Senin, 16 Mei 2016

METODE SOSIO-KULTURAL PENANGGULANGAN KEJAHATAN

METODE SOSIO-KULTURAL
PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Oleh: Abdul Syani


1. BENTUK KESATUAN HIDUP MASYARAKAT LAMPUNG

Bentuk  kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup  bertetangga  di kampung-kampung penduduk asli pada umumnya  didasarkan pada  hubungan territorial  dan  genealogis.  Kerukunan  kampung dibagi dalam beberap "bilik", mengikuti aliran sungai atau  jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat rupakan penerus perintah Kepala  Kampung.  Kepala suku hanya  merupakan penerus perintah Kepala Kampung, dan tidak berhak untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau keluarga somah.

Terbentuknya  kesatuan  hidup sekampung  atau  hidup  mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau penangkapan  ikan. Pada  mulanya  mereka berbeda dalam asal-usul  keturunan,  tetapi kemudian  bersati karena adanya ikatan kekerabatan adat  kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu  baik karena hubungan ikatan pertali darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).

Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses  musyawarah  dan  mufakat yang diketahui oleh seorang  kepala  keluarga dari  keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang  pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat  adat pepadun).  Dewan  musyawarah dan mufakat  tidak  selamanya  harus dipimpin oleh seorang ketua tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama Ketua. Pimpinan demikian  itu berlaku tidak saja di adalam musyawarah orang  tua-tua  kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku  dalam  kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara.

Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong  dan persaudaraan.  Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan,  saling memberi  serta  saling menghargai, merupakan  inti  keakraban  di antara  merka. Keakraban ini akan bertambah kuat  apabila  mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam  pembukaan  ladang bersama, kebun  tanaman  keras  bersama, pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan bersama, serta kegiatan lainnya.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, biasanya sekaligus tumbuh pula berbagai nilai dan norma sosial yang baru, dan  dapat mengakibatkan bergesernya  ukuran-ukuran taraf kehidupan  tertentu,  yang kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat.

Pada  perkembangan terakhir, di mana kondisi hubungan  masyarakat semakin  komplek  menuntut kreatifitas  kearah  usaha  pertahanan sosial ekonomi secara internal. Masyarakat pada umumnya cenderung mengurangi  perhatian  dan  ketergantungan  masyarakat   terhadap nilai-nilai budaya tradisional dan semakin sibuk dengan kepentingan keluarganya sendiri. Ada indikasi bahwa keberadaan penyimbang dan institusi adat tradisional dianggap tidak mampu menampung dan menyelesaikan  masalah  sosial ekonomi yang  dihadapi  masyarakat masa  kini. Kondisi kehidupan masyarakat demikian, kemudian  mendorong masyarakat untuk mencari usaha alternatif yang keluar dari batas-batas  ideal  ketentuan adat. Oleh  karena  sebagian  besar penganut  adat  budaya ini melakukan terobosan baru  kearah  pola sikap  perilaku yang rasional dan ekonomis, maka norma-norma  dan sanksi  adat semakin longgar dan lemah. Sementara  itu  kehidupan modern yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan  teknologi belum dapat dicerna sebagai alternatif untuk meningkatkan  status sosial ekonominya kearah yang lebih baik.

2. TIPE DAN PERILAKU KEJAHATAN

Kejahatan menurut William W. Bonger adalah perbuatan anti  sosial yang  secara sadar memperoleh reaksi dari negara berupa  hukuman. Thorsten  Sellin: Kejahatan adalah pelanggaran norma-norma  kelakuan  (conduct  Norms) yang tidak harus terkandung  dalam  hukum. Secara  umum  kejahatan dapat diartikan  sebagai  perbuatan  atau tindakan  yang  bertentangan dengan  norma-norma  kemasyarakatan, merampas  hak-hak  dan kebahagiaan orang lain,  yang  menimbulkan kecemasan  dan terganggunya ketertiban umum.   Menurut  paradigma realitas sosial, kejahatan bukanlah sesuatu yang melekat  (inherent)  dalam perilaku, melainkan lebih merupakan  suatu  penilaian yang dibuat oleh suatu pihak terhadap tindakan-tindakan dan ciri-ciri pihak lain (Mulyana W. Kusumah (1984:25).

Berdasarkan  kualitasnya  kejahatan  dapat  dibedakan  atas  tiga kategori,  yaitu: Pertama, kejahatan yang dilakukan dengan  sadar dan niat, yaitu perbuatan melanggar yang dilakukan dengan sengaja dan  secara sadar. Pelaku benar-benar mengetahui akibatnya  dapat merugikan masyarakat, melanggar hukum negara. Dengan unsur sengaja ini dapat lebih mudah mengembangkan tujuan jahat dan mengorganisasi  dalam masyarakat. Kedua, kejahatan yang dilakukan  dengan tidak  sadar/tanpa  niat, yaitu perbuatan  yang  dilakukan  tidak diketahui  secara jelas akan berakibat merugikan  masyarakat  dan seberapa  besar  kadar pelanggaran hukumnya. Apa  yang  dilakukan mungkin  karena tekanan dan keterpaksaan tertentu yang  berkaitan dengan  kesulitan  kehidupan sehari-hari. Jika  kondisinya  tidak berubah,  maka batasan ini bisa berkembang menjadi batasan  sebelumnya. Ketiga, kejahatan yang dilakukan karena membela diri atau karena gangguan/sakit jiwa.

Sedangkan  menurut berat ringannya kejahatan dapat  dinilai  atas kuantitas  pelakunya dan ukuran solidaritas dari  anggota-anggota kelompok  penjahat  (gang). Menurut von  LIZT  (Stephan  Hurwitz, 1986:144) dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:

1. Pelanggar hukum yang kadang-kadang/karena ada kesempatan;
2. Pelanggar  hukum  yang kemampuannya  untuk  menyesuaikan  diri dengan   norma-norma   yang  berlaku  berkurang   sekali   dan sukar/hampir  tidak dapat diperbaiki dengan jalan  denda  atau pidana penjara selama waktu pendek;
3. Pelanggar hukum yang tidak ada pengharapan dapat  menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Menurut cara melakukannya dapat dibedakan atas 5 kategori, yaitu:

1.  Dengan  kekerasan yang meliputi penganiayaan,  pembunuhan  dan pemerkosaan; biasanya tipe kejahatan ini diawali dengan  penodongan, perampokan atau pemerasan terhadap sasaran;
2. Dengan tindak pencurian, yang meliputi segala hak milik berupa harta benda atau perekonomian;
3. Dengan penggelapan atau penyalahgunaan wewenang atas kedudukan tertentu.  Sifat  kejahatan ini relatif rumit dan  tak  nyata, sehingga reaksi masyarakat juga samar;
4. Dengan melakukan penghianatan, sabotase atau dengan  mata-mata (meliputi seluruh kejahatan politik);
5. Melakukan  kekacauan terhadap keamanan  (termasuk  pelanggaran hukum  ketertiban,  seperti pelacuran,  pengmis,  gelandangan, aksi protes, dsb.).

Berat  ringannya  kejahatan dapat juga dilihat dari  aneka  ragam bentuk kejahatan dan perkembangan karier penjahat, yaitu:

1. Kejahatan  tergolong ringan karena baru satu jenis  kejahatan saja yang pernah dilakukan atau ditekuni;
2. Kejahatan  tergolong  menengah ringan  karena  paling  sedikit telah  melakukan  atau  memiliki keahlian  4  jenis  kejahatan berlainan;
3. Kejahatan  digolongkan menengah berat karena  telah  melakukan minimal 4 kali dari masing-masing 4 jenis kejahatan berlainan;
4. Kejahatan tergolong berat apabila telah dilakukan pengembangan melalui organisasi dan dapat berubah dari satu jenis kejahatan kepada jenis kejahatan lain dengan mudah.

Secara garis besar tipe kejahatan dapat dibedakan atas 2  bagian, yaitu  Kejahatan karena ada niat (getaran hati)  dan  kesempatan. Tindak kejahatan atas dasar kesempatan dapat dikategorikan ringan karena pelakunya rata-rata hanya menanti, menemukan atau  menanti kesempatan tertentu. Dalam sub kategori menemukan kesempatan jauh lebih  berat godaannya untuk berlanjut menjadi tindak  kejahatan, karena tidak sewaktu-waktu dapat ditemukan; apalagi bentuk godaan besar sedangkan pelanggarannya mudah, seperti menemukan  sekarung uang ditempat yang sepi. Sementara tidak kejahatan atas  dorongan niat  atau getaran hati dapat dikategorikan lebih  berat,  karena menyangkut dorongan keinginan dan pikiran yang dimantapkan dengan arah  tujuan  mengenai keuntungan atau kepuasan  diri.  Misalnya, oleh  karena camer tak setuju, putus cinta, dendam, dan  akhirnya terdorong untuk membunuh pacar dengan cara-cara tertentu.

3. LATAR BELAKANG KEJAHATAN

Timbulnya kejahatan bermula dari stabilitas norma-norma  masyarakat  mulai  terganggu, dan tidak dapat  berfungsi  efektif  dalam mengatur tingkah laku masyarakat, sehingga sebagian individu yang sensitif  terhadap kondisi tersebut dengan  segala  kekurangannya cenderung  bersikap  dan berperilaku anti sosial.  Disamping  itu karena pengaruh kemiskinan, yaitu suatu keadaan dimana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan  untuk memenuhi  kebutuhan hidupnya secara wajar. Keadaan ini  mendorong seseorang untuk berbuat dan menciptakan sendiri cara-cara  pencapaian perbaikan ekonominya secara subyektif dan diluar  ketentuan publik.  Jika  usahanya itu mengalami kegagalan,  maka  seseorang akan melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap  norma-norma sosial  dan hukum. Jadi perbuatan jahat terjadi karena  ia  tidak mampu  menyesuaikan  diri dengan keadaan-keadaan yang  ada  dalam masyarakat.

Ada beberapa aliran tentang sebab-sebab kejahatan, yaitu:

a. Aliran lingkungan seseorang melakukan kejahatan karena  dipengaruhi  oleh faktor sekitarnya/lingkungan, baik  ekonomi,  sosial,  budaya  dan pertahanan serta kebudayaan  luar  termasuk penemuan teknologi baru.
b. Aliran  antropologis  mengatakan bahwa  kejahatan  dipengaruhi oleh faktor keturunan, ciri pisik, keterbelakangan budaya  dan moral.  Lambroso mengatakan bahwa ciri-ciri manusia yang  mempunyai persamaan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh  keturunan  yang  lebih jauh (keturunan kera menurut  teori  evolusi Darwin).
c. Aliran  bio-sosiologi  menjarkan  bawa  kejahatan  itu  timbul karena  faktor  individu dan faktor lingkungan  sosial.  sifat individu  warisan orang tua, seperti kondisi  pisik,  kelamin, umur,  intelektualitas, temperamen, dan kesehatan.  Lingkungan sosial  terdiri dari keadaan alam, ekonomi, tingkat  peradaban dan kehidupan masyarakat sekitar. Menurut Sellin (Soedjono D., 1977:41), bahwa manusia dilahirkan dalam suatu kebudayaan, dan biologis  siap untuk penyesuaian dirinya terhadap  orang  lain dalam  masyarakat. Hubungan sosialnya merupakan  suatu  proses koordinasi    yang    terus    menerus,    dengan     menerima idea-idea/nilai-nilai  yang  diakui masyarakat  (adat,  kepercayaan dll). Hal ini jika seseorang tak mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, maka kemudian ia akan semakin  mengisolir diri (anti sosial) yang pada  akhirnya  ia akan masuk dalam kategori manusia sosio-path.
d. Aliran spiritualis, bahwa kejahatan itu timbul karena ketidaktaatan  terhadap  agama.  Dalam ajaran  ini  menganggap  bahwa ajaran kesolehan beragama dapat mengekang kehendak hati  untuk berbuat  jahat,  minimal seseorang akan merasa  takut  berbuat dosa.

Untuk menetapkan perilaku tertentu tergolong kejahatan atau bukan dapat diukur dari kelengkapan unsur kejahatan itu, adapun  unsur-unsur itu adalah:

1. Pelaku (actor);
2. Perbuatan (the action);
3. Obyek perbuatan itu;
4. Hasil perbuatan itu;
5. Tempat perbuatan tersebut;
6. Waktu dilakukannya perbuatan itu;
7. Lingkungan sosial perbuatan itu;
8. Observasi perbuatan itu;
9. Laporan perbuatan itu;
10. Referensi perbuatan dihadapan pengadilan;
11. Pengadilan dan keputusan hakim;
12. Permohonan dan pengesahan (keputusan hukum).

4. TUJUAN DAN KEPENTINGAN TINDAK KEJAHATAN

Tujuan  dan  kepentingan  penjahat pada  umumnya  yang  mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan diantaranya adalah:

1. Keinginan  untuk hidup mewah (ekonomi, kekayaan, harta  benda, karena desakan, kekurangan atau keserakahan);
2. keinginan untuk mencari popularitas;
3. keinginan  mendapat  status  atau  jabatan  (sosial,  politik, ekonomi);
4. kebutuhan seks yang tak terkendali;
5. keinginan untuk menjadi orang sakti (kuat);
6. keinginan menjadi orang terhormat/berwibawa; kebutuhan fasilitas.

Untuk mencapai tujuan atau kepentingan itu dapat dilakukan secara langsung  atau tak langsung (perantara). Secara langsung  berarti seseorang  dalam  usaha  mencapai  kepentingannya  itu  bertindak dengan kemampuannya sendiri, yaitu dengan mengandalkan keterampilan,  keahlian,  kebiasaan, kekuatan  dan  cara-caranya  sendiri. Kemampuan  sendiri ini dipraktekkan langsung pada sasaran  secara tak  halal  dan  bertentangan dengan hukum  dan  peradaban  umum. Sedangkan  cara  yang tak langsung dilakukan  dengan  menggunakan perantara, diantaranya melalui jasa orang lain (seperti, jabatan, kekuasaan  orang lain); bisa juga melalui kekuatan magis.  Bentuk tindak  kejahatan dapat berupa aksi terror, aksi pengaruh  dengan akal/  pikir, kekerasan/penganiayaan  (terbuka/terang),  Penipuan (gelap), dan dengan menggunakan kekuatan supernatural (magis).

Khususnya melalui kekuatan supernatural (magis) biasanyanya dapat dengan memanfaatkan jasa pihak lain atau dengan melakukan sendiri dengan proses tertentu atau harus memenuhi syarat-syarat  tertentu,  seperti  patigeni,  mutih, bertapa, minum  darah  ular  atau dengan membunuh sejumlah orang.

5. MODUS OPERANDI KEJAHATAN

Berbagai  tindak kejahatan yang sering terjadi khususnya di  Lampung, seperti pencurian, perampokan dengan kekerasan,  pengedaran obat-obat  terlarang, perjudian, pemalsuan, penyalahgunaan  wewenang  dan lain-lain. Beberapa jenis kejahatan tersebut  dilakukan dengan sengaja mendatangi sasaran dengan memaksa, dan jika diperlukan dengan kekerasan sampai pada pembunuhan.  Bagi mereka  yang tidak  memiliki kekuatan pisik bisa dilakukan dengan cara  menipu dan  mencari kesempatan.
Ada  tiga golongan modus operandi kejahatan sesuai dengan  kemampuan, keberanian dan profesi pelakunya. Pertama, kelompok kejahatan  insidental  yang melakukan kejahatan atas  dorongan  desakan kebutuhan sekarang secara cepat. Para pelakunya rata-rata relatif muda  sebagai pemula yang kurang terampil dan tanpa rencana  yang matang.  Sasaran kejahatan pada umumnya adalah  pihak-pihak  yang dianggap  lemah, dengan waktu dan lingkungan yang tak  terjangkau pertolongan.  Itulah sebabnya maka pelaku kejahatan  semacam  ini jika  tidak berhasil melaksanakan aksinya sering dihakimi  massa. Kedua, kejahatan yang beroperasi di pinggiran kota, di pusat kota yang kumuh atau di daerah-daerah yang bersifat marginal.  Opearasinya cenderung dilakukan beberapa orang yang disertai  kekerasan dengan  senjata tradisional, seperti meminta dengan paksa  (penodongan) dan pemerkosaan. Ketiga, kejahatan yang tergolong  profesional, gerakannya cenderung terencana dengan estimasi dan seleksi  sasaran yang relatif akurat. Resiko diperhitungkan,  termasuk teknik perlawanan terhadap korban. Pemilihan peran pelaku  kelompok kejahatan ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan  keahlian masing-masing agar dapat dilaksanakan dengan waktu yang  singkat. Termasuk  ada bagian yang bertugas mengawasi pihak yang  berwajib atau yang bekerjasama dengan aparat hukum. Oleh karena itu kelompok penjahat ini ada yang menggunakan senjata api, radio panggil, HT., obat bius dan kekerasan lainnya jika saat diperlukan.  Dalam operasi kejahatan tertentu, mereka sering melibatkan oknum  pejabat atau penguasa tertentu.

Kejahatan  di  Lampung selama tahuan terakhir  nampak  menunjukan perkembangan  sehubungan dengan menurunnya nilai rupiah  dan  meningkatnya  harga  bahan pokok. Kejahatan jenis  perampokan  yang sertai  kekerasan  dan penganiayaan, cenderung  dilakukan  secara berutal,  nekad  dan  lebih berani  melawan  ancaman  masyarakat, termasuk  ancaman pihak yang berwajib. Disinyalir  para  penjahat ini  pada  umumnya  menggunakan senjata  tajam  (celurit,  golok, pisau,  parang), besi dan benda tumpul lainnya,  bahkan  beberapa kejahatan yang menggunakan senapa api. Senjata ini semula digunakan untuk mengancam, akan tetapi jika tidak berhasil atau  karena pihak sasaran melawan, maka mereka tidak segan-segan  menggunakan senjata tersebut untuk melukai atau membunuhnya.

6. AKIBAT TINDAK KEJAHATAN

Setiap tindak kejahatan selalu mengakibatkan kerugian bagi berbagai  kalangan, khususnya bagi individu ataupun  bagi  masyarakat, khususnya bagi pihak korban secara langsung. Pada umumnya kejahatan  itu  dapat berakibat merugikan  secara  ekonomis;  disamping merugikan  secara  psikologis (keadaan kejiwaan  dari  masyarakat yang  dilukai perasaan kesusilaannya dengan kejahatan itu),  khususnya  bagi  korban cukup tertekan perasaan dan  jiwanya  karena kehilangan  anggota keluarganya. Dari pihak penjahat dan  keluarganya sendiri cukup menderita akibat perbuatannya, apalagi sekarang Dukun AS yang konon kabarnya diancam hukuman mati.

Mengenai ukuran kerugian itu dapat dilihat dari sifat dan luasnya kerugian yang diakibatkan terhadap masyarakat secara keseluruhan, termasuk  pribadi-pribadi,  masyarakat  dan  kere-sahan  kalangan penegak  hukum.  Kerugian yang ditimbulkan oleh  kejahatan  dapat dihitung dari kehilangan hak-hak yang sebelumnya dimiliki korban, seperti kekayaan, status dan fasilitas-fasilitas tertentu.

Kecuali itu dapat juga dilihat dari buruknya persepsi, sikap  dan perilaku  masyarakat  terhadap tingkat kekacauan  dan  ketertiban sosial  yang  terjadi  akibat suatu  kejahatan.  Secara  rasional kerugian dapat dihitung melalui bahaya, kerusuhan dan  kere-sahan yang  timbul,  serta jumlah korban dan  kerugian  materi.  Secara emosional dapat dilihat dari kondisi perkembangan reaksi masyarakat  terhadap  akibat kejahatan itu. Ada  kecenderungan  besarnya rasa  ketakutan, kecemasan dan dendam masyarakat terhadap  pelaku kejahatan,  dapat  mendorong masyarakat  untuk  bertindak  secara membabi buta, diluar kontrol dan main hakim sendiri.

7. UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN

Secara  garis  besar  ada 3 cara  penanggulangan  kejahatan  yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu: penanggulangan preventif, represif, dan kuratif.

1. Penanggulangan preventif

Penanggulangan dengan metode preventif dimaksudkan sebagai  upaya pencegahan  secara  dini terhadap  kemungkinan  timbulnya  tindak kejahatan, yaitu dengan melakukan berbagai persiapan, baik  sarana,  pelatihan  teknis maupun peningkatan  sumber  daya  manusia. Upaya  penanggulangan  tersebut dapat  diwujudkana  dalam  bentuk kegiatan sebagai berikut:

1.1   Peningkatan  kualitas  program  pengendalian  dengan  sistem informasi  tentang  data kejahatan antar daerah  rawan  oleh pihak kepolisian dan aparat keamanan yang terkait. Tujuannya adalah  agar segala keputusan dan strategi  pengintaian  dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan dapat lebih terkonsentrasi, kompak, dan efektif.
1.2   Peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat dengan  cara memperbesar  peluang usaha diberabagai sektor sesuai  dengan potensi masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi  kekosongan  kerja,  penganguran  dan   tekanan-tekanan ekonomi yang rentan dengan timbulnya kejahatan.
1.3   Peningkatan  kualitas Unit Reaksi Cepat (URC) dalam  mengimbangi  kecenderungan perkembangan kecepatan gerak dan  sepak terjang  pelaku  kejahatan. Dalam hal ini  dimaksudkan  agar pihak kepolisian betul-betul tanggap terhadap setiap  tindak kejahatan dan senantiasa siap siaga dalam pengejaran  pelaku kejahatan.
1.4 Mengidentifikasi gejala-gejala penyimpangan perilaku individu-individu  yang  menunjukkan potensi  kriminal  atau  anti sosial. Potensi-potensi kriminal ini biasanya dapat  dilihat dari  perilaku yang bersifat eksentrik, baik gerak,  kostum, suara,  atau asesori yang digunakan cukup mengundang  perhatian massa. Untuk menangani masalah ini perlu adanya petugas sosial  yang  sekaligus dapat mem-berikan  bimbingan  kearah perilaku yang wajar.
1.5   Peningkatan dinamisasi operasional polisi patroli kota dalam mengawasi  setiap gejala kriminal, terutama di lokasi  rawan dan pusat-pusat keramaian kota.
1.6   Peningkatan upaya penertiban pemilikan dan penggunaan senjata api dikalangan intern kepolisian dan jajaran anggota ABRI pada  umumnya.  Upaya ini sangat  mendesak  untuk  ditindak-lanjuti  dalam rangka menjaga kemungkinan adanya oknum  yang bekerjasama  atau  membecking operasi  kejahatan.  Sedangkan secara ekstern perlu peningkatan kegiatan pengusutan  sampai tuntas  terhadap  kejahatan yang  menggunakan  senjata  api, sebab  tidak mustahil ada segolongan pemberontak yang  didukung  pihak asing yang anti pemerintah dengan sengaja  ingin mengacaukan ketertiban dan keamanan masyarakat.
1.7 Perlu adanya upaya akomodasi terhadap partisipasi masyarakat secara optimal, sehingga anggota masyarakat dapat  mendukung langkah  aparat Kamtibmas secara sukarela sebagai  kepentingannya  sendiri. Dengan demikian diharapkan  kontrol  sosial masyarakat dapat turut membantu tugas aparat Kamtibmas, baik berupa pelaporan kejadian maupun persiapan tindakan  darurat masyarakat  dalam menganti-sipasi terjadinya tindak  kejahatan.  Partisipasi  masyarakat ini sangat  penting  mengingat jumlah  aparat Kamtibmas, khususnya Polisi jauh lebih  kecil dari  pada ruang lingkup pengawasannya. Kontrol sosial  akan lebih  efektif lagi apabila lembaga-lembaga sosial yang  ada dalam  masyarakat dapat menjalankan fungsinya secara  maksimal.
1.8   Peningkatan perlakuan peduli, persuasif dan manusiawi terhadap  mantan  narapidana yang telah kembali  dalam  kehidupan masyarakat,  bahkan kalau perlu berikan  tanggungjawab  yang sesuai  agar ia merasa  lebih berarti dihadapan  masyarakat. Dengan demikian diharapkan residivisme tidak terjadi.

2. Penangulangan Represif

Penanggulangan represif dimaksudkan sebagai upaya  pemeberantasan secara  langsung  terhadap  fenomena dan  tindak  kejahatan  yang sedang  mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat dan  negara. Ada  beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka  memberantas kejahatan, antara lain adalah:

2.1  Penindakan secara langsung terhadap pelaku kejahatan  dengan cara-cara sebagai berikut:

2.1.1  Razia dan penangkapan
2.1.2  Penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan
2.1.3  Pengembalian kepada keluarga atau ditahan sementara
2.1.4  Diajukan kepengadilan jika cukup bukti telah  melakukan kejahatan.

2.2   Pembinaan khusus (treatment dan rehabilitasi), yaitu:

2.2.1  Bimbingan  keterampilan  dalam  sekolah-sekolah  atau lembaga-lembaga  pendidikan khusus. Dapat juga  disalurkan  kepada lembaga-lembaga lain  yang  berkaitan, seperti: Biro konsultasi psikologi sosial  bekerjasam dengan  Departemen  Sosial.  Tujuannya  adalah  untuk mengetahui perkembangan kejiwaannya sehubungan dengan sikap dan persepsinya terhadap kejahatan.
2.2.2  Pengembalian  kepada  masyarakat  dengan  rekomendasi yang jelas dan meyakinkan
2.2.3  Penyaluran  kedalam  pelatihan  dan  pekerjaan   yang sesuai dengan bidang keahlian
2.2.4  Pengawasan  partisipatif dalam  kehidupan  masyarakat dalam jangka waktu tertentu.

3. Penanggulangan Kuratif

Penanggulangan  Kuratif  dimaksudkan sebagai upaya  menekan  atau menghilangkan  faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya  perilaku menyimpang  dan  tindak kejahatan, seperti  kesenjangan  ekonomi, pengangguran,  urbanisasi, dan lain-lain.  Teknik  penanggulangan ini  dalam pelaksanaan harus benar-benar menerapkan sistem  cabut akar, dan tidak mengandung unsur dilematis. Jika hendak memberantas minuman keras, jangan sombong karena sudah menggilas  botolnya;  ibarat  melarang berjudi tetapi  membuka  bandar.   Diantara upaya-upaya penanggulangan kuratif tersebut adalah sebagai  berikut:

3.1   Upaya menekan, memperkecil atau kalau mungkin  menghilangkan kesenjangan ekonomi masyarakat dengan cara membuka  lapangan kerja baru, upaya pemerataan intensifikasi dan ekstensifikasi  dibidang industri dan pertanian  dikalangan  masyarakat, peningkatan upah minimum atau gaji pegawai secara  kumulatif dengan  nilai  tukar lebih tinggi dibanding  kenaikan  harga kebutuhan primer dan sekunder. Oleh karena masalah kesenjangan  ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya terhadap  tumbuhnya kejahatan,  maka  tidak boleh tidak  harus  dapat  ditangani secara  sungguh-sungguh,  obyektif,  dan   berkesinambungan. Ibarat sebilah keris jangan dibiarkan terlalu lama tanpa sarung, karena akan bertambah banyak pihak yang terluka.
3.2   Untuk  menekan dan memperkecil terjadinya urbanisasi,  dapat dilakukan razia KTP. dan pemulangan penghuni liar ke  dareah asal,  disamping  pelaksanaan  program  tranmigrasi   secara efektif.
3.3 Untuk  menghambat  terjadinya pengangguran  dapat  dilakukan dengan  pemerataan  kesempatan  kerja,  pembinaan  anak-anak putus  sekolah dengan peningkatan efektivitas  program  anak asuh,  disamping melakukan penyaluran tenaga kerja  ke  luar negeri dengan pengawasan dan perlindungan hukum.
3.4   Perubahan  dan  perbaikan terhadap  lingkungan,  baik  pisik maupun sosial, dengan membangun berbagai fasilitas kehidupan yang  sesuai  dengan kebutuhan, seperti  sarana  olah  raga, penataan perumahan, saluran pembuangan limbah rumah  tangga, serta pembinaan mental dan kerukunan tetangga.
3.5  Pelatihan teknis operasi ketertiban dan keamanan  masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran, kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.
3.6   Penerangan dan pembimbingan terhadap para orang tua  tentang cara pengawasan pendidikan anak dalam keluarga
3.7   Peningkatan  bimbingan dibidang moral dan  kerohanian,  baik secara  kualitas maupun kuantitas dalam  rangka  membentengi diri  dari  berbagai pengaruh  negatif  akibat  perkembangan pembangunan.

Secara operasional diharapkan kalangan intelektual,  cendekiawan, budayawan, pihak yang berwenang dan masyarakat harus dapat bersama-sama  berusaha mencari jalan penyelesaian masalah dengan  dialog, saling mendengar, menghargai dan menghindari sentuhan rentanitas  sosial.  Dengan demikian diharapkan berbagai  pihak  dapat menerima  perbedaan  pendapat,  kepentingan,  sekaligus  menerima keragaman. Proses ini mengajak kita semua untuk lebih  memikirkan posisi "kita" ketimbang "kami". Agar segala atribut dan perbedaan kekuasaan,  derajad,  etnis dan agama dapat  terpelihara  sebagai sistem kekuatan masyarakat.

Kekuatan masyarakat dapat diukur dari terpeliharanya nilai  kesetiakawanan  sosial,  yaitu kehidupan bersama  berdasarkan  ikatan kesetiaan  dengan  ikatan persahabatan yang  bersifat  psikologis batiniah  dalam  segala  kondisi untuk  mencapai  tujuan  bersama tertentu. Konsekuensinya bagi individu dan kelompok dalam  setiap aktivitasnya  adalah harus mampu saling menghormati penuh  dengan kejujuran, terbuka dan kekeluargaan. Dalam kehidupan bersama  ini tersedia  kondisi-kondisi yang dapat menuntun orang-orang  kepada kehidupan  yang membahagiakan dan memuaskan.

Menurut  teori  pertukaran sosial yang  pernah  dikemukakan  oleh Peter  M.  Blaw, bahwa faktor yang  mendorong  terjadinya  saling berinteraksi antara anggota masyarakat adalah karena adanya suatu harapan  berupa  imbalan tanpa resiko hukum.  Jika  proses  umpan balik antara pemberian dan penerimaan, baik berupa moral,  perlakuan,  maupun  materi ekonomis, semuanya  berjalan  seimbang  dan mampu mengisi kepuasan masing-masing pihak, maka disiplin  sosial dapat dipertahankan dalam kurun waktu tertentu. Konsekuansi  dari prinsip  pertukaran  sosial  adalah (1)   beban  kewajiban  untuk tunduk  bagi pihak penerima imbalan; (2) Untuk membebaskan  beban kewajiban itu, maka pihak yang dinberi wajib tunduk atau  memberi imbalan kembali yang seimbang; (3) hubungan sosial dapat dipertahankan jika kedua belah pihak menerima atau puas dengan  imbalan-imbalan itu.

Berdasarkan  teori tersebut, maka dapat dimengerti  bahwa  pengakuan, perlakuan ataupun pemberian jalan keluar yang nyata  terhadap pelaku pelanggaran juga merupakan beban kewajiban yang  harus dilunasi dengan sikap dan perilaku yang seimbang, sedikitnya para pelaku  kejahatan  dan pelanggar hukum lainnya akan  tunduk  pada nilai-nilai  dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.  Jika ini dilakukan oleh pihak yang berwenang, maka imbalan yang diharapkan  adalah  kesadaran dan kepatuhan  para  penjahat  (termasuk pelanggar lainnya) terhadap hukum. Dalam situasi ini perlu adanya kemampuan  untuk memotivasi dan menciptakan kehidupan yang  lebih memuaskan dari keadaan sebelumnya. Secara sosiologis perlu adanya upaya pendekatan yang berhubungan dengan interaksi informal  yang intim  dan  keterbukaan antara berbagai pihak.  Situasi  informal mana dapat terjadi selaras dan timbal balik, apabila arah pengembangan  diri   itu dilakukan melalui  pertimbangan  potensi  para pelaku  kejahatan,  prostitusi,  perjudian,  termasuk  minat  dan kebutuhan pokoknya.

Pada  dasarnya  pendekatan  sosiologi  dengan  kontek  pertukaran sebagaimana  diungkapkan  Blaw adalah  sebagai  upaya  pembiasaan saling bekerjasama, saling mendorong kearah kemajuan tanpa perhitungan ekonomis. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sempit,  susah mencari  uang, maka perlu pemindahan pola ukuran  pamrih  menjadi ukuran  sosial. Dalam berbagai upaya penanggulangan  masalah  sosial, termasuk kejahatan, prostitusi dan perjudian perlu  diawali dengan  memberikan  perhatian dan kesungguhan  upaya  menunjukkan alternatif  jalan  untuk mengembalikan apa yang  hilang,  berikan dukungan usaha untuk mewujudkan harapan mereka dengan jalan  yang sesuai  dengan  kemampuan, nilai-nilai dan  hukum  yang  berlaku. Kemudian  berikan  tanggungjawab  atas  pekerjaan  tertentu  yang sesuai  dengan  minat dan  kemampuan  masing-masing,  sebagaimana tanggungjawab  yang dimiliki orang lain. Dengan  begitu  biasanya mereka  akan  berangsur menyadari bahwa  ada  pengakuan  terhadap keberadaan  dan  kehormatan mereka dalam  masyarakat  normal  dan tidak lagi sebagai orang yang terkucil atau anti sosial.  Berikan informasi  tentang kehidupan yang lebih baik dengan  sumber  yang legal  dan  dapat  dipercaya, sehingga  tidak  mengecewakan  bagi mereka  yang menelusurinya. Pindahkan perhatian mereka dari  keadaan yang tidak memadai ke arah yang lebih berarti dengan  bukti-bukti  yang dapat dipercaya. Perlu adanya adaptasi diri  terhadap perilaku,  bahasa dan kebiasaan mereka, dengan maksud agar  tidak terjadi salah pengertian, apriori dan kecurigaan.

Jika pelaku kejahatan, telah dapat dikuasai, maka upaya penyadarannya  adalah memberikan tanggungjawab dan aktivitas yang  nyata, yaitu  dengan melibatkan mereka terhadap sebagian  kegiatan  yang mengarah pada usaha kehidupan yang wajar dan manusiawi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani, 1987. Sosiologi Kriminalitas. Penerbit: CV.  Remadja Karya, Bandung.
Mulyana W. Kusumah, 1984. Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas. Penerbit: Armico, Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo,  1977.  Pengantar  Kriminologi  (Seri:A). Penerbit: PT.Tribisana Karya, Bandung.
Stephan Hurwitz, 1986 (disadur oleh: Ny. L.Moeljatno). Kriminologi. Penerbit: Bina Aksara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar