Selasa, 15 Agustus 2017

SOSIOLOGI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT




Secara etimologis istilah individu berasal dari bahasa Latin yaitu individum yang berarti satuan terkecil yang tak dapat dibagi lagi.  Secara sosiologi, individu dapat diartikan sebagai manusia perseorangan yang hidup sendiri tak berkawan.  Individu adalah pribadi yang mempunyai fikiran atas kepentingan yang bersifat subjektif.  Individu dalam konsep sosiologis dapat dirumuskan secara terbatas sebagai jumlah keseluruhan pengalaman, pandangan/fikiran dan segenap tindakan seseorang yang kemudian membentuk dan mewarnai ciri-ciri pribadinya.

Alvin L. Bertrand (1980) memandang individu sebagai kedirian.   Secara objektif, kedirian (self) dapat dikatakan sebagai kesadaran terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya.  Pada hakekatnya, kesadaran itulah yang mendorong timbulnya sebutkan “aku” atau “saya”. Kedirian yang subjektif itu tidaklah mudah dipelajari, meskipun oleh orang yang mempunyai diri itu sendiri, sebab tidak seorang pun dapat meninjau dirinya sendiri secara objektif seratus persen.  Bertrand mengutip pendapat Charles H. Cooley yang menjelaskan bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang, seperti yang berwujud cita-cita, sikap-sikap dan kesetiaan, merupakan salah satu dimensi dari kedirian, yaitu kedirian subjektif.  Apabila nilai-nilai tersebut diterima oleh orang bersangkutan ari orang-orang lain, itulah yang disebut dengan dimensi kedirian objektif.  Maksudnya adalah, jika pada waktu tertentu seseorang pribadi atau individu berperilaku menurut harapan orang lain, maka berarti individu tadi telah memandang dirinya dari dimensi objektif.  Untuk menemukan suatu kesadaran sosial, individu senantiasa memandang orang lain sebagai konsep tentang diri sendiri.  Oleh karena itu, untuk menghilangkan pertentangan antar pribadi atau konflik dalam kehidupan masyarakat, seseorang harus mampu melihat dirinya sebagaimana orang lain atau dapat  melihat orang lain  seperti diri sendiri.
Pendapat George H. Mead yang dikutip oleh Bertrand membagi kedirian manusia menjadi dua dimensi.  Pertama, dimensi aku sebagai objek (me).  Dimensi ini merupakan bagian dari diri mempertimbangkan atau memperhitungkan sikap-sikap serta pendapat-pendapat orang lain. Dimensi pertama ini bercirikan sebagai bagian yang pasif dan konvensional dari kedirian seseorang.  Kedua, dimensi aku sebagai subjek (I=ai).  dimensi ini merupakan bagian yang aktif, yaitu secara aktif dan kreatif berbuat mempengaruhi dan bukannya dipengaruhi oleh masyarakat.

Cooley menganalisis dimensi individu dengan “teori cermin”, yang terdiri dari tiga langkah yang dijalani oleh seorang individu untuk menerima konsepsi kediriannya dari orang-orang lain.  Langkah-langkah ini meliputi:

(1)     Imajinasi tentang pandangan orang-orang lain terhadap seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah laku di mata orang lain;
(2)     Imajinasi terhadap penilaian orang lain terhadap yang terdapat pada diri masing-masing orang, seperti misalnya mengenai ketinggalan zaman atau tidaknya pakaian yang dipakai, dirinya termasuk tingkah laku lemah lembut atau kasar, dan sebagainya;
(3)     Seperti merasa sesuatu, misalnya bangga, kecewa, gembira atau rendah diri yang timbul sebagai akibat imanjinasi diri sendiri sehubungan dengan penangkapan masing-masing orang terhadap kata orang-orang lain yang ditujukan padanya.

George H. Mead (Soerjono Soekanto: 1983) menyatakan bahwa hakekat pribadi atau individu terbentuk dari tanggapan yang berasal dari pihak-pihak lain.  Oleh karena itu, maka identitas merupakan suatu gejala sosial yang mempunyai ciri-ciri yang tetap maupun situasional.  Ciri-ciri tetap yang bersifat stabil diperoleh dari tanggapan-tanggapan pihak-pihak lain yang bersifat sinambung, sedangkan variasi situasional mungkin ada karena peranan yang berbeda-beda dari pihak-pihak lainnya yang tidak mustahil mengalami perubahan pad kedudukan maupun peranan.  Dengan demikian berarti keberadaan pribadi-pribadi lain di dalam proses interaksi sosial merupakan hal yang sangat penting di dalam pembentukan identitas pribadi maupun perkembangannya kemudian.
Setiap individu, dalam hidupnya mempunyai pikiran atau akal pikiran (rasio) dan perasaan atau emosi. Akal pikiran pribadi berfungsi sebagai penggerak dalam setiap usahanya mengembangkan diri, seperti usaha meraih cita-cita dan atau usaha mengatasi berbagai masalah dalam perjalanan hidupnya.  Dengan akal pikirannya, individu dapat berkarya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya itu.  Sedangkan unsur perasaan atau emosi merupakan suara nurani manusia yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap dan menilai kegunaan hasil karya; seperti rasa suka terhdap benda-benda, rasa bahagia atas keberhasilan usaha atau dapat juga berupa perasaan cinta terhadap alam atau sesama.  Masing-masing individu mempunyai perasaan yang berbeda-beda  sesuai dengan selera dan kepentingan pada waktu tertentu.  Perasaan bisa juga ditinjau dari sudut fisik, seperti perasaan sedap terhadap makanan tertentu, rasa panas sengatan matahari atau rasa sakit pada tubuh di kala jatuh dari tangga.

Cooley memperinci individu atas tiga fase (Wila Huky 1982) yaitu: 

1.    Fase persepsi, yaitu apa yang dilihat orang lain dalam kepribadian dan tingkah lakuku;
2.    Fase penafsiran, yaitu bagaimana orang-orang lain menilai apa yang mereka lihat dalam diriku;
3.    Dalam fase ketiga, individu dengan dasar jawabannya sendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, menimbulkan sejumlah perasaan tentang diri sendiri dan mengembangkan sejumlah sikap tentang dirinya, seperti sikap bangga, sombong, rendah hati dan sebagainya.

Dalam buku Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan, Abdul Syani   (1974) menyatakan bahwa telaah manusia sebagai individu pada umumnya ditempatkan pada nomor dua setelah kajian masyarakat, kaena sosiologi yang mempunyai objek studi masyarakat lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap kolektivitas sosiologis.  Masyarakat adalah wadah hidup bersama dari individu-individu yang terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta interelasi sosial.

Dalam studi masyarakat, individu tidak dipandang sebagai orang tersendiri tanpa hubungan dengan individu lain. J.L. Gillin dan J.P Gillin, menamakan masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.  Menurut Auguste Comte masyarakat merupakan kelompok-kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangannya sendiri.  Masyaralat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akanmampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya.  Hassan Shadiliy    mendefinisikan masyarakat sebagai golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.  Kemudian Ralp Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

Ciri-ciri masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut Soerjono Soekanto (1982) adalah sebagai berikut:

a.    Manusia yang  hidup bersama.  Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada.  Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya adalah du orang yang hidup bersama.
b.    Bercampur untuk waktu yang cukup lama.  Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya.  Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru.  Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti; mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya.  Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
c.    Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan;
d.   Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.  Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.

Secara ringkas, kumpulan individu baru dapat disebut sebagai masyarakat jika telah memenuhi empat syarat utama, yaitu: (a) Dalam kumpulan manusia harus ada ikatan perasaan dan kepentingan; (b) mempunyai tempat tinggal atas daerah yang sma atau mempunyai ciri kelompok tertentu; (c) Hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama; (d) dalam kehidupan bersama itu terdapat aturan atau hukum yang mengatur perilaku mereka dalam mencapai tujuan dan kepentingan bersama.

dengan demikian, berarti masyarakat bukan sekedar kumpulan manusia semata tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu sama lainnya. Setiap individu mempunyai kesadaran akan keberadaannya di tengah-tengah individu yang lainnya.  Sistem pergaulan didasarkan atas kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.  Menurut Mac Iver (Harsodjo: 1972), di dalam masyarakat terdapat suatu sistem cara kereja dan prosedur dari pada otoritas dan saling bantu membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian-pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan.

Hidup bermasyarakat adalah sangat penting bagi manusia, ia tidak sempurna dan tidak dapat hidup sendirian secara berkelanjutan tanpa mengadakan hubungan dengan sesamanya dalam masyarakat  Adham Nasution (1983) menjelaskan bahwa hidup bermasyarakat adalah mutlak bagi manusia supaya ia dapat menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebagai human being, orang atau oknum. Bukan sekedar dalam pengertian biologis, tetapi benar-benar ia dapat berfungsi sebagai manusia yang mampu bermasyarakat dan berkebudayaan.

Sebagaimana hubungan individu dalam masyarakat yang pada hakekatnya merupakan hubungan fungsional, sekaligus sebagai kolektivita yang terbuka dan saling ketergantungan antara satu sama lainnya.  Individu dalam hidupnya senantiasa menghubungkan kepentingan dan kepuasannya pada orang lain.  Charles H. Cooley menamakannya sebagai “the looking glass self” yaitu perkembangan kesadaran diri sendiri sebagai pencerminan dari pandangan orang-orang lain.  Menurut Hassan Shadily (1983)  manusia akan tertarik kepada hidup bersama dalam masyarakat karena didorong oleh beberapa faktor:
1.    Hasrat yang berdasar naluri (kehendak biologis yang di luar penguasaan akal) untuk mencari teman hidup, pertama untuk memenuhi kebutuhan seksual yang sifatnya biologis sebagaimana terdapat pada semua mahluk hidup.
     Dari sifat manusia yang biologis itu kemudian mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan seksnya.  Kebutuhan ini sebagai manusia yang beradap dan beragama biasanya dipenuhi dengan syarat-syarat perkawinan secara sah.  Ikatan suami isteri berdasarkan pernikahan mewajibkan orang tua memelihara keturunan dengan baik mulai dari ketika ia bayi dalam pendidikannya dan kalau bisa juga dalam penjodohannya, sehingga anak itu menjadi anggota masyarakat yang baik menurut adat yang dianut oleh orang tua.  Dari keluarga-keluarga yang terbentuk itu kemudian menjadi kelompok-kelompok sosial yang disebut masyarakat. 
2.    Kelemahan manusia selalu mendesak untuk mencari kekuatan bersama, yang terdapat dalam berserikat dengan orang lain, sehingga dapat berlindung bersama-sama dan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari dengan usaha bersama.  Keadaan demikian ini juga akhirnya mendorong setiap individu (manusia) untuk tidak terlepas hidup bermasyarakat.
3.    Aristoles, berpendapat  bahwa menusia ini adalah zoon politikon, yaitu mahluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka dari pada hidup sendiri.
4.    Menurut Bergson,  bahwa manusia ini hidup bersama bukan oleh karena persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan sebagainya.  Ia mengatakan bahwa kenyataan hidup baru terasa dengan perbedaan antara manusia masing-masing itu dalam kehidupan bergolongan.

Berdasarkan adat, sifat meniru dan sebagainya, perasaan solidarias dalam golongan keluarga, suku bangsa, negara dan seterusnya akan menjadi kuat dan luas, dan ikatan ini akan bertambah kuat dalam menghadapi bahaya.  Dengan meluasnya pertalian dari keluarga kepada suku bangsa, kepada negara dan sebagainya, maka pertalian dalam ikatan yang terkecil akan terasa lebih lemah.  Baik juta diperhatikan bahwa ikatan solider ini berlainan sifatnya ke dalam dan keluar; yang ke dalam merupakan ikatan diantara anggota-anggonya, sedangkan ikatan keluar, artinya terhadap golongan lain.  Ikatan-ikatan dalam kelompok, memang mempunyai kelemahan-kelemahan, akan tetapi juga dapat menghilangkan permusuhan antar golongan, malahan dapat mengikat mereka bersama menjadi persatuan yang lebih luas.  Demikian inilah, maka terbentuknya masyarakat memang merupakan suatu kodra sebagai wadah kehidupan manusia mahluk kepentingan.

Mengenai harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia dalam hidup bermasyarakat, Mayor Polak (1979) menjelaskan bahwa harapan (expectation) dan tujuan (goal) adalah   dekat sekali dengan norma dan nilai.  Tujuan-tujuan sosial        adalah anggapan-anggapan kolektif tentang apa yang patut dan pantas diinginkan dan diusahakan.  Tujuan-tujuan seseorang adalah banyak sekali ada yang dekat, ada yang jauh, ada yang diutamakan, ada yang kurang dipentingkan dan sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antar manusia yang terikat dalam kesatuan kelompok masyarakat itu, terdapat banyak variasi kejadian, seperti solider   dan kebencian.  Kompleksitas kejadian ini dalam sosiologi disebut proses mengikat mendekati dan bersatu; ada pula yang disebut proses perpisahan yaitu bercerai dan perpisahan hidup masing-masing.

Konsekuensi hidup bermasyarakat memang menghilangkan sebagian kemerdekaan individu, seolah-olah masyarakat mendesak individu-individu untuk mengakui kekuasaannya.  Dengan adanya masyarakat, maka sifat manusia secara individual menjadi terpendam dan terintegrasi ke dalam sifat masyarakat.  Integrasi sosial merupakan kesatuan hubungan yang bersifat pisik dan komunikatif sekaligus merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi.  Pengembangan sikap dan perasaan manusiawi merupakan suatu dasar dari pada yang dimaksudkan dengan derajad keselarasan dalam kehidupan masyarakat.

Terbentuknya masyarakat dapat pula didorong oleh kekuatan faktor sosial, yaitu toleransi, tolong menolong.  Toleransi merupakan sikap bersedia untuk mengalah atau menerima ide dan pendirian pihak lain untuk suatu kompromi.  Sebagai mahluk sosial manusia dilahirkan sudah mempunyai dua hasrat pokok, yaitu (1) hasrat untuk hidup bersama manusia lain; (2) hasrat untuk bersatu dengan suasana alam sekitarnya.

Menurut Ogburn dan Nimkoff, integrasi  manusia dalam kelompok dapat dicapai jika memenuhi beberapa syarat yaitu:

1.    Anggota kelompok (masyarakat) merasa berhasil mengisi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya;
2.    Tercapainya suatu konsensus (kesepakatan) mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial;
3.    Norma-norma cukup laa dan konsisten (tetap) tidak ada perubahan.

Alex Inkeles mengutip pendapat Marion Levy mengusulkan empat kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kelompok sebelum kelompok tersebut dapat dianggap sebagai suatu masyarakat.  Kelompok tersebut harus mampu berada lebih lama dari pada masa hidup seorang individu; kelompok tersebut harus merekrut anggota-anggota barunya, setidak-tidaknya untuk sebagian, melalui pembiakan; kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiaannya kepada suatu kompleks “sistem tindakan utama” bersama;  dan sistem tindakan tersebut harus “swasembada”.  Kriteria yang terakhir ini memerlukan sedikit penjelasana tambahan.  Yang kami maksudkan dengan “sistem tindakan” ialah seluruh perangkan kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan cara-cara bertindak yang baku yang biasanya diwujudkan oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan sosial timbal balik yang relatif langgeng.

Adas tiga alternatif corak dan arah hubungan individu dengan masyarakat, yaitu: (1) individu memiliki status yang relatif dominan terhadap masyarakat; (2) masyarakat memiliki status yang relatif dominan terhadap individu; (3) individu dan masyarakat saling bergantung (hubungan interdependen).

Setiap satuan individu tersebut masing-masing mempunyai kekhususan yang berpengaruh terhadap dinamika kehidupan masyarakat.  Soepomo menjelaskan kedudukan individu sebagai pribadi menyatakan, bahwa di dalam Hukum Adat pribadi (individu) bukanlah merupakan pribadi yang terasing dari masyarakat.  Setiap pribadi merupakan warga atau anggota masyarakat; akan tetapi yang utama adalah tetap masyarakat yang merupakan pusat kehidupan hukum.  Pribadi dianggap sebagai warga atau anggota masyarakat yang hidup terutama untuk mencapai tujuan-tujuan dari masyarakat.  Oleh karena itu, maka dalam kehidupan Hukum Adat ada anggapan yang kuat bahwa kehidupan pribadi adalah untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat.  Akan tetai, pengabdian tersebut tidak dirasakan sebagai beban oleh pribadi-pribadi yang bersangkutan, yang diberikan atau ditugaskan oleh suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya.  Pengabdian tersebut bukanlah merupakan pengorbanan yang harus diberikan oleh pribadi demi kepentingan umum.

Masyarakat tidak merupakan badan kepentingan tersendiri seperti individu-individu yang bercerai berai; melainkan merupakan kelompok homogen yang menganut kepentingan bersama. Individu-individu merupakan bagian dari suatu keseluruhan.  Menurut Soepomo, bahwa individu  ialah suatu makhluk, dalam mana masyarakat mengkhususkan diri.  Masyarakat adalah keseluruhan dari sekian anggota-anggota seorang-seorang.  Karena itu keinsafan kemasyarakatan dan keinsyafan individu bercampur baur.

Abdul Syani (1994) menyimpulkan bahwa walaupun telah terjadi pembauran, bukan berarti eksistensi individu sama sekali tidak ada dan sama sekali tidak ada peluang bagi kehidupan yang bersifat pribadi. Sebaliknya, meskipun dalam kehidupan masyarakat yang telah mengalami proses serba individualistis pun, kehidupan bersama tetap tidak akan dapat ditinggalkan.  Dengan demikian, akhirnya dapat disimpulkan bahwa individu dan masyarakat merupakan perangkat yang senantiasa ada di dalam setiap pergaulan hidup; individu tidak mungkin dapat hidup dengan sempurna tanpa bermasyarakat.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Individu adalah pokok kajian psykologi sementara sosiologi pokok kajiannya orang-orang yang berada dalam kelompok atau msyarakat.

    BalasHapus