Selasa, 15 Agustus 2017

ADAT ANGKON MUWAKHI SEBAGAI SUMBERDAYA STRATEGIS PENANGANAN KONFLIK



Dari realitas penanganan konflik di Lampung Selatan pada 2 tahun terakhir,  ternyata belum dapat menyelesaikan konflik secara tuntas. Hal ini disebabkan karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal, akar masalah, dan latar belakang konflik yang terjadi. Menurut penuturan informan, ada beberapa faktor penyebab sulitnya penanganan konflik di Lampung pada umumnya, krn telah terjadi timbunan konflik laten sebelumnya. Timbunan konflik laten ini diantaranya adalah sebagai berikut: 

  1. Resolusi konflik tdk tepat, lemah, tdk tuntas/formalitas (dilapangan) mediator/pihak ke-3 tdk dipercaya (fungsi independensi dan perilaku tdk memberi sumbangan nyata bagi masyarakat yg berkonflik), akar masalah tidak ditemukan, ibarat perlu kail diberi cangkul
  2. Proses resolusi konflik cenderung subyektif/memihak, shg keputusan tidak diakui dan tidak membawa kesadaran masyarakat
  3. Kemampuan pemerintah dlm mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal rendah (tdk memahami), kebiasaan/tradisi yg melekat dlm kehidupan masyarakat makin pudar, spt falsafah hidup dan sistem kemuakhian lemah.
  4. Adanya kepentingan thdp konflik, pengalihan masalah, dan pencitraan, shg sasaran resolusi konflik menjadi samar/semu atau penerapan adat kemuarian yg salah, krn kepentingan ttt, ini memudarkan/mebelokkan tujuan kemuarian (dijelaskan berikut).
  5. Resolusi konflik dg intimidasi dan kekerasan sekedar meredam sementara...
  6. Butir2 janji perdamaian topdown, tdk aspiratif, dipaksakan, campur tangan pemerintah menggilas kearifan lokal, tempat, lembaga adat danTokoh yg terlibat tdk mewakili lembaga dan tokoh lokal yg dipercaya
  7. Rendahnya kualitas keharmonisan sosial interaetnik dan interetnik (antar klpk satu kepenyimbangan marga, beberapa  kepenyimbangan marga dlm kesatuan kebandaran, beberapa klpk penyimbangan kebandaran wilayah, kelopok jurai budaya, dan antar klpk penyimbang adat Lampung (Sang Bumi Ruwa Jurai) dengan kelompok masyarakat adat pendatang, kesatuan etnis dan komunitas sosial lainnya.

Untuk menyelesaikan konflik dan memelihara kembali perdamaian pasca konflik, perlu melibatkan tokoh-tokoh adat setempat dengan memanfaatkan norma-norma hukum adat yang masih dijiwai oleh masyarakat adat setempat sebagai unsur kearifan lokal. Kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat.
Salah satu kearifan lokal Lampung yang biasa digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah “adat muwakhi” (mewarei=bersaudara=pepadun), yang berarti bersaudara atau adat persaudaraan dalam hubungan sosial. Muwakhi berasal dari kata puwakhi yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak maupun ibu. Muwakhi merupakan nilai dasar etika sosial dilandasi falsafah hidup Piil Pesenggiri. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dipelihara, dikembangkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Menurut Zulkifli Tahir dengan gelar/Adok Temenggung Niti Zaman Bandar Kesugihan Marga Legun, bahwa pelaksanaan kegiatan mewarei (sebatin=muwakhi) tersebut biasanya melalui beberapa tahapan paska konflik. Pelaksanaan adat muwakhi ini didasarkan atas dukungan niat yang luhur dan kemampuan dari kedua belah pihak guna penyelesaian konflik yang terjadi. Dalam bagian penting dari prosesi adat muwakhi itu  adalah tahap penegasan status/posisi mereka yang angkon muwakhi (angkat saudara) dalam suatu tatanan masyarakat adat setempat.
Karena peristiwa mewakhi berpedoman pada status hirarki dan status dalam keluarga dan masyarakat, maka pedoman awal yang digunakan adalah status pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Status pihak yang dimaksud adalah kedudukan pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adatnya, yaitu secara tegas apakah yang bersangkutan berstatus sebagai punyimbang marga, penyimbang pekon/tiyuh, penyimbang suku, atau masyarakat adat biasa yang berada di bawah salah satu status kepemimpinan/penyimbang adat.
Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Lampung telah teruji keampuhannya, paling tidak ketika proses perubahan dan konflik berlangsung, dapat diredam dengan mengingatkan dan mendarakan kembali bahwa mereka memiliki nilai-nilai falsafah hidup luhur sebagai masyarakat yang mengutamakan kerukunan.
Dalam rangka penanganan konflik yang selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola yang tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakay adat setempat, pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru, yaitu diantaranya konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka susulan yang sulit diprediksi. Ada beberapa alasan pentingnya merevitalisasi dan implementasi kearifan lokal angkon muwakhi tersebut, yaitu:

  1. Masyarakat adat Lampung nilai-nilai kearifan lokal  berupa tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
  2. Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
  3. Landasan adat kemuarian adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis  dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat. Masyarakat adat Lampung selalu terbuka, baik thdp sesama etnis Lampung maupun pendatang
  4. Maksud : tradisi penyelesaian konflik dg model angken muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yg terlibat konflik menjadi saudara angkat. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki ikatan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, tak ada dusta, dan hapus semua bentuk perselisihan.
  5. Dalam ikrar/sumpah/janji mewarei terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.
  6. adat mewarei ditetapkan melalui hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki DAYA IKAT yang relatif kuat dan sanksi yg cukup berat jika ingkar/dilanggar.
  7. Tujuan : Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Artinya, agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional.
  8. Bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yg sangat sakral dan agung itu
  9. Maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei sbg pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.

Langkah-langkah untuk membangun kearifan lokal adat muwakhi itu, maka para pemuka adat, masyarakat, dan tokoh agama secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kelompok warga masyarakat adat untuk memberikan pencerahan akan arti pentingnya adat muwakhi untuk menciptakan kerukunan intern dan antar warga. Kecuali itu agar masyarakat tidak terseret pada pemikiran sempit yang memanfaatkan konflik demi kepentingan pribadi dak golongan. Hal ini diharapkan dapat mencerahkan semangat baru kearifan lokal angkon muwakhi yang dapat memelihara dan membangun kerukunan masyarakat meski dalam suasana multikultural dan multietnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar