Senin, 28 November 2016

KEARIFAN LOKAL LAMPUNG DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS*




Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**


I.  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG 

Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh,  Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.

 ________________________

*     Disampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung, tanggal 27 November 2016
**   Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada  kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana  masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan  Piil Pesenggiri  merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk  meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.

Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak­lanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

Dalam kehidupan masyarakat kampus juga tidak terlepas dari keragaman budaya, etnis dan kepentingan, baik dari segi akademika, karyawan sebagai pendukung kegiatan proses belajar mengajar, mahasiswa, dosen, dan unsur pengamanan kampus. Keadaan ini seringkali menimbulkan perselisihan dan gagal paham antara sivitas akademika, lantaran terjadi pengingkaran terhadap peraturan akademik, etika mahasiswa, standar nilai (ganda), kebijakan sepihak, dan kekurangpercayaan terhadap pimpinan.

Idealnya budaya kampus semestinya terkondisi stabilitas atmosfer saling memahami dan mendukung kinerja lainnya, yaitu pegawai administrasi, petugas keamanan dan kebersihan; dalam interaksi dan komunikasi diantara komponen itu tentu disertai sikap santun. Mahasiswa yang baik dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang santun dan ramah. Hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat hususnya di kampus.

Oleh karena itu direkomendasikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal Lampung, khususnya pandangan hidup piil pesengiri dapat diadopsi sebagai pedoman moral spiritual dalam beraktivitas akademik. Tujuannya adalah menamamkan prinsip hidup terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat akademiki perguruan tinggi. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus dibumikan sebagai jati diri ke dalam seluruh jaringan kehidupan kampus.

Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian kearifan lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan kampus, dapat diakomodasikan dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan sosial.


II.   KEARIFAN LOKAL PIIL PESENGGIRI  DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS

1.  Pengertian Kearifan Lokal

Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

2.  Piil Pesenggiri dan Implentasinya

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Jika diterapkan dalam kehidupan kampus, maka segenap sivitas akademika dituntut untuk memelihara kehormatan tertingginya, yaitu prestasi akademik dengan semangat belajar yang tinggi. Malu sebagai mahasiswa jika tidak mampu meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Dari segi moral, khususnya mahasiswa dan dosen, akan merasa bangga jika dapat menunjukkan prestasi akademiknya; dam sebaliknya akan merasa malu, jika tidak mampu berprestasi di kampus.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.

Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),  dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. Demikian juga sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan kampus, mereka memiliki tanggungjawab moral selama memikul statusnya agar dapat diimplementasikan sesuai dengan peranannya. Sebagai mahasiswa, bertanggungjawab dengan peranannya dalam belajar mengejar prestasi. Demikian juga dosennya harus mampu memberikan pencerahan dan membangun semangat mahasiswa asuhannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat
kampus dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian budaya akademik. Sivitas akademika memiliki jiwa piil pesenggiri dengan wujud keperdulian terhadap upaya meningkatkan prestasi akademik, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti
sivitas akademika dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar dalam beriteraksi di kampus; mampu bergaul, berpartisipasi dalam segala kegiatan kemahasiswaan, akademik dan administrasiarti secara santun sikap perbuatan dan tutur kata. Makna yang lebih dalam sebagai masarakat kampus adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat
kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM., khususnya di dunia kampus. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi kehidupan kampus dari segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan ikatan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, diharapkan perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas kekuasaannya di kampus demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, dapat dihindari.


III.  KEHIDUPAN KAMPUS YANG IDEAL

Kondisi kampus yang ideal bagi mahasiswa adalah kondisi kampus yang  mampu memberikan kenyamanan dalam kegiatan belajar. Elemen kampus paling dominan adalah mahasiswa dan dosen, oleh karena itu mahasiswa dan dosen harus menyadari hal ini. Komponen yang mengisi kampus didominasi oleh mahasiswa yang juga didukung oleh keberadaan komponen lain yang mendukung, seperti dosen, karyawan dalam manajemen kampus, petugas keamanan, petugas kebersihan, dan lain-lain.

Berbicara mengenai mahasiswa, rasanya kurang lengkap jika tidak mengulas mengenai tempat dimana mahasiswa menjalani kehidupannya sebagai cendekia muda. Tempat tersebut adalah universitas atau perguruan tinggi. Lebih akrabnya, tempat tersebut disebut kampus.

Di lingkungan kampus, kesan individualistik cenderung lebih menonjol dan biasanya sifat yang kurang begitu peduli pada sekitar ini dimiliki oleh hampir semua mahasiswa sehingga semuanya berpotensi menganut paham ini. Sesungguhnya hal ini lebih dikarenakan kondisi kampus yang menuntut mahasiswanya untuk menjadi lebih mandiri, namun hal ini bisa kita minimalisir dengan memperbanyak mengikuti berbagai kegiatan di kampus.

Secara lebih detail, proses pembelajaran dalam perkuliahan mengenal berbagai istilah yang kemungkinan besar belum diketahui oleh pelajar pada umumnya. Diantara istilah-istilah tersebut, yang paling sering di dengar adalah SKS (Satuan Kredit Semester) dan KRS (Kartu Rencana Studi). SKS adalah satuan yang digunakan untuk menyatakan besarnya beban studi mahasiswa, besarnya pengakuan atas keberhasilan usaha mahasiswa, besarnya pengakuan atas keberhasilan usaha kumulatif bagi suatu program tertentu, dan besarnya usaha untuk menyelenggarakan pendidikan di universitas. Sedangkan KRS adalah rancangan SKS yang akan diambil pada setiap semesternya. Dan jika ada semacam perubahan dalam pelaksanaan prosesnya bisa diperbaiki dengan Kartu Perubahan Rencana Studi (KPRS). Di akhir semester mahasiswa akan mendapatkan Kartu Hasil Studi (KHS) yang berisiskan pencapaian nilai-nilai mahasiswa selama proses pembelajarannya dalam satu semester.

Agar tercipta atmosfer saling memahami dan mendukung kinerja lainnya, yaitu pegawai administrasi, petugas keamanan dan kebersihan; dalam interaksi dam komunikasi diantara komponen itu tentu disertai sikap santun. Mahasiswa yang baik dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang santun dan ramah. Hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat hususnya di kampus.

Jika semua elemen sudah bersinergi,  maka pertama kali yang harus dikejar adalah perprestasi akademis, cetak angka IPK yang memuaskan. Tentu IPK bukan satu-satunya ukuran prestasi akademik, akan tetapi kemampuan dibidang organisasi, mengenal kepribadian banyak orang dengan berbagai latar belakang dan kondisi ego yang berbeda  di luar kegiatan belajar. Tujuannya adalah agar setelah keluar dari kampus nanti, lulusannya dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan masyarakat sekitar.

Bagaimana caranya agar dapat diterima di lingkungan baru yang mungkin sebagian besar asing. Tentu dengan mempelajari budayanya, tata kramanya, dan dan hukum-hukum adatnya. Selepas dari kampus, mahasiswa sebagai alumni akan menginjakkan kaki dalam kehidupan masyarakat; bekalnya adalah semangat pengalaman belajar di kampus, pengalaman berorganisasi dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat.

Keberadaan organisasi kemahasiswaan dengan wujud apa saja dari yang terbesar seperti BEM dan BLM sampai dengan unit terkecil seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) adalah sangat penting. Salah satu sarana pengembangan diri yang nyata dan dapat dirasakan langsung oleh mahasiswa  adalah elemen-elemen kampus tersebut sebagai wadah untuk menyalurkan minat dan bakat sekaligus berorganisasi. Dalam organisasi-organisasi kampus tersebut, mahasiswa baik secara langsung maupun tidak langsung dibentuk menjadi seorang yang mampu berfikir kritis, berjiwa sosial, bertanggung jawab, dan banyak hal positif lainnya.

Dengan masing-masing keunikan dosen dan mahasiswa, mereka membutuhkan kualitas interaksi yang baik secara timbal balik. Dalam interaksi dengan para mahasiswanya, seorang dosen berperan sebagai mentor yang dituntut memiliki sejumlah kualitas. Di antaranya kualitas sebagai teman sekaligus pembimbing dan pengasuh, lebih matang, memiliki otoritas akademik, dan bertindak sepenuh hati. Mentoring dosen cukup penting dalam menciptakan kesukacitaan belajar di kampus. Dosen harus terus menerus mengasah empati agar kampus tak sekadar diliputi semangat pragmatisme dan industrial belaka, melainkan betul-betul menjadi lembaga pendidikan yang ideal.

Sebagai mahasiswa yang aktif, sudah sewajarnya jika setiap mahasiswa ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kampus. Mahasiswa juga diharapkan menjadi partisipan yang aktif untuk menggunakan hak suaranya dalam proses demokrasi dalam dunia kampus. Sekali lagi, kegiatan-kegiatan tersebut akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa jika dilakukan dengan kebebasan yang bertanggung jawab.

Setelah kondisi kampus dapat dikatakan ideal, dimana hak dan kewajiban primer dari setiap komponen kampus dapat tertunaikan, maka baru bisa berbicara tentang kepribadian mahasiswa. dengan berbagai keunikan budaya dan latar belakang yang berbeda. Tidak mudah membentuk kepribadian mahasiswa sebagai generasi-generasi penerus bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Artinya, output kampus tidak hanya membuat mahasiswanya dapat mandiri  setelah lulus, tetapi juga dapat memberi manfaat yang besar terhadap orang/masyarakat lain. Oleh karena itu, status mahasiswa sekarang bukan sekedar perpindahan status siswa ke mahasiswa, melainkan dituntut lebih dari sekedar penerima teori dan mendapat apresiasi, melainkan dituntut pula bisa menemukan teori baru dan berjiwa besar mengapresiasi keberhasilan orang lain di sekitarnya.

Semua uraian diatas yang menggambarkan mahasiswa dan apa yang sudah dilakukan para pejuang muda ini sudah sepantasnya mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya dari kita semua, terlebih sebagai mahasiswa baru, hal tersebut haruslah menjadi panutan bagi kita semua agar menyadari besarnya peran mahasiswa saat ini.

Secara keseluruhan uraian di atas adalah potret ideal mahasiswa dan kehidupan kampus yang akan dijalaninya, namun di balik semua itu kehidupan mahasiswa dan dunia kampusnya terkadang jauh dari gambaran tersebut, terlebih lagi mahasiswa yang berada di tempat-tempat terpencil dan belum sepenuhnya bisa berinteraksi dengan dunia luar. Setidaknya beginilah potret kehidupan mahasiswa yang dapat penulis gambarkan. Dalam hal ini, sungguh menjadi seorang mahasiswa yang mau mengoptimaliasasikan diri adalah sebuah harapan kita bersama. Semoga kehidupan mahasiswa di bangsa ini menjadi lebih baik dari tahun ke tahun dan bisa benar-benar memberikan sebuah kontribusi untuk perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik pula.


IV.  SIMPULAN

Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan  dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.

Dalam dunia kampus modal dasar bagi sivitas akademika adalah  perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang egoisme, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya akademik. Sivitas akademika di berbagai tingkatan harus mampu menjadi garda depan dengan prinsip kearifan lokal, bukan sekedar bicara kajian ilmiah, tapi harus mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada kepentingan pelangan, yaitu mahasiswa dan masyarakat sekitar. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak langkah antara antara sivitas akademika, mahasiswa dengan dosen dan karyawan bersama-sama secara arif dan bijak mendukung terlaksananya pendidikan yang ideal, yaitu menghasilkan lulusan yang berprestasi, siap menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bekerja mandiri.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut perlu keterbukaan dan kejujuran dalarn setiap aktualisasi pendidikan dan pengajaran sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam pandangan hidup piil pesenggiri. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai nemui-nyimah (keramahtamahan) yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Piil pesenggiri sebagai sumber nilai ketulusan memang perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur sivitas akademika. Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses pembangunan mutu perguruan tinggi dapat melahirkan lulusan yang berprestasi secara seimbang dan merata.


REFERENSI

_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Rabu, 16 November 2016

KARAKTER BUDAYA POLITIK LAMPUNG*


Oleh: Abdul Syani**


PENDAHULUAN

Dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah budaya politik kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok. Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kehidupan suatu negara tidak terlepas dari kegiatan politik. Kegiatan politik yang identik dengan kekuasaan dalam kehidupan bernegara dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama (Albert Widjaya,1982).

Menurut Gabriel A. Almond dan G.Bingham Powell, Jr., budaya politik adalah sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Di Indonesi budaya politik merupakan perwujudan dari nilai-nilai dianut oleh bangsa Indonesia sebagai pedoman kegiatan-kegiatan politik kenegaraan (http://alcmuthya.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-budaya-politik-di.html).

Karakter budaya politik Lampung sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat yang secara nyata diwujudkan dalam bentuk perilaku yang tumbuh dari dan atau menjadi ide/gagasan yang menghasilkan karya, untuk tujuan memperjuangkan kesejehteraan dan ketertiban bersama. Karakter budaya politik lokal Lampung berpijak pada prinsip hidup piil pesenggiri yang tumbuh di tengah-tengah keragaman budaya dan etnis. Prinsip hidup piil pesengiri merupakan kehormatan diri, malu bersalah, dan perasaan harga diri. Untuk menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan harapan masyarakat. Prinsip hidup piil pesengiri merupakan pedoman moral yang mentradisi dan melekat kuat dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari bagi. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi mereka terikat dalam persamaan pandangan dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Sebagai dasar  karakter budaya Lampung, prinsip hidup piil pesenggiri memiliki unsur-unsur pendukung, yaitu: Bejuluk-beadok, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-sambayan. Bejuluk-beadok bermakna gelar adat (gelar/nama panggilan adat) seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Nemui-nyimah, artinya ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Nengah-nyappur artinya mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka

___________________
* Disampaikan pada seminar nasional dalam rangka dies natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Magister Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Lampung dengan tema Mencari Format Budaya Politik Lampung , dengan makalah ( sub tema) Karakteristik Budaya Politik Lampung, diselenggarakan di Emersia Hotel Bandar Lampung,  Hari Rabu tanggal 16 November 2016
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sakai-sambayan adalah suka memberikan pertolongan kepada orang laon dan suka begotong royong untuk kepentingan umum.

Nilai-nilai kearifan lokal itu merupakan sumber daya pemersatu bagi keragaman kehidupan sosial masyarakat Lampung menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru saling mengisi dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa persaudaraan. Pemahaman semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sebatin dan Pepadun.  Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diberikan ruang  untuk berdampingan atau bergabung dalam kedua jurai budaya pribumi yang telah ada, baik jurai Sebatin maupun Pepadun, sehingga dapat terhindar dari perbedaan dan perselisihan.

Atas dasar prinsip hidup itu menggambarkan bahwa figur politik dari tokoh individu (penyimbang=Lampung) yang memiliki integritas nyata sebagai pimpinan adat dalam masyarakat lebih memiliki pengaruh dan peluang terbanyak untuk dipilih, dibanding melaui proses partai politik. Artinya meskipun sebagian orang masih memilih partai, tapi figur individu masih dianggap lebih penting dibanding partai politik. Pemilih lebih mengutamakan figur individu yang peduli pada rakyat dengan visi-misi yang terpercaya dengan  program yang memihak kepada kepentingan publik. Sedangkan partai politik dengan dukungan terbanyak dianggap terbatas memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok, program-program dan janji politik sukar dibuktikan, sehingga pemilih tidak terlalu memperhatikan figur politik yang sering mengumbar janji. Figur politik yang banyak janji dianggap semakin banyak mengingkari, dan memberikan kesan negatif di mata pemilih.

Setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, meskipun dasar pijak budaya politik lokal Lampung dengan prinsip hidup piip pesenggirinya, akan tetapi karena pendidikan dan pemahaman politik masyarakat makin meningkat, maka terbuka untuk mendukung proses memilih figur pemimpin melaui proses partai politik. Melalui partai politik kader-kader politik bebas berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya. Jika jalannya pemerintahan stabil, maka sosialisasi politik semakin mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan perkembangan aspirasi yang ada, di mana masyarakat berpeluang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik lokal tersebut. Dengan karekter budaya politik lokal demikian diharapkan proses perjuangan politik daerah dapat mewujudkan cita-cita dan kepentingan bersama. Kendati perubahan karakter budaya politik kurang sempurna, tetapi secara berkesinambungan harus berusaha agar perkembangan budaya politik sesuai dengan harapan.
Dalam perkembangan perpolitikan di Lampung menunjukkan kecenderungan perilaku kekuasaan yang tidak sama antar golongan dan masing-masing penyimbang/pemangku adat. Ada yang beranggapan bahwa dalam  proses politik lokal cenderung menutup hak dan peluang figur-figur politik mereka; ada pula yang menganggap sebagai konsekuens perubahan yang menuntut kemampuan bersaing dengan program yang transparan dan kemampuan menarik simpati masyarakat pemilik. Kecuali itu, pada kalangan ragam partai politik di daerah juga memiliki strategi yang berbeda-beda dalam memperjuangkan keder-kader partainya untuk merebut posisi jabatan politik di daerah. Ada partai politik dalam proses persaingan perebutan kekuasaan dengan mempopularitaskan figur dengan berbagai kelebihan dalam memimpin daerah, diantaranya pengalaman, tingkat pendidikan, kekayaan dan janji-janji politik yang menawarkan kesejahteraan rakyat. Ada juga pihak kader politik daerah yang cenderung mengembangkan proses politik tradisional dalam bentuk budaya politik lokal (Lampung). Golongan ini memberi pengaruh terhadap proses persaingan perebutan kekuasaan dengan pembentukan opini identitas kedaerahan dan menonjolkan etnisitas, dan persaingan dalam menduduki jabatan birokrasi pemerintahan.

Ada partai politik dalam praktiknya menerapkan kemasan baru (tapi stok lama), yaitu watak dasar politik patrimonial masa pasca-Orde Baru, tetap berlangsung dalam bentuk baru neo-patrimonialisme. Tanda-tandanya dengan menyebarnya simpul-simpul kekuasaan di sejumlah daerah secara merata sesuai dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Para penguasa lokal memerankan diri sebagai patron bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalan loyalitas politik dan atau sumber daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukan lagi terpusat pada individu, tetapi pada lembaga sosial politik, terutama partai politik. Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untuk mengagregasi dukungan politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu, tetapi individu atau parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naik ke tampuk kekuasaan.

Pada kolompok lain dalam merespon kondisi persaingan proses politik itu dengan sikap, perilaku yang menentang/menolak sebagian besar calon-calon pemimpin daerah yang bukan putra daerah asli dengan berbagai alasan. Penolakan ini diwujudkan dengan menebarkan isu tentang kebijakan berbasis kearifan lokal, penonjolan potensi putra daerah, dan penggunaan simbol-simbol identitas kedaerahan dalam kegiatan-kegiatan seremonial dan kebijakan publik. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa hak-hak, pengalaman dan kemampuan penguasaan aspirasi masyarakat yang dimiliki putra daerah jauh lebih besar dan utama dibanding figur-figur pendatang dalam membentuk kebijakan yang berpihak kepada kepentingan publik. Putra daerah dianggap lebih mampu menerapkan nila-nilai kearifan lokal, khususnya prinsip-prinsip piil pesenggiri dalam perspektif politik yang berpihak kepada peningkatan kesejehtaraan masyarakat. Dengan sistem demokrasi dan otonomi daerah yang luas, dianggap sebagai peluang dan ruang terbuka bagi putra daerah untuk mengatur kekuasan, menentukan pemimpin/kepala daerah, dan memilih kebijakan yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan daerahnya yang berimplikasi munculnya politik tradisional (budaya politik lokal) di daerah.

Atas dasar latar belakang tersebut, mama dapat dirumuskan tujuan penulisan makalah ini, yaitu: untuk mengetahui konstruksi keragaman etnis dan budaya masyarakat adat Lampung, dan untuk menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal sebagai karakter budaya politik Lampung dalam memilih figur politik yang sesuai aspirasi masyarakat.


B. METODE PENULISAN

Metode penulisan makalah ini adalah studi pustaka, dengan pertimbangan bahwa metode ini diangap efektif digunakan untuk mengumpukan data. Dalam aplikasi metode pustaka ini digunakan untuk menjaring data berupa materi, data, dan informasi yang diperoleh dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, buletin, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, artikel ilmiah yang bersumber dari internet, kertas kerja, hasil penelitian, makalah bahan seminar yang relevan dengan masalah-masalah yang dibahas dalam makalah ini.

Data yang diangap relevan tersebut adalah data tentang nilai-nilai kearifan lokal Lampung piil pesenggiri dan unsur-unsurnya. Juga masalah-masalah terkini yang berkaitan dengan keragaman budaya dan etnis Lampung, tentang konsep sang bumi ruwa jurai, dan karakteristik budaya politik Lampung, Kecuali itu dikumpulkan juga data dan informasi yang berkaitan dengan isu putra daerah dan proses dan strategi perebutan kekuasan melalui partai politik di Lampung.


C. PEMBAHASAN

Dalam perkembangan budaya politik dari waktu ke waktu cenderung lebih lambat dari pada kompleksitas perkembangan masyarakat dengan berbagai variabel dan kebutuhan kerangka kerja pemerintah, sehingga kemampuan untuk mengakomodasi sejumlah perkembangan baru, khususnya ruang kajian ilmu sosial-politik justeru menurun.  Akibatnya kalangan ilmuwan politik banyak meninggalkan budaya politik sebagai kerangka kerja, karena semakin sulit menjelaskan kompleksitas perkembangan variabel kepentingan komunitas yang ada dengan pandangan politik linier saja. Hal ini karena kondisi struktur masyarakat yang kompleks dan terdapat banyak variabel lain yang juga turut medorong perkembangan kepentingan masyarakat, seperti ekonomi, pemukinan, pekerjaan dan permodalan usaha tertentu.
Tanpa melihat kelemahan perkembangan budaya politik itu, sebagai kerangka kerja teoritik tetap diperlukan untuk menganalisis realitas kehidupan politik di lokal tertentu, khususnya kehidupam masyarakat adat Lampung. Analisis budaya politik akan bermanfaat untuk mengetahui potensi nilai-nilai budaya lokal dalam berperan membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas politik daerah. Ada kemungkinan tumbuh perilaku kolektif yang produktif dalam memotivasi semangat masyarakat secara ilmiah; namun sebagian komunitas lain memanfaatkan karakter budaya politik masyarakat agar berubah menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil dan sejahtera.
Salah satu karakteristik budaya politik yang dialami di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan Lampung khususnya, yaitu karakteristik budaya politik patrimonialisme. Dalam budaya politik ini, prinsip pola kekuasaan berjalan di atas hubungan penguasa sebagai patron dan rakyat sebagai clientnya. Penguasa sebagai pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan, dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Dalam konsep kearifan lokal piil pesenggiri, telah ada cita-cita yang berkaitan dengan kekuasaan tradisional antara penguasa patron dan client, di mana kepatuhan masyarakat pengikut terhadap otoritas pribadi penyimbang dinikmati, sepanjang kepatuhan dan kesetiaan itu berbalas sesuai dengan kisi-kisi harapan yang terkandung dalam unsur-unsur piil pesenggiri itu.

Masyarakat adat Lampung berkeyakinan karakter budaya politik jenis ini para pemegang kekuasaan dapat menjalankan perannya dalam meningkatkan loyalitas masyarakat dengan menegakkan keadilan, memenuhi janji politiknya, transparan dalam pengelolaan anggaran pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara nyata. Dalam prinsip hidup piil pesenggiri, pola hubungan antar penyimbang adat dengan rakyat (pengikutnya) lebih banyak bekerja berdasar kesetiaan, suka hati dan kerelaan. Sedangkan kesetiaan terhadap lembaga adatnya cenderung mengikuti atau tergantung pada kepribadian penyimbang adatnya (tokoh adat/pemimpin adat). Artinya daya saing dalam memperebutkan kekuasaan dengan karakter budaya politik piil pesenggiri (Lampung) sangat tinggi, jika figur-figur pemimpinnya mampu menumbuhkan loyalitasnya melalui kerja nyata yang dapat menyejukkan hati rakyatnya, maka kewajiban dan tanggungjawab masyarakat dalam bekerja tidak terasa sebagai beban. Dengan demikian para penyimbang (raja-raja Lampung) biasanya cenderung populer di daerahnya; bahkan  seringkali menjadi pusat perhatian masyarakat dan sebagian besar komponen sistem kekuasaan yang ikut menikmati kesejahteraan sebagai dampak positifnya.
Seperti diketahui bahwa masyarakat adat Lampung memiliki semboyan/slogan Sang Bumi Ruwa Jurai yang artinya satu bumi dua aliran adat budaya; kata sang bumi berasal dari sanga bumi, artinya se-bumi. Sedangkan ruwa jurai, artinya dua aliran (kelompok) budaya yang berbeda, yaitu aliran (jurai) masyarakat adat sebatin dan pepadun. Menurut Iwan Nurdaya-Djafar (2014), kata sang menyatakan satu dalam arti kesatuan yang tidak terbagi-bagi, misalnya dalam kalimat sikam sang lamban (kami serumah), ram sang pekon (kita sedesa), dsb. Sedangkan menurut Junaiyah H.M. dalam kata pendahuluan untuk Kamus Bahasa Lampung-Indonesia yang disusunnya dalam dialek api terdapat kata sanga yang artinya persis sama dengan kata sang yang telah dikemukakan di atas. Dalam Kamus Bahasa Lampung yang disusun oleh Hilman Hadikesuma, kata sanga dalam dialek Pemanggilan dipersamakan dengan kata segalow dalam dialek Tulangbawang yang berarti semua. Contohnya: sanga muwari, semua saudara; sanga mahhan; seisi rumah. Sama dengan penjelasan Zainudin Hasan (2012), bahwa Sang berarti satu kesatuan yang utuh. Dalam Bahasa Lampung ada tingkatan satu yang bermakna satu yang berarti kumpulan yaitu kata Sanga. Sanga berarti kumpulan yang menjadi satu dalam satu wadah atau tempat yang membuatnya menjadi kesatuan yang utuh. Contoh: Sanga karung (satu karung/sekarung), sanga mubil (Satu mobil/Semobil), Sanga kapal (Satu kapal/ sekapal), Sanga menyanak (Satu keluarga/Sekeluarga), Sanga Muari (sepersaudaraan laki-laki) Sanga Bunakbai (sepersaudaraan perempuan) dan lain-lain.
Sang bumi ruwa jurai merupakan simbol keragaman etnis dan budaya Lampung; sedangkan etnis pendatang tidak digolongkan sebagai jurai ke-3 dalam konsep ini. Dalam simbol budaya Sang Bumi Ruwa Jurai tidak ada kategori ulun Lampung dan pendatang; ini tidak sesuai dengan pemahaman unsur-unsur piil pesenggiri, terutama unsur nemui-nyiman. Justeru kelompok pendatang diposisikan sebagai ulun Lampung pada kedua kelompok budaya itu, yaitu pepadun dan sebatin secara bebas dan terbuka, sesuai pilihan, teritorial pemukinan dan penetapan ke dalam warga adat.

Masyarakat adat Sebatin terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah Lampung; pada mulanya tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun yang umumnya bermukim didaerah pedalaman, kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 (dua) kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut (Abdul Syani, 2011).

Masyarakat adat Sebatin terbagi dari ragam marga (teritorial) atau kebuwaian (garis keturunan), diantaranya:

Sai Batin Marga 5 (lima) Kalianda dan sekitarnya, yang terdiri dari:
Marga Ratu
Marga Legun
Marga Rajabasa (2 Kepenyimbngan Adat)
Marga dantaran (2 Kepenyimbangan Adat)
Marga Katibung (Menyata, Pubian)
Sai Batin Marga Lunik
Sai Batin Marga Balak
Sai Batin Marga Bumi Waras Teluk Betung
Sai Batin Punduh (7 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Pedada (8 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Way Lima
Sai Batin Kedundung
Sai Batin Gedung Tataan
Sai Batin Ratai (Sanggi Padang cermin)
Sai Batin Kelumbayan (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Talang Padang
Sai Batin Marga Pertiwi (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Kuta Agung dan sekitar
Sai Batin Marga Way Sindi
Sai Batin Ngaras dan Bengkunat
Sai Batin Way Suluh
Sai Batin Ngambur
Sai Batin Pugung
Sai Batin Penggawa Lima (Pesisir Tengah)
Sai Batin Kuripan (Pesisir Utara)
Sai Batin Sukau (Liwa)
Sai Batin Buway Nyerupa (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Pernong (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Belunguh (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Lapah di Way (Paksi pak Skala Brak)
Buway Buay Tumi (keterangan pangeran Syafei Kenali, Buway yang terlibat dalam mendirikan Paksi Pak Skala Brak)
Buay Sandang  (idem)
Buay Rawan (idem)
Buay Runjung (idem)
Buay Nerima (dari istilah Paksi Pak ke Lima, Buay Nerima = keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan Luas/nama wilayah/riwayat tersendiri)
Sai Batin Liwa, Kenali, Belalau dan Tiyuh sekitar
Sai Batin Paksi Keratuan Semaka:
Marga Benawang (terdiri dari 4 kebandaran):
Marga Limau
Marga Badak
Marga Putih
Marga Pertiwi
Marga Kelumbaiyan (Sutan Syah Marga)
Pekon Unggak
Pekon Susuk
Pekon Negeri
Pekon Sukarame
Pekon Limbungan
Pekon Tanjung Agung
Pekon Sukabandung
Marga/Buway Belunguh (asal Blunguh)
Marga Ngarip (Ngakhip)
Marga Pematang Sawa
Sai Batin Tanjung Bintang, Merbau Mataram dan sekitar
Sai Batin Keratuan Melinting (Maringgai, Wana, Tebing) dan Marga Sai batin lain-lain...

Sedangkan kelompok masyarakat adat Pepadun juga terbagi dalam ragam marga atau kebuwaian adat budaya yang berbeda, yaitu diantaranya:

Pepadun Abung Siwo Mego (sembilan marga), yang terbagi dalam 9 (sembilan) marga dan kebuwaian, yaitu:
Nuban
Nunyai
Unyi
Anak Toho
Nyerupo
Selagai
Beliyuk
Kunang
Subing
(ditambah Pepadun marga Manik yang berkedudukan di Negara ratu Suka dana)
Pepadun Mego Pak (empat marga), yang terdiri dari 4 (empat) marga dan kebuwaian, yaitu:
Bolan (bulan)
Tegamoan
Aji
Suwai Umpu
Pepadun Pubian Telu Suku (empat suku), yang terdiri dari 3 (tiga) suku yang setara dengan marga dan kebuwaian, yaitu:
Manyarakat (banyarakat/manyakhakat)
1. Buay Kediangan 2. Buay Manik 3. Buay Nyurang 4. Buay Gunung 5. Buay Kapal 6. Buay Selagai Jurai Rawan
Tambapupus
1. Buay Nuwat 2. Buay Pemuka Pati Pak Lang 3. Buay Pemuka Menang 4. Buay Semima 5. Buay Pemuka Halom Bawak 6. Buay Kuning
Buku Jadi (bukuk jadi)
1. Buay Sejadi 2. Buay Sejaya 3. Buay Sebiyai 4. Buay Ranji 5. Buay Kaji 6. Buay Pukuk
Buway Gunung (Kampung Negerisipin, sekitar Way sekampung bagian hulu, keturunan dari Pubian Manyarakat)
Buway dari suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan:
1. Lebar Daun 2. Anak Dalam 3. Serang 4. Naga Barisang 5. Dayang 6. Rakihan (Ratu Di Belalaw/diperkirakan dari Pagaruyung)
Kebuwayan yang datang dari Pagaruyung Laras ada 2 (dua) empu, selain rakihan, yaitu: 1. Empu Cangih (bergelar RAtu Di Puncak) 2. empu Serunting (bergelar Ratu Di Pugung)
Buay Balam (Keturunan dari Poyang Sakti, dari persekutuan Paksi Pak Tukket Pedang di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Buay Nuwat ((Keturunan dari Poyang Serata Di Langik, dari persekutuan Paksi Pak Tukket Pedang di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Pepadun 5 (lima) marga Way Kanan dan Sungkai, secara garis besar terdiri dari beberapa marga dan kebuwaian, yaitu antara lain:
Marga Semenguk
Marga Pemuka (Pengiran Udik, Pengiran Ilir, Pengiran Tuha, Bangsa raja)
Barasatti (Barasakti)
Baradatu (Tiyuh Balak, Way kanan)
Bahuga.
Kecuali itu ada pula marga-marga lain yang telah hidup sejajar dengan jurai Pepadun lainnya yang tersebar di wilayah Tanah Abang, Negeri Ujungkarang, dan sekitarnya, yaitu antara lain:
Harayap (Sukadana Ilir, Udik, Sungkai Selatan)
Debintang (Bandar Agung, Sungkai Selatan)
Si Gajah (Negara Tulang bawang, Sungkai Selatan)
Si Lembasi (Tanah Abang)
Si Reja (Perja) Negeri Ujungkarang
Liwa (kuta napal, Sungkai Selatan)
Buway Silamayang (di sekitar daerah Way Besai)
Buway Menyata (keturunan dari perkawinan Minak Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
Marga/Negeri Balau (Dari Persekutuan Hukum Adat Lampung Abung Kota Tanjungkarang/Telukbetung dan Lampung Selatan):
a.  Buway Turgak (Kampung Rajabasa, gedungmeneng, Labuhan ratu. Anak dari Minak
     Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
b.  Buway Manik (Kampung Rajabasa, Gedungmeneng, keturunan dari Pubian suku
     Manyarakat)
c.  Buway Selagai runjung (Gedungmeneng)
     13.  Marga-marga lain dan sub-sub Marga yang belum tersebutkan....
Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu seringkali berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual maupun kolektif. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan. Kenyataannya pluralitas budaya di Lampung tidak bisa dihindarkan, kendati masih banyak kalangan yang bersikap anti pluralitas karena dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Kendati keragaman etnis dan budaya masyarakat adat di Lampung sangat tinggi, akan tetapi jika kehidupan masyarakat yang masih terikat dan tunduk pada nilai-nilai kearifan lokal, khususnya falsafah hidup piil pesenggiri, hukum-hukum adat dengan pemangku adat yang kompromi dengan aspirasi rakyatnya, maka stabilitas ketertiban dan stabilitas daerah dapat terjaga, kebebasan hubungan sosial terbuka saling menghargai, sehingga terhindar dari konflik.

Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1.  piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri).
Pi`il Pusanggiri diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku dan sikap yang dapat menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara berkelompok senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang (Lampung) dapat mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya demi untuk mempertahankan pi`ill pesenggiri tersebut.
2.  juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya).
Bejuluk Beadok adalah didasarkan kepada "Titei Gemettei" yang diwarisi tutun temurun dari zaman dahulu, tata ketentuan pokok yang selalul diikuti (Titei Gemettei) termasuk antara lain menghendaki agar seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk) dan setelah kawin di beri gelar.
3.  Nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu).
nemui Nyimah diartikan sebagai bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak, baik terhadap orang dalam satu klan maupun dari luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya.
4.  Nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis).
Nengah Nyapur adalah tata pergaulan masyarakat Lampung dengan kesempatan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas, serta ikut berpartisipasi dalam segala hal yang bersifat baik, yang dapat membawa kemajuan sesuai dengan perkembangan zaman.
5.  Sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Sakai Sambayan meliputi beberapa pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberi terhadap sesuatu yagn diperlukan bagi pihak-pihak lain. Dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang bersifat materi saja, tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan pikiran dan lain sebagainya.

Lebih ringkas piil pesenggiri dapat dirumuskan sebagai berikut:

Piil artinya berjiwa besar, Pesenggiri artinya menghargai diri. Sebagai ulun Lampung memiliki prinsip hidup wajib memelihara, mempertahankan dan memperjuangkan kehormatannya, baik diri sendiri, keluarga dan kebuwayannya. Adapun unsur-unsur penyangga piil pesenggiri adalah sebagai berikut:

 Juluk Adok.  Juluk artinya gelar sebelum kawin, Adok artinya gelar setelah kawin. Secara keseluruhan disebut gelar adat.
Nemui Nyimah. Nemui artinya terbuka hati menerima tamu, Nyimah artinya memberi dengan ikhlas.
Nengah Nyappur. Nengah artinya suka berkenalan, aktif berada di tengah masyarakat, Nyappur artinya pandai bergaul dan berbaur dengan masyarakat.
Sakai Sambayan. Sakai artinya suka tolong menolong, Sambayan artinya suka bergotong royong

Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):

1.  Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
(tandanya orang Lampung, memiliki kehormatan)
2.  Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
(mulia atau hina diperhitungkan, ada rasa malu dan harga diri)
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
(gelar adat dipegang teguh, ramah tamah dan bersaudara)
4. Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi
(bergaul tidak terbatas, saling mambantu dan bergotong royong)

Menurut prinsip hidup ulun Lampung Sebatin menempatkan Piil Pesenggiri (Bupiil Bupusenggiri) dengan 4 (empat) unsur di dalamnya sebagai prinsip hidup dan harga diri (kehormatan) masyarakat Lampung. Keempat unsur ini adalah: 1) khopghama delom begwuai (bejuluk-beadok/prinsip prestice/kehormatan dan kerja keras); 2) bupudak waya (nemui-nyimah/prinsip ramah tamah dan terbuka); 3) tetengah tetanggah (prinsip berprinsif, persamaan, fleksibel); 4) ghepot delom mufakat (prinsip kerjasama, persatuan);

Berdasarkan uraian di atas, secara umum unsur-unsur pokok  Piil Pesenggiri (Bupiil Bupusenggiri) adalah:

Khopkhama delom beguwai/bekekhja
Khopkhama delom bekekhja, artinya Kerja keras dan prestise, yaitu setara dengan pengertian unsur Piil Pesenggiri bejuluk beadok. Kerja keras dan prestise terdiri dari sub unsur, yaitu:

Memahami kebutuhan diri dan kebutuhan masyarakat
Mampu menyerap skill pemimpin
prinsip bercita-cita dan keberhasilan
Berprestasi
produktif
Pantas dijadikan panutan
Berprinsip harga diri
kehormatan

Bepudak Waya
Bepudak Waya, artinya ramah dan terbuka dengan sikap perilaku sopan santun (bertata-krama). Bepudak waya ini setara pengertiannta dengan unsur Piil Pesenggiri Nemui Nyimah. Bepudak waya selain diartikan sebagai tatakrama juga memiliki makna sosial, seperti tergambar dalam sus unsur berikut:

Berprilaku baik
Berilmu
Berketerampilan/ahli dalam bidang
Berpenghasilan/bekerja
Tulus melayani masyarakat

Tetengah Tetanggah
Tetengah Tetanggah, artinya pandai bergaul yang merupakan kesetaraan dari unsur Piil Pesenggiri Nengah Nyappur. Tetengah tetanggah terdiri dari sub unsur sebagai berikut:

Supel/fleksibel
Tenggang rasa
Berprinsip
Kaya ide
Bercita-cita tinggi
Mampu berkomunikasi
Mampu bersaing
Kebersamaan dan berdaya saing (kooperatif dan kompetitif)

Khepot delom mufakat
Khepot delom mufakat, artinya tolong menolong dan gotong royong yang merupakan kesetaraan dari unsur Piil Pesenggiri Sakai Sambayan. Makna yang dituntut Piil Pesenggiri yang terkandung dalam Khepot delom mufakat terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

Kerja sama yang saling menguntungkan (mampu bekerjasama)
Menjaga kesatuan dan persatuan (ampu menjadi pemersatu)
Memiliki modal (kapital)
Memiliki sarana dan prasarana
Dapat dipercaya
Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang dianggap jauh lebih unggul, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain. Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup. Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Karakter budaya politik lokal Lampung yang bersumber dari falsafah hidup piil pesenggiri perlu diadopsi menjadi pedoman dalam proses pemilihan pimpinan daerah, program perencanaan dan penetapan kebijakan pembangunan daerah; agar dalam penataan berbagai kepentingan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, dan dijamin kesejahteraannya dapat berajalan secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

Namun demikian keberagaman suku dan budaya Lampung bukan tidak punya kelemahan pasca diberlakukan  sistem demokrasi dan otonomi daerah yang luas, yaitu cenderung bersaing dengan prinsip perbedaan budaya masing-masing yang bersifat etnosentris dengan prinsip hanya budaya sendiri yang lebih baik; bahkan dalam perebutan kekuasaan pada proses politik, kadang tumbuh sentimen negatif lebih baik tidak semua dari pada kalah dalam pertarungan. Perebutan kekuasaan ini seringakali disebut politik uni-kekha (kelompok kera). Terlebih lagi kala dibukanya demokrasi  budaya politik secara luas, justeru warga dan elit daerah belum siap bersaing dengan kemampuannya sendiri; sementara mereka tidak rela jika kedudukan pemimpin daerahnya jatuh pada figur pendatang (non-pribumi). Dalam kondisi anomi, kesiapan demokrasi budaya politik terbatas, dan kurang pengalaman, strategi politik kurang memadai, maka timbul kesulitan dalam bersaing dalam perebutan kekuasaan tersebut.

Kemudian muncul isu putra daerah, seakan strategi ini bisa menutup hak dan kesempatan figur politik dari kalangan pendatang yang lebih  berpengalaman dalam proses perpolitikan. Di samping karena dalam kehidupan masyarakat adat setempat masih tertanam sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, dan perbedaan pendekatan terhadap keagamaan.
Selanjutnya para figur pimpinan atau tokoh politik lokal yang berasal dari basis etnis budaya ruwa jurai berkiprah dalam  budaya demokrasi dan politk terbuka. Tapi ternyata dalam praktiknya strategi budaya dengan isu putra daerah tidak signifikan dalam persaingan memperjuangkan hak-hak dan kesempatan meraih jabatan politik daerah.

Timbul tenggelamnya isu putra daerah di tengah-tengah persaingan figur-figur politik daerah mengikuti keragaman strategi dan kepentingan masing-masing. Ada beragam syarat putra daerah menurut versi masing-masing yang dianggap memiliki kekuatan dan kompeten sebagai calon pemimpin daerah, diantaranya adalah sebagai berikut:

Putra asli daerah dari jurai pepadun atau sebatin
Putra asli daerah dari jurai budaya pepadun
Putra asli daerah dari jurai budaya sebatin
Putra pendatang yang telah bermukim selama 5 tahun
Putra pendatang yang telah masuk dalam komunitas adat Lampung melalui proses adat (angken muwari, angken anak, angken adat dalam tetah adek)
Putra pribumi atau pendatang yang dianggap memiliki kemampuan lebih dan memihak pada rakyat.

Dari berbagai strategi pemenangan figur pimpinan daerah melalui ragam syarat itu, tak ada satupun yang signifikan; pada akhirnya pemenangan cenderung ditentukan oleh faktor lain, misalnya penguasaan strategi pendekatan, kapasitas, kesiapan finansial, dan fasilitas lainnya. Dalam kenyataannya figur-figur etnis Lampung secara kuantitas nampak terbatas, baik dari segi kuantitas, kesiapan dari segi finansial, maupun karena minornya etnis Lampung sebagai sumber suara pemilih (Sensus penduduk 2010: etnis Lampung 12% : Jawa 62%). Dalam proses pilkada yang menerapkan aturan mayoritas, sementara jumlah etnis pemilih Lampung tergolong minoritas, maka hampir dapat dipastikan golongan etnis mayoritas yang akan keluar sebagai pemenangnya. Di samping itu, ternyata tim sukses, kader-kader politik dan calon kepala daerah dari etnis Lampung pada pilkada kurang atau bahkan tidak berhasil menarik minat etnis lain (terutama Jawa dengan jumlah etnisitas tertinggi).

Agar proses perebutan kekuasaan dan sumberdaya dengan semboyan Sai Bumi Rua Jurai lebih mencerminkan fenomena sosiologis, dan sekaligus dapat merefkleksikan muatan budaya politik masyarakat Lampung, maka dalam proses pemilihan pimpinan daerah dan penataan proses politik lokal Lampung perlu mempertimbangkan sumber daya nilai kearifan lokal piil pesenggiri. Bagi figur pemimpin yang memiliki prinsip hidup piil pesengiri berarti ia memiliki semangat kesadaran tinggi untuk membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain. Di samping mampu membangkitkan kondisi pikiran sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Piil pesengiri merupakan simbol kehormatan diri, malu bersalah, perasaan berharga atau harga diri. Untuk menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan harapan masyarakat.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka masing-masing daerah di Provinsi Lampung membuat slogan kearifan lokal Lampung, tujuannya agar pimpinan daerah dari semua jajaran, besama dengan masyarakat dari semua juai adat dan golongan dapat mengamalkannya. Dari masing-masing slogan itu adalah:
Beguai Jejama: Kabupaten Lampung Barat
Khagom Mufakat: Kabupaten Lampung Selatan
Jurai Siwo: Kabupaten Lampung Tengah
Bumei Tuwah Bepadan: Kabupaten Lampung Timur
Ragem Tunas Lampung: Kabupaten Lampung Utara
Sai Bumi Serasan Segawi: Kabupaten Mesuji
Andan Jejama: Kabupaten Pesawaran
Helauni Kibakhong: Kabupaten Pesisir Barat
Jejama Secancanan: Kabupaten Pringsewu
Begawi Jejama: Kabupaten Tanggamus
Sai Bumi Nengah Nyappur: Kabupaten Tulang Bawang
Ragem Sai Mangi Wawai: Kabupaten Tulang Bawang Barat
Ramik Ragom: Kabupaten Way Kanan
Ragom Gawi: Kota Bandar Lampung
Bumi Sai Wawai: Kota Metro.
Jika slogan-slogan itu dapat dipahami dan di praktikkan pada daerah masing-masing sesuai dengan filosofi dari karakter budaya lokal itu, maka wujud kebersamaan dan kerjasama seluruh warga Lampung akan tercapai sesuai dengan harapan Sang Bumi Ruwa Jurai. Kelemahannya, slogan-slogan itu masih nampak sekedar simbol, belum sepenuhnya dilaksanakan, terutama bentuk nyata kebersamaan, kerjasama dan keterbukaan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah.

D.  KESIMPULAN
Sang Bumi Ruwa Jurai merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sebatin dan Pepadun.  Sang Bumi Ruwa Jurai artinya satu bumi dua aliran adat budaya; kata sang bumi berasal dari sanga bumi, artinya se-bumi. Sedangkan ruwa jurai, artinya dua aliran (kelompok) budaya yang berbeda, yaitu kelompok masyarakat adat pepadun dan sebatin. Sang bumi ruwa jurai ini merupakan simbol keragaman etnis dan budaya Lampung: sedangkan etnis pendatang tidak digolongkan sebagai jurai ke-3 dalam konsep ini. Dalam simbol budaya Sang Bumi Ruwa Jurai tidak ada kategori ulun Lampung dan pendatang; ini tidak sesuai dengan pemahaman unsur-unsur piil pesenggiri, terutama unsur nemui-nyiman. Justeru kelompok pendatang diposisikan sebagai ulun Lampung pada kedua kelompok budaya itu, yaitu pepadun dan sebatin secara bebas dan terbuka, sesuai pilihan, teritorial pemukinan dan penetapan ke dalam warga adat.

Namun sekalipun masing-masing pihak menyadari  bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua bisa mewujudkan secara bebas keberadaannya dengan hubungan sosial terbuka saling menghargai; masih ada saja pihak yang tidak rela atas keberadaan kelompok lain. Tapi sebaliknya bagi kehidupan masyarakat yang masih terikat kuat dengan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, didukung oleh Penyimbang adat yang kompromi dengan aspirasi rakyatnya, maka stabilitas ketertiban dan stabilitas daerah dapat terjaga, kebebasan hubungan sosial terbuka saling menghargai, sehingga terhindar dari konflik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal tidak sekedar berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Akan tetapi lebih kepada fungsi sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup. Sebagaimana diketahui bahwa basis karakter budaya politik Lampung adalah nilai-nilai kearifan lokal Piil pesenggiri dengan unsu-unsunya, Bejuluk-beadok, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-sambayan.

Karakter budaya politik lokal Lampung berpijak pada prinsip hidup piil pesenggiri yang tumbuh di tengah-tengah keragaman budaya dan etnis. Bagi masyarakat Lampung pada umumnya, pandangan hidup piil pesengiri  merupakan kehormatan diri, malu bersalah, perasaan berharga atau harga diri. Untuk menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan harapan masyarakat.

Bagi kader-kader pemimpin yang memiliki prinsip hidup piil pesengiri berarti ia memiliki semangat kesadaran pribadi yang tinggi untuk membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain. Di samping mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Piil pesengiri merupakan simbol kehormatan diri, malu bersalah, perasaan berharga atau harga diri. Untuk menjaga harga diri ini agar tetap terhormat, maka pribadi-pribadi dalam pergaulannya senantiasa dituntut untuk dapat bersikap dan berperilaku yang benar, baik, terpuji sesuai dengan harapan masyarakat.

Oleh karena itu Karakter budaya politik lokal Lampung yang bersumber dari falsafah hidup piil pesenggiri perlu diadopsi menjadi pedoman dalam proses pemilihan pimpinan daerah, program perencanaan dan penetapan kebijakan pembangunan daerah; agar dalam penataan berbagai kepentingan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, dan dijamin kesejahteraannya dapat berajalan secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani, 2011. Pluralitas budaya di Lampung, konflik dan solusinya. Makalah disampaikan pada dialog kesejarahan di Lampung, yang diselengarakan di Aula FKIP Kampus Universitas Lampung pada tanggal, 15 Oktober 2011.
Albert Widjaya, 1982. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Carole Pateman, 1982. Political Culture, Political Structure and Political Change, British Journal of Political Science, Vol. 1, No. 3 (Jul., 1971). Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982.


Bacaan lain:

Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
__________, 2009. MASYARAKAT, Dinamika kelompok dan Implikasi Kebudayaan dalam Pembangunan. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
__________, 1995. SOSIOLOGI dan PRUBAHAN MASYARAKAT. Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya (anggota IKAPI), Jakarta.
Zainudin Hasan, 2012. Sai Bumi Ruwa Jurai? (http://zainudinhasan.blogspot.co.id/2012/04/sang-bumi-ruwa-jurai.html)
Iwan Nurdaya-Djafar, 2014. Mengapa Sang Bumi Ruwa Jurai? (http://ulunlampung.blogspot.co.id/2014/03/mengapa-sai-bumi-ruwa-jurai.html)
Gabriel A. Almond dan G.Bingham Powell, Jr., (http://alcmuthya.blogspot.co.id/2013/01/makalah-tentang-budaya-politik-di.html