Selasa, 08 Mei 2018

IMPLEMENTASI ADAT BUDAYA LAMPUNG SAIBATIN DALAM PEMBANGUNAN LAMPUNG NOW*


IMPLEMENTASI ADAT BUDAYA LAMPUNG SAIBATIN
DALAM PEMBANGUNAN LAMPUNG NOW*
Oleh: Abdul Syani**


I.     PENDAHULUAN
Masyarakat Multikultural (multicultural society) adalah masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Dapat pula diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Masyarakat multikultural terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, golongan, dll yang hidup dalam suatu kelompok dan menetap di wilayah tertentu. Setiap masyarakat menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang paham bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.
Bagi Masyarakat adat Lampung yang multi-kultur-etnis terhimpun dalam motto/semboyan “Sang Bumi Ruwa Jurai”. Semboyan ini diartikan sebagai keragaman (plural) kebudayaan, yang terdiri dari 2 (dua)  kelompok adat budaya besar yang berbeda, yaitu adat saibatin dan pepadun. Akan tetapi tidak sedikit pihak yang kurang memahami makna simbol Sang Bumi Ruwa Jurai tersebut. Demikian juga dengan hadirnya etnis pendatang, ternyata sebagian mereka belum dapat (bahkan tidak) beralkurturasi (berdampingan) atau bergabung dengan kedua jurai budaya Lampung yang telah ada, sehingga seringkali menimbulkan perselisihan/konflik.
Semboyan Pemerintah Provinsi Lampung adalah Sang Bumi Ruwa Jurai, artinya “satu bumi dua adat budaya”; kata sang bumi berasal dari sanga bumi (sango bumei=pepadun), artinya se-bumi. Sedangkan ruwa jurai, artinya dua kelompok budaya yang berbeda, yaitu kelompok masyarakat adat pepadun dan sebatin. Sang bumi ruwa jurai ini merupakan simbol keragaman etnis dan budaya Lampung: sedangkan etnis pendatang tidak digolongkan sebagai jurai ke-3 dalam konsep ini. Dalam simbol budaya Sang Bumi Ruwa Jurai tidak ada kategori ulun Lampung dan pendatang; ini tidak sesuai dengan pemahaman unsur-unsur piil pesenggiri, terutama unsur nemui-nyiman. Justeru kelompok pendatang diposisikan sebagai ulun Lampung pada kedua kelompok budaya itu, yaitu pepadun dan sebatin secara bebas dan terbuka, sesuai pilihan, teritorial pemukinan dan penetapan golongan ke dalam warga adat di mana mereka bermukim tetap.
___________________
*     Focus Group Discussion (FGD) dalam Rangka Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat, diselenggarakan Oleh Dinas PMD Provinsi Lampung di Arnes Hotel Jl.Cut Nyak Din No.20 Bandar Lampung, Rabu-Kamis tgl.29-30 November 2017
**   Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Namun demikian dalam kenyataannya masih ada pandangan bahwa etnik tertentu dianggap lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari etnosentrisme masing-masing kelompok masyarakat. Adanya diversitas (keragaman) masyarakat adat ini membuka peluang timbulnya  ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang enggan untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis dan budaya.

Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat bertahan tanpa konflik. Kebersamaan dalam semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai dapat terancam, jika kepentingan sepihak makin ekstrim, nilai-nilai budaya dibangun untuk kepentingan kelompok, terjadi persaingan dan ketimpangan penguasaan di bidang usaha, serta terjadinya perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu dapat berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual dan kolektifitas. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan.

Dalam kenyataannya pluralitas budaya di Lampung tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak, karena pluralitas adat budaya dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Meskipin pihak-pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua dapat mewujudkan hubungan sosial yang terbuka saling menghargai; masih ada pihak yang  sulit menerima keberadaan kelompok lain.

Berhadapan dengan kenyataan itu, masyarakat adat Lampung memiliki piranti wawasan nusantara dan perangkat filosofi Sang Bumi Ruwa Jurai dan prinsip hidup Piil Pesenggiri. Pluralisme adat budaya Lampung justeru mendorong semangat untuk berusaha beradaptasi agar tercipta saling memahami, saling berdampingan dan saling menghormati. Dalam perkembangannya dapat dijadikan sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing. Harapan ke depan adalah agar terbentuk hubungan yang harmonis dan sinergis antarkelompok masyarakat adat, baik hubungan internal maupun eksternal. Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Pluralitas masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
1.      perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
2.      Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
3.      adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat Lampung.
4.      tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
5.      dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
6.      karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Signifikansi pluralisme baru berarti jika dalam aktualitas kegiatan pergaulan hidup sehari-hari antar warga masyarakat berjalan secara harmonis, yaitu membiasanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda dapat dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya secara bebas berakulturasi.

Masyarakat adat Saibatin (sebatin) terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah Lampung; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun yang umumnya bermukim didaerah pedalaman Lampung, kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut (Abdul Syani, 2011). 
Kelompok masyarakat terdiri dari dua golongan, yaitu masyarakat Pepadun dan masyarakat Pesisir saibatin. Perbedaan keduanya adalah terletak pada system rekruitmen kepemimpinan kelompok. Bagi masyarakat adat Saibatin kepemimpinan seseorang dalam kelompok adalah berdasarkan keturunan. Anak tertua laki-laki seorang pimpinan kelompok kebuwayan otomatis menjadi pewaris tahta keadatan. Pemecahan kelompok yang disebabkan oleh banyaknya anggota komunitas, hanya mungkin dilakukan pada tingkat garis kedua ke bawah.

Berbeda dengan kelompok pendukung Adat Pepadun, yang memberikan peluang secara lebih longgar kepada setiap seseorang untuk meningkatkan kedudukannya dalam status adatnya. Pengembangan subkelompok menjadi kelompok kelompok sederajat, melalui proses Cakak Pepadun. Cakak Pepadun adalah salah satu upacara daur hidup masyarakat darah Lampung.
Profil masyarakat adat Saibatin secara ideal memiliki pola pergaulan hidup dengan prinsip musyawarah dan mufakat. Prinsip ini sangat relevan untuk digali dalam rangka mendukung upaya revitalisasi dan pemberdayaan nilai-nilai budaya daerah. Meskipun budaya masyarakat adat setempat masih bersifat tradisonal, namun tidak statis, melainkan dinamis sesuai dengan berkembangan masyarakat pendukung hukum adat itu sendiri.
Warga masyarakat adat saibatin secara umum merupakan sejumlah kolektivitas sosial yang masing-masing memiliki aturan internal tersendiri. Secara kultural masyarakat adat Saibatin merupakan kesatuan-kesatuan hidup yang diatur oleh peraturan-peraturan yang berasal dari norma-norma sosial dan hukum adat yang hidup berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Eksitensi institusi perwatin adat merupakan wadah penyimbang adat dalam setiap musyawarah, terutama mengenai urusan adat dan kemasyarakatan. Seorang penyimbang adat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan hasil musyawarah. Kewenangan dan fatwanya secara internal dipatuhi sebagai norma hukum yang dapat mengatur dan melindungi stabilitas hubungan sosial antar warga, termasuk keserasian hubungan masyarakat dengan alam sekitar. Karakteristik masyarakat adat Saibatin dalam perkembangannya lebih menekankankan pada konsensus dalam upaya penyerasian terhadap berbagai kepentingan masyarakat dan tuntutan zaman.
Dalam upaya pemeliharaan nilai-nilai budaya dan hukum adat secara internal senantiasa mempertahankan dan mengutamakan kepentingan masyarakat adat dengan prinsip kemandirian, terutama dalam penggalian potensi daerah atas kekuasaan dan kekayaan sendiri. Masyarakat adat setempat sebagian masih tetap hidup dengan hukum adatnya sendiri, baik berdasarkan ikatan teritorial maupun geneologis. Dalam kelompok masyarakat adat memiliki tradisi yang memungkinkan lebih dekat dengan nilai-nilai hukum adat. Kondisi kehidupan semacam ini tentu perlu digali, ditemukenali dan dipertahankan agar generasi muda dapat memahami serta memiliki kebanggaan terhadap adat budayanya sendiri sebagai bagian kepentingan untuk mencapai keselarasan hidupnya. Perilaku sopan santun dan atau ramah tamah dalam tegur sapa antar anggota masyarakat merupakan kelaziman dalam institusi adat. Oleh karena itu potensi budaya dan hukum adat setempat perlu dilestarikan sebagai kerangka dasar pola pembangunan, baik dalam rangka pelestarian hukum adat dan budaya, maupun sebagai sumber motivasi dalam kegiatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berwawasan budaya. Dengan demikian diharapkan sumber daya masyarakat adat dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber motivasi dalam upaya menggali potensi sosial ekonomi daerah.
Mengingat masih tersedianya potensi budaya masyarakat adat setempat dan eksistensi hukum adat yang masih tersimpan dalam kehidupan masyarakat, maka perlu dilakukan penggalian dan revitalisasi budaya secara seksama. Hal ini diharapkan dapat memberikan solusi strategis dalam upaya memotivasi masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam mendukung pembangunan daerah yang berwawasan budaya tersebut.
Masyarakat adat saibatin mempunyai falsafah hidup yang sama dengan masyarakat adat pepadun, meskipun memiliki istilah dan bahasa sendiri dalam menyebut pandangan hidupnya, yaitu Bupiil Bupusanggiri. Adapun 4 (empat) unsur penopang Piil Pesenggiri yang dimaksud adalah: 1) Juluk-adok, 2) Nemui-nyimah, 3) Nengah-nyappur, dan 4) Sakai-sambaiyan.

II.      IMPLEMENTASI ADAT BUDAYA LAMPUNG SAIBATIN

1.    Implementasi Adat Budaya Piil Pesenggiri

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat adat Saibatin dan Pepadun menganut sumber/kitab yang sama dalam menentukan fahsafah hidupnya, yaitu berdasarkan kitab Kuntara Raja Niti. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1.  piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri).Pi`il Pusanggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku dan sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara berkelompok senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung) dapat mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya demi untuk mempertahankan pi`ill pesenggiri tersebut.
2.  juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya).Bejuluk Beadok adalah didasarkan kepada "Titei Gemettei" yang diwarisi tutun temurun dari zaman dahulu, tata ketentuan pokok yang selalul diikuti (Titei Gemettei) termasuk antara lain menghendaki agar seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk) dan setelah kawin di beri gelar.
3.  Nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu).nemui Nyimah diartikan sebagai bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak, baik terhadap orang dalam satu klan maupun dari luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya.
4.  Nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis).Nengah Nyapur adalah tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesempatan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas, serta ikut berpartisipasi dalam segala hal yang bersifat baik, yang dapat membawa kemajuan sesuai dengan perkembangan zaman.
5.  Sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Sakai Sambayan meliputi beberapa pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberi terhadap sesuatu yagn diperlukan bagi pihak-pihak lain. Dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang bersifat materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan pikiran dan lain sebagainya.

Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),  dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguwai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Lebih disederhanakan lagi, bahwa bupiil bupusanggiri menurut istilah masyarakat adat Saibatin adalah sebagai berikut:
Bupiil Bupusanggiri (pusanggikhi), artinya memiliki harga diri, hidup bermartabat, dan menjunjung tinggi hidup terhormat dalam masyarakat. Sedangkan 4 unsur penopangnya sebagai indikator tercapai atau tidaknya prinsip hidup bupiil bupusanggikhi itu adalah:

Bupiil Bupusenggiri (memiliki harga diri, bermartabat dan terhormat; malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri):
1.       Khepot delom mufakat (selalu musyawah untuk mufakat; mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya; setara degan Bejuluk-beadoq)
2.       Bupuidak Waya (berwajah ramah/ceria; suka saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu); setara dengan Nemui-nyimah)
3.       Tetengah tetanggah ( suka berada ditengah bersama masyarakat, suka bergaul; aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individu; setara dengan Nengah-nyappur)
4.       Khopkhama delom bekekhja (selalu mengutamakan kebersamaan dalam bekerja; suka tolong menolong antar sesama warga masyarakat, dan suka bergotong royong dalam kepentingan umum; setara dengan Sakai-sambaian)

Sifat-sifat ulun Lampung itu seringkali diungkapkan dalam adi-adi (pantun), yatu:

1.  Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
(tandanya orang Lampung, memiliki kehormatan)
2.  Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
(mulia atau hina diperhitungkan, ada rasa malu dan harga diri)
3.    Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
(gelar adat dipegang teguh, ramah tamah dan bersaudara)
4. Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi
(bergaul tidak terbatas, saling mambantu dan bergotong royong)

Unsur-unsur Piil Pesenggiri mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adok
Secara etimologis Juluk-adok (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adok bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adok merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adok merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adok ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adok ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adok melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adok merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan.
Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Terkait dengan falsafah hidup bupiil bupusaenggiri sebagai bentuk adat budaya Lampung Saibatin, dalam implementasinya dapat dijadikan landasan inspirasi dalam pelaksanaan program pembangunan di Lampung. Oleh karena penganut falsafah hidup ini memiliki tanggung jawab dalam memelihara harga diri, martabat dan kehormatan kelompoknya, maka konsekuensinya harus mampu mengilepentasikan program pembangunan secara efektif. Menurut perspektif bupiil bupusanggiri, bahwa  para agen pembangunan akan menanggung malu jika tidak berhasil mewujudkan hasil program pembangunan yang telah diencanakan.
2.  Implementasi Adat Budaya Hippun

Adat budaya hippun adalah suatu kebiasaan bermusyawarah dalam setiap perencanaan, kegiatan ataupun dalam penyelesaian masalah yg berlaku bagi masyarakat adat. Bagi warga yang tidak mendukung, menghindar atau menghambat acara hippun, seringkali ia disebut “mak ngidok piil” (tidak punya malu). Adat hippun  secara ideal dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Seluruh tahapan yang dilalui memiliki makna tesendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa sembarangan. Adapun tahapan prosesi hippun secara ringkas adalah sebagai berikut:

1.         Hippun wakhi pelambanan (musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat dekat).
2.         Hippun suku (musyawarah antara kepala-kepala suku yang mewakili pihak-pihak keluarga-keluarga yang melaksanakan upacara adat muwakhi).
3.         Hippun tiyuh/pekon (antar penyimbang tiyuh dari masing-masing pihak calon angkon muakhi).
4.         Hippun Marga (musyawarah antar kepala/perwatin marga).
5.         Hippun Lamban Balak (persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan Tuha Khaja  dan perangkat pemerintahan adatnya,  penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan tuha khaja tentang hak dan kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji sumpah atau katam).
6.         Persiapan pakaian adat masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon angkon muakhi (sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal, disesuaikan), payung adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dan lain-lain.
7.         Persiapan lokasi prosesi pelaksanaan hippun
8.         Pembacaan susunan acara oleh Penglaku tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang senior)
9.         Penetapan dan pembuatan keputusan hippun
10.     Acara petutup dengan doa (petugas).

Dari tahapan tersebut dapat diketahui bahwa prosesi hippun (pemekonan) yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Lampung sangat penting, terutama untuk memelihara silaturahmi antar warga, menjaga kerukunan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu acara hippun perlu dilestarikan, meskipun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman dan rasional. Adat hippun  merupakan wujud semangat kearifan lokal masyarakat Lampung dalam upaya mencapai kesepakatan bersama. Dengan hippun diperoleh kesepakatan yang mengikat keberbersama warga atas usaha pemeliharaan ketenteraman dan keamanan masyarakat tersebut. Artinya, nilai kearifal lokal hippun  ini dapat dijadikan sebagai strategi pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat, khususnya masyarakat Desa. Kecuali itu adat hippun dapat dijadikan strategi dan pendekatan ampuh dalam penyelesaian perselisihan/konflik.

Dalam tahapan prosesi adat hippun tersebut, seperti hippun penyelesaian perselisihan warga, lazim juga disertai dengan perjanjian formal adat lokal. Perjanjian ini memiliki daya ikat yang kuat untuk memelihara perdamaian antar pihak, sehingga jauh dari ancaman konflik. Perjanjian dalam adat hippun biasanya berupa pernyataan perjanjian atas nama Allah SWT untuk selalu saling menjaga kesepakatan, saling percaya, selalu menjaga ketenteraman dan ketertiban warga. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya adalah cidera dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat dengan batas waktu tertentu, dan membayar denda adat.

Daya ikat dari perjanjian dalam adat hippun itu sangat kuat, melekat pada setiap diri dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Oleh karena itu upaya pemeliharaan dan implementasi nilai-nilai adat hippun memiliki potensi strategis dalam pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa. Di samping dapat digunakan sebagai strategi menyelesaikan perselisihan dalam masyarakat secara arif dan bijaksana. Melalui pendekatan kearifan lokal budaya, konflik dapat diselesaikan dengan cara yang bermoral, tanpa menimbulkan kerugian dari pihak manapun.

Pendekatan sosial secara interaktif dapat dilakukan penyederhanaan kondisi sosial, yaitu merujuk pada spesifikasi budaya dlm menentukan prioritas pengembangan potensi masyarakat. Sasarannya adalah revitalisasi kekuatan partisipasi masyarakat dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1)    melibatkan  masyarakat dlm setiap perencanaan  &  pengambilan keputusan program pembangunan sebagai wujud demokrasi sosial, 
2)    program  yang dilegitimasi dapat  menjamin prioritas hak-hak masyarakat, dan pemerataan  (kesempatan usaha), 
3)    memberdayakan independensi peranserta  masyarakat, 
4)    membangun  kemitraan  dengan pemerintah,  kaum  intelektual,  dan lembaga-lembaga  terkait. 
5)    mengangkat dan memberdayakan nilai-nilai gotong royong dan aspirasi masyarakat, agar tupoksi dpt menyentuh kepentingan  masyarakat, setidaknya dapat mencerminkan cara hidup  yang terarah  dengan contoh-contoh perilaku dan perlakuan yang  nyata dan simpatik. Kalau ingin memberantas minuman keras jangan demon terhadap botol minuman,  melarang merokok tapi kalau merokok katanya MACHO (Abdulsyani, 2010. makalah seminar budaya tentang pendekatan sosial budaya).

Dalam rangka penanganan perselisihan yang selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola pendekatan yang tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakat adat setempat. Pada akhirnya seringkali menimbulkan masalah baru, yaitu konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka yang sulit diprediksi. Ada beberapa alasan pentingnya memeliharan dan implementasi kearifan lokal adat hippun tersebut, yaitu:
1.    Nilai-nilai kearifan lokal  hippun merupakan tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam membuat keputusan tentang perencanaan pembangunan desa, khususnya dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa
2.    Nilai-nilai kearifan lokal  hippun merupakan tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam membuat keputusan tentang penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
3.    Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat hippun kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
4.    Landasan adat hippun adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis  dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat.
5.    Acara hippun ditetapkan atas dasar hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki daya ikat sangat kuat dan bersanksi jika dilanggar.
6.     Jika telah ditetapkan keputusan bersama tentang rencana tertentu, khususnya upaya pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat setempat, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Keputusan hippun disadari oleh berbagai pihak yang terlibat secara arif, baik emosional maupun rasional.
7.    Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam hippun, senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar/janji) yg telah disepakati bersama sebagai keputusan sakral. Oleh karena itu masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat hippun sebagai pedoman strategis, khususnya dalam upaya  dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat, di samping upaya penyelesaian konflik.

Sesuai dengan falsafah pemersatu Lampung yang mengajarkan bahwa "mabulat khupa iyuk, malukhus khupa sepuk"; bulat seperti bambu peniup api, lurus seperti jalannya panah, Artinya sikap mental seiya-sekata (persatuan dan kesatuan) antarwarga sepatutnya memang dimiliki demi mencukupi kepentingan bersama suatu lingkungan, komunitas atau negara.

Atas dasar pembahasan di atas, maka nilai kearifan lokal prinsip “piil pesenggiri” dan “adat hippun” dapat direkomendasikan sebagai strategi dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat, di samping upaya penyelesaian konflik. Perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat adat tanpa memandang perbedaan latar belakang sosial budaya. Pendekatan ini menyentuh kesadaran hati, empati, erbuka, pengampunan, rekonsiliasi, kebenaran, keadilan restorative (pemulihan hubungan yang sudah retak), dan kerjasama, melalui keteladanan. Praktik fungsi-fungsi sosial ini perlu dilakukan secara berkesinambungan sampai membentuk karakter kebajikan pribadi yang memiliki kekuatan mengikat.

Implementasi hippun bagi masyarakat adat saibatin sudah merupakan tradisi dalam setiap akan dimulai peencanaan program usaha bersama untuk kepentingan bersama. Sesuai dengan konsep bupiil bupusanggiri, tradisi hippun ini penting untuk mencari dan menetapkan keputusan bersama, khususnya program pembangunan daerah setempat. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan akan berjalan secara efektif; segala risiko dalam pelaksanaan pembangunan disepakati ditanggung bersama tanpa selisih dan konflik

3.    Implementasi Adat Budaya Angkon Muwari
Salah satu tradisi penyelesaian konflik dalam masyarakat adat Lampung pada umumnya adalah dengan angkon muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yang konflik menjadi saudara angkat. Dengan bersaudara dimaksudkan agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki hubungan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, dan hapus semua bentuk perselisihan.

Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Hubungan saudara angkat sifatnya sakral, karena dalam pengikraran mewarei itu terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin.

Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.

Penyelesaian konflik dengan tradisi adat mewarei dalam kehidupan masyarakat adat merupakan strategi pamungkas, setelah menempuh cara-cara dan model pendekatan sosial budaya secara persuasive berdasarkan elemen nemui-nyimah nengah-nyappur dalam prinsip piil pesenggiri. Disebut dmk krn ikrar dalam adat mewarei melibatkan banyak pihak dan berdasarkan hukum adat yg memiliki daya ikat yg relative kuat dan sanksi yg cukup berat jika dilanggar. Oleh karena itu tidak sembarang dilakukan; hanya dalam kondisi mendesak menyangkut ancaman terhadap kerukunan publik saja, acara adat mewarei ini digelar.

Sebaliknya bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yang notabene sangat sakral dan agung itu. Salah satu sanksi berat bagi pelanggar ikrar adat mewarei itu, diantaranya dikucilkan dari pergaulan, dikeluarkan dari adat kebuwaian (tidak diakui sebagai warga masyarakat adat), sampai diusir dari kampung di mana mereka tinggal.

Dengan alasan itu, maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei tersebut sebagai pedoman strategis dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik ini biasanya dilakukan secara bertahap berjenjang antar pribadi, antar keluarga, antar suku bahkan tidak tertutup kemungknan antar kampung atau marga/kebuwaian.

Adat mewarei pada umumnya disebabkan 3 (tiga) hal, yaitu:
 1. Karena/atas dasar hubungan yang sangat baik misalnya
a.    Terselamatnya jiwa/kehormatan seseorang dalam suatu peristiwa tertentu;
b.    Hubungan pertemanan/persahabatan yang sudah sangat lama pada saat sekolah, sekantor, sepemukiman dan sebagainya. 
2.  Karena alasan telah terjadi suatu peristiwa yang kurang baik misal pertikaian dimana seseorang/beberapa orang terbunuh kecelakaan;
     Pada umumnya kegiatan yang dilakukan dimulai dengan kegiatan pendekatan dan  negosiasi pada pihak yang bermasalah. Biasanya sebelum sampai ke tahap pembicaraan adat dilakukan pembicaraan antar keluarga dimana yang mewakili keluarga biasanya seseorang yang berwibawa dalam keluarga tetapi biasanya diwakili oleh pihak ketiga yang diperkirakan berkemampuan untuk itu, terlebih lagi bila peristiwa itu ada yang jatuh korban meninggal dunia.
3. Karena hubungan perkawinan keluarga Lampung dengan masyarakat luar Lampung. Sebagaimana difahami bahwa perkawinan bagi masyarakat adat Lampung adalah suatu peristiwa yang sangat sakral, karena dilakukan untuk satu kali dalam masa hidup. Oleh karena itu suatu perkawinan yang terjadi, biasanya melakukan suatu proses yang cukup panjang, dan terseleksi melalui suatu kegiatan nindai, ngahago, nunang yang segala sesuatunya penuh dengan liku-liku pengorbanan; kadangkala tidak hanya melibatkan keluarga tetapi kerabat bahkan masyarakat.

Pada prinsipnya nilai-nilai kearifan lokal tradisi angkon muwari merupakan budaya yang menghendaki adanya kerukunan, persatuan dan kedekatan hubungan kekerabatan, tanpa memperhitungkan unsur sedarah seketurunan. Tujuannya adalah agar kehormatan diri dan kelompok terselamatkan dari konflik berkepanjangan; agar hubungan perkawinan dan kekerabatan pihak-pihak keluarga besar dapat dipertahankan selamanya; dan agar hubungan kebaikan antar pihak yang terikat dengan sumpah angkon muwari tidak berubah. Bagi masyarakat adat Lampung yang memiliki ikatan persaudaraan, senderung berusaha menghindari perselisihan dalam setiap usaha kerjasama untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu jika prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal angkon muwari ini di jadikan landasan dalam program pembangunan dasrah, maka diharapkan dapat terlaksana secara efektif.

4.      Implementasi Adat Budaya Namong 

Adat Namong (upaara adat pemberian nama dari garis lurus kakek), “Namong” berasal dari kata dasar “Tamong”, yang artinya orang yang dituakan, dihormati dan diagungkan (seperti kakek, nenek atau buyut). Mungkin pada jaman dulu Tamong dalam bahasa lampung kuno disebut dengan “Phu-Yang” (orang yang dituakan dan dihormati) atau “Umpu” (anak cucu yang masih hubungan darah atau keturunan). Arti dari kata “Namong” menurut bahasa berarti mempunyai Tamong atau ber-Tamong. Tapi menurut makna, “Namong” adalah seorang anak ber-Tamong kepada seseorang (masih hubungan darah) yang diharapkan menjadi penerus sifat  kebaikannya (kearifan, kedermawanan dan kebijaksanannya).

Namong sebagai ikatan keluarga luas lurus tak terputus. Segala jens pewarisan dalam bentuk keteladanan jatidiri kebaikan, serta pesan-pesan moral dan tanggungjawab keuarga dibebankan kepada pewaris sepenuhnya. Semangat jiwa/nurani yang terkandung dalam adat namong ini adalah semangat kerjssama berdasarkan moral dan kebenaran bersama keuarga besarnya, masyarakat umumnya dengan saling menghormati, menjaga martabat dan haga diri masng-masing.  Adapun syarat-syarat  Namong adalah sbb:

a.    Harus ada hubungan darah (keturunan) baik dari pihak bapak atau ibu si anak. (contohnya : Kakek dan Nenek dari pihak ibu atau bapak, atau Kakek dan Nenek dari pihak paman /sepupu ibu atau bapak).
b.    Anak yang ber-Tamong kepada seseorang, syaratnya harus beda 2 generasi. ( contohnya : Cucu dengan Kakek atau Nenek).
c.    Anak laki-laki dengan kakek, sedangkan anak perempuan dengan nenek.
d.   Anak laki-laki Namong kepada seorang kakek, maka kakeknya memanggil anak tersebut dengan sebutan “Sabai Kuya”, dan neneknya memanggil kepada anak tersebut dengan sebutan “Enggom”. Sebaliknya begitu juga pada anak perempuan yang Namong kepada seorang nenek, neneknya memanggil “Sabai” dan kakek memanggil ”Enggom”.
e.    Begitu juga anak tersebut dipanggil oleh anak dari kakek atau nenek yang di-Namong-kan. Jika anak itu laki-laki, maka anak dari kakek atau nenek memanggilnya “bapak” dengan maksud menuakan dan menyayangi. Dan juga jika anak itu perempuan, mereka akan memanggil “Induk”. Tapi orang tuanya (bapak ibu) tetap memanggil dengan sebuatan biasa kepada anak tersebut, walaupun anak tersebut namong kepada kakek atau neneknya sendiri, tapi panggilan itu hanya dari paman dan bibinya saja.
f.     Kepercayaan dulu, jika Anak (bayi) tersebut setelah diberi nama dan Namong, biasanya sering sakit-sakitan. Maka biasanya di-isyaratkan bahwa anak itu tidak menerima ke-Namong-annya. Lalu Namong-annya diganti dengan yang lain, dan baru anak tersebut tidak sakit-sakitan lagi.

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi Namong adalah berupa pesan-pesan etika moral langsung oleh kakek dan neneknya kepada cucu-cucunya. Pesan-pesan moral ini bersifat sakral dan harus diterapkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan masyarakat, sekarang dan masa depan. Jika pesan ini tidak di laksananakan, maka dianggap pengingkaran dan dipercaya akan melahirkan akibat buruk. Oleh karena itu orang Lampung dalam mengelola program pembangunan Lampung now, harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Namong. Harapannya adalah dengan berlandaskan nilai-nilai tradisi Namong, maka diharapkan pelaksanaan program pembangunan now dapat dilaksanakan secara efektif.

III.   IMPLEMENTASI ADAT BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN LAMPUNG NOW
Dengan pendekatan kebudayaannya yang struktural dan funfsional, van Peursen menyajikan suatu model kebudayaan yang bertahap tiga (mitologis, ontologis, dan fungsional), tapi yang serentak bersifat progresif dan integral antara ketiganya. Peursen juga menandaskan bahwa kebudayaan itu terus menerus nampak sebagai suatu strategi (atau rencana) yang harus dibuat guna membebaskan manusia dari penjara yang dibuat manusia sendiri melalui kreativitas etis dan pembaharuan yang invensif (van Peursen, 1989).

Dalam perspektif Peursen, pembangunan sebuah bangsa yang bercirikan fluralisme kebudayaan dengan pola pendekatan fungsional kebudayaan akan menunjang kebudayaan-kebudayaan lokal untuk secara sadar “berada” (eksis) dan berperan (partisipatif) dalam proses kristalisasi kebudayaan nasional dan pembangunan bangsa. Menuru Peursen mengutif pendapat  filsuf jerman Immanuel Kant, bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untu mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat terus menerus belajar.

Dalam implementasi Pembangunan Lampung Now, untuk seluruh Kabupeten/Kota telah ditetapkan masing-masing motto/slogan/semboyan adat budaya sebagai pedoman/dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan. Motto/slogan/simbol/semboyan dengan pernyataan khas masing-masing daerah mengandung nilai.nilai spiritual dan pendorong keativitas kearah kerja keras dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Slogan-slogan itu merupakan tolok-ukur dan sebagai dasar pijak/landasan dalam musyawarah (hippun adat), perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan.


Untuk mewujudkan harapan tersebut, di daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung telah ditetapkan slogan/semboyan kearifan lokal Lampung sebagai landasan dan tujuan pembangunan now agar pimpinan daerah selalu bekerjasama, besama-sama dengan masyarakat untuk mencapai kebutuhan dan kesejehtaraan bersama.
Motto/slogan/semboyan adat budaya itu adalah sbb:
Kabupaten Lampung Barat: Beguwai Jejama
Kabupaten Lampung Barat: Beguai Jejama
Kabupaten Lampung Timur: Bumei Tuwah Bepadan
Kabupaten Lampung Utara: Ragem Tunas Lampung
Kabupaten Mesuji: Bumi Ragab Begawe Caram
Kabupaten Pesawaran: Andan Jejama
Kabupaten Pesisir Barat: Helauni Kibakhong
Kabupaten Pringsewu: Jejama Secancanan
Kabupaten Tanggamus: Begawi Jejama
Kabupaten Tulang Bawang: Sai Bumi Nengah Nyappur
Kabupaten Tulang Bawang Barat: Ragem Sai Mangi Wawai
Kabupaten Way Kanan: Ramik Ragom
Kota Bandar Lampung: Ragom Gawi
Kota Metro: Bumi Sai Wawai

Beberapa contoh penjelasan tentang makna dan nilai motto/slogan/semboyan adat budaya, khususnya semboyan Pembangunan Now Lampung Saibatin
1.      Kabupaten Lampung Selatan: Khagom Mufakat, artinya kompak atau bersatu dalam rencana, langkah dan tujuan, sedangkan mufakat adalah kesepakatan/keputusan bersama atas dasar hasil musyawarah, jadi mufakat merupakan keputusan yang sudah disepakati bersama. Dengan kata lain bahwa makna khagom mufakat adalah suka bermusyawarah untuk menuju mufakat. Menurut sejarah pemula khagom mufakat, bahwa arti kata KHAGOM ialah kompa, sedangkan MUFAKAT diartikan sebagai suatu keputusan yang sudah sama-sama  telah disepakati.
2.      Kabupaten Tanggamus: Begawi Jejama. Arti dari semboyan kearifan lokal yang dirumuskan oleh pemerintah daerah Kabupaten Tanggamus ini adalah bekerja secara bersama-sama.
Kabupaten tanggamus memilih semboyan "Bumi Jejama". Bumi artinya alam dan jejama artinya bersama, lebih tepatnya milik bersama.Hanya dibedakan denga kata secancanan dengan Kabupaten Pringsewu yang merupakan pecahan dari Tanggamus. Pilihan atas semboyan itu bukan tampa alasan. Daerah yang merupakan wilayah dari kelompok Lampung pesisir yang memanjang dari Putihdoh, Limau dan sekitarnya, menyisir pantai hingga wilayah Kota Agung, berputar melalui Banjarmanis, Talangpadang hingga Sukaratu, adalah merupakan masyarakat yang sangat terbuka. Mereka memberikan tempat bagi pindahan dari lampung Barat dan bahkan daerah Sumatera selatan srta pulau Jawa.   
Semangat kebersamaan dengan Bumi Jejama yang merupakan bagian dari Piil pesenggiri khususnya nemui nyimah. Dirasakan sangat perlu ditanamkan agar masyarakat yang cukup majemuk ini berpijak dari kesamaan kesamaan yang mereka miliki. Sekarang motto/semboyannya berubah menjadi “Begawi Jejama”  Begawi Jejama, artinya bekerja bersama
3.      Kota Bandar Lampung (terdiri dari masyarakat adat campuran): Ragom Gawi. Semboyan Ragom Gawi mengandung semangat bergotong royong, bekerjasama, bersatu padu dalam menggerakkan roda pembangunan dengan hati yang tulus ikhlas dan pantang menyerah dalam bekerja dan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.
Makna Motto/Slogan/Semboyan:
Tulisan RAGOM GAWI  merupakan motto daerah yg merupakan semboyan kerja yg bermakna bergotong royong, bekerjasama, bersatu padu dlm menggerakkan roda pembangunan dg hati yang tulus ikhlas dan pantang menyerah dalam bekerja dan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.Secara linguistik cultural terdiri dari dua suku kata yaitu “Ragom” yang berarti kompak, bersatu, bersama-sama dan Gawi berrarti kerja, melaksanakan tugas pengabdian atau dengan kata lain Gotong Royong. Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti pikul atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Sehingga jika diartikan secara harafiah, gotong royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.

Nilai-nilai dalam motto/semboyan:
Jika dilihat sekilas, tampaknya hanya terlihat seperti suatu hal yang mudah dan sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya tersebut, motto Ragom Gawi menyimpan berbagai nilai yang mampu memberikan nilai positif bagi masyarakat. Nilai-nilai positif dalam Mott antara lain:

1. Kebersamaan
Gotong royong mencerminkan kebersamaan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat. Dengan gotong royong, masyarakat mau bekerja secara bersama-sama untuk membantu orang lain atau untuk membangun fasilitas yang bisa dimanfaatkan bersama. 

2. Persatuan
Kebersamaan yang terjalin dalam gotong royong sekaligus melahirkan persatuan antar anggota masyarakat. Dengan persatuan yang ada, masyakarat menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi permasalahan yang muncul. 

3. Rela berkorban
Gotong royong mengajari setiap orang untuk rela berkorban. Pengorbanan tersebut dapat berbentuk apapun, mulai dari berkorban waktu, tenaga, pemikiran, hingga uang. Semua pengorbanan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama. Masyarakat rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya untuk memenuhi kebutuhan bersama. 

4. Tolong menolong
            Gotong royong membuat masyarakat saling bahu-membahu untuk menolong satu sama lain. Sekecil apapun kontribusi seseorang dalam gotong royong, selalu dapat memberikan pertolongan dan manfaat untuk orang lain. 

5. Sosialisasi
            Di era modern, kehidupan masyarakat cenderung individualis. Gotong royong dapat membuat manusia kembali sadar jika dirinya adalah maskhluk sosial. Gotong royong membuat masyarakat saling mengenal satu sama lain sehingga proses sosialisasi dapat terus terjaga keberlangsungannya.

6. Bekerja Keras
            Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja keras dapat diartikan bekerja mempunyai sifat yang bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai. Mereka dapat memanfaatkan waktu optimal sehingga kadang-kadang tidak mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang dihadapainya. Mereka sangat bersemangat dan berusaha keras untuk meraih hasil yang baik dan maksimal.

Jika makna.nilai-nilai adat budaya yang telah dijadikan simbol/semboyan pembangunan tersebut dapat benar-benar di implementasikan oleh pemimpin darah sebagai tolok ukur dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan now tanpa kecurangan, maka upaya peningkatan hasil pembangunan, baik infrastruktur maupun kesejahteraan masyarakat  dapat tercapai dengan mudah.

IV.  PENUTUP
Masyarakat adat Saibatin secara ideal memiliki pola pergaulan hidup dengan prinsip musyawarah dan mufakat. Prinsip ini sangat relevan untuk digali dalam rangka mendukung upaya revitalisasi dan pemberdayaan nilai-nilai budaya daerah. Meskipun budaya masyarakat adat setempat masih bersifat tradisonal, namun tidak statis, melainkan dinamis sesuai dengan berkembangan masyarakat pendukung hukum adat itu sendiri.
Dalam kelompok masyarakat adat memiliki tradisi yang memungkinkan lebih dekat dengan nilai-nilai hukum adat. Kondisi kehidupan semacam ini tentu perlu digali, ditemukenali dan dipertahankan agar generasi muda dapat memahami serta memiliki kebanggaan terhadap adat budayanya sendiri sebagai bagian kepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan keselarasan hidupnya. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup Piil Pesenggiri yang merupakan pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan.

Prinsip tersebut sesuai dengan inti nilai perjuangan yang terkandung dalam semboyan pembangunan masing-masing Pemerintah Darah Lampung. Oleh karena itu Implementasi falsafah hidup piil pesenggiri menyangkut prinsip harga diri, sikap dan perilaku yg dpt menjaga dan menegakkan nama baik serta martabat  (kehormatan) pribadi  dan kelompok. Konsekuensi adalah segenap aparat pemerintan dan agen pembangunan harus memiliki semangat yg tinggi dan kerja keras dalam mewujudkan cita-cita bersama sesuai dengan semboyan masing-masing daerah Lampung now.

Sebagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan masing-masing daerah, agar lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, dan mampu merubah kualitas kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Sebaliknya menghidari perbuatan memalukan, hina, arogansi, amoral dan perbuatan kejahatan lainnya, krn perbuatan ini merupakan gambaran  rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang. Dalam karakteristik itu terdapat prinsip malu jika tidak mampu memelihara kehormatannya, malu jika tidak berhasil mengejar berprestasi.

Pada akhirnya perlu upaya revitalisasi dan pelestarian adat budaya, khususnya prinsip hidup piil pesenggiri dan tradisi hippun dalam segala rencana kerjasama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama.

REFERENSI
Abdul Syani,   2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
__________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
__________,  2013. Makalah: Kearifan Lokal Sebagai Aset Budaya Bangsa Dan Implementasinya Dalam Kehidupan Masyarakat (di sampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2013).
__________,  2007. SOSIOLOGI Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.
__________,  2013. Makalah: Multikulturalisme Lampung: Penghargaan Atas Kearifan Lokal Untuk Menciptakan Stabilitas Daerah (Disampaikan pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional bagi Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Elemen masyarakat di Provinsi Lampung oleh Badan Kesbangpol dengan tema ”Meningkatkan Kewaspadaan nasional melalui deteksi dini, cegah dini, dan kewaspadaan dini demi tercapainya suawana kondusif di Provinsi Lampung, di Hotel Andalas Permai Jl.S.Parman, Bandar Lampung pada tanggal 25 Juni 2013).
___________,  2010. makalah seminar budaya tentang pendekatan sosial budaya.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
van Peursen, 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta, Penerbit: Kanisus, edisi kedua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar