Senin, 23 September 2019

PARADIGMA TENGAH-TETANGGAH DAN KEPRIBADIAN DALAM FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN

PARADIGMA TENGAH-TETANGGAH DAN KEPRIBADIAN 
DALAM FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN

 Oleh: Abdul Syani


Pesan bagi setiap manusia bahwa dalam memperjuangkan cita-cita hidup, yaitu kebaikan dan kesejahteraan, sudah seharusnya dilakukan dengan kerja keras, dengan kejujuran, sabar dan keikhlasan. Tidak boleh orang berbuat seenaknya, curang dan merugikan orang lain dalam bekerja memenuhi kepentingannya sendiri. Prinsip ini bagi orang jawa merupakan motivasi hidup dalam
kerja keras, ibarat berhenti belajar, sama artinya dengan berhenti makan atau mati, oleh
krn itu dalam tak ada alasan untuk tidak segera menyelesaikan tugas demi mencapai
keseimbangan hidup.
 

Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita
hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif
ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi,
komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan
jaringan kompleks dari symbol-simbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat
dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik atau bangsa.Dengan cara pandang ini,
dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat,
memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam
sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam
pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan
keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar
kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
 

Dalam falsafah hidup masyarakat adat Lampung terdapat 10 (sepuluh) Prinsip Tengah
Tetanggah (Nengah-nyappur) atau prinsip bermasyarakat, yaitu:


1. Betik ati (rendah hati dalam bersikap dan berbuat, dalam pergaulan dan dalam
diskusi perencanaan dan pemecahan masalah)
2. Pudak waya (wajah selalu berseri/ceria dalam setiap pertemuan, pergaulan dalam
kehidupan masyarakat)
3. Helau cawa (indah/bagus dalam berbicara/berkata/berucap)
4. Ngaca dikhi (nagaca diri / tahu diri, selalu koreksi diri)
5. Wawai penglaku ((indah/bagus/sopan dalam berperilaku/berbuat)
6. Happang injak (ringan/mudah/siaga untuk segera berdiri/bangun untuk
melaksanakan tugas, baik dengan perintah atau atas dasar tanggungjawabnya
sendiri)
7. Kiwah guwaian (mampu/mudah/ringan dalam memberikan / menyubangkan
tenaga, pikiran dalam kegiatan / pekerjaan untuk kepentingan bersama)
8. Nekhima salah (selalu mengakui setiap ada kesalahan yang diperbuat, dan siap
bertanggungjawab untuk memperbaiki kesalahan, dan berusaha untuk tidak
mengulangi kesalahan yang sama)
9. Khajin buamal (memiliki jati diri yang rajin beramal, membantu sesama,
membela pihak-pihak yang lemah dan berkekurangan)
10. Khila pumahap (dalam keseharian hidup dalam masyarakat selalu rela/ikhlas
dalam membantu sesama, dan jika terjadi kesalahan atau hilap dan sikap perilaku
selalu memberi maaf, dan mudah memaafkan orang lain.
 

Itulah diantaranya pedoman hidup masyarakat adat Lampung untuk memelihara
kerukunan, perdamaian, kerjasama, persatuan dan kesejahteraan sosial dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Dalam berbagai acara petemuanm, baik antar warga, antar
kampung, antar suku, maupun terhadap masyarakat luar wilayah, sampai kini mereka
masih konsisten berpedoman pada prinsip itu, sehingga segala bentuk perelisihan dan
konflik warga dapat dihindari. Demikian juga dalam pergaulan dan “hippun
(musyawarah), mereka selalu menjaga sikap, perilaku dan ucapan agar tidak membuat
orang lain disekitarnya atau peserta musyawarah agar tidak menimbulkan buruk sangka
yang dapat menghambat terbentuknya kesepakatan bersama.
 

Kecuali 10 (sepuluh) prinsip bermasyarakat itu, ada 10 (sepuluh) elemen adat istiadat
yang menjadi satu kesatuan kepribadian orang Lampung dalam praktik bersikap dan
berperilaku untuk memelihara kerukunan dan persatuan kehidupan masyarakat, yaitu:


1) adat buguwai jejama khatong mena mulang dukhi (artinya adat bekerjasama
datang duluan pulang belakangan, bahwa kepribadian yang memotivasi diri untuk
senantiasa wajib menegakkan disiplin dalam setiap kerjasama dengan sebanyakbanyaknya dapat memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk kepentingan
kesejehteraan bersama, di mana dalam contoh praktik kerja datang duluan pulang
belakangan);


2) adat nginjuk mak ngilu (artinya hanya untuk memberi tanpa berharap pemberian
orang lain; bahwa kepribadian orang Lampung selalu mengoreksi dan menata
kebijakan diri agar tidak pernah merugikan, menghambat atau berharap pemberian
bantuan orang lain; orang lampung merasa malu dan tidak terhormat jika
hidupnya banyak tergantung pada belas kasih orang lain, oleh karena itu tertanam
dalam kepribadiannya hanya berusaha agar bisa membantu orang lain tanpa
berharap balasan);


3) adat bukimbang mak nyegung (artinya berlenggang tapi tak sampai menyikut
orang di sekitarnya; bahwa dalam segala kegiatan atau perilaku dalam keramaian,
seharusnya berhati-hati dalam membawa diri atau berpenampilan, tidak berulah
diri secara berlebihan, jangan sampai mengakibatkan terganggu atau merugikan
orang lain, atau paling tidak jangan sampai penampilan di tengah keramaian
menimbulkan kesan pamer atau sombong, sehingga mengakibatkan perselisihan
atau rasa kebencian dan permusuhan);


4) adat buya mak nyikhok palai (artnya lelah tapi rasa pegal tak mengikat, bahwa
meskipun capek/lelah dalam kerrjasama menegakkan kebenaran/keadilan dan
usaha kesejahteraan bersama, tapi pegal linu tak dirasakan lantaran semangat dan
kerelaan diri telah melekat kuat dalam kepribadiannya, pada prinsipnya hidup ini
dalam segala kegiatan harus didukung oleh rasa keikhlasan, sehingga tak ada
paksaan dalam berkiprah berusaha sebanyak-banyaknya berjuang untuk
kepentingan bersama dan untuk orang lain yang membutuhkan;


5) adat pujama melipokh betoh (artinya hidup bersama itu bisa menghilangkan rasa
lapar, bahwa adat yang tertanam dalam kepribadian orang lampung adalah
enaknya bersama-sama, meski dalam kesulitan sekalipun, dalam praktiknya ada
kebiasaan yang selalu ditunggu dan diupayakan, yaitu makan besama ngecat apai
[gelar tikar], manfaatnya yang dirasakan adalah intensitas silaturahmi, sehingga
hubungan persaudaraan semakin erat, dapat mempererat kerukunan,
meningkatkan rasa persatuan, dan yang pasti adalah seberat apapun beban
pekerjaan, dengan bersama-sama beban berat terasa ringan);


6) adat lebon pengaku mak suya (artinya meskipun kehilangan pengakuan atau
kepercayaan dari orang lain, tapi tak membuat ia kesal, dongkol, sakit hati atau
marah, bahwa prinsip yang tertanam dalam kepribadian orang Lampung, tak
mengapa orang lain kritik, iri hati ataupun mencela, tidak membuat diri harus
membalasnya dengan kekesalan atau kebencian, melainkan justeru harus dapat
dijadikan obat penawar atau bahan pertmbangan untuk koreksi atas kekurangan
diri agar kemudian dapat menjadi lebih baik;


7) adat wada tenawai dikhi (artinya jika ada yang mengeritik pedas atau mencela,
maka celaan itu dianggap sebagai pelajaran diri. Dalam kehidupan masyarakat
hampir semua orang tidak pernah luput dari celaan, ejekan atau bahkan hinaan
dari orang lain, mungkin karena kesalah-pahaman, ketidak-tahuan, atau karena
kehendak untuk menjatuhkan nama baik, karena perasaan tidak suka, dendam dan
kebencian. Celaan-celaan ini tak serta-merta ditanggapi dengan reaksi negatif,
melainkan dicerna terlebih dahulu kenyataannya, mungkin itu semua benar
adanya. Jika benar, memang harus diakui dan selanjutnya dapat dijadikan
pelajaran untuk merubah dan memperbaiki diri, agar kemudian menjadi lebih
baik, tak terulang menerima celaan dan berganti dengan pujian. Sikap yang
menjadi adat kebiasaan ini sangat berarti bagi masyarakat adat setempat, terutama
dalam pemeliharaan kerukunan, perdamaian dan persatuan warga masyarakat,
sehingga prinsip hidup ini dijadikan sifat kepribadian masyarakat adat Lampung
umumnya);


8) adat mak ngungkung hak kewajiban (artinya kebiasaan individu tidak
mempunyai niat dan kehendak untuk mengekang, membatasi atau mengambil alih
hak-hak dan kewajiban orang lain, baik hak-hak dan kewajiban yang berkaitan
dengan kepentingan pribadi, martabat dan kehormatan pribadi ataupun hak-hak
dan kewajiban tentang usaha mengembangkan usaha-usaha tertentu untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi pribadi dan keluarga. Kebiasaan ini
dalam kehidupan sehari-hari dituangkan dalam bentuk sikap dan perilaku dengan
saling mendukung dan membantu sesama dalam mencapai keberhasilan, baik
dalam bentuk ketenteraman dalam hidup bersama tanpa curiga, maupun dalam
bentuk karier dan kesuksesan mencapai kesekahteraan ekonomi. Dengan demikian
tidak terjadi persinggungan kepentingan-kepentingan pribadi yang melahirkan
percikan pesrselisihan diantara warga masyarakat);


9) adat pusau sebu dilom pengatu (artinya mengelus [mengelus/membelai] dan
meniup [memberi angin segar], bahwa kebiasaan pribadi yang dianjurkan untuk
selalu berusaha menciptakan kondisi dan situasi pergaulan hidup yang kondusif,
yaitu damai dan tenteram, tanpa menimbulkan ketimpangan atau perbedaan
perlakuan diantara sesama warga masyarakat.Dalam kondisi tertentu di mana
orang lain yang sedang mendapat musibah pailit atau sedang dirundung malang,
maka kondisi ini perlu dukungan semangat rasional tentang peluang untuk meraih
masa depan yang sejahtera. Dalam praktiknya dengan mengelus [belaian] atau
menepuk pundak seraya mengucapkan kata-kata tanya apa kabar..? semoga sehat
dan sukses.., apa masalah yang bisa saya bantu.., dan seterusnya. Diadatkan pula
tentang kepribadian warga yang memiliki nurani yang cerdas dan mampu
mendorong semangat orang lain dengan sikap yang lembut, persuasif, bersedia
dan rela memberikan pengakuan dan penghargaan atas kapasitas atau keahlian
pribadi orang lain sekecil apapun adanya [meniupkan angin segar atau kelapangan
nurani tentang harapan kebaikan yang menjanjikan]. Kesmuanya ini dilakukan
untuk memberikan jalan perubahan atau resolusi dari kondisi kesulitan atau
kehancuranmenjadi kondisi emosi dan rasio yang memiliki harapan
menyenangkan bagi orang lain. Meskipun dalam keadaan susah dirundung
malang, tapi dengan belaian dan tiupan harapan yang sejuk menyegarkan itu,
maka rasa pedih, getir dan sakitnya kehidupan yang menyayat itunyaris hilang tak
terasa;


10) adat ijah tawai dilom bukekhja (artinya dalam prinsip bekerja selalu terlebih
dahulu ditelaah/dikaji/dibedah dan diajarkan/dibimbing, bahwa sifat dasar
kepribadian yang diadatkan bagi warga masyarakat adalah untuk selalu mampu
dan bersedia secara sukarela melakukan penelusuran latar belakang masalah,
menganalisis akar masalah, mengevaluasi, menginterpretasikan atau menjelaskan
(ijah) tentang duduk perkara suatu peristiwa yang sedang melanda kehidupan
orang lain. Kemudian setelah itu disusun pula tentang petunjuk strategi untuk
terapi atau penyelesaian masalah dan pemeliharaannya, yang secara praktis
diajarkan (di-tawai-kan). 


Dalam prinsip pergaulan pada umumnya ada pesan moral bahwa jika ingin menjadi pembicara yang handal yang dapat memberikan pandangan positif dan mengangkat derajat kehormatan orang lain, maka harus diawali dengan kesediaan, sungguh-sungguh mendengarkan dan memberikan
perhatian terhadap pembicaraan orang lain. Akan lebih baik lagi apabila mendengarkan dengan minat tulus memberikan penghargaan atas ide-ide yang dilontarkan orang lain. Salah satu contoh sederhana dalam menanggapi ide-ide orang lain dengan ungkapan:


”terima kasih banyak, saya amat bangga dan beruntung, karena dengan ide-ideanda, saya memperoleh pengetahuan yan amat berharga, saya harus belajarbanyak, dan kalau berkenan saya ingin pertemuan ini berlanjut”.
 

Ungkapan tersebut akan membuat orang lain terhormat, padahal ungkapan ini
baru pada tahap sebagai pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik,
berarti banyak mengetahui dan mengerti pokok pembicaraan orang lain, sehingga
dengan demikian pada gilirannya mengungkapkan pendapat relatif sesuai dengan
pembicara yang disampaikan tersebut. Sumbangan yang menarik bagi pembicara
itu adalah dia bangga bahwa pendengar dapat memahami pendapatnya. Karena
dengan demikian pertama kali orang lain akan merasa terpuji, dan ini berlaku
terhadap siapapun dalam kehidupan sosial. Perlakuan yang meyakinkan dapat
membuat hubungan sosial menjadi harmonis dan stabil, adalah dengan memahami
perasaan orang lain.
 

Begitulah gambaran kepribadian yang dapat dijadikan cermin dalam kehidupan hubungan
masyarakat. Kebijakan perilaku yang berusaha mengangkat kesadaran diri untuk
senantiasa berpihak kepada kebenaran, kehormatan dan peduli terhadap hak-hak orang
lain, merupakan syarat utama dalam menumbuhkan simpati, kepercayaan dan kesadaran
masyarakat untuk mematuhi segala rencana dan prosedur kerja tanpa tekanan. Kebijakan
publik yang aspiratif merupakan sumber inspirasi bagi orang lain untuk menatap masa
depan penuh dengan semangat kerja yang mengutamakan kepentingan umum dan
pembelaan terhadap kaum lemah. Keteladanan ini dapat dijadikan pandangan hidup
dalam hubungan pergaulan hidup sehari-hari, dalam rangka membuka seluas-luasnya
kesetaraan kesempatan memperjuangkan hak hidupnya. Seseorang yang mempunyai
kepekaan dalam memperhatikan dan menanggapi kehendak orang lain, lebih-lebih
terhadap atasan atau orang tuanya, berarti ia sudah menangkap simpati untuk dirinya.
Tatkala seorang karyawan secara spontanitas, dan langsung mengerjakan perintah
Manajer, maka simpati dan kepercayaan manajer akan semakin bertambah.