukuran yang bisanya ditetapkan masyarakat berdasarkan sistem nilai itu kemudian dimasukkan pada level tertentu sesuai dengan tinggi rendahnya daya guna yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya.

Hassan Shadily (1983) mengatakan bahwa pada umumnya lapisan dalam masyarakat menunjukkan:

1.     Keadaan senasib.  Dengan paham ini kita mengenal lapisan yang terendah, yaitu lapisan pengemis, lapisan rakyat dan sebagainya.
2.    Persamaan batin ataupun kepandaian: lapisan terpelajar dan sebagainya.

Faktor utama yang mendorong terjadinya pelapisan dalam masyarakat adalah karena tidak ada keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat. Bisa juga karena kondisi kelangkaan alokasi hak dan kesempatan, atau perbedaan posisi, kekuasaan dalam bentuk waktu yang sama; kesemuanya itu dapat mendorong terbentuknya pelapisan masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto (1982), selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat itu.  Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesholehan dalam beragama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.

Bagi siapa saja yang memiliki sesuatu yang dihargai atau dibanggakan dalam jumlah yang lebih dari pada yang lainnya, maka ia akan dianggap mempunyai status yang lebih tinggi pula dalam masyarakat.  Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai kuantitas sesuatu yang dibanggakan lebih sedikit, maka akan dianggap mempunyai status dalam masyarakat yang lebih rendah.  Bagi seseorang yang memiliki status, baik yang rendah maupun yang tinggi, sama-sama mempunyai sifat yang kumulatif; artinya bagi mereka yang mempunyai status ekonomi yang tinggi biasanya relatif mudah ia akan dapat menduduki status-status yang lain,seperti status sosial, politik, ataupun kehormatan tertentu dalam masyarakat.  Begitu juga bagi mereka yang sedikit mempunyai status atau mereka yang tidak mempnyai sama sekali sesuatu yang dibanggakan, biasanya merka cenderung akan semakin sulit untuk dapat naik status, atau bahkan dapat dikatakan seorang yang miskin cenderung semakin menjadi-jadi kemiskinannya.

Orang yang mempumyai kebanggaan tertentu di bidang politik (kekuasaan), biasanya cenderung akan menduduki juga lapisan tertentu atas dasar nilai ekonomis.  Mereka yang kaya biasanya mempunyai kecenderungan dapat menempati kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan, sepanjang didukung oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.  Orang yang kaya dan mempunyai kekuasaan tinggi cenderung mempunyai keluarga dan anak-anak yang cantik-cantik, lantaran orang-orang miskin yang tidak mempunyai pemilikan yang pantas untuk dibanggakan senantiasa tahu diri, tidak berani mendekatkan diri dan memang tidak boleh mendekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar