Senin, 30 Mei 2016

NORMA SOSIAL SEBAGAI PEDOMAN PERILAKU

NORMA SOSIAL SEBAGAI PEDOMAN PERILAKU
Oleh: Abdul Syani

Norma-norma sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan bentuk peraturan tak tertulis yang berfungsi sebagai pengatur sikap dan perilaku manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Norma sosial relatif banyak menekankan pada sanksi moral sosial sebagai unsur pengawasan terhadap sikap dan perilaku manusia dalam pergaulan tersebut. Menurut David Berry (1982), bahwa unsur pokok dari suatu norma adalah tekanan sosial terhadap anggota-anggota masyarakat untuk menjalankan norma-norma tersebut. Dasar pemikirannya adalah bahwa apabila aturan-aturan  tertentu tidak diikuti  oleh desakan sanksi sosial yang kuat, maka keberadaannya belum  dapat dikategorikan sebagai norma-norma sosial. Desakan sosial ini merupakan indikasi bahwa suatu norma benar-benar telah menjadi bagian pokok dari norma sosial. Norma disebut sebagai norma sosial bukan semata karena telah mendapatkan sifat kemasyarakatan, akan tetapi sekaligus telah dijadikan patokan perilaku dalam pergaulan hidup.

Norma-norma sosial sebagai unsur kebudayaan non-material dapat berfungsi sebagai landasan kekuatan pribadi dalam upaya melindungi diri dari ancaman kejahatan moral atau pengaruh-pengaruh buruk dari luar. Dalam rangka upaya itu norma-norma atau kaidah sosial pada dasarnya merupakan petunjuk-petunjuk ideal tentang bagaimana seharusnya manusia berperilaku dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Soedjono Dirdjosisworo (1985) menjelaskan, bahwa kaidah sosial adalah serangkaian ketentuan atau peraturan umum baik tidak tertulis maupun tertulis, tentang tingkah laku atau perbuaatan manusia yang menurut penilaian kelompok masyarakatnya, dianggap baik atau buruk, patut atau tidak patut. Perumusan perilaku menurut penilaian pergaulan dalam bentuk norma atau kaedah soaial ini berfungsi sebagai unsur kendali dan pembatas kebebasan perilaku agar terhindar dari penyimpangan. Diterima atau tidaknya seseorang menjadi bagian sosial dalam suatu pergaulan hidup, tergantung pada dua alternatif, yaitu:

1. kemampuan individu menyesuaikan diri terhadap kaedah yang berlaku dalam kelompok pergaulan sosial;
2. mengendalikan tradisi perilaku dan emosi dirinya ditengah-tengah pergaulan kelompok;
3. kesanggupan untuk menyerap norma-norma kelompok sebagai bagian jati dirinya;
4. kesediaan kelompok sosial untuk menerima dan mentolerir perbedaan prinsip kaedah bawaan individu;
5. kesediaan kelompok sosial untuk mempengaruhi dan membina individu untuk tunduk pada kaidah kelompok.

Alternatif terakhir tentang keputusan penerimaan seseorang sebagai bagian kelompok tersebut terletak pada kesepakatan untuk menerima kaidah-kaidah sosial sebagai pedoman perilaku bersama. Pedoman perilaku ini berupa rumusan tentang perintah/kewajiban dan larangan-larangan. Suatu perintah menunjukkan jalan yang telah ditetapkan, yakni perilaku yang dianggap dapat membawa manfaat atau tidak membahayakan kehidupan bersama. Di pihak lain rumusan tentang larangan, berarti menolak dan menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang dianggap mengganggu ketenangan masyarakat; mencegah anggota-anggota masyarakat untuk berbuat di luar ketentuan norma-norma sosial yang berlaku.

Norma tidak hanya berarti  sebagai bentuk aturan yang mendukung suatu perilaku yang positif saja, akan tetapi norma dapat juga merupakan aturan yang mendorong seseorang atau kelompok untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan yang negatif atau perbuatan yang merugikan pihak lain. Norma-norma sosial biasanya dinyatakan dalam bentuk kebiasaan, tatakelakuan dan adat istiadat atau hukum adat. Latar belakang terbentuknya norma sosial bermula dari perbuatan alami yang berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama, sehingga kemudian timbul pengakuan dan kesadaran bersama. Norma sosial menitikberatkan pada kekuatan serangkaian peraturan tentang perilaku individu berdasarkan penilaian masyarakat yang mencerminkan ukuran baik/buruk, pantas/tidak pantas, dan boleh/tidak dilakukan.

Norma sosial cenderung nampak sebagai bagian dari institusi yang berfungsi mengatur dan membatasi perilaku manusia dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Norma mengandung pembatasan atas sifat alamiah kekebasan manusia yang ditunjukkan melalui rambu-rambu berupa perintah dan larangan. Pemahaman terhadap norma itu merupakan sumber kesadaran individu untuk bertindak berdasarkan etika dan moralitas institusional sebagaimana adanya. Kepatuhan terhadap norma didasarkan pada pertimbangan kebutuhan keamanan manusia dari ancaman kejahatan. Atas alasan ini, maka secara perlahan tumbuh pengakuan bersama antar anggota masyarakat terhadap pentingnya peraturan perilaku. Peraturan perilaku ini didasarkan pada nilai moral yang didalamnya terkandung pengakuan nurani atau suara hati. Jika suara hati ini secara jujur dapat diterapkan dalam perilaIIIku kehidupan sehari-hari, dan membeku menjadi suatu kebiasaan, maka pada puncak proses sosial akan membentuk jati diri atau kepribadian. Harapan ideal dalam kehidupan masyarakat adalah tumbuhnya norma sosial sebagai peraturan perilaku berdasarkan suara hati yang melekat sebagai kebutuhan pokok, baik bagi pribadi maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu secara sosiologis norma sosial dapat diterima sebagai peraturan obyektif yang dapat memperkuat fungsi pengawasan sosial, terutama dalam upaya mempertahankan sturktur sosial.

Fungsi norma sosial menurut Abdul Syani (1994) adalah sebagai alat kendali atau batasan-batasan tindakan anggota masyarakat untuk memilih peraturan yang diterima atau di tolak dalam suatu pergaulan. Pilihan tersebut diwujudkan dalam bentuk perintah dan larangan, boleh atau tidak boleh dilakukan. Setiap anggota masyarakat menerima aturan-aturan itu sebagai patokan tingkah laku, baik  yang benar maupun yang salah. Seseorang dikendalikan oleh norma-norma itu tidak hanya sekadar membuat perasaan takut untuk melanggar aturan  perilaku, tetapi juga karena dapat membuat perasaan bersalah  jika melanggar norma-norma tersebut. Unsur kendali dari norma-norma itu merupakan cerminan dari desakan sosial yang didasarkan pada kepentingan bersama. Norma sebagai pedoman perilaku mempunyai  fungsi sebagai pengatur aktivitas sosial yang di dalamnya mengandung hukum dan sanksi-sanksinya. Bagi pelanggarnya harus patuh, tanpa paksaan, dan diharapkan secara suka rela menerima sanksi berdasarkan keputusan bersama.

Dalam kehidupan kelompok masyarakat pada umumnya,  seorang anggota (individu) mematuhi norma-norma sosial itu tidak hanya karena takut menerima sanksi masyarakat atau karena terpaksa mematuhi kehendak dari kelompoknya, akan tetapi ia patuh karena keberadaan  norma-norma sosial itu telah diterima sebagai acuan tindak kebenaran dan kebaikan yang dapat memberi manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang lain di sekitarnya.

Norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya cenderung diterima sebagai  peraturan yang diyakini dapat memberi manfaat bagi kehidupannya. Pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berlaku bukan karena seseorang takut kepada sesamanya, akan tetapi karena keyakinan bahwa perbuatan melanggar norma itu adalah aib dan merugikan bagi dirinya, menjatuhkan harga diri dan dipercaya dapat mendatangkan beban sosial-psikologis yang berkepanjangan. Bagi kehidupan masyarakat kompleks heterogenitas, berbeda dengan  konsep masyarakat setempat yang relatif sederhana, di mana lebih menekankan pada kepentingan keselamatan dan jaminan keamanan diri secara formal. Pelanggaraan terhadap norma dapat berakibat mengurangi kemerdekaan bertindak dalam segala hal yang menyangkut perjuangan pencapaian kesejahteraan hidup secara ekonomis. Abdul Syani memperinci atas 4 (empat) fase kekuatan norma dalam kehidupan masyarakat, yaitu:

a.  Cara  berbuat (usage)

Cara berbuat adalah perilaku tertentu yang digunakan seseorang atau sekelompok orang dalam pergaulan hidup berdasarkan norma sosial yang bersangkut paut dengan moralitas, etika, kesopanan dan kepantasan umum. Kepantasan dalam berperilaku dianggap sebagai suatu kepantasan bertindak, oleh karena itu proses pergaulan seseorang  dalam masyarakat cenderung lebih inetarktif  dan harmonis. Cara berbuat lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungan antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Apabila perilaku seseorang tidak sesuai, menyimpang atau melanggar batas-batas  kelaziman norma-norma sosial, maka proses pergaulan seseorang  dalam masyarakat cenderung lebih pasif  dan konflik.

Norma yang disebut "cara berbuat" hanya memiliki daya kontrol sebatas kontroversi sikap dan perilaku sebagai reaksi. Sanksi sosial masyarakat biasanya berupa pergunjingan, cemoohan, celaan  atau berupa pengurangan intensitas hubungannya dalam pergaulan. Sanksi semacam ini dapat dikategorikan lebih lemah, ringan dan bersifat sementara. Pada umumnya pelanggaran norma (dalam tingkatan cara berbuat) tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan berdiri atau makan sembari berbicara dan sebagainya. Apabila dalam kesempatan lain seseorang mampu mengendalikan dan menyesuaikan tindakannya dengan norma-norma sosial yang ada, maka porsi sanksi-sanksi yang pernah diterima sebelumnya lambat laun akan semakin berkurang dan kembali diterima dalam pergaulan sosial sebagaimana biasa.

b.  Kebiasaan (folkways)

Kebiasaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan pada satu waktu berulang-ulang pada waktu yang lain dalam bentuk dan cara yang sama. Dalam kurun waktu tertentu perilaku seseorang dalam berbuat senantiasa diikuti dan diakui oleh orang atau kelompok lingkungan sosial sekitarnya, sehingga menjadi kebiasaan umum. Kebiasaan merupakan indikasi lelaziman suatu perilaku, di mana masyarakat setuju dan mengakui perbuatan tertentu yang dilakukan seseorang. Menurut Mac Iver dan Page (1967), bahwa kebiasaan dapat diartikan sebagai suatu perikelakuan yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu suatu kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara berbuat (usage). Misalnya kebiasaan bertutur sapa lembut, ramah dan sopan santun terhadap orang lain yang lebih tua, pamit kepada orang tua jika hendak pergi, atau kebiasaan mengucapkan salam setiap bertemu orang lain.

c.  Tata-kelakuan (mores)

Tata-kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata-kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata-kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Tata-kelakuan ini berfungsi sebagai sarana dalam proses pendidikan sosial agar warga masyarakat tertentu dapat menyesuaikan diri dan mematuhi norma-norma yang berlaku. Menurut Soerjono Soekanto (1973), bahwa tata kelakuan ini dapat berfungsi sebagai pengendalian sosial, yaitu pengawasan oleh suatu kelompok terhadap individu dalam kehidupan sehari-hari.  Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya. Tujuannya agar sipelanggar norma dapat segera kembali menyesuaikan diri dan tunduk dengan tata-kelakuan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Bentuk hukuman biasanya pelanggar dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin terjadi pengusiran dari wilayah mukim kelompok sosialnya.

d.  Adat-istiadat (custom)

Adat-istiadat adalah tata-kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan Undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum. Misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya  diterapkan secara emosional, kekeluargaan dan kurang rasional. Sanksi yang dijatuhkan berdasarkan adat istiadat dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Misalnya dalam kasus yang sama, seorang yang diketahui (atau tertangkap basah) melakukan perkosaan, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan untuk selamanya atau diusir dari tempat tinggalnya untuk tidak kembali atau dapat juga dilakukan pemutusan hubungan keluarga dan pertalian sosial lainnya. Bagi masyarakat tertentu, dalam upaya memulihkan nama baik yang tercemar diperlukan suatu ritual dalam rangkaian upacara adat yang relatif banyak menyita waktu dan tenaga.

Norma-norma sosial, seperti cara berbuat (usage), kebiasaan (folkways), tata-kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom), kesemuanya merupakan aturan perilaku kehidupan sosial yang bersifat kemasyarakatan. Menurut Berry sifat kemasyarakatan ini adalah bukan saja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial, tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat.

Dari segi moral suatu norma lebih menekankan pada kebakuan standard tingkah laku seseorang dalam interaksi sosial. Alvin L. Bertrand (1980) menyebutnya sebagai norma-norma moral, yaitu merupakan standard-standard tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference) interaksi sosial. Juga sudah dikemukakan bahwa folkways, mores, adat istiadat serta hukum yang berlaku, kesemuanya itu merupakan bagian dari norma-norma tersebut. Norma sebagai salah satu bagian dari susunan kepribadian seseorang, ia dapat ditinjau dari sudut lain, walaupun bukan dari sudut yang terpisah sama sekali. Norma sebagai reaksi seseorang terhadap tuntutan kelompok, maka berarti ia beraksi demi kepentingan kelompoknya itu. Individu lebih menyadari norma-norma moral sebagai bagian dari konsepsi dirinya dibandingkan dengan kesadarannya terhadap perasaan-perasaan yang bersifat abstrak. Norma-norma moral itu menggambarkan tuntutan-tuntutan khusus suatu kelompok yang mendesak individu agar ia bertindak menurut cara-cara umum yang berlaku. Kebanyakan orang menganggap bahwa norma-norma tersebut lebih diutamakan daripada perasaan-perasaan abstrak yang mungkin merupakan kebalikan dari tingkah laku yang diharapkan. Bertrand mencontohkan seorang ayah atau ibu, boleh jadi selalu mengatakan "hemat pangkal kaya" kepada anak-anaknya. Tapi kenyataannya, mereka selalu terlibat dalam hutang yang banyak. Itu dilakukan karena mereka selalu berusaha "menyaingi tetangga di sebelah", yaitu hidup menurut standard yang diharapkan atau dinormakan bagi kelas sosial mereka. Norma-norma moral yang ideal pada umumnya diakui dan diketahui sebagai standard ajaran futurologis, namun kadangkala tidak berlaku dalam sosialisasi pada setiap kelas dan status sosial. Seorang ayah yang telah malang melintang dalam dunia kriminal, akan tetapi secara moral ia tetap mengajarkan kepada anak-anaknya agar berbuat kebajikan, taat beribadah dan patuh terhadap hukum yang berlaku.

Keyakinan-keyakinan yang tertanam dalam diri setiap individu semacam itu menunjukkan suatu ukuran nilai tertentu terhadap perbuatan-perbuatan yang baik maupun terhadap perbuatan-perbuatan yang buruk. Menurut Y.B.A.F. Mayor Polak (1979), norma-norma (norms) merupakan cara perbuatan dan kelakuan yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Sebagai suatu bagian dari kebudayaan non-material, norma-norma tersebut menyatakan pengertian-pengertian yang teridealisir dari perilaku. Perilaku erat kaitannya dengan persepsi seseorang tentang kebenaran dan kebaikan, meskipun perilaku itu dalam aspek pisik bisa dipandang sebagai bagian organisasi yang bersifat material. Terlepas dari kedua aspek tersebut (material dan non-material), secara umum norma-norma sosial biasanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk kebiasaan bertindak dan hukum-hukum dari suatu masyarakat tertentu yang tumbuh melalui kumpulan pikiran dan perasaan manusia. Oleh karena itu, dalam perkembangannya cenderung semakin banyak perbedaan standard perilaku antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Norma-norma sosial pada umumnya bersifat menentang, menolak atau menangkal berbagai kekuatan yang bersifat buruk, baik dari dalam maupun dari golongan-golongan luar yang merasa tak puas terhadap norma-norma sosial yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi konkritisasi norma sosial tidak selamanya dapat efektif menjamin stabilitas sosial. Oleh karena kekuatan antagonisme dari segala arah cenderung bergerak lebih dinamis  dan terselubung dalam diri individu, maka keyakinan terhadap fungsi positif norma sosial semakin lemah, bimbang dan labil. Kemudian kondisi hubungan sosial cenderung kaku, timbul konflik sikap dan perilaku antar warga masyarakat, kesalahan-pahaman dan dis-integrasi semakin merajalela. Pada sementara waktu,  dis-integrasi sosial memuncak, sehingga kompromi dan proses penyesuaian terancam.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo (1985), bahwa pada waktu individu-individu pertama-tama menjadi anggota sebuah kelompok, mereka seringkali membawa ukuran-ukuran normatif yang didapat dari kelompok-kelompok lain yang sedikit banyak konflik dengan norma-norma kelompok yang akan mereka masuki. Selama dalam periode tertentu anggota baru masih agak terisolir dari anggota-anggota lama. Sementara pihak anggota kelompok primer terdahulu dalam periode tertentu melakukan pengawasan dan mensosialisasikan norma-norma sosial yang berlaku sampai tumbuh suatu keyakinan bahwa anggota-anggota kelompok yang baru itu menunjukkan kesetiaan dan kepatuhannya terhadap norma kelompok. Perlakuan ini didasarkan pada keyakinan bahwa dalam masyarakat kompleks seseorang mempunyai peluang untuk masuk dalam berbagai kelompok. Dan oleh karena itu seseorang yang baru masuk menjadi anggota kelompok baru, tentu belum sepenuhnya kehilangan identitas norma kelompok sebelumnya, atau bahkan mungkin seseorang mempunyai identitas marginal. Kendatipun seseorang mampu menyesuaikan diri dalam kehidupan kelompok yang baru, akan tetapi kadangkala prinsip-prinsip norma moral yang telah tertanam kuat sebelumnya masih kental mendominasi dalam perilaku kehidupan kelompoknya yang baru. Di lain pihak ada pula individu-individu yang sengaja keluar dari kelompok semula untuk memperoleh harapan baru dengan cara bergabung, menyesuaikan diri dan berintegrasi ke dalam kelompok luar.

Faktor yang relatif kuat mendorong seseorang keluar dari kelompok semula dan segera bergabung dengan kelompok lain adalah karena terjadi pertentangan persepsi dan kepentingan terhadap masuknya norma-norma baru, atau karena adanya hasrat untuk memperluas jaringan hubungan kerja dengan norma-norma yang dianggap lebih terbuka dan rasional. Kuantitas terjadinya pertentangan antar anggota kelompok cenderung meningkat manakala mobilitas anggota suatu kelompok semakin meluas. Dirdjosisworo menegaskan bahwa tingkatan mobilitas yang tinggi di dalam keanggotaan kelompok cenderung disertai semakin menurunnya tingkat integrasi normatif. Suatu tingkatan mobilitas yang tinggi cenderung untuk mengganggu jaringan komunikasi yang ada di dalam suatu kelompok.

Puncak dis-integrasi yang mengakibatkan penderitaan itu biasanya mempengaruhi kesadaran anggota kelompok bahwa mereka memiliki persamaan perasaan dan nasib. Kesadaran inilah yang kemudian mendorong angota-anggota kelompok untuk melakukan penyelesaian konflik melalui proses adaftasi, kompromi ataupun dengan akomodasi. Kesadaran terhadap pentingnya norma-norma sosial sebagai alat kontrol sosial dari masing-masing anggota kelompok semakin meningkat. Pada awal penerapan norma-norma sosial yang baru disadari itu biasanya relatif ideal, di mana anggota masyarakat relatif tegas tergantung pada kekuatan norma sosial sebagai satu-satunya hukum yang dapat memaksa orang untuk berbuat kebenaran dan kebaikan sesuai dengan kepentingan umum.

Norma sebagai alat kontrol sosial mengandung unsur hukum yang secara formal memiliki daya paksa agar masyarakat mematuhinya. Namun demikian perkembangan norma sosial sebagai hukum masyarakat, bukan merupakan sistem norma yang berlaku selamanya, melainkan tergantung pada kepentingan para penganutnya. Suatu ketika bisa ditinjau kembali dan dilakukan penciptaan norma-norma baru yang dianggap lebih sesuai dengan nilai-nilai baru. Secara umum, fungsi norma sosial pada dasarnya sama dengan fungsi hukum, yaitu untuk menertibkan dan menstabilisasikan kehidupan sosial masyarakat dan menghindari terjadinya konflik dan dis-integrasi.

Efektif atau tidaknya fungsi norma sosial, sangat tergantung pada kekuatan pengakuan dan besarnya harapan masyarakat terhadap jaminan norma sosial itu sendiri sebagai landasan perilaku dalam usaha mengatasi berbagai gejala dan konflik sosial. Norma-norma sosial diharapkan dapat berfungsi untuk memberikan petunjuk tentang cara untuk mengatasi goncangan-goncangan sosial yang dianggap membahayakan bagi ketenteraman masyarakat. Semakin kuat ikatan warga masyarakat terhadap norma-norma sosial yang berlaku, maka ada kecenderungan pola perilaku dan hubungan sosial dalam sistem pergaulan kehidupan bermasyarakat semakin stabil. Sebaliknya apabila ikatan warga masyarakat terhadap norma-norma sosial itu telah semakin lemah, mungkin karena sistem pergaulan itu berkembang, terbuka dan komplek, atau karena sebagian besar perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan, dan menurunnya stabilitas kehidupan masyarakat, maka akan terjadi proses reformasi tatanan sosial budaya secara umum tidak dapat dihindari, baik secara terencana maupun secara alami. Pada fase ini segala pola perilaku dalam sistem pergaulan hidup cenderung berubah, yang sekaligus menunjukkan adanya perubahan-perubahan kebudayaan, khususnya pada aspek norma-norma sosial. Duncan Mitchell (1984) mengasumsikan peristiwa ini sebagai suatu akibat kesalahan. Kesalahan ini kian melemahkan struktur norma-norma yang menentukan cara hidup manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Radcliffe-Brown, bahwa euphoria atau kesejahteraan sosial telah dijadikan keadaan dysphoria dan sebuah tindakan harus diambil guna memulihkannya. Jadi pemulihan bergantung kepada tindakan sosial yang menunjukkan kebencian orang terhadap kesalahan itu, dan betapa seriusnya peraturan-peraturan dijaga.

Dalam konsep integrasi normatif menurut Dirdjosisworo, dapat dimengerti bahwa integrasi suatu kelompok merupakan hasil dari mekanisme sosial melalui norma-normanya memberikan pengaruh kepada anggotanya, sikap mereka dan tingkah laku mereka. Di dalam suatu kelompok yang kecil dan relatif homogen, maka norma-norma mendapatkan kontrol atas individu-individu melalui komunikasi dan tekanan timbal balik di antara seluruh anggotanya; yaitu melalui cara-cara yang menyangkut kelompok sebagai suatu keseluruhan. Tetapi di dalam kelompok-kelompok yang lebih kompleks khususnya di dalam masyarakat, sejumlah kelompok bagian di dalam struktur yang lebih besar memberikan pengaruh tambahan sebagai dukungan kepada norma-norma sosial. Dalam proses pembentukan kelompok baru, kelompok utama cenderung lebih besar memberikan pengaruh terhadap individu-individu.

Kelompok utama mempunyai status dan strategi yang baik dalam upaya mencapai suatu integritas sosial secara keseluruhan. Sepanjang terjadi persesuaian di antara anggota-anggota kelompok secara keseluruhan itu terdapat pula penerapan sanksi dan jaminan hak-hak pribadi secara umum dari norma-norma yang berlaku. Itulah sebabnya, maka integrasi sosial dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama. Dalam perspektif integrasi fungsional, persesuaian norma dapat membentuk ikatan kesatuan sosial dalam suatu kelompok, di mana sejumlah individu atau sub kelompok secara keseluruhan melakukan berbagai fungsinya secara timbal balik atau saling melengkapi. Sebagian besar interelasi yang menyangkut hubungan individu-individu lebih bersifat langsung dan berhadapan muka dalam setiap melaksanakan fungsinya tersebut.

Tentang arah, bentuk, dan kecepatan perubahan norma-norma sosial itu bisa bervariasi, tergantung pada latar belakang kekuatan desakan dan perbedaan kepentingan masing-masing kelompok masyarakat, bahkan tidak mustahil dalam proses perubahan itu sering menimbulkan penyimpangan-penyimpangan. Sebab utamanya adalah karena terjadi kristalisasi daya cipta dan perasaan kelompok-kelompok sosial yang cenderung mengikuti kesukaan atau kebiasaan yang bersifat intern. Sebagai contoh, di satu pihak suatu kelompok atau individu menganggap bahwa kebiasaan untuk tidur disore hari adalah baik, alasannya supaya kelelahan kerja yang dilakukan pada siang harinya menjadi sirna, akan tetapi mungkin pihak lain menganggap hal itu kurang baik dengan berbagai alasan pula. Begitu pula dengan kebiasaan sikat gigi, yang sebenarnya harus dilakukan sehabis makan, akan tetapi banyak pula orang melakukannya sebelum makan. Secara ideal masyarakat selalu memuja perbuatan jujur dan adil (jurdil), tetapi dalam proses peranannya banyak orang membenarkan, mengakui dan melakukan korupsi.

Jika kebiasaan pribadi kemudian dapat berkembang menjadi kebiasaan bersama (umum) yang diakui dan diyakini bersama akan kebenaran, keuntungan serta kebaikan bersama, maka kebiasaan ini akan tumbuh menjadi aturan yang dianggap dapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi sebaliknya apabila pada waktu yang sama ada seorang atau lebih melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah diakui bersama itu, maka lambat atau cepat akan menimbulkan kegoncangan-kegoncangan sosial ataupun dis-integrasi sosial. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa dalam situasi tak menentu, bagi masing-masing warga akan membela dan mempertahankan norma kelompoknya, sama seperti kalau seseorang terhina, maka keluarganya pasti merasa terhina juga, bahkan bisa balik menghina atau meminta ganti rugi atas pencemaran nama baiknya.

Pada kebiasaan tertentu dalam peneyelesaian pertikaian (konflik) masing-masing pihak tidak memilih penengah dari orang yang mempunyai hubungan dengan salah satu pihak, akan tetapi cenderung memilih pihak lain yang bebas kaitan dengan kedua belah pihak. Maksudnya adalah agar tidak terjadi keputusan yang tendensius atau memihak, karena pada dasarnya pribadi-pribadi adalah sosok yang sangat subyektif. Sementara itu landasan penyelesaian masalah, tentu dipilih orang-orang yang mempunyai wawasan yang luas yang sedikitnya mencakup pemahaman tentang persamaan dan perbedaan norma-norma yang dianut oleh kedua belah pihak yang bertikai. Kebiasaan masyarakat tergantung kepada pihak luar untuk menyelesaikan konflik intern dapat mengakibatkan putusnya kepercayaan terhadap tokoh-tokoh intern. Celakanya, jika pihak luar itu tidak berhasil menyelesaikan tersebut, maka konflik yang terjadi akan berlangsung berkepanjangan.

Menurut Ferdinand Tonnies (Soerjono Soekanto, 1982), bahwa kebiasaan itu mempunyai tiga arti, yaitu:

Dalam arti yang menunjuk pada suatu kenyataan yang bersifat obyektif. Misalnya, kebiasaan untuk bangun pagi-pagi, kebiasaan untuk tidur siang hari, kebiasaan untuk minum kopi sebelum mandi dan lain-lain. Artinya adalah, bahwa seseorang bisa melakukan perbuatan-perbuatan tadi masuk dalam tata cara hidupnya.
Dalam arti bahwa kebiasaan tersebut dijadikan norma bagi seseorang, norma mana diciptakannya untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, maka orang yang bersangkutan yang menciptakan suatu perikelakuan bagi dirinya sendiri.
3. Sebagai perwujudan kemauan atau keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.

Kebiasaan bersikap atau melakukan suatu tindakan tertentu, baik bagi pribadi maupun bagi kelompok, pada umumnya dimaksudkan sebagai suatu pedoman dalam usaha pencapaian tujuan kebaikan dan kesejahteraan hidupnya. Kebaikan dan kesejahteraan sebagai hasil dari sikap tindak seseorang dalam masyarakat itu bisa timbul dari hasil peniruannya terhadap orang lain atau sekelompok orang lain. Dan apabila kebaikan dan kesejahteraan yang dimiliki seseorang itu bisa berlaku juga bagi orang atau pihak lain lagi, maka orang yang sebagai pencetus ide dan sikap tindak tadi dianggap sebagai "orang teladan". Sikap tindak itu kemudian diidentifikasi dan diadopsi oleh masyarakat sebagai norma sosial umum yang memiliki daya pengikat yang relatif kuat. Alasannya, karena sikap tindak orang itu dianggap dapat memberikan tuntunan, petunjuk atau penerangan dalam upaya mencapai kesejahteraan individu atau sekelompok masyarakat setempat.

Secara sosiologis, norma-norma sosial yang telah diakui dan dianut dalam waktu yang relatif lama oleh masyarakat setempat disebut sebagai adat istiadat. Adat istiadat adalah suatu pola perikelakuan (cara bertindak/berkelakuan) yang tidak lagi hanya mencerminkan sikap tindak perorangan, akan tetapi ia telah merupakan pola perikelakuan bagi orang-orang bersama dalam masyarakat. Pola-pola perikelakuan yang disebut adat-istiadat itu berlaku sebagai patokan bertindak bagi pribadi atau setiap orang dalam masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus berdasarkan petunjuk-petunjuk atau ketentuan normatif dari pola-pola perikelakuan masyarakat yang berlaku pada umumnya.

Jadi ada perbedaan antara kebiasaan dan adat-istiadat. Kebiasaan adalah cara-cara seseorang dalam bertindak yang kemudian dapat diakui oleh anggota-anggota masyarakat lainnya, atau jika seseorang tersebut berada dalam suatu kelompok, maka kemudian pola perilakunya diikuti oleh  anggota-anggota kelompok yang lainnya. Sedangkan adat istiadat adalah cara-cara bertindak yang telah diakui bersama, dilakukan bersama-sama oleh semua anggota masyarakat dan telah mempunyai norma-norma yang sama pula.

Selanjutnya norma-norma dan pola-pola perikelakuan atau adat istiadat itu secara bersama-sama berproses menjadi suatu lembaga (institutsi), terutama tentang aturan-aturan mengenai hubungan seseorang dengan orang lain dan suatu organisasi sosial atau dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Namun demikian, menurut P.J. Bouman (1982) bahwa paham norma itu agak lebih terletak dalam suasana kesadaran; secara etis lebih netral dari pada pengertian institusi oleh karena lebih terarah kepada "yang seharusnya" dari pada kepada  "yang ada". Oleh karena itu maka Bouman kemudian menganggap bahwa norma lebih jelas dari pada kebebasan manusia. Pembatasan-pembatasan kebebasan yang ditunjukkan oleh norma misalnya adalah perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah menunjukkan jalan yang telah ditentukan; larangan menutup jalan tertentu dan memberikan jalan yang terbuka atau tidak mengadakan sesuatu tentang hal itu.

Mengenai penundukan kepada norma itu menurut Bouman, lebih didasarkan atas pertimbangan ketepatgunaan dan atas pengakuan peraturan moral yang didalamnya berlaku fungsi kata hati. Dalam proses-proses sosialisasi dan proses-proses internalisasi, secara rasional kata hati itu berfungsi sebagai pembentuk kepribadian seseorang. Kepribadian orang-orang dalam komunitas sederhana, seperti masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan, atau kesatuan-kesatuan masyarakat yang masih mempunyai ikatan hubungan sosial ke dalam dan relatif konservatif atas pengaruh kehidupan modern yang rasional, cenderung memiliki pengakuan lebih tinggi terhadap norma-norma yang mengandung nilai-nilai kesusilaan dan hubungan sosial tanpa pamrih. Realitas perilaku masyarakat senantiasa mengikuti kaidah-kaidah kebiasaan (habit) lokal atau kelaziman/adat (folkways) setempat yang relatif murni didorong oleh suatu keyakinan, perasaan dan moral, dan kurang mengutamakan kemampuan berpikir secara rasional.

Dengan demikian berarti keberlakuan folkways adalah sebagai peraturan yang dipatuhi berdasarkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai budaya pada umumnya. Nilai-nilai moral itu abstrak sifatnya, akan tetapi ia seolah-olah nyata, dianggap baik, sopan dan santun, sehingga nilai-nilai moral dan budaya itu kemudian dijadikan suatu pedoman bagi masyarakat secara umum dalam setiap bertindak. Keberlakuan norma-norma sosial semacam ini menurut pengertian sosiologis disebut dengan aturan kesusilaan (mores). Seperti hal itulah norma-norma sosial yang ada dan berlaku dalam masyarakat dalam pengertian komunitas.

Ada beberapa ciri utama norma sosial dalam kehi-dupan masyarakat, yaitu:

1. Norma-norma diakui dan berlaku menurut arus perkembangan kebiasaan tertentu, tanpa didasarkan pada kemampuan berpikir.
2. Norma-norma diakui dan dipatuhi didasarkan atas perasaan, moral dan keyakinan, bahkan apa yang dilakukan tersebut adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan anggota masyarakat secara umum.
3. Norma-norma merupakan aturan-aturan yang berlaku adalah tidak tertulis dan informal sifatnya.
4. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang lebih didasarkan pada pola kelakuan yang pada umumnya diakui dan dilakukan oleh pihak lain atau anggota-anggota masyarakat yang lainnya.

Dengan melihat kenyataan diatas, nampak seolah-olah ada pembauran antara pengertian kelaziman dan pengertian aturan kesusilaan. Pemisahan antara keduanya hampir tak mungkin, keduanya mempunyai hubungan yang erat. Untuk menghindari kekaburan dan kesalah-tafsiran terhadap bentuk perkembangan norma-norma sosial itu, Mayor Polak (1979), berpendapat bahwa ... "Mores" adalah norma-norma untuk kelakuan yang merupakan kongkretisasi dari "nilai-nilai kebudayaan" (value). Sedangkan Folkways merupakan kelakuan-kelakuan sosial manusia yang lazim atau pantas menurut penilaian masyarakat secara umum.

Untuk penjelasan lebih lanjut, Polak kemudian memberikan contoh tentang perbedaan antara Folkways dan mores, yaitu: bahwa Folkways itu memuat cara-cara kelakuan yang membawa penghormatan dalam pergaulan orang, sedangkan mores membawa penghormatan kepada ibu-bapak dan orang-orang yang umurnya lebih tua. Aturan kesusilaan menghendaki agar kita menutup badan dengan pakian, sedangkan kelaziman menghendaki agar kita tidur dengan memakai piyama atau kain, dan datang diruang kuliah dengan memakai shirt dan celana panjang, dan tidak sebaliknya. Penyimpangan dari kelaziman dianggap ajaib, biadab atau "gila" dan ditertawai atau diejek, sedangkan penyimpangan dari aturan kesusilaan dianggap salah atau jahat.

Kelaziman dan aturan kesusilaan dalam setiap kehidupan masyarakat adalah berbeda-beda sesuai dengan latar belakang kepentingan, lingkungan sosial dan fisik, suku dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut masyarakat setempat. Keadaan ini berlaku bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu terdiri dari berbagai daerah, suku dan nilai-nilai budaya, yang berarti nilai-nilai kepantasan dari aturan kesusilaan bagi setiap orang dan kelompok masyarakat  adalah berbeda-beda. Kepantasan menurut penilaian seseorang atau sekelompok orang tertentu mungkin berbeda dengan kepantasan yang dinilai oleh orang atau sekelompok orang lainnya. Misalnya, kelaziman dan aturan kesusilaan yang dianut oleh masyarakat Jawa berbeda dengan kelaziman dan aturan kesusilaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat di Sumatera. Hal ini dapat dilihat dari kelaziman dan aturan kesusilaan dalam proses pelaksanaan perkawinan misalnya. Di Lampung masyarakat menganggap wajar jika si "Lekok" melarikan gadis si "Sampot" sebagai sesama orang lampung (kawin lari = sebambangan), karena ada alasan tertentu yang membuat hal itu menjadi pantas, baik dan diakui. Dalam hal tatacara dan hubungan pergaulan, orang Sumatera pada umumnya lebih bersifat apa adanya, terbuka dan bernada tinggi dalam berbicara. Sebaliknya dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya tidak demikian, malah justru apa yang dilakukan dan diakui oleh masyarakat Lampung mengenai adat perkawinan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan norma kesopanan dan dapat berakibat menjatuhkan martabat keluarga besar mereka. Orang Jawa dalam pergaulannya cenderung lebih mengutamakan penampilan perilaku lemah lembut dengan keragaman berbasa-basi, nada dalam berbicara lebih rendah dan halus, terutama terhadap orang yang lebih tua atau terhadap orang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu, baik status sosial, ekonomi, keningratan ataupun karena memiliki jasa dan kharisma.

Dalam lingkup yang lebih luas lagi, misalnya perbedaan kelaziman dan aturan kesusilaan yang berlaku diberbagai negara di dunia. Secara umum kelaziman merupakan kebiasaan belaka, artinya apabila dilakukan situasi hubungan berjalan biasa/normal, akan tetapi jika tidak dilakukanpun, tidak ada hukuman atau sanksi yang dibebankan terhadap pelakunya. Perasaan bersalah yang timbul dalam diri seseorang karena perbuatannya itu, tidak begitu besar berpengaruh menekan pikirannya untuk merubah sikap atau mematuhi sepenuhnya kebiasaan yang berlaku tersebut. Sedangkan aturan kesusilaan lebih menekankan pada beban moral, perasaan dan kepentingan bersama; apabila seseorang tidak melakukan dan tidak mematuhinya, maka meskipun tidak nampak sanksi sosial yang langsung dalam bentuk perilaku ataupun ucapan, namun secara terselubung dan perlahan masyarakat menghembuskan gunjingan sosial berupa label buruk terhadap pelakunya yang dianggap melanggar kelaziman moral tersebut. Dalam berhadapan dengan resiko dan beban moral semacam ini tumbuh perasaan tak enak, sehingga seseorang  kembali mengoreksi diri dan kemudian membawa kesadarannya untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan umum. Kelaziman dan aturan kesusilaan suatu masyarakat selalu berbeda-beda, juga dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan tuntutan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Baik kelaziman ataupun aturan kesusilaan, secara garis besar keduanya berfungsi sebagai petunjuk bagi individu dalam berperilaku agar hubungannya dengan masyarakat secara umum dapat teratur dan harmonis dalam tatanan sosial kehidupannya. Kelaziman dan aturan kesusilaan itu adalah cerminan dari pengakuan orang atau masyarakat terhadap norma-norma sosial. Dan norma-norma sosial itu adalah bagian dari nilai kebudayaan. Menurut Ralph Linton, kebudayaan adalah designs for living, atau "garis-garis atau petunjuk-petunjuk dalam hidup; tepatnya kebudayaan merupakan garis-garis pokok tentang perikelakuan. Dalam hal ini Soerjono Soekanto (1982), menyebutkan bahwa unsur-unsur normatif yang merupakan bagian dari kebudayaan adalah sebagai berikut:

1. Unsur-unsur yang menyangkut penilaian (evaluational element) seperti misalnya apa yang aik dan buruk, apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, apa yang sesuai dengan dianut oleh keinginan dan apa yang tidak sesuai dengan keinginan tersebut.
2. Unsur-unsur yang berhubungan dengan apa yang seharusnya (prescriptive elements) seperti misalnya bagaimana oran harus berlaku.
3. Unsur-unsur yang menyangkut kepercayaan (cognitive element) seperti misalnya harus mengadakan upacara adat pada saat kelahiran, pertunangan, perkawinan dan lain-lain.

Dengan demikian berarti norma-norma sosial merupakan bagian dari kebudayaan yang mencakup tatacara yang baik dan pantas dalam setiap tindakan atau usaha individu untuk mencapai tujuan-tujuannya dalam kehidupan maysarakat.

Daftar Pustaka
1. Abdulsyani, 2007. Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
2. David Berry, 1982. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. disunting dan dihantar oleh: Paulus Wirutomo. CV.Rajawali, Jakarta.
3. Duncan Mitchell, 1984. Sosiologi Suatu Analisa Sistem Sosial. PT. Bina Aksara, Jakarta.
4. Mayor Polak, 1979. Sosiologi, Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT. Ichtiar Baru, Jakarta.
5. P.J. Bouman, 1982. Sosiologi Fundamental, Terjemahan: Ratmoko. Jambatan, Jakarta.
6. Soedjono Dirdjosisworo, 1986. Azas-azas Sosiologi. Penerbit: Armico, Bandung.
7. Soerjono Soekanto, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. CV. Rajawali, Jakarta.




Senin, 16 Mei 2016

METODE SOSIO-KULTURAL PENANGGULANGAN KEJAHATAN

METODE SOSIO-KULTURAL
PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Oleh: Abdul Syani


1. BENTUK KESATUAN HIDUP MASYARAKAT LAMPUNG

Bentuk  kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup  bertetangga  di kampung-kampung penduduk asli pada umumnya  didasarkan pada  hubungan territorial  dan  genealogis.  Kerukunan  kampung dibagi dalam beberap "bilik", mengikuti aliran sungai atau  jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat rupakan penerus perintah Kepala  Kampung.  Kepala suku hanya  merupakan penerus perintah Kepala Kampung, dan tidak berhak untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau keluarga somah.

Terbentuknya  kesatuan  hidup sekampung  atau  hidup  mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau penangkapan  ikan. Pada  mulanya  mereka berbeda dalam asal-usul  keturunan,  tetapi kemudian  bersati karena adanya ikatan kekerabatan adat  kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu  baik karena hubungan ikatan pertali darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).

Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses  musyawarah  dan  mufakat yang diketahui oleh seorang  kepala  keluarga dari  keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang  pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat  adat pepadun).  Dewan  musyawarah dan mufakat  tidak  selamanya  harus dipimpin oleh seorang ketua tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama Ketua. Pimpinan demikian  itu berlaku tidak saja di adalam musyawarah orang  tua-tua  kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku  dalam  kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara.

Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong  dan persaudaraan.  Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan,  saling memberi  serta  saling menghargai, merupakan  inti  keakraban  di antara  merka. Keakraban ini akan bertambah kuat  apabila  mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam  pembukaan  ladang bersama, kebun  tanaman  keras  bersama, pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan bersama, serta kegiatan lainnya.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, biasanya sekaligus tumbuh pula berbagai nilai dan norma sosial yang baru, dan  dapat mengakibatkan bergesernya  ukuran-ukuran taraf kehidupan  tertentu,  yang kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat.

Pada  perkembangan terakhir, di mana kondisi hubungan  masyarakat semakin  komplek  menuntut kreatifitas  kearah  usaha  pertahanan sosial ekonomi secara internal. Masyarakat pada umumnya cenderung mengurangi  perhatian  dan  ketergantungan  masyarakat   terhadap nilai-nilai budaya tradisional dan semakin sibuk dengan kepentingan keluarganya sendiri. Ada indikasi bahwa keberadaan penyimbang dan institusi adat tradisional dianggap tidak mampu menampung dan menyelesaikan  masalah  sosial ekonomi yang  dihadapi  masyarakat masa  kini. Kondisi kehidupan masyarakat demikian, kemudian  mendorong masyarakat untuk mencari usaha alternatif yang keluar dari batas-batas  ideal  ketentuan adat. Oleh  karena  sebagian  besar penganut  adat  budaya ini melakukan terobosan baru  kearah  pola sikap  perilaku yang rasional dan ekonomis, maka norma-norma  dan sanksi  adat semakin longgar dan lemah. Sementara  itu  kehidupan modern yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan  teknologi belum dapat dicerna sebagai alternatif untuk meningkatkan  status sosial ekonominya kearah yang lebih baik.

2. TIPE DAN PERILAKU KEJAHATAN

Kejahatan menurut William W. Bonger adalah perbuatan anti  sosial yang  secara sadar memperoleh reaksi dari negara berupa  hukuman. Thorsten  Sellin: Kejahatan adalah pelanggaran norma-norma  kelakuan  (conduct  Norms) yang tidak harus terkandung  dalam  hukum. Secara  umum  kejahatan dapat diartikan  sebagai  perbuatan  atau tindakan  yang  bertentangan dengan  norma-norma  kemasyarakatan, merampas  hak-hak  dan kebahagiaan orang lain,  yang  menimbulkan kecemasan  dan terganggunya ketertiban umum.   Menurut  paradigma realitas sosial, kejahatan bukanlah sesuatu yang melekat  (inherent)  dalam perilaku, melainkan lebih merupakan  suatu  penilaian yang dibuat oleh suatu pihak terhadap tindakan-tindakan dan ciri-ciri pihak lain (Mulyana W. Kusumah (1984:25).

Berdasarkan  kualitasnya  kejahatan  dapat  dibedakan  atas  tiga kategori,  yaitu: Pertama, kejahatan yang dilakukan dengan  sadar dan niat, yaitu perbuatan melanggar yang dilakukan dengan sengaja dan  secara sadar. Pelaku benar-benar mengetahui akibatnya  dapat merugikan masyarakat, melanggar hukum negara. Dengan unsur sengaja ini dapat lebih mudah mengembangkan tujuan jahat dan mengorganisasi  dalam masyarakat. Kedua, kejahatan yang dilakukan  dengan tidak  sadar/tanpa  niat, yaitu perbuatan  yang  dilakukan  tidak diketahui  secara jelas akan berakibat merugikan  masyarakat  dan seberapa  besar  kadar pelanggaran hukumnya. Apa  yang  dilakukan mungkin  karena tekanan dan keterpaksaan tertentu yang  berkaitan dengan  kesulitan  kehidupan sehari-hari. Jika  kondisinya  tidak berubah,  maka batasan ini bisa berkembang menjadi batasan  sebelumnya. Ketiga, kejahatan yang dilakukan karena membela diri atau karena gangguan/sakit jiwa.

Sedangkan  menurut berat ringannya kejahatan dapat  dinilai  atas kuantitas  pelakunya dan ukuran solidaritas dari  anggota-anggota kelompok  penjahat  (gang). Menurut von  LIZT  (Stephan  Hurwitz, 1986:144) dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Pelanggar hukum yang kadang-kadang/karena ada kesempatan;
2. Pelanggar  hukum  yang kemampuannya  untuk  menyesuaikan  diri dengan   norma-norma   yang  berlaku  berkurang   sekali   dan sukar/hampir  tidak dapat diperbaiki dengan jalan  denda  atau pidana penjara selama waktu pendek;
3. Pelanggar hukum yang tidak ada pengharapan dapat  menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Menurut cara melakukannya dapat dibedakan atas 5 kategori, yaitu:

1.  Dengan  kekerasan yang meliputi penganiayaan,  pembunuhan  dan pemerkosaan; biasanya tipe kejahatan ini diawali dengan  penodongan, perampokan atau pemerasan terhadap sasaran;
2. Dengan tindak pencurian, yang meliputi segala hak milik berupa harta benda atau perekonomian;
3. Dengan penggelapan atau penyalahgunaan wewenang atas kedudukan tertentu.  Sifat  kejahatan ini relatif rumit dan  tak  nyata, sehingga reaksi masyarakat juga samar;
4. Dengan melakukan penghianatan, sabotase atau dengan  mata-mata (meliputi seluruh kejahatan politik);
5. Melakukan  kekacauan terhadap keamanan  (termasuk  pelanggaran hukum  ketertiban,  seperti pelacuran,  pengmis,  gelandangan, aksi protes, dsb.).

Berat  ringannya  kejahatan dapat juga dilihat dari  aneka  ragam bentuk kejahatan dan perkembangan karier penjahat, yaitu:

1. Kejahatan  tergolong ringan karena baru satu jenis  kejahatan saja yang pernah dilakukan atau ditekuni;
2. Kejahatan  tergolong  menengah ringan  karena  paling  sedikit telah  melakukan  atau  memiliki keahlian  4  jenis  kejahatan berlainan;
3. Kejahatan  digolongkan menengah berat karena  telah  melakukan minimal 4 kali dari masing-masing 4 jenis kejahatan berlainan;
4. Kejahatan tergolong berat apabila telah dilakukan pengembangan melalui organisasi dan dapat berubah dari satu jenis kejahatan kepada jenis kejahatan lain dengan mudah.

Secara garis besar tipe kejahatan dapat dibedakan atas 2  bagian, yaitu  Kejahatan karena ada niat (getaran hati)  dan  kesempatan. Tindak kejahatan atas dasar kesempatan dapat dikategorikan ringan karena pelakunya rata-rata hanya menanti, menemukan atau  menanti kesempatan tertentu. Dalam sub kategori menemukan kesempatan jauh lebih  berat godaannya untuk berlanjut menjadi tindak  kejahatan, karena tidak sewaktu-waktu dapat ditemukan; apalagi bentuk godaan besar sedangkan pelanggarannya mudah, seperti menemukan  sekarung uang ditempat yang sepi. Sementara tidak kejahatan atas  dorongan niat  atau getaran hati dapat dikategorikan lebih  berat,  karena menyangkut dorongan keinginan dan pikiran yang dimantapkan dengan arah  tujuan  mengenai keuntungan atau kepuasan  diri.  Misalnya, oleh  karena camer tak setuju, putus cinta, dendam, dan  akhirnya terdorong untuk membunuh pacar dengan cara-cara tertentu.

3. LATAR BELAKANG KEJAHATAN

Timbulnya kejahatan bermula dari stabilitas norma-norma  masyarakat  mulai  terganggu, dan tidak dapat  berfungsi  efektif  dalam mengatur tingkah laku masyarakat, sehingga sebagian individu yang sensitif  terhadap kondisi tersebut dengan  segala  kekurangannya cenderung  bersikap  dan berperilaku anti sosial.  Disamping  itu karena pengaruh kemiskinan, yaitu suatu keadaan dimana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan  untuk memenuhi  kebutuhan hidupnya secara wajar. Keadaan ini  mendorong seseorang untuk berbuat dan menciptakan sendiri cara-cara  pencapaian perbaikan ekonominya secara subyektif dan diluar  ketentuan publik.  Jika  usahanya itu mengalami kegagalan,  maka  seseorang akan melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap  norma-norma sosial  dan hukum. Jadi perbuatan jahat terjadi karena  ia  tidak mampu  menyesuaikan  diri dengan keadaan-keadaan yang  ada  dalam masyarakat.

Ada beberapa aliran tentang sebab-sebab kejahatan, yaitu:

a. Aliran lingkungan seseorang melakukan kejahatan karena  dipengaruhi  oleh faktor sekitarnya/lingkungan, baik  ekonomi,  sosial,  budaya  dan pertahanan serta kebudayaan  luar  termasuk penemuan teknologi baru.
b. Aliran  antropologis  mengatakan bahwa  kejahatan  dipengaruhi oleh faktor keturunan, ciri pisik, keterbelakangan budaya  dan moral.  Lambroso mengatakan bahwa ciri-ciri manusia yang  mempunyai persamaan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh  keturunan  yang  lebih jauh (keturunan kera menurut  teori  evolusi Darwin).
c. Aliran  bio-sosiologi  menjarkan  bawa  kejahatan  itu  timbul karena  faktor  individu dan faktor lingkungan  sosial.  sifat individu  warisan orang tua, seperti kondisi  pisik,  kelamin, umur,  intelektualitas, temperamen, dan kesehatan.  Lingkungan sosial  terdiri dari keadaan alam, ekonomi, tingkat  peradaban dan kehidupan masyarakat sekitar. Menurut Sellin (Soedjono D., 1977:41), bahwa manusia dilahirkan dalam suatu kebudayaan, dan biologis  siap untuk penyesuaian dirinya terhadap  orang  lain dalam  masyarakat. Hubungan sosialnya merupakan  suatu  proses koordinasi    yang    terus    menerus,    dengan     menerima idea-idea/nilai-nilai  yang  diakui masyarakat  (adat,  kepercayaan dll). Hal ini jika seseorang tak mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, maka kemudian ia akan semakin  mengisolir diri (anti sosial) yang pada  akhirnya  ia akan masuk dalam kategori manusia sosio-path.
d. Aliran spiritualis, bahwa kejahatan itu timbul karena ketidaktaatan  terhadap  agama.  Dalam ajaran  ini  menganggap  bahwa ajaran kesolehan beragama dapat mengekang kehendak hati  untuk berbuat  jahat,  minimal seseorang akan merasa  takut  berbuat dosa.

Untuk menetapkan perilaku tertentu tergolong kejahatan atau bukan dapat diukur dari kelengkapan unsur kejahatan itu, adapun  unsur-unsur itu adalah:

1. Pelaku (actor);
2. Perbuatan (the action);
3. Obyek perbuatan itu;
4. Hasil perbuatan itu;
5. Tempat perbuatan tersebut;
6. Waktu dilakukannya perbuatan itu;
7. Lingkungan sosial perbuatan itu;
8. Observasi perbuatan itu;
9. Laporan perbuatan itu;
10. Referensi perbuatan dihadapan pengadilan;
11. Pengadilan dan keputusan hakim;
12. Permohonan dan pengesahan (keputusan hukum).

4. TUJUAN DAN KEPENTINGAN TINDAK KEJAHATAN

Tujuan  dan  kepentingan  penjahat pada  umumnya  yang  mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan diantaranya adalah:

1. Keinginan  untuk hidup mewah (ekonomi, kekayaan, harta  benda, karena desakan, kekurangan atau keserakahan);
2. keinginan untuk mencari popularitas;
3. keinginan  mendapat  status  atau  jabatan  (sosial,  politik, ekonomi);
4. kebutuhan seks yang tak terkendali;
5. keinginan untuk menjadi orang sakti (kuat);
6. keinginan menjadi orang terhormat/berwibawa; kebutuhan fasilitas.

Untuk mencapai tujuan atau kepentingan itu dapat dilakukan secara langsung  atau tak langsung (perantara). Secara langsung  berarti seseorang  dalam  usaha  mencapai  kepentingannya  itu  bertindak dengan kemampuannya sendiri, yaitu dengan mengandalkan keterampilan,  keahlian,  kebiasaan, kekuatan  dan  cara-caranya  sendiri. Kemampuan  sendiri ini dipraktekkan langsung pada sasaran  secara tak  halal  dan  bertentangan dengan hukum  dan  peradaban  umum. Sedangkan  cara  yang tak langsung dilakukan  dengan  menggunakan perantara, diantaranya melalui jasa orang lain (seperti, jabatan, kekuasaan  orang lain); bisa juga melalui kekuatan magis.  Bentuk tindak  kejahatan dapat berupa aksi terror, aksi pengaruh  dengan akal/  pikir, kekerasan/penganiayaan  (terbuka/terang),  Penipuan (gelap), dan dengan menggunakan kekuatan supernatural (magis).

Khususnya melalui kekuatan supernatural (magis) biasanyanya dapat dengan memanfaatkan jasa pihak lain atau dengan melakukan sendiri dengan proses tertentu atau harus memenuhi syarat-syarat  tertentu,  seperti  patigeni,  mutih, bertapa, minum  darah  ular  atau dengan membunuh sejumlah orang.

5. MODUS OPERANDI KEJAHATAN

Berbagai  tindak kejahatan yang sering terjadi khususnya di  Lampung, seperti pencurian, perampokan dengan kekerasan,  pengedaran obat-obat  terlarang, perjudian, pemalsuan, penyalahgunaan  wewenang  dan lain-lain. Beberapa jenis kejahatan tersebut  dilakukan dengan sengaja mendatangi sasaran dengan memaksa, dan jika diperlukan dengan kekerasan sampai pada pembunuhan.  Bagi mereka  yang tidak  memiliki kekuatan pisik bisa dilakukan dengan cara  menipu dan  mencari kesempatan.
Ada  tiga golongan modus operandi kejahatan sesuai dengan  kemampuan, keberanian dan profesi pelakunya. Pertama, kelompok kejahatan  insidental  yang melakukan kejahatan atas  dorongan  desakan kebutuhan sekarang secara cepat. Para pelakunya rata-rata relatif muda  sebagai pemula yang kurang terampil dan tanpa rencana  yang matang.  Sasaran kejahatan pada umumnya adalah  pihak-pihak  yang dianggap  lemah, dengan waktu dan lingkungan yang tak  terjangkau pertolongan.  Itulah sebabnya maka pelaku kejahatan  semacam  ini jika  tidak berhasil melaksanakan aksinya sering dihakimi  massa. Kedua, kejahatan yang beroperasi di pinggiran kota, di pusat kota yang kumuh atau di daerah-daerah yang bersifat marginal.  Opearasinya cenderung dilakukan beberapa orang yang disertai  kekerasan dengan  senjata tradisional, seperti meminta dengan paksa  (penodongan) dan pemerkosaan. Ketiga, kejahatan yang tergolong  profesional, gerakannya cenderung terencana dengan estimasi dan seleksi  sasaran yang relatif akurat. Resiko diperhitungkan,  termasuk teknik perlawanan terhadap korban. Pemilihan peran pelaku  kelompok kejahatan ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan  keahlian masing-masing agar dapat dilaksanakan dengan waktu yang  singkat. Termasuk  ada bagian yang bertugas mengawasi pihak yang  berwajib atau yang bekerjasama dengan aparat hukum. Oleh karena itu kelompok penjahat ini ada yang menggunakan senjata api, radio panggil, HT., obat bius dan kekerasan lainnya jika saat diperlukan.  Dalam operasi kejahatan tertentu, mereka sering melibatkan oknum  pejabat atau penguasa tertentu.

Kejahatan  di  Lampung selama tahuan terakhir  nampak  menunjukan perkembangan  sehubungan dengan menurunnya nilai rupiah  dan  meningkatnya  harga  bahan pokok. Kejahatan jenis  perampokan  yang sertai  kekerasan  dan penganiayaan, cenderung  dilakukan  secara berutal,  nekad  dan  lebih berani  melawan  ancaman  masyarakat, termasuk  ancaman pihak yang berwajib. Disinyalir  para  penjahat ini  pada  umumnya  menggunakan senjata  tajam  (celurit,  golok, pisau,  parang), besi dan benda tumpul lainnya,  bahkan  beberapa kejahatan yang menggunakan senapa api. Senjata ini semula digunakan untuk mengancam, akan tetapi jika tidak berhasil atau  karena pihak sasaran melawan, maka mereka tidak segan-segan  menggunakan senjata tersebut untuk melukai atau membunuhnya.

6. AKIBAT TINDAK KEJAHATAN

Setiap tindak kejahatan selalu mengakibatkan kerugian bagi berbagai  kalangan, khususnya bagi individu ataupun  bagi  masyarakat, khususnya bagi pihak korban secara langsung. Pada umumnya kejahatan  itu  dapat berakibat merugikan  secara  ekonomis;  disamping merugikan  secara  psikologis (keadaan kejiwaan  dari  masyarakat yang  dilukai perasaan kesusilaannya dengan kejahatan itu),  khususnya  bagi  korban cukup tertekan perasaan dan  jiwanya  karena kehilangan  anggota keluarganya. Dari pihak penjahat dan  keluarganya sendiri cukup menderita akibat perbuatannya, apalagi sekarang Dukun AS yang konon kabarnya diancam hukuman mati.

Mengenai ukuran kerugian itu dapat dilihat dari sifat dan luasnya kerugian yang diakibatkan terhadap masyarakat secara keseluruhan, termasuk  pribadi-pribadi,  masyarakat  dan  kere-sahan  kalangan penegak  hukum.  Kerugian yang ditimbulkan oleh  kejahatan  dapat dihitung dari kehilangan hak-hak yang sebelumnya dimiliki korban, seperti kekayaan, status dan fasilitas-fasilitas tertentu.

Kecuali itu dapat juga dilihat dari buruknya persepsi, sikap  dan perilaku  masyarakat  terhadap tingkat kekacauan  dan  ketertiban sosial  yang  terjadi  akibat suatu  kejahatan.  Secara  rasional kerugian dapat dihitung melalui bahaya, kerusuhan dan  kere-sahan yang  timbul,  serta jumlah korban dan  kerugian  materi.  Secara emosional dapat dilihat dari kondisi perkembangan reaksi masyarakat  terhadap  akibat kejahatan itu. Ada  kecenderungan  besarnya rasa  ketakutan, kecemasan dan dendam masyarakat terhadap  pelaku kejahatan,  dapat  mendorong masyarakat  untuk  bertindak  secara membabi buta, diluar kontrol dan main hakim sendiri.

7. UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Secara  garis  besar  ada 3 cara  penanggulangan  kejahatan  yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu: penanggulangan preventif, represif, dan kuratif.

1. Penanggulangan preventif

Penanggulangan dengan metode preventif dimaksudkan sebagai  upaya pencegahan  secara  dini terhadap  kemungkinan  timbulnya  tindak kejahatan, yaitu dengan melakukan berbagai persiapan, baik  sarana,  pelatihan  teknis maupun peningkatan  sumber  daya  manusia. Upaya  penanggulangan  tersebut dapat  diwujudkana  dalam  bentuk kegiatan sebagai berikut:

1.1   Peningkatan  kualitas  program  pengendalian  dengan  sistem informasi  tentang  data kejahatan antar daerah  rawan  oleh pihak kepolisian dan aparat keamanan yang terkait. Tujuannya adalah  agar segala keputusan dan strategi  pengintaian  dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan dapat lebih terkonsentrasi, kompak, dan efektif.
1.2   Peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat dengan  cara memperbesar  peluang usaha diberabagai sektor sesuai  dengan potensi masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi  kekosongan  kerja,  penganguran  dan   tekanan-tekanan ekonomi yang rentan dengan timbulnya kejahatan.
1.3   Peningkatan  kualitas Unit Reaksi Cepat (URC) dalam  mengimbangi  kecenderungan perkembangan kecepatan gerak dan  sepak terjang  pelaku  kejahatan. Dalam hal ini  dimaksudkan  agar pihak kepolisian betul-betul tanggap terhadap setiap  tindak kejahatan dan senantiasa siap siaga dalam pengejaran  pelaku kejahatan.
1.4 Mengidentifikasi gejala-gejala penyimpangan perilaku individu-individu  yang  menunjukkan potensi  kriminal  atau  anti sosial. Potensi-potensi kriminal ini biasanya dapat  dilihat dari  perilaku yang bersifat eksentrik, baik gerak,  kostum, suara,  atau asesori yang digunakan cukup mengundang  perhatian massa. Untuk menangani masalah ini perlu adanya petugas sosial  yang  sekaligus dapat mem-berikan  bimbingan  kearah perilaku yang wajar.
1.5   Peningkatan dinamisasi operasional polisi patroli kota dalam mengawasi  setiap gejala kriminal, terutama di lokasi  rawan dan pusat-pusat keramaian kota.
1.6   Peningkatan upaya penertiban pemilikan dan penggunaan senjata api dikalangan intern kepolisian dan jajaran anggota ABRI pada  umumnya.  Upaya ini sangat  mendesak  untuk  ditindak-lanjuti  dalam rangka menjaga kemungkinan adanya oknum  yang bekerjasama  atau  membecking operasi  kejahatan.  Sedangkan secara ekstern perlu peningkatan kegiatan pengusutan  sampai tuntas  terhadap  kejahatan yang  menggunakan  senjata  api, sebab  tidak mustahil ada segolongan pemberontak yang  didukung  pihak asing yang anti pemerintah dengan sengaja  ingin mengacaukan ketertiban dan keamanan masyarakat.
1.7 Perlu adanya upaya akomodasi terhadap partisipasi masyarakat secara optimal, sehingga anggota masyarakat dapat  mendukung langkah  aparat Kamtibmas secara sukarela sebagai  kepentingannya  sendiri. Dengan demikian diharapkan  kontrol  sosial masyarakat dapat turut membantu tugas aparat Kamtibmas, baik berupa pelaporan kejadian maupun persiapan tindakan  darurat masyarakat  dalam menganti-sipasi terjadinya tindak  kejahatan.  Partisipasi  masyarakat ini sangat  penting  mengingat jumlah  aparat Kamtibmas, khususnya Polisi jauh lebih  kecil dari  pada ruang lingkup pengawasannya. Kontrol sosial  akan lebih  efektif lagi apabila lembaga-lembaga sosial yang  ada dalam  masyarakat dapat menjalankan fungsinya secara  maksimal.
1.8   Peningkatan perlakuan peduli, persuasif dan manusiawi terhadap  mantan  narapidana yang telah kembali  dalam  kehidupan masyarakat,  bahkan kalau perlu berikan  tanggungjawab  yang sesuai  agar ia merasa  lebih berarti dihadapan  masyarakat. Dengan demikian diharapkan residivisme tidak terjadi.

2. Penangulangan Represif

Penanggulangan represif dimaksudkan sebagai upaya  pemeberantasan secara  langsung  terhadap  fenomena dan  tindak  kejahatan  yang sedang  mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat dan  negara. Ada  beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka  memberantas kejahatan, antara lain adalah:

2.1  Penindakan secara langsung terhadap pelaku kejahatan  dengan cara-cara sebagai berikut:

2.1.1  Razia dan penangkapan
2.1.2  Penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan
2.1.3  Pengembalian kepada keluarga atau ditahan sementara
2.1.4  Diajukan kepengadilan jika cukup bukti telah  melakukan kejahatan.

2.2   Pembinaan khusus (treatment dan rehabilitasi), yaitu:

2.2.1  Bimbingan  keterampilan  dalam  sekolah-sekolah  atau lembaga-lembaga  pendidikan khusus. Dapat juga  disalurkan  kepada lembaga-lembaga lain  yang  berkaitan, seperti: Biro konsultasi psikologi sosial  bekerjasam dengan  Departemen  Sosial.  Tujuannya  adalah  untuk mengetahui perkembangan kejiwaannya sehubungan dengan sikap dan persepsinya terhadap kejahatan.
2.2.2  Pengembalian  kepada  masyarakat  dengan  rekomendasi yang jelas dan meyakinkan
2.2.3  Penyaluran  kedalam  pelatihan  dan  pekerjaan   yang sesuai dengan bidang keahlian
2.2.4  Pengawasan  partisipatif dalam  kehidupan  masyarakat dalam jangka waktu tertentu.

3. Penanggulangan Kuratif

Penanggulangan  Kuratif  dimaksudkan sebagai upaya  menekan  atau menghilangkan  faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya  perilaku menyimpang  dan  tindak kejahatan, seperti  kesenjangan  ekonomi, pengangguran,  urbanisasi, dan lain-lain.  Teknik  penanggulangan ini  dalam pelaksanaan harus benar-benar menerapkan sistem  cabut akar, dan tidak mengandung unsur dilematis. Jika hendak memberantas minuman keras, jangan sombong karena sudah menggilas  botolnya;  ibarat  melarang berjudi tetapi  membuka  bandar.   Diantara upaya-upaya penanggulangan kuratif tersebut adalah sebagai  berikut:

3.1   Upaya menekan, memperkecil atau kalau mungkin  menghilangkan kesenjangan ekonomi masyarakat dengan cara membuka  lapangan kerja baru, upaya pemerataan intensifikasi dan ekstensifikasi  dibidang industri dan pertanian  dikalangan  masyarakat, peningkatan upah minimum atau gaji pegawai secara  kumulatif dengan  nilai  tukar lebih tinggi dibanding  kenaikan  harga kebutuhan primer dan sekunder. Oleh karena masalah kesenjangan  ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya terhadap  tumbuhnya kejahatan,  maka  tidak boleh tidak  harus  dapat  ditangani secara  sungguh-sungguh,  obyektif,  dan   berkesinambungan. Ibarat sebilah keris jangan dibiarkan terlalu lama tanpa sarung, karena akan bertambah banyak pihak yang terluka.
3.2   Untuk  menekan dan memperkecil terjadinya urbanisasi,  dapat dilakukan razia KTP. dan pemulangan penghuni liar ke  dareah asal,  disamping  pelaksanaan  program  tranmigrasi   secara efektif.
3.3 Untuk  menghambat  terjadinya pengangguran  dapat  dilakukan dengan  pemerataan  kesempatan  kerja,  pembinaan  anak-anak putus  sekolah dengan peningkatan efektivitas  program  anak asuh,  disamping melakukan penyaluran tenaga kerja  ke  luar negeri dengan pengawasan dan perlindungan hukum.
3.4   Perubahan  dan  perbaikan terhadap  lingkungan,  baik  pisik maupun sosial, dengan membangun berbagai fasilitas kehidupan yang  sesuai  dengan kebutuhan, seperti  sarana  olah  raga, penataan perumahan, saluran pembuangan limbah rumah  tangga, serta pembinaan mental dan kerukunan tetangga.
3.5  Pelatihan teknis operasi ketertiban dan keamanan  masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran, kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.
3.6   Penerangan dan pembimbingan terhadap para orang tua  tentang cara pengawasan pendidikan anak dalam keluarga
3.7   Peningkatan  bimbingan dibidang moral dan  kerohanian,  baik secara  kualitas maupun kuantitas dalam  rangka  membentengi diri  dari  berbagai pengaruh  negatif  akibat  perkembangan pembangunan.

Secara operasional diharapkan kalangan intelektual,  cendekiawan, budayawan, pihak yang berwenang dan masyarakat harus dapat bersama-sama  berusaha mencari jalan penyelesaian masalah dengan  dialog, saling mendengar, menghargai dan menghindari sentuhan rentanitas  sosial.  Dengan demikian diharapkan berbagai  pihak  dapat menerima  perbedaan  pendapat,  kepentingan,  sekaligus  menerima keragaman. Proses ini mengajak kita semua untuk lebih  memikirkan posisi "kita" ketimbang "kami". Agar segala atribut dan perbedaan kekuasaan,  derajad,  etnis dan agama dapat  terpelihara  sebagai sistem kekuatan masyarakat.

Kekuatan masyarakat dapat diukur dari terpeliharanya nilai  kesetiakawanan  sosial,  yaitu kehidupan bersama  berdasarkan  ikatan kesetiaan  dengan  ikatan persahabatan yang  bersifat  psikologis batiniah  dalam  segala  kondisi untuk  mencapai  tujuan  bersama tertentu. Konsekuensinya bagi individu dan kelompok dalam  setiap aktivitasnya  adalah harus mampu saling menghormati penuh  dengan kejujuran, terbuka dan kekeluargaan. Dalam kehidupan bersama  ini tersedia  kondisi-kondisi yang dapat menuntun orang-orang  kepada kehidupan  yang membahagiakan dan memuaskan.

Menurut  teori  pertukaran sosial yang  pernah  dikemukakan  oleh Peter  M.  Blaw, bahwa faktor yang  mendorong  terjadinya  saling berinteraksi antara anggota masyarakat adalah karena adanya suatu harapan  berupa  imbalan tanpa resiko hukum.  Jika  proses  umpan balik antara pemberian dan penerimaan, baik berupa moral,  perlakuan,  maupun  materi ekonomis, semuanya  berjalan  seimbang  dan mampu mengisi kepuasan masing-masing pihak, maka disiplin  sosial dapat dipertahankan dalam kurun waktu tertentu. Konsekuansi  dari prinsip  pertukaran  sosial  adalah (1)   beban  kewajiban  untuk tunduk  bagi pihak penerima imbalan; (2) Untuk membebaskan  beban kewajiban itu, maka pihak yang dinberi wajib tunduk atau  memberi imbalan kembali yang seimbang; (3) hubungan sosial dapat dipertahankan jika kedua belah pihak menerima atau puas dengan  imbalan-imbalan itu.

Berdasarkan  teori tersebut, maka dapat dimengerti  bahwa  pengakuan, perlakuan ataupun pemberian jalan keluar yang nyata  terhadap pelaku pelanggaran juga merupakan beban kewajiban yang  harus dilunasi dengan sikap dan perilaku yang seimbang, sedikitnya para pelaku  kejahatan  dan pelanggar hukum lainnya akan  tunduk  pada nilai-nilai  dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.  Jika ini dilakukan oleh pihak yang berwenang, maka imbalan yang diharapkan  adalah  kesadaran dan kepatuhan  para  penjahat  (termasuk pelanggar lainnya) terhadap hukum. Dalam situasi ini perlu adanya kemampuan  untuk memotivasi dan menciptakan kehidupan yang  lebih memuaskan dari keadaan sebelumnya. Secara sosiologis perlu adanya upaya pendekatan yang berhubungan dengan interaksi informal  yang intim  dan  keterbukaan antara berbagai pihak.  Situasi  informal mana dapat terjadi selaras dan timbal balik, apabila arah pengembangan  diri   itu dilakukan melalui  pertimbangan  potensi  para pelaku  kejahatan,  prostitusi,  perjudian,  termasuk  minat  dan kebutuhan pokoknya.

Pada  dasarnya  pendekatan  sosiologi  dengan  kontek  pertukaran sebagaimana  diungkapkan  Blaw adalah  sebagai  upaya  pembiasaan saling bekerjasama, saling mendorong kearah kemajuan tanpa perhitungan ekonomis. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sempit,  susah mencari  uang, maka perlu pemindahan pola ukuran  pamrih  menjadi ukuran  sosial. Dalam berbagai upaya penanggulangan  masalah  sosial, termasuk kejahatan, prostitusi dan perjudian perlu  diawali dengan  memberikan  perhatian dan kesungguhan  upaya  menunjukkan alternatif  jalan  untuk mengembalikan apa yang  hilang,  berikan dukungan usaha untuk mewujudkan harapan mereka dengan jalan  yang sesuai  dengan  kemampuan, nilai-nilai dan  hukum  yang  berlaku. Kemudian  berikan  tanggungjawab  atas  pekerjaan  tertentu  yang sesuai  dengan  minat dan  kemampuan  masing-masing,  sebagaimana tanggungjawab  yang dimiliki orang lain. Dengan  begitu  biasanya mereka  akan  berangsur menyadari bahwa  ada  pengakuan  terhadap keberadaan  dan  kehormatan mereka dalam  masyarakat  normal  dan tidak lagi sebagai orang yang terkucil atau anti sosial.  Berikan informasi  tentang kehidupan yang lebih baik dengan  sumber  yang legal  dan  dapat  dipercaya, sehingga  tidak  mengecewakan  bagi mereka  yang menelusurinya. Pindahkan perhatian mereka dari  keadaan yang tidak memadai ke arah yang lebih berarti dengan  bukti-bukti  yang dapat dipercaya. Perlu adanya adaptasi diri  terhadap perilaku,  bahasa dan kebiasaan mereka, dengan maksud agar  tidak terjadi salah pengertian, apriori dan kecurigaan.

Jika pelaku kejahatan, telah dapat dikuasai, maka upaya penyadarannya  adalah memberikan tanggungjawab dan aktivitas yang  nyata, yaitu  dengan melibatkan mereka terhadap sebagian  kegiatan  yang mengarah pada usaha kehidupan yang wajar dan manusiawi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani, 1987. Sosiologi Kriminalitas. Penerbit: CV.  Remadja Karya, Bandung.
Mulyana W. Kusumah, 1984. Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas. Penerbit: Armico, Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo,  1977.  Pengantar  Kriminologi  (Seri:A). Penerbit: PT.Tribisana Karya, Bandung.
Stephan Hurwitz, 1986 (disadur oleh: Ny. L.Moeljatno). Kriminologi. Penerbit: Bina Aksara, Jakarta.

Sabtu, 14 Mei 2016

SISTEM SOSIAL BUDAYA

SISTEM SOSIAL BUDAYA
(Abdul Syani)

A. SISTEM

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani Systema yang berarti Keseluruhan unsur-unsur/bagian-bagian/komponen-komponen yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.  Menurut Tatang M. Amirin (1986:1), sistem merupakan himpunan unsur-unsur/komponen-komponen yang saling berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh.  Sedangkan  menurut Abdul Syani (2004:123),  sistem mempunyai dua pengertian, yaitu:
Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian
Suatu hubungan yang berlangsung antara unsur-unsur/ komponen-komponen secara teratur.

Dengan demikian ciri-ciri khusus suatu sistem adalah :

1. Terdiri dari banyak unsur/bagian/komponen;
2. Unsur-unsur sistem saling berhubungan/tergantung satu sama lain;
3. Keseluruhan (sistem) lebih dari sekedar penjumlahan   komponen, tetapi sekaligus mengandung kualitas kontribusi dari masing-masing  komponen satu sama lain.

Talcott Parsons mengatakan sistem sebagai sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya saling ketergantungan antara bagian-bagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubungan tesebut.

Abdulsyani (2004): sistem adalah himpunan dari bagian-bagian yang saling berkaitan, masing-masing bagian bekerja sendiri dan bersamasama saling mendukung; semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama, dan terjadi pada lingkungan yang kompleks.

Sistem  dapat berarti: cara, teknik atau metode dalam mengerjakan sesuatu, misal: cara penelitian, teknik perkuliahan, metode wawancara, metode pendekatan, cara berpikir, dan lain-lain. Dalam pengertian metode, sistem merupakan himpunan cara-cara untuk memecahkan masalah masyarakat atau masalah empiris dan hipotesis dalam penelitian.

Dalam  pengertian sosiologis, sistem berarti himpunan komponen sosial budaya yang saling berhubungan secara teratur dan berulang-ulang (ajeg) yang berwujud perilaku dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai himpunan unsur sosial budaya, sistem menunjukkan hubungan saling ketergantungan antara gagasan-gagasan, perasaan, etika, sikap perilaku, kepentingan, kesempatan, komunikasi, status  dan peranan manusia dalam kehidupan masyarakat.

Dalam konsep saling ketergantungan ciri-cirinya antara lain :

1. Minimal ada 2 bagian yang saling menjadi gantungan bagi yang lainnya;
2. Dalam konsep saling ketergantungan kata saling tidak harus diinterpretasikan sebagai keseimbangan murni, misal 50 : 50;
3. Dalam konsep saling ketergantungan terkadang adanya saling membutuhkan dengan pengertian bahwa  saling membutuhkan tidak selamanya harus seimbang.

Istilah  sistem dapat juga digunakan untuk menyebut  berbagai bentuk himpunan unsur-unsur yang saling berkaitan  di  luar kehidupan sosial budaya, seperti:
1. tata surya;
2. keseluruhan organ tubuh;
3. humpunan  ide/gagasan, prinsip, ajaran, hukum,  semuanya merupakan sistem pemerintahan;
4. teori/hipotesis, disebut sistem karena sudah tersusun secara  sistematis, obyektif, bebas nilai, empiris, dan terbuka;
5. cara, dapat disbut sistem karena terdapat kaitan antara pelaku, sarana, kemampuan dalam melakukan sesuatu, sepert mengetik 10 jari, sistem modul, adopsi, sistem jarak jauh, dan lain-lain;
6. skema/bagan (Chart), disebut sistem karena menggambarkan kaitan antara unsur-unsur yang tersusun  sebagai struktur, seperti struktur organisasi terdapat proses (interaksi), klasifikasi, dan pembagian kerja sesuai posisi masing-masing.

B. SISTEM SOSIAL

Sistem sosial adalah wujud  kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Sistem Sosial adalah sistem yang terbentuk dalam saling ketergantungan antara  manusia dengan manusia lain. Menurut Garna (1994), sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan bersama. Dengan demikian, sistem sosial adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan.

Abdulsyani (2004), sistem sosial merupakan konsep yang paling umum dipakai dalam menjelaskan dan mempelajari hubungan manusia di dalam kelompok atau dalam organisasi sosial. Dalam hal ini manusia sebagai anggota masyarakat merupakan individu-individu yang saling bergantungan. lnteraksi antar individu yang berkembang menurut standar penilaian dan kesepakatan bersama, yaitu berpedoman pada norma-norma sosial.

Menurut Nasikun (1993), sistem sosial adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan.  la terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum masyarakat.  Contoh:
mencakup semua  kelembagaan dan interaksi  antar  manusia;
himpunan orang-orang yang saling tergantung seperti organisasi       perusahaan, lembaga-lembaga pemerintah, parpol, klub sosial, himpunan para ahli dan lain-lain.

Oleh karena lingkungan masyarakat selalu berubah, maka sistem  sosial lebih bersifat terbuka. Pada setiap perubahan, individu, dan masyarakat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.  Contoh: Organisasi setelah terbuka, maka konsekuensinya  mendapat masukan (input), berarti pengelolanya harus  memeriksa, mengontrol tolok ukur intern, saperti standard target, teknik, tujuan, SDM-nya, dan lain-lain.

Unsur-unsur sistem sosial menurut Alvin L.Bertrand (1980), ada 10 unsur yang terkandung dalam sistem sosial, yaitu:
1. Keyakinan, sabagi pedoman melakukan penerimaan suatu pengetahuan dalam kehidupan kelompok sosial dalam masyarakat. Untuk menilai suatu kebenaran melalui keyakinan bersama. Misal: dalam menilai berbahaya /tidak dalam menerima anggota baru pada suatu kelompok /organisasi sosial;
2. Perasaan (sentimen), menunjuk pada perasaan anggota suatu sistem sosial (anggota kelompok) tentang hal-hal, peristiwa-peristiwa serta tempat-tempat tertentu. Stabilitas sistem sosial tergantung bagaimana perasaan para anggotannya secara umum. Jika banyak anggota saling menaruh perasaan dendam, benci dan iri antara satu sama lainnnya, maka hubungan kerjasama tidak akan berhasil dengan baik;
3. Tujuan, target atau cita-cita, merupakan pedoman bertindak agar program kerja yang telah ditetapkan dan disepakati bersama dapat tercapai secara efektif.
4. Norma, sebagai patokan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu agar tercipta keselarasan, ketertiban dan keteraturan kehidupan masyarakat;
5. Status dan peranan, status dapat menentukan sifat, tingkat kewajiban dan tanggung jawab dalam kelompok masyarakat; di samping menentukan hubungan antara atasan dan bawahan terhadap anggota lain dalam kelompok masyarakat.  Sedangkan peranan pola tingkah laku yang diharapkan menyangkut hak dan kewajiban dari orang-orang pemangku status;
6. Tingkatan atau pangkat (rank), unsur sistem sosial yang berfungsi menilai perilaku-perilaku anggota kelompok untuk memberikan kepangkatan (status) tertentu yang dianggap sesuai dengan prestasi-prestasi yang telah dicapai;
7. Kekuasaan/pengaruh (power). Kekuasaan  sangat penting untuk mengatur tindakan  orang  lain  untukk kepentingan tertentu.  Biasanya  kekuasaan bersandar  pada status  tertentu (otoritas). Di dalam pelaksanaanya terdapat unsur pemaksaan (meskipun  implisit, tapi biasa). Realisasi kekuasaan seseorang akan baik dan efektif, jika diikuti oleh perasaan kemanusiaan  dan kepentingan  bersama, sehingga keputusan dan kebijakan yang diambil menjadi adil dan memuaskan.
8. Sanksi, sistem ganjaran (rewards). Hukuman  ditetapkan dan diterapkan masyarakat sesuai dg norma-norma dan perkembangan aspirasi masyarakat. Sanksi bisa berupa penurunan pangkat guna menciptakan stabilitas sosial.
9. Sarana atau fasilitas, pada prinsipnya mengutamakan fungsi dari sarana agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan bersama, betapapun sederhananya sarana tersebut.
10. Tekanan/Ketegangan (Stress-strain), dalam kehidupan masyarakat tidak ada satupun anggotanya yang mempunyai perasaan dan interprestasi sama terhadap kegiatan dan masalah yang sedang dihadapi bersama. Suatu ketegangan hubungan antar anggota kelompok masyarakat selalu dapat terjadi.

Kecuali unsur-unsur sistem sosial sebagaimana disebutkan Alvin L.Bertrand di atas, masih banyak lagi unsur- sistem sosial yang saling berkaitan dalam kompleksitas tujuan kehidupan masyarakat. unsur-unsur sistem sosial yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. Harta benda, dalam kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kualitas/kuantitas pribadi/kelompok. Anggota masyarakat yang mempunyai harta benda mempunyai kesempatan terbuka utk mencapai cita-cita hidupnya, terhadap kegiatan-kegiatan dan kemudahan dalam penyelesaian masalah.
2. Moralitas, sebagai unsur nilai-nilai kebaikan yang dimiliki seseorang/kelompok/masyarakat merupakan pedoman / syarat kepribadian untuk memelihara kerukunan, keamanan, dan ketenteraman. Jika masyarakat mampu memelihara moralitas, maka kehidupan masyarakat dapat ancaman kejahatan dan konflik sosial. Ada hubungan antara moralitas dengan kejahatan...
3. Antagonism, juga merupakan unsur sistem sosial, yaitu sifat dan kepribadian yang cenderung menentang moralitas. Kepribadian ini sangat erat kaitannya dg kelangsungan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara...
4. Aliran/Mazhab tertentu: 1) atas dasar kepentingan keduniaan/kebendaan, 2) atas dasar kepentingan keyakinan/kepercayaan/magis/ritualitas tertentu (jika tidak dilakukan dipercaya akan terkena azab / sanksi batiniah), 3) atas dasar kepentingan IPTEK. / kelompok spesialis bidang keahlian..
5. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) / seluruh bidang ilmu pengetahuan dan ragam teknologi yg dibutuhkan manusia dalam meningkatkan kesejahteraan hidup sesuai dg kemajuan jaman. IPTEK merupakan unsur sistem sosial yg memiliki pengaruh terhadap unsur2 lain, seperti cita2, nilai, kesejahteraan, status dan peranan...
6. Kesejahteraan, unsur sistem sosial yg berfungsi sbg syarat pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam masyarakat, dan unsur sistem lainnya seperti:....
7.   Sportivitas,
8.   Kejujuran (berkaitan dg moralitas),
9.   Toleransi sosial,
10. Lingkungan sosial,
11. Keturunan (nenek moyang),
12. Kasta (berkaitan erat dg rank/pangkat)
13. Tradisi lokalitas (kearifan lokal)
14. Kehormatan atas keteladanan,
15. Penghargaan atas jasa,
16. Kharismatism, unsur kewibawaan
17. Bentuk Ras/tampang pisik,
18. Tata krama, sopan santun, perilaku merendahkan diri dalam hubungan sosial,
19. Sugesti,
20. Wasiat/pesan leluhur,
21. Sumpah/janji/ikrar, niat, keinginan, panggilan jiwa,
22. Simbol/lambang, ciri khas keagungan, Benda pusat pemujaan, situs peninggalan kelompok/komunitas tertentu,
23. Solidaritas (sosial),
24. Komunitas (sosial),

Berdasarkan sifat sosialnya sistem sosial dalam kehidupan masyarakat dapat di bagi atas 3 bagian, yaitu:

1. Masyarakat (kelompok) pecinta kehidupan. Sifat sosial penuh cita-cita, menjaga kelangsungan kehidupan dan berupaya untuk kerjasama. Kedestruktifan/kekejaman jarang terjadi, tidak terjadi hukuman fisik yang merusak;
2. Masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah biasa. Persaingan, hierarki lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki saling percaya;
3. Masyarakat destruktif. Sifat sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini mengutamakan kekayaan sebagai symbol-simbol kemewahan.

C. SISTEM BUDAYA

Sistem nilai budaya (sistem budaya) adalah  rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang dianggap penting dan bernilai. Sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah dan dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas, hanya dirasakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, maka sistem budaya cenderung sangat mendarah daging, sulit diganti dengan konsep yang baru.

Bila sistem nilai budaya itu memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal ini nampak dalam norma-norma sosial, hukum dan aturan tradisi. Sikap individu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianut.

D. SISTEM SOSIAL BUDAYA

Dari penjelasan di atas, maka secara  sederhana dalam arti luas Sistem Sosial Budaya, dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang saling berkaitan, masing-masing unsur bekerja mandiri, bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.

E. SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA INDONESIA

Sosial berarti masyarakat, budaya/kebudayaan artinya semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sosial budaya berarti mencakup segala aspek kehidupan masyarakat. Denga demikian, maka dapat dirumuskan pengertian sistem sosial budaya Indonesia sebagai totalitas tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia Indonesia yang merupakan manifestasi dari karya, rasa dan cipta di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sistem Sosial Budaya Indonesia artinya setiap manusia terbuka mengembangkan diri dan mencapai kesejahteraan lahir batinnya secara merdeka sesuai dengan hati-nuraninya dalam kerangka pola berpikir dan bertindak berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Struktur Sistem Sosial Budaya Indonesia dapat merujuk pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:

1  Tata nilai
Struktur tata nilai kehidupan pribadi atau keluarga, masyarakat, bangsa dan  negara meliputi berikut ini.
Nilai Agama
Nilai moral
Nilai vital
Nilai material (raga)

2  Tata Sosial
Tata sosial Indonesia harus berdasarkan (1) UUD 1945;  (2)  peraturan perundang-undangan lainnya; (3) Budi pekerti yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur

3. Tata laku ( Karya )
Tata laku pribadi/keluarga, masyarakat bangsa dan negara harus
berpedoman pada:
Norma Agama
Norma Kesusilaan/kesopanan
Norma Adat istiadat
Norma Hukum setempat
Norma Hukum Negara

KOMUNITAS DALAM PERSPEKTIF SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA

KOMUNITAS DALAM PERSPEKTIF
SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
(Abdul Syani)

A.  DEFINISI

Komunitas: kumpulan dlm suatu ruang lingkup  Sosial: pembauran dalam masyarakat/kelompok. Komunitas sosial: kumpulan dalam ruang lingkup pembauran masyarakat dimana terdapat berbagai jenis dan tipe kelompok yang di atur sesuai kepentingan masing-masing.

Definisi lain:

Kelompok sosial yang ditentukan oleh batas wilayah, nilai keyakinan dan minat yang sama, saling mengenal dan interaksi (WHO, 1974)
Sekumpulan orang yang saling bertukar pengalaman penting dalam hidupnya (Spradley,1985)
Kesatuan hidup manusia pada satu wilayah, berinteraksi menurut sistem adat istiadat serta terikat suatu identitas komunitas (Koentjaraningrat,1990)

Wawasan Sistem Sosial Budaya Indonesia adalah pikiran-pikiran yang bersifat nasional tentang cita kehidupan dan tujuan nasional berdasarkan kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, aspirasi perjuangan masa lampau, dan kebersamaan dalam menghadapi masa depan.
Wawasan Sistem Sosial Budaya Indonesia adalah pikiran-pikiran yang  mengandung tuntutan untuk mewujudkan jati diri bangsa, berdasarkan nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya.  Wawasan kebangsaan  merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang lahir dari hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik.
 
Dengan demikian komunitas dalam wawasaan Sisten Sosial Budaya Indonesia: adalah pembauran kehidupan masyarakat dan nilai-nilai budaya bangsa yang memiliki

B.  KOMUNITAS SOSIAL:

Komunitas sosial adalah bentuk masyarakat yang dilandasi kesadaran kolektif dan    Solidaritas sosial.  Kesadaran kolektif berhubungan dengan 2 elemen yang saling berkaitan, yaitu perasaan komunitas tertentu, dan munculnya kewajiban moral. Contoh:  kebiasaan sopan terhadap yang lebih tua.  Sedangkan solidaritas sosial adalah suatu keadaan bersahabat atas dasar adanya penegakan rasa tanggungjawab bersama dengan  kepentingan bersama. Keadaan stabil kalau semua orang memenuhi  tanggungjawab masing-masing. Persahabatan terjadi bisa karena dasar rasional dan bisa karena kesamaan perasaan bersama.

Durkheim: solidaritas sosial diartikan sebagai suatu keadaan saling percaya antara para anggota suatu kelompok  atau komunitas.  Ada 2 macam solidaritas sosial, yaitu:
Solidaritas mekanik: bentuk hubungan antara  anggota masyarakat dalam suatu kelompok yang ditandai adanya saling  percaya antara anggota kelompok  tersebut. Contoh: memilih orang lain untuk bekerjasama karena adanya banyak kesamaan.
Solidaritas Organik: masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang berbeda, mempunyai tanggungjawab sendiri-sendiri, tetapi mempunyai hubungan, ikatan, ketergantungan secara keseluruhan. Tanggungjawab dan kepentingan bagian (individu, kelompok) tunduk pada keseluruhan (kelompok yang lebih besar).

Contoh: Solidaritas sembako, korupsi, mhs nyontek, semuanya berpengaruh  bagi  kesejahteraan  bangsa sacara keseluruhan; atau contoh: organ tubuh, masing-masing telinga, mata, kaki, hidung, berbeda fungsi, tapi secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.

C.   PENYIMPANGAN

Penyimpangan perilaku terjadi karena perubahan kepentingan dan penilaian pribadi/kelompok terhadap obyek tertentu tidak sesuai lagi dengan norma dan standard nilai pada umumnya.  Ada anggapan: melakukan penyimpangan dapat mempercepat usaha mencapai tujuan.  Tolok ukurnya: kesadaran kolektif dan pengakuan umum tentang besar kecil akibat buruk yang ditimbulkan terhadap kepentingan, ketertiban, dan ketenteraman masyarakat.  Pendapat  Emile Durkheim tentang fungsi penyimpangan:
mempersatukan masyarakat (memperkuat kolektivitas dan mengembalikan pelaku ke dalam standard kolektivitas);
dalam memperkuat solidaritas perlu ada upacara perdamaian (ritual)  sacara berkala/temporer. Contoh: upacara  penguburan, pertunangan, gotong royong, reuni dan lain-lain.

D.  KOMUNITAS SOSIAL BUDAYA INDONESIA

Komunitas Sosial Budaya Indonisia adalah masyarakat (publik) dari semua etnis sosial budaya menyadari bahwa mereka hidup dengan segala tujuannya dalam satu komunitas. Komunitas merupakan identitas ke-Indonesiaan yang lebih mengikat untuk kepentingan Integrasi bangsa

Untuk melakukan perlindungan hak-hak dan keadilan sosial, pembangunan kesejahteraan masyarakat; mengurangi kesenjangan pembangunan dan konflik di Indonesia, tidak cukup dengan pendekatan teknis semata, akan tetapi amat penting melakukan pendekatan sosial budaya (lokal dan interlokal). Kerena itu ke depan harus ditumbuhkan komunitas masyarakat  peduli sosial budaya.  Manfaat Komunitas sosial budaya: utk meningkatkan integrasi dan ketahanan sosial budaya nasional agar mampu memprediksi, mengantisipasi, dan mengatasi perubahan sosial yang terjadi, sehingga masyarakat konsisten bersatu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketahanan sosial budaya: menunjukkan adanya kemampuan komunitas untuk menghindari dan  mengelola konflik, mencari solusi, seiring dengan perkembangan komunitas itu sendiri.   Potensi komunitas sosial budaya: secara internal dapat menggalang konsensus dan mengatur sumber daya; kendati secara eksternal dapat menjadi sumber ancaman, namun dapat diubah menjadi peluang.

Dalam menghadapi perkembangan arus globalisasi yang cepat, arus informasi dan komunikasi seolah tak  berbatas, maka perlu kemampuan memfilter pengaruh-pengaruh norma dan nilai luar yang tidak sesuai dengan adat budaya Indonesia, seperti nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan liberalsme, pluralisme dan lain-lain.

Komunitas: merupakan investasi sosial budaya yangg diharapkan mampu membangun partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat: keterlibatan mental/pikiran dan emosi individu yang mendorong untuk memberi sumbangan kepada kelompok dalam upaya mencapai tujuan serta turut bertanggungjawab terhadap upaya yang bersangkutan, sehingga membantu berhasilnya setiap program (Davis, dalam Mubyarto, 1984).