Senin, 23 September 2019

KRITIK TERHADAP STANDAR PEDOMAN HIDUP PERILAKU SOSIAL "Take and Give"

 Oleh: Abdul Syani

Dalam pendekatan sistem sosial, seseorang yang sangat bersosialisasi tinggi, hak hak
sosial dan kewajiban sosial selalu diutamakan, sehingga seseorang sulit untuk
mengemukakan kehendaknya, bahkan tidak cukup berani secara terang-terangan
hendak mewujudkan kepentingan pribadi dalam suatu kerjasama. Akhirnya
perkembangan semangat pribadi untuk berubah kearah kehidupan lebih maju
cenderung lambat dan stagnan dalam ketergantungan dengan peraturan sosial dalam
masyarakat. Akibatnya kehidupan pribadinya bias, bahkan terhambat karena tak
mampu melawan arus tradisi yang bersumber dari nilai-nilai moral. Secara tersirat,
seolah mengabaikan kehidupan pribadinya karena besarnya ketergantungan antara
individu atau antar warga masyarakat satu sama lainnya, lengkap dengan berbagai
kewajiban sosial yang harus dipenuhi dalam kehidupan masyarakat.
 

Dalam kehidupan masyarakat modern, di mana fasilitas, lapangan kerja dan sumber
penghidupan lain semakin menipis, akibat pertambahan penduduk dan kepentingan
yang meningkat tak terbatas. Sementara sumber daya manusia untuk menggali
potensi ekonmi sosial rendah, sehingga menimbulkan persaingan rasional yang
mengarah pada perjuangan untuk kepentingan pribadi, dan secara cepat juga ikatan
terhadap hak-hak sosial dan kewajiban sosial makin merenggang. Kemudian timbul
masalah, di satu sisi tradisi sosial mengajarkan agar manusia dalam bersikap perilaku
selalu berpegang pada norma-norma kearifan dengan prinsip saling menghargai,
saling membantu dan saling membalas budi antar sesama, sehingga kebersamaan,
kerukunan dan persatuan masyarakat dapat dilestarikan. Akan tetapi pada sisi lain
kemajuan jaman menuntut manusia untuk mampu berpikir rasional untuk
berkompetisi dalam kerja mewujudkan kepentingan pribadinya dan mengurangi
partisipasinya terhadap kepentingan hak hak sosial dan kewajiban sosial itu.
 

Dalam penelusuran psikologi kepribadian yang panjang selama proses perubahan
terjadi, maka diketahui bahwa secara diam-diam, malu-malu, tapi saling mengakui
telah bertumbuhnya kepentingan untuk mengutamakan kesekahteraan pribadi.
Seiring pengakuan itu lalu tumbuh kesepakatan sosial baru, nilai dan norma-norma
soaial baru yang secara sadar membolehkan atau dipermaklumkan untuk
memperjuangkan kepentingan pribadi masing-masing. Oleh karena kebolehan telah
menjadi kenyataan sosial, maka sepanjang perjalanan waktu mereka merubah
kepribadian dengan mengendorkan tali ikatan masing-masing terhadap kepentingan
hak hak sosial dan kewajiban sosial tanpa masalah. Kalau sebelumnya warga
masyarakat terikat kuat dengan prinsip saling tolong menolong, saling menghargai,
saling mendukung dan saling memberi dan menerima atau “take and givedalam
kehidupan bersama dalam masyarakat; dalam prinsip ini tersirat adanya tujuan
pamrih.
 

Take and give adalah istilah populer yang mendunia yang telah menjadi standar
sikap perilaku dalam hubungan masyarakat, baik yang berkaitan dengan pola
kehidupan bersama gotong royong, hubungan percintaan, hubungan antar pribadi,
maupun dalam hubungan dagang, bahkan berlaku dalam hubungan dunia politik dan
hukum. Dalam pengertian perkata, bahwa “take” artinya mengambil atau
mendapatkan, sedangkan “give” artinya memberi, sehingga akumulasi “take and
give” berarti menerima dan memberi atau menerima dulu baru memberi. Kalimat
pendek yang populer menjadi pedoman hidup yang dianggap sarat dengan emosi
kebaikan ini bisa memiliki konotasi bahwa seseorang tidak akan memberi atau
membantu orang lain, sebelum ia mendapatkan pertolongan / pemberian terlebih
dahulu dari orang lain; ringkasnya menerima dulu baru memberi. Pemahaman ini
dalam kehidupan di mana orang akan cenderung sibuk dengan usaha memenuhi
kepentingan pribadinya, maka dapat menimbulkan tafsir individualis dan pamrih,
bahwa dibalik presentasi perilaku yang seolah empati itu ada argumen dalam hati
yang menyatakan:


saya akan berpikir 2 atau 3 kali untuk memberi bantuan kepada kalian, sebelum
saya tahu pasti kalian akan memberikan keuntungan kepada saya”.
 

Atas dasar pemikiran itu, mungkinkah kebiasaan pesentasi kekerabatan yang karib
dalam simbol tradisi kerukunan dalam hidup bermasyarakat yang selama ini
diangungkan bisa bertahan..?, atau malah sebaliknya semakin ke depan akan terbuka
dengan sendirinya bahwa individu akan menarik dari dari arena paguyuban
masyarakat, atau tegasnya mulai mengkhianati tradisi take and give itu.
 

Sebagai standar kedekatan hubungan sosial timbal balik, dalam praktiknta take and
give justeru cenderung bersifat ekonomis, sedangkan bentuk presentasi moral secara
laten berfungsi membungkus dan menutupi kehendak pamrih. Dalam interaksi sosial
yang pamer tindakan-tindakan yang bersimbol kejujuran dan keikhlasan, sebenarnya
tersembunyi tujuan agar hubungan intim itu dapat memproses tercapainya suatu
keuntungan. Jika dibongkar lebih mendalam, sebenarnya apa yang tersembunyi itu
sudah menjadi rahasia publik dengan persepsi bahwa hubungan sebab akibat dari
prinsip take and give itu sudah terang-terangan menyatakan “jika hendak menolong,
maka harus dapat mengambil”. Artinya prinsip take and give dimanfaatkan sebagai
instrumen untuk mengambil hak-hak orang lain yang meskipun tersembunyi, tapi
amat kontras dapat dirasakan. Tindakan korupsi atau menipu, pada umumnya sulit
dipandang kasap mata, apalagi didukung oleh berbagai kepentingan tertentu, tapi
secara terbuka semua orang tahu bahwa perbuatan itu melanggar hukum, merugikan
dan sangat berbahaya jika pengkhianatan cinta take and give telah digemari oleh
sebagian besar bangsa.
 

Memperhatikan sikap, perilaku dan pernyataan sehari-hari di tengah pergaulan dalam
masyarakat, dapat diasumsikan bahwa ada sejumlah simbol yang menunjukkan
proteksi diri atau menghindar sejauh mungkin untuk menerima pemberian orang lain,
karena setelah penerimaan itu gilirannya ia harus memberi atau mengembalikan
dengan nilai yang lebih, atau minimal dengan nilai yang sama. Dalam kenyataannya
banyak praktik take and give yang berakibat buruk dari model kepribadian tertentu,
yaitu enggan memberi, sebaliknya berharap sebanyak-banyaknya menerima, tetapi
setelah menerima muncul sikap baru, yaitu pura-pura lupa. Sama seperti orang
miskin yang memanfaatkan kemiskinannya dengan mengeksploitasi diri dan
penampilan seakan sangat-sangat menderita; tujuannya berawal dari gugatan
terhadap datangnya pemberian atau bantuan orang lain, lalu kerja keras dengan
kepura-puraan. Dengan perjuangannya yang gigih dengan instrumen kemiskinannya
itu, singkat cerita dapat merubah kehidupan sosial ekonominya menjadi kaya dan
sejahtera. Lalu apa yang terjadi kemudian..? dia lupa.., (berusaha melupakan), lupa
dengan jalan hidupnya, enggan menoleh kebelakang, semakin pubia kemiskinan
sekaligus pura-pura miskin.
 

Dengan kenyataan itu, agar dapat mengkis pengkhianatan terhadap maksud murni
dari prinsip take and give untuk menciptakan kerukunan dan persaudaraan dalam
hubungan masyarakat, maka perlu pembedahan terhadap perkembangannya yang
cenderung menyimpang dari koridor hukum da moral, serta agar tidak tendensius
untuk keuntungan sepihak, yaitu dengan merubah konsep “take and give” menjadi
just for give”. Dengan membangun kesadaran bersama prinsip itu digeser kearah
pemikiran praktis meringankan, yaitu hanya untuk menolong, hanya untuk
menghargai, hanya untuk mendukung dan hanya untuk memberi atau “just for give
secara sukarela tanpa berharap kembali; begitu tumbuhnya kepribadian dalam
kehidupan bersama dalam masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengurangi beban
tanggungjawab sosial, dikala seseorang memberikan bantuan kepada orang lain, itu
semua semata-mata panggilan nurani secara sukarela, sehingga pihak yang dibantu
bebas dari perasaan beban hutang budi yang harus dilunasi. Tapi pesan ini bukan
harga mati mesti begtu, melainkan tergantung pada kondisi pihak penerima, sebab
jika dimanfaatkan sebagai peluang untuk berkikir alias pelit, maka sanksi sosial
selalu siaga untuk membombardir dengan celaan dan kritik pedas, seringanringannya dikatakan “terlaa...lu..!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar