Selasa, 15 Agustus 2017

LATAR BELAKANG KONFLIK SOSIAL DI LAMPUNG



Konflik yang terjadi di Lampung disebabkan oleh beragam sebab. Seiring berkembangnya zaman, perubahan kini tidak terelakan. Perubahan yang terjadi telah menggerus kearifan lokal budaya yang ada. Generasi-generasi baru saat ini mulai meninggalkan budaya luhur yang sejak dahulu terpelihara sebagai modal menciptakan kerukunan hidup bersama. Sikap toleransi antar sesama memudar berganti dengan etnosentrisme sehingga memupuk kebencian antara etnis yang satu dengan yang lainya. Keadaan yang dulunya tentram, rukun serta damai antara etnis pribumi dengan etnis pendatang kini berubah menjadi konflik yang sering berlatar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Menurut Wijono (2012), konflik itu dapat dipahami dan dipelajari sebagai suatu proses yang dinamis. Sebaliknya, konflik tidak dapat dipahami, jika konflik tersebut dipandang sebagai suatu yang sifatnya statis dan kaku. Pada umumnya, konflik sering kali melibatkan intervensi di antara berbagai pihak yang saling betentangan, baik konflik dalam diri individu, konflik antar pribadi/kelompok, maupun konflik organisasi.

Adapun ciri-ciri konflik adalah sebagai berikut:

a)           Paling tidak ada dua pihak secara pribadi maupun kelompok terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan satu sama lain.
b)          Timbul ertentangan antara dua pihak secara pribadi maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memaikan peran, ambigus, dan adanya nilai-nilai atau norma-norma yang saling bertentangan satu sama lain.
c)           Munculnya interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling mengadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain. Tujuanya adalah untuk memperoleh keuntungan di antaranya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, seperti materi, tatus dan jabatan. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan sosial psikologis, seperti rasa aman, relasi, kepercayaan diri, kasih, penghargaan, dan alkulturasi diri.
d)          Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertentangan yang berlarut-larut.
e)           Adanya ketidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan misalnya kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan prestasi.

Menurut Franz Magnis-Suseno (2003) yang melatarbelakangi konflik itu timbul adalah:

a)         Modernisasi dan globalisasi
b)        Akumulasi kebencian dalam masyarakat
c)         Budaya kekerasan
d)        Sistem politik

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui  bahwa keempat faktor itulah yang kemudian menjadikan kesensitifan warga semakin tipis, modernisasi dan globalisasi, akumulasi kebencian dalam masyarakat, budaya kekerasan, dan sistem politik merupakan celah kecil yang bisa menyebabkan sebuah konflik sosial berupa kerusuhan itu terjadi. Bukan hanya faktor dari masyarakat saja yang bisa memicu konflik, namun  faktor dari aparatpun turut menyumbang betapa semakin sempitnya gesekan itu terjadi. Menurut penjelasan Robin (dalam Wijono 2012) bahwa suber konflik meliputi:

a)    Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources)
b)   Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)
c)    Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)
d)   Masalah status (status problem)
e)    Rintangan komunikasi (communication barriers)
f)    Sifat-sifat individu (individual traits)

Dalam penjelasan di atas diketahui adanya ketergantungan terhadap tugas, kekaburan deskripsi tugas, masalah status, rintangan komunikasi, sifat-sifat individu yang melekat pada aparat pemerintah maupun penegak hokum, juga menjadikan celah bagi masyarakat untuk berkonflik. Tindakan aparat yang hanya bertugas sesuai perintah, ataupun kekaburan deskripsi tugas yang diterimanya atau juga rintangan komunikasi yang menyebabkan salah dalam menerima informasi (miscomunication), bahkan sifat-sifat individu para aparat penegak hukum dan pemerintah yang terlalu mementingkan individunya, mengakibatkan tugas utama untuk mencitakan ketentaman, kesejahteraan dan keamanan menjadi terkesampingkan.

Konflik sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Konflik sangat erat kaitanya dengan kerusuhan. Dalam kerusuhan ini objek yang paling sering menjadi sasaran adalah benda-benda yang mudah dilihat dan ada di mana-mana, misalnya, fasilitas umum kota. Berikutnya, objek yang menjadi sasaran kerusuhan, adalah benda-benda yang mewakili atribut atau simbol kemapanan dan kemakmuran, seperti : kios, toko swalayan, bangunan megah, dan sebagainya. Benda lainnya adalah yang mewakili simbol kekuasaan dan otoritas, seperti : pos keamanan, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Objek kerusuhan tidak hanya berupa material tetapi juga objek fisik yang lebih sering memakan korban jiwa.

Namun demikian pada dasarnya tidak ada sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dan tidak akan ada sebuah pertikaian yang melibatkan masa apabila salah satu kelompok masa tersebut tidak merasakan sebuah tekanan yang begitu berat yang dimana mereka memandang kelompok lain sebagai kelompok beruntung yang kemudian menurut kelompok tersebut adalah sebagai musuh, akibatnya untuk meluapkan tekanan itu adalah pemberontakan berupa kekerasan yang dilakukan secara masa.
Konflik yang terjadi di Lampung pada umumnya merupakan konflik kesekian kalinya yang pernah terjadi. Persoalan yang sederhana kadang begitu mudah dijadikan alasan untuk berkonflik atau melakukan penyerangan antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya. Tercatat beberapa konflik antar etnis sering terjadi di Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar