Rabu, 11 Mei 2016

KONSEP, STRATEGI DAN IMPLEMENTASI NILAI ADAT BUDAYA LAMPUNG DALAM PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN DAN KETERTIBAN UMUM MASYARAKAT DESA

KONSEP, STRATEGI DAN IMPLEMENTASI
NILAI ADAT BUDAYA LAMPUNG DALAM PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN DAN KETERTIBAN UMUM MASYARAKAT DESA*

Oleh: Abdul Syani**


Kaerifan Lokal Nilai Adat Budaya Lampung

Secara umum kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil pemikiran, rasa dan hasil karya manusia sebagai wujud dari interaksi adat istiadat masyarakat. Ada juga yang mengartikan kebudayaan secara luas, yaitu total dan pikiran, karya dan hasil karya manusia yang dicetuskan sesudah adanya suatu proses interaksi. Konsep ini tentu sangat luas karena meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Kata kebudayaan merupakan pengertian yang meliputi unsur hubungan/interaksi antara satu atau lebih manusia dalam suatu kelompok masyarakat, yang dalam pola dan tingkah laku interaksinya didasarkan pada unsur kebiasaan dalam masyarakat yang berlaku, atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai interaksi sosial yang berlandaskan pada lingkungannya. Sedangkan kata budaya, yaitu merupakan pengembangan dari kata majemuk budi-daya, yang daya dan budi atau kekuatan dan akal.

Dengan pendekatan kebudayaannya yang struktural dan funfsional, van Peursen menyajikan suatu model kebudayaan yang bertahap tiga (mitologis, ontologis, dan fungsional), tapi yang serentak bersifat progresif dan integral antara ketiganya. Peursen juga menandaskan bahwa kebudayaan itu terus menerus nampak sebagai suatu strategi (atau rencana) yang harus dibuat guna membebaskan manusia dari penjara yang dibuat manusia sendiri melalui kreativitas etis dan pembaharuan yang invensif (van Peursen, 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta, Penerbit: Kanisus, edisi kedua).

Dalam perspektif Peursen, pembangunan sebuah bangsa yang bercirikan fluralisme kebudayaan dengan pola pendekatan fungsional kebudayaan akan menunjang kebudayaan-kebudayaan lokal untuk secara sadar berada (eksis) dan berperan (partisipatif) dalam proses kristalisasi kebudayaan nasional dan pembangunan bangsa. Menuru Peuersen mengutif pendapat  filsuf jerman Immanuel Kant, bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untu mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat terus menerus belajar.

Pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Filosofis kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).
___________________
* Disampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Fasilitasi Ketenteraman dan Ketertiban umum Desa Di 7Th Hotel, Jl. Rasuna Said No.18, Gulak Galik, Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung, Lampung, tanggal 12 Mei 2016
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Menurut Robert Sibarani (2013), kearifan lokal itu adalah nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat. Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah pengetahuan asli (indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal itu mungkin berupa pengetahuan lokal, keterampilan lokal, kecerdasan lokal,  sumber daya lokal,  proses sosial lokal, norma-etika lokal, dan adat-istiadat lokal. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi nilai dan norma budaya untuk kedamaian dan kesejahteraan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembangunan masyarakat. http://www.museum.pusaka-nias.org/2013/02/pembentukan-karakter-berbasis-kearifan.html
Kearifan lokal itu mengandung nilai-nilai moral (kebaikan) bagi kehidupan masyarakat, sehingga kemudian mentradisi dan melekat kuat dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka waktu yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Masyarakat adat Lampung yang memiliki kearifan lokal berupa falsafah hidup fiil pesenggiri. Piil Pesenggiri mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Piil pesenggiri itu didukung unsur-unsunya, yaitu: Bejuluk-beadok, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-samabayan. Bejuluk-beadok terdiri dari kata juluk dan adok, yang masing-masing mempunyai makna: Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adok bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Nemui-nyimah, artinya ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Nengah-nyappur: Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sakai-sambayan: Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun.  Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.

Untuk menghargai nilai-nilai luhur kearifan lokal, maka mau tidak mau segenap warga Negara harus menggali, memelihara, menjiwai dan mengamalkan (menerapkan) nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam rangka meningkatkan stabilitas daerah. Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain (Abdul Syani , 2013).

Pada sisi lain, masyarakat adat Lampung memiliki bentuk kearifan lokal yang disebut dengan Adat Angkon Muwakhi (Adat adopsi saudara), yaitu bersaudara atau persaudaraan.

Menurut penjelasan Prof. Dr. H. A. Fauzie Nurdin, M.S mengenai konsep budaya muakhi  dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kamis 29 November 2012 di Hotel Millenium, Jakarta, bahwa muakhi dalam budaya masyarakat Lampung secara etimologi berarti persaudaraan dalam hubungan bertetangga. Kata muakhi berasal dari kata puakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu.

Masyarakat adat Abung menyebut mewareiyang berarti bersaudara. Muakhi sebagai nilai dasar etika sosial dilandasi filsafat hidup Piil Pesenggiri, sehingga dapat dikembangkan secara substansial dan fundamental, sebab hal itu ada dalam pemahaman dan pengamalan orang Lampung. Pemahaman tentang muakhi dalam masyarakat adat Lampung menjadi urgen, karena muakhi sebagai sikap dan nilai etika sosial berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Pada masyarakat adat Lampung kata mewarei digunakan oleh masyarakat adat Abung sedangkan muakhi digunakan oleh masyarakat adat Pubian Selanjutnya dijelaskan bahwa kata muakhi berasal dari kata puakhi, artinya saudara kandung dan saudara sepupu dari pihak bapak maupun ibu. Selain itu, terdapat juga istilah kemuakhian yaitu sistem persaudaraan antarmarga, sedangkan minak muakhi berarti lingkungan persaudaraan. Angkon muwakhi merupakan kebiasaan yang diadatkan. Artinya kegiatan perayaan/upacara/ beguwai adat angkon muwakhi (angkat saudara) dilakukan atas dasar kepentingan sosial budaya sebagai penyangga terciptanya kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat adat.

Kearifan lokal nilai adat budaya Lampung lainnya adalah adat Hippun atau Buhippun/buhimpun. Secara bahasa terdiri dari bu = ber =melakukan; hippun diartikan sebagai kegiatan kumpul, mengumpulkan, menghimpun (pendapat), atau menjaring aspirasi warga. Buhippun adat artinya (adat istiadat) kegiatan musyawarah yang dilakukan penyimbang adat berkaitan dengan peristiwa, perihal atau urusan adat istiadat dan budaya setempat. Misalnya buhippun mengenai rencana acara buakhak atau prosesi ngarak (arak-arakan) pengantin di jalan papekonan (desa) tentang formasi, pihak-pihak tuha khaja yang terlibat, dan alat-alat yang digunakan. Dengan demikian buhippun artinya melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai kesamaan pendapat atau kata sepakat (supaya mencapai kesepakatan, kesepahaman) thdp rencana, kegiatan, peristiwa, atau cara pemecahan masalah tertentu.

Buhippun merupakan anonim dari suatu upaya untuk mencapai atau mencari kesepakatan; maksudnya usaha menghimpun pendapat khalayak agar suatu rencana dan keputusan yang diambil bersama lebih aspiratif dan mewakili semua lapisan sosial. Secara ringkas, buhippun dapat diartikan sebagai kegiatan musyawarah untuk mencapai mupakat. Istilah ini umumnya digunakan masyarakat adat Saibatin lima marga Kalianda dan sekitar utk menyebut kegiatan musyawarah (Abdul Syani, 2013).

Dalam dialek bahasa yang berbeda, hippun adat disebut juga Peppung adat, yaitu kegiatan musyawarah. Istilah peppung umumnya digunakan masyarakat adat Pepadun Abung siwo mego, Megow Pak Tulang Bawang, dan sebagian Pubian dalam menyebut kegiatan musyawarah. Peppung adat secara umum dapat artinya kegiatan berkumpul bersama antara penyimbang adat untuk mencapai kesepakatan tentang kepentingan yang berkaitan dengan penyelesaian masalah adat, revitalisasi hukum-hukum adat atau untuk mengembangkan rasionalisasi adat istiadat demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat adat setempat.

Relatif sama dengan pengertian istilah buhippun, Peppung berarti melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai kesepakatan, kesepahaman atau kesamaan pendapat terhadap rencana, kegiatan, atau langkah-langkah tertentu untuk kepentingan bersama. Peppung pada dasarnya menunjuk pada suatu usaha menghimpun aspirasi publik sebagai bahan pertimbangan dalam mencari keputusan bersama tentang solusi atas suatu perkara atau strategi progres tentang rencana tertentu. Secara umum, peppung dipahami sebagai aktivitas musyawarah untuk mencapai kesamaan pendapat.
Warisan budaya dan nilai-nilai tradisional itu mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan agar nilai-nilai kearifan lokal tetap relevan dengan kemajuan jaman. Diharapkan para tokoh / penyimbang adat lebih arif dalam bertahan terhadap derasnya tekanan budaya asing, mampu mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya asing yang relevan ke dalam budaya lokal, mampu mengendalikan dan memberi arah pada pengayaan budaya lokal.

Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo,1978;12).


B.   Implementasi Nilai Adat Budaya Lampung Dalam Penyelenggaraan Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Masyarakat Desa

Ada tiga nilai kearifan lokal Lampung yang dapat dipertimbangkan sebagai strategi sosial budaya dalam Penyelenggaraan Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Masyarakat Desa, yaitu Falsafah hidup Piil Pesenggiri, Adat Angkon Muwakhi (muwari) dan Hippun (pemekonan).

Piil Pesenggiri

Piil Pesenggiri mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas implementasi dari unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.1  Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri. Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan. Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.

1.2  Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran. Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku. Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

1.3  Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif. Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan. Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
1.4  Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan. Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya. Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Adat Angkon Muwakhi dan Hippun

Adat angkon muwakhi (dan Hippun) secara ideal dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Seluruh tahapan yang dilalui memiliki makna tesendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa sembarangan. Adapun tahapan prosesi perayaan adat angkon muwakhi secara ringkas adalah sebagai berikut:

  Hippun wakhi pelambanan (musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat dekat).
  Hippun suku (musyawarah antara kepala-kepala suku yang mewakili pihak-pihak keluarga-keluarga yang melaksanakan upacara adat muwakhi).
  Hippun tiyuh/pekon (antar penyimbang tiyuh dari masing-masing pihak calon angkon muakhi).
  Hippun Marga (musyawarah antar kepala/perwatin marga).
  Hippun Lamban Balak (persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan Tuha Khaja  dan perangkat pemerintahan adatnya,  penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan tuha khaja tentang hak dan kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji sumpah atau katam).
  Persiapan pakaian adat masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon angkon muakhi (sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal, disesuaikan), payung adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dan lain-lain.
  Persiapan lokasi prosesi angkon muakhi
  Persiapan dekorasi dan perlengkapan sarana upacara adat angkon muwakhi
  Persiapan penerimaan tamu undangan.
Persiapan kirab/ngarak (arak-arakan sebatas pamekonan), diteruskan mandi duway (ngeduwaikon); selanjutnya kembali ke lamban balak/lokasi prosesi perayaan adat muwakhi.
Pembacaan susunan acaraq oleh Penglaku tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang senior)
Penobatan dan pembacaan janji angkon muwakhi.
Pengucapan sumpah angkon muwakhi (dipandu oleh tokoh agama)
Penetapan dan pembuatan keputusan naskah kemuakhian,
Penetapan/pemberian gelar adat dan penobatan sebagai penyimbang baru.
Pembacaan tugas pokok dan fungsi serta larangan bagi penyimbang baru atau pihak yang bermuakhi oleh penyimbang marga atau penyimbang lain yang ditunjuk.
Acara di tutup dengan doa (petugas), dan dilanjutkan dengan acara makan bersama

Dari tahapan-tahapan yang tergambar secara ringkas diatas, maka dapat diketahui bahwa prosesi angkon muwakhi yang dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Lampung sangat kental akan nuansa adat istiadat dan budaya sehingga penting untuk selalu dilestarikan, meskipun dalam pelaksanaannya saat ini lebih disesuaikan dengan aspek finansial. Pemaknaan dari angkon muwakhi merupakan janji suci lahir dan batin, yang bersifat mengikat untuk menjadi saudara kandung, sehingga setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan baik layaknya saudara dalam sebuah keluarga. Selain sebagai kearifal lokal budaya Lampung, angkon muwakhi bisa dijadikan sebagai strategi penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat, khususnya masyarakat Desa. Kecuali itu adat angkon muwakhi dapat dijadikan strategi ampuh dalam penyelesaian persalahan/konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Angkon muwakhi merupakan wujud dari semangat persaudaraan yang berrakar dari kearifan lokal adat budaya yang dimiliki masyarakat adat Lampung.

Selain menjalani tahapan prosesi dalam adat angkon muwakhi tersebut, terdapat juga acara angkat sumpah taupun sumpah janji. Sumpah janji ini memiliki daya ikat yang sangat kuat untuk memelihara tali persaudaraan, sehingga jauh dari ancaman konflik. Angkat sumpah yang dilakukan dalam pelaksanaan angkon muwakhi ada 3 (tiga) macam:

Pertama, sumpah atas nama Allah SWT (disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing) untuk selalu saling membantu, saling percaya, selalu menjaga tali persaudaraan sabagaimana kuatnya ikatan saudara kandung. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya adalah cidera dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat dengan batas waktu tertentu, dan membayar denda adat.
Kedua, sumpah atas nama Allah SWT (disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing) untuk tidak melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan. Apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah ini, maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk, sakit  atau sejenis akibat buruk lainnya.
Ketiga, muwakhi katam (bersaudara dengan mengucapkan sumpah), yaitu bersumpah atas nama Allah SWT (disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing) untuk saling angkat saudara dengan syarat salah satu atau semuanya tidak melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan seperti halnya poin kedua. Perbedaannya adalah apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah, maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk mengalami kecelakaan, gila atau mati.

Kecuali sumpah muwakhi katam di atas, ada juga katam (sumpah) yang disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bertikai, konflik berdarah atau sedang berperang, tapi justru bukan bermuwakhi (sebaliknya sumpah untuk tidak bersaudara) berpisah, saling menjauh, tidak saling bertemu, tidak saling berhubungan, bahkan bersumpah untuk selamanya mengharamkan perjodohan bagi keturunan mereka. Jika sumpah ini dikhianati, maka peperangan dan konflik berdarah akan kembali pecah lebih dahsyat lagi.

Daya ikat dari sumpah dalam angkon muwakhi sangat kuat, melekat pada setiap diri dari pihak-pihak yang melakukan sumpah. Oleh karena itu upaya pemeliharaan dan pemberdayaan nilai-nilai adat angkon muwakhi memiliki potensi strategis dalam penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum masyarakat Desa. Di samping dapat digunakan sebagai strategi menyelesaikan perselisihan dalam masyarakat secara arif dan bijaksana. Melalui pendekatan kearifan lokal budaya, konflik dapat diselesaikan dengan cara yang bermoral, tanpa menimbulkan kerugian dari pihak manapun. Dengan dilandasi semangat persaudaraan, kerukunan dan perdamaian di dalam masyarakat akan mudah tercipta dan dijaga.

Dalam rangka penanganan konflik yang selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola yang tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakay adat setempat, pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru, yaitu diantaranya konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka susulan yang sulit diprediksi. Ada beberapa alasan pentingnya merevitalisasi dan implementasi kearifan lokal angkon muwakhi tersebut, yaitu:
Masyarakat adat Lampung nilai-nilai kearifan lokal  berupa tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
Landasan adat kemuarian adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis  dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat. Masyarakat adat Lampung selalu terbuka, baik thdp sesama etnis Lampung maupun pendatang
Maksud : tradisi penyelesaian konflik dg model angken muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yg terlibat konflik menjadi saudara angkat. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki ikatan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, tak ada dusta, dan hapus semua bentuk perselisihan.
Dalam ikrar/sumpah/janji mewarei terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.
adat mewarei ditetapkan melalui hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki DAYA IKAT yang relatif kuat dan sanksi yg cukup berat jika ingkar/dilanggar.
Tujuan : Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Artinya, agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional.
Bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yg sangat sakral dan agung itu
Maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei sbg pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.

Implementasi atas nilai-nilai kearifan lokal itu dapat direkomendasikan sebagai strategi dalam Penyelenggaraan Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Masyarakat Desa. Dengan mengkombinasikan potensi / kekuatan dan praktik fungsi sosial, yaitu melakukan pendekatan / perangkulan kepada masyarakat adat tanpa memandang perbedaan latarbelakang sosial budaya. Pada prinsipnya pendekatan ini didasarkan pada kesadaran kerendahan hati, empati, kesediaan untuk terbuka dan terluka, pengampunan, rekonsiliasi, kebenaran, keadilan restorative (pemulihan hubungan yang sudah retak), dan kerjasama, melalui keteladanan. Praktik fungsi-fungsi sosial ini dilakukan secara terus atau pembiasaan menerus sampai membentuk karakter kebajikan pribadi yang memiliki kekuatan budaya. Kondisi ini diharapkan dapat mendorong terbentuknya masyarakat yang memiliki wawasan keinginan untuk membangun perdamaian, sebagaimana dimaksudkan dalam Penyelenggaraan Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Masyarakat Desa.

Penutup

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa dengan upaya pemberdayaan masyarakat setempat, khususnya masyarakat adat Lampung layaknya mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh, berlaku dan diyakini masyarakat adat, khususnya nilai-nilai adat budaya Piil Pesenggiri, Adat Angkon Muwakhi (saudara), dan Adat Hippun Pemekonan.

Menurut Philipus Tule (2008), bahwa bertolak dari pengalaman global, mencoba menilai pelbagai kebijakan dan realitas pembangunan bangsa Indonesia yang berbasis budaya. Tanpa pretensi melabelkan budaya Indonesia (dan aneka budaya lokal) sebagai yang putih dan hitam, yang progresif atau yang statis, diyakini bahwa terdapat sejmlah besar nilai-nilai budaya lokal yang positif dan progresif. Salah satu nilai budaya yang positif adalah kekerabatan yang berbasis rumah sebagai wahana toleransi dan penunjang pembangunan. Dalam studi antropologi tentang rumah asal telah menjadi fokus penting, di samping studi mengenai silsilah leluhur asal (geneology) dan tempat asal (topogeny). Rumah dalam konteks ini tidak saja dipahami sebagai suatu konstruksi (bangunan) fisik dan tempat diam dari sekelompok manusia. Rumah juga memiliki makna simbolis yang mengejawantahkan leluhur sekaligus merupakan terminologi untuk unit sosial. Sebagai konsekuensi dari masyarakat berbasis rumah itu, suatu sistem kekerabatan dibangun dan dihayati penuh keselarasan dan keseimbangan (harmoni) antara anggotanya: Muslim, Krinten dan penganut agama asli. Lebih jauh dari itu, kekerabatan bukan saja dihayati secara terbatas pada asas hubungan darah (consanguinal) ataupun hubungan perkawinan. Kekerabatan juga dikonstruksi oleh masyarakat adat menjadi lebih luas jangkauannya lewat proses inkorporasi para pendatang (entah orang jawa, cina dan arab) yang bisa mengubah status orang luar jadi orang dalam dengan seperangkat kewajiban sosial yang harus dipehuninya selama mereka masih menghuni kawasan tanah ulayat dari etnis (...) itu.

Ada lima (5) saran strategis pengembangan relasi budaya dan agama sebagaimana dikemukakan oleh Philipus Tule, berdasarkan hasil kajiannya terhadap kebudayaan masyarakat Flores NTT. (sesuai juga dengan sistim penguatan kekerabatan dalam budaya masyarakat Lampung), yaitu:

Pelanggengan, pengembangan dan perayaan budaya lokal (daerah) yang unik dan terancam punah;
Prioritas investasi demi proteksi, pengembangan dan promosi aset budaya lokal yang memiliki nilai positif da progresif;
Penciptaan kesempatan bagi individu dan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam aktivitas perayaan budaya;
Promosi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan lewat sektor turisme berbasis kebudayaan lokal dan pelbagai industri kreatif; dan
Penghargaan dan pendanaan oleh pemerintah untuk pelbagai kegiatan penelitian dan publikasi akademis oleh pakar dan lembaga penelitian lokal (daerah) serta usaha pelestarian lewat museum budaya daerah.

Dari segi pemberdayaan masyarakat lokal perlu dilakukan pendekatan partisipatoris, yaitu dilakukan dengan titik awal dari orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan masyarakat setempat. Pendekatan partisipatoris pada awalnya harus mampu menilai kondisi dasar kemampuan masyarakat dan kemudian mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Sebagai tindak lanjut harus diikuti oleh pemberian sarana dan jaminan yang mampu meneguhkan keyakinan mereka dalam kehidupannya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dapat dilakukan melalui upaya melaksanakan peningkatan dan pengembangan seluruh potensi dan sumber daya manusia sebagai potensi untuk menunjang sistem pertahanan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan secara terpadu, yaitu mencakup:

Upaya penguatan dan memberikan peranan kepada organisasi kemasyarakatan sebagai potensi lokal maupun nasional dalam rangka mendukung sistem pertahanan negara.
Upaya membangun jaringan informasi pemberdayaan masyrakat yang dapat menumbuhkan dan mendorong keberdayaan masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya guna mendorong kemampuan masyarakat untuk berdialog mengatasi konflik dalam kerangka wawasan kebangsaan dan bela negara.
Upaya penguatan masyarakat dan kelembagaannya untuk mampu membangun dan melaksanakan fungsi mediasi yang mampu menghubungkan visi kebangsaan dan bela negar serta aspirasi masyarakat.
Upaya penguatan masyarakat dan kelembagaannya untuk mendorong proses kaderisasi kepemimpinan masyarakat yang di samping memiliki kemampuan manajerial, juga memiliki visi kebangsaan dan bela negara.

Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Lampung telah teruji keampuhannya, paling tidak ketika proses perubahan dan konflik berlangsung, dapat diredam dengan mengingatkan dan mendarakan kembali bahwa mereka memiliki nilai-nilai falsafah hidup luhur sebagai masyarakat yang mengutamakan kerukunan.
Langkah-langkah untuk membangun kearifan lokal, diharapkan para pemuka adat, masyarakat, dan tokoh agama secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kelompok warga masyarakat adat untuk memberikan pencerahan akan arti pentingnya adat muwakhi untuk menciptakan kerukunan intern dan antar warga. Kecuali itu agar masyarakat tidak terseret pada pemikiran sempit yang memanfaatkan konflik demi kepentingan pribadi dak golongan. Hal ini diharapkan dapat mencerahkan semangat baru kearifan lokal dapat memelihara dan membangun kerukunan masyarakat meski dalam suasana multikultural dan multietnis.

REFERENSI

 Abdul Syani, 2013. Makalah: Kearifan Lokal Sebagai Aset Budaya Bangsa Dan Implementasinya Dalam Kehidupan Masyarakat (di sampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2013).
___________, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

___________,  2007. SOSIOLOGI Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.

___________,  2013. Makalah: Multikulturalisme Lampung: Penghargaan Atas Kearifan Lokal Untuk Menciptakan Stabilitas Daerah (Disampaikan pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional bagi Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Elemen masyarakat di Provinsi Lampung oleh Badan Kesbangpol dengan tema Meningkatkan Kewaspadaan nasional melalui deteksi dini, cegah dini, dan kewaspadaan dini demi tercapainya suawana kondusif di Provinsi Lampung, di Hotel Andalas Permai Jl.S.Parman, Bandar Lampung pada tanggal 25 Juni 2013).
A. Fauzie Nurdin, M.S mengenai konsep budaya muakhi  dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kamis 29 November 2012 di Hotel Millenium, Jakarta,
Ali, Moertopo,1978, Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta.
Budi Susilo Supanji, 2008 (Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Departemen Pertahanan).Kebijakan dan Strategi Kebudayaan berbasis Kesadaran Bela Negara. Editor: Kenedi Nurhan, Penerbit: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI Bekersama dengan Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI).
Robert Sibarani, 2013. (http://www.museum.pusaka-nias.org/2013/02/pembentukan-karakter-berbasis-kearifan.html)
Philipus Tule, SVD., 2008. Strategi Kebudayaan Lokal Keo, Flores NTT.: Wahana Harmonisasi Masyarakat melalui Pembangunan dan Kesejahteraan. Editor: Kenedi Nurhan, Penerbit: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI Bekersama dengan Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI).
van Peursen, 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta, Penerbit: Kanisus, edisi kedua




Tidak ada komentar:

Posting Komentar