Selasa, 15 Agustus 2017

KEBUDAYAAN




 1.         Definisi Kebudayaan

Secara sederhana, kebudayaan dapat diartikans ebagai suatu cara hidup atau dalam bahasa Inggrisnya disebut “Way of life”. Cara hidup atau pandangan hidup itu meliputi cara berfikir, cara berencana dan cara bertindak, disamping segala hasil karya nyata yang dianggap berguna benar dan dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakat atas kesepakatan bersama.

Menurut Koentjaraningrat (1984), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”.  dengan demikian, kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”.  Ada pendirian lain mengenai asal kata “kebudayaan” ...bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budidaya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.

Dalam bukunya yang lain Koentjaraningrat (1974), mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan g,asan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.  Dalam upayanya mendefinisikan kebudayaan, ia mencoba memperlihatkan wujudnya dalam kehidupan masyarakat.  Paling tidak, wujud kebudayaan itu ada tiga macam yaitu:

1.     Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek  dari ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2.    Wujud  kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.    Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya  manusia.

Wujud pertama adalah wujud kebudayaan yang sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau digambar, sebag letaknya berada dalam kepala manusia; artinya wujud dalam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan itu tumbuh.  Akan tetapi, pada maka kini kebudayaan dapat dituangkan melalui tulisan, bahkan dapat disimpan dalam kartu atau file komputer, tape recorder, micro film dan sebagainya.  Kebudayaan semacam ini dapat juga berupa adat istiadat atau tata kelakuan; berarti kebudayaan merupakan segenap pengetahuan tentang pola-pola bertindak pola-pola berperasaan serta kemampuan berpikir yang dimiliki oleh segenap anggota masyarakat.

Pola-pola kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dapat berfungsi sebagai pengatur, pengawas dan dapat memberikan arah kelakuan serta perbuatan manusia sesuai dengan kehendak umum.  Studi tentang stratifikasi ataupun urut-urutan wujud kebudayaan ini dapat diperinci mulai dari lapisan yang paling abstrak sampai pada lapisan yang paling nyata (konkret) dan terbatas (terbatas artinya adat istiadat tidak selalu dapat diwujudkan secara konkret).  Pada lapisan pertama yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya, lapisan yang kedua adalah sistem  norma-norma yang sedikit lebih konkrit; sistem hukum yang berdasarkan norma-norma adalah lebih konkret lagi.  Lapisan ketiga yang paling konkret adalah peraturan-peraturan khusus mengenai kegiatan manusia sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, misalnya aturan sopan santun (adat istiadat), lapisan ini paling konkret tetapi masih terbatas pada ruang lingkup tertentu.

Wuju kebudayaan yang pertama nampak mirip dengan pengertian yang pernah dikemukakan oleh Paul B. Horton dan Robert L. Hunt (1971), yaitu kebudayaan diartikan sebagai segenap kompleksitas yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.  Pengertian ini cenderung oleh mereka disebut sebagai definisi kebudayaan sepenuhnya.

Wujud kedua, kebudayaan   sering disebut sebagai sistem  sosial yang meliputi pola-pola kelakuan manusia itu sendiri.  Menurut Tatang M. Amirin (1986), bahwa istilah sistem mempunyai pengertian sebagai berikut:

1.     Suatu hubungan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
2.    Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara bertahap.

Soleman B. Taneko (1986), mengatakan bahwa ciri khusus yang telihat pada tiap-tiap arti intern ini adalah terdapatnya unsur-unsur yang paling berkaitan atau hubungan dalam satu kesatuan.  Meskipun penjelasan ini secara khusus diperuntukkan dalam menghidupkan pengertian sistem dalam sistem sosial, akan tetapi daspat pula dijadikan pedoman untuk menyebut istilah-istilah kebudayaan dalam lingkup studi sosiologi.  Sistem sosial sendiri dalam kaitannya dengan wujud kebudayaan yang kedua dapat dipandang bahwa sistem sosial adalah segenap aktivitas-aktivitas   yang berinteraksi antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam masyarakat, dimana menunjukkan pola-pola tertentu atas dasar arti adat istiadat yang berlaku. Sebagai rangkaian akivitas manusia di dalam kehidupan masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret terjadi di sekeliling pergaulan sehari-hari, dan hal ini dapat didokumentasikan.

Wujud ketiga, kebudayaan dapat disebut dengan kebudayaan fisik, sebab secara keseluruhan merupakan benda sebagai hasil aktivitas, perbuatan-perbuatan atau karya-karya manusia dalam masyarakat.  Mensurut Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi (1964), bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.  Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material cultur) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menaklukkan dan menguasai alam dengan maksud mengambil manfaatnya demi keperluan kehidupan dan penghidupan masyarakat.  Rasa meliputi wujud dari jiwa manusia, yaitu segala norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas.  Yang termasuk di dalamnya misalnya idiologi, agama, kesenian, kebatinan dan semua anasir yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai nggota masyarakat.  Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir  dari orang yang hidup bermasyarakat, yang antara lain menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan, baik itu wujud ilmu pengetahuan murni maupun yang berwujud ilmu pengetahuan terapan untuk diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kebudayaan itu sesungguhnya dimiliki oleh setiap masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang terlepas dari kebudayaan; yang ada hanya  perbedaan latar belakang, perkembangan dan pemanfaatannya bagi kepentingan masyarakat, sehingga terjadi berbagai perbedaan kemajuan peradaban.

Bertrand memandang kebudayaan sebagai semua cara hidup (way of life) yang dipelajari dan diharapkan, yang sama-sama diikuti oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu.  Kebudayaan ini meliputi semua bangunan, perkakas,dan benda-benda fisik lainnya maupun teknik-teknik, lembaga-lembaga sosial, sikap-sikap nilai yang dikenal oleh kelompok tersebut.  Dari definisi ini orang dapat melihat bahwa kebudayaan itu tidak saja meliputi cara-cara berpikir dan berbuat yang dianggap benar oleh suatu kelompok masyarakat, melainkan juga meliputi hasil-hasil daya usaha yang bisa disaksikan dengan mata dan dapat diraba.

Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi (1964) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.  Karya masyarakat menghasikan teknologi dan kebudayaan kebendaan atay kebudayaan jasmaniah (kebudayaan material) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan pada keperluan masyarakat.

Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang aperlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas.  Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan.  Rasa dan cipta dapat juga disebut sebagai kebudayaan rohaniyah (spiritual atau immaterial culture).

Dari segi material mengandung karya, yaitu kamampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau hasil-hasil perbuatan manusia yang berwujud materi.  Sedangkan dari segi spiritual,  mengandung cipta yang  menghasilkan ilmu pengetahuan; karsa menghasilkan kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum dan selanjutnya rasa menghasilkan keindahan.  Jadi manusia berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui lotika, menyeasikan tingkah lakunya terhadap kaidah-kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika.  Hal itu semua merupakan kebudayaan.

Kluchohn, memperinci kebudayaan atas tujuah unsur yang dianggap sebagai cultrual universal yaitu:

1.    Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata alat-alat produksi, transportasi dan sebagainya).
2.    Mata pencaharian hidup dan sistem–sistem ekonomli (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3.    Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4.    Bahasa (lisan maupun tertulis).
5.    Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6.    Sistem pengetahuan.
7.    Religi (sistem kepercayaan).

Kebudayaan hanya ada pada kelompok-kelompok pergaulan hidup individu dalam masyarakat. Kebudayaan merupakan sarana manusia dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.  Roucek dan Warren mengatakan bahwa kebudayaan itu bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat olejh manusia.  Itulah sebabnya kemudian ia mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya.  Hal-hal tersebut adalah seperti pengumpulan bahan-bahan kebendaan, pola organisasi sosial, cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu pengetahuan.   Kepercayaan dan kegiatan lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.  Kemudian Roucek dan Warren menganggap bahwa kebudayaan adalah sebagai sumbangan manusia kepada alam lingkungannya.

Kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma dan adat istiadat berfungtsi mengatur agar manusia dapat memahami bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.

Sebagai perbandingan, berikut ini ditampilkan beberapa pendapat para ahli tentang definisi kebudayaan itu:

1.    Herskovits dan Malinowski memberikan definisi kebudayaan sebagai suatu yang superorganik.  Karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus atau berkesinambungan meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan karena irama kematian dan kelahiran.
2.    E.B. Taylor melihat kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.
3.    Roucek dan Warren mendifinisikan kebudayaan sebagai satu cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya.
4.    Hassan Shadily, kebudayaan berarti keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain kepandaian
5.    Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi mengemukakan bahwa kebudayaan itu adalahm semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
6.    C. Kluchohn mengemukakan batasan bahwa kebudayaan itu adalah seluruh cara hidup suatu masyarakat.
7.    Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Dari beberapa definisi kebudayaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui beberapa kesamaannya, yakni: pertama, kebudayaan hanya dimiliki oleh masyarakat manusia; kedua, kebudayaan yang  dimiliki manusia itu diturunkan melalui proses belajar dari tiap individu dalam kehidupan masyarakat; ketiga, kebudayaan merupakan pernyataan perasaan dan pikiran manusia.

Meskipun setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, akan tetai pada hakekatnya kebudayaan mempunyai sifat yang sama dan berlaku umum.  Soerjono Soekanto mengutip pendapat Robert M. Williams (jr), memperinci sifat hakekat kebudayaan atas empat bagian yaitu:

1.     Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perikelakuan manusia.
2.     Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3.    Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4.    Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Sifat hakekat kebudayaan merupakan inti kekuatan yang mengikat dan mengatur tindakan manusia dalam usaha pencapaian kehendak dan cita-citanya sesuai dengan kaidah-kaidah yang hidup dan diterima masyarakat secara umum.  Dengan demikian, berarti kebudayaan merupakan standar hidup bermasyarakat yang berfungsi sebagai pengatur hubungan manusia dalam setiap usaha mencapai keinginannya yang diikat oleh segenap nurani dan perasaan.

Menurut Soejono Soekanto (1982), bahwa apabila manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga kalau dia telah dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu yang menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain, hal mana juga merupakan fungsi daripada kebudayaan.  Akhirnya Seorjono Soekanto menyimpulkan bahwa fungsi kebudayaan adalah sangat besar bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah daripada segenap perasaan manusia.

2.    Nilai dan Norma Sosial

Nilai dan norma senantiasa berkaitan satu sama lainnya, walaupun keduanya dapat dibedakan.  Nilai sebagaimana pokok pembicaraan disini dapat disebut sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu objek, baik material maupun non material.

Dalam buku Pengantar Sosiologi karangan D.A. Wila Huky (1982), disebutkan ada sebelas ciri-ciri nilai sosial yaitu:

1.        Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi diantara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir.
2.        Nilai sosial ditularkan. Nilai yang menyusun sistem nilai diteruskan dan ditularkan diantara anggota-anggota.  Nilai ini dapat diteruskan dan ditularkan dari satu grup ke grup yang lain dalam suatu masyarakat melalui berbagai macam proses sosial, dari satu masyarakat serta kebudayaan kepada yang lainnya melalui akulturasi, defusi dan sebagainya.
3.        Nilai dipelajari.  Nilai dicapai dan bukan bawaan lahir. Proses belajar dan pencapaian nilai-nilai itu, dimulai sejak masa kanak-kanak dalam keluarga melalui sosialisasi.
4.        Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang disetujui dan yang telah diterima secara sosial itu menjadi dasar bagi tindakan dan tingkah laku, baik secara pribadi atau grup dan masyarakat   secara keseluruhan.  Nilai juga membantu masyarakat agar dapat berfungsi dengan baik.  Tanpa suatu sistem nilai, masyarakat akan menjadi kacau. Oleh karena itu, sistem nilai sosial dipandang penting oleh masyarakat, khususnya untuk pemeliharaan kemakmuran dan kepuasan sosial bersama.
5.        Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak dimana terdapat konsensus sosial tentang harga relatif dari objek dalam masyarakat.  Nilai-nilai secara konseptual merupakan abstraksi dari unsur-unsur nilai dan bermacam-macam objek di  dalam masyarakat.
6.        Nilai cenderung  berkaitan satu dengan yang lain secara komunal untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat.  Bila tidak terdapat keharmonisan yang integrasi dari nilai-nilai sosial, maka akan timbul problem sosial.
7.        Sistem-sistem nilai bervariasi antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola aktivitas dan tujuan serta sasarannjya.  Dengan kata lain, keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk dan fungsi yang saling berbeda, menghasilkan sistem-sistem nilai yang saling berbeda.
8.        Nilai selalu menggambarkan alternatif dan sistem-sistem nilai yang terdiri dari struktur ranking alternatif-alternatif itu sendiri, sehingga saling menyempurnakan dan mengisi, dalam menentukan ranking dari posisi atau level dari objek-objek yang ada.  
9.        Masing-masing nilai dapat mempunyai efek yang berbeda terhadap orang perorangan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
10.    Nilai-nilai juga melibatkan emosi.
11.    Nilai-nilai dapat mempengaruhi pengembangan pribadi dalam masyarakat secara positif maupun secara negatif.

Nilai biasanya diukur berdasarkan kesadaran terhadap apa yang pernah diketahui dan dialami, yaitu pada waktu seseorang terlibat dalam suatu kejadian yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun menrut anggapan masyarakat.

Abdul Syani (1994) mendifinisikan nilai sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang diinginkan atau yang tidak diharapkan; mengenai apa yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.  Alvin L. Bertrand (1980), menyatatakan bahwa nilai-nilai (dalam pengertian sebagai penggambaran kecenderungan terhadap apa-apa yang disukai dan apa-apa yang tidak disukai) akan kelihatan bila sistem-sistem sosial dipakai sebagai alat konsepsi di dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial.  Nilai-nilai itu merupakan sekadar salah satu bagian komponennya belaka.  Sedangkan konsep keyakinan merupakan kumpulan pikiran dan kepercayaan terhadap suatu fakta yang boleh atau tidak boleh untuk dibuktikan kebenarannya. Keyakinan, apabila tidak diterjemahkan sebagai nilai, maka ia tidak perlu diusut kebenarannya secara empiris.

Robin Wiliam menyebutkan empat buah kualitas dari nilai-nilai, yaitu:

1.     Nilai-nilai itu mempunyai sebuah elemen konsepsi yang lebih mendalam dibandingkan hanya sekedar sensasi, emosi agtau kebutuhan.  Dalam pengertian ini, nilai dapat dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman-pengalaman seseorang.
2.    Nilai- nilai itu menyangkut atau penuh dengan semacam pengertian yang memiliki suatu aspek emosi.  Emosi boleh jadi tak diutarakan dengan sebenarnya tetapi selamanya ia merupakan suatu potensi.
3.    Nilai-nilai bukanlah merupakan tujuan konkret dari pada tindakan, tetapi ia tetap mempunyai hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai kriteria dalam memilih tujuan-tujuannya tadi.  Seseorang akan berusaha mencapai segala sesuatu yang menurut pandangannya mempunyai nilai-nilai.
4.    Nilai-nilai tersebut merupakan unsur penting dan sama sekali tidak dapat diremehkan bagi orang bersangkutan. Dalam kenyataan terlihat bahwa nilai-nilai tersebut berhubungan dengan pilihan dan pilihan itu merupakan prasyarat untuk mengambil suatu tindakan.

Nilai yang diakui bersama sebagai hasil konsensus, erat kaitannya dengan pandangan terhadap harapan kesejahteraan bersama dalam hidup bermasyarakat.  Hal ini berarti nilai-nilai sosial dapat disebut sebagai ketentuan-ketentuan atau cita-cita dari sesuatu yang dinilai baik dan benar oleh masyarakat lus sebagai ukuran kebaikan atau pedoman hidup (way of life) yang cenderung   gdipertahankan.  Jika seseorang berperilaku menyimpang atau berbuat menurut ukuran nilai dirinya sendiri, maka ia akan menerima sanksi sosial atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat sekitarnya  Jadi nilai-nilai sosial merupakan kumpulan ukuran atas dasar perasaan bersama (in-group feeling) yang   dapat berfungsi sebagai petunjuk arah dalam rangka usaha mencapai tujuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Huky, ada beberapa fungsi umum dari nilai-nilai sosial, yaitu:  

1.     Nilai-nilai menyumbangkan seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan harga sosial dari pribadi dan grup.  Nilai-nilai ini memungkinkan sistem stratifikasi secara menyeluruh yang ada pada setiap masyarakat.  Nilai-nilai itu membantu orang perorangan untuk mengetahui tempat ia berdiri di depan sesamanya dalam lingkup tertentu.
2.    Cara-cara berpikir dan bertingkah laku secara ideal dalam sujumlah masyarakat diarahkan atau dibentuk oleh nilai-nilai.  Hal ini terjadi karena anggota masyarakat selalu dapat melihat cara bertindak dan bertingkah laku yang terbaik, dan ini sangat mempengaruhi dirinya sendiri.
3.    Nilai-nilai merupakan penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya.  Mereka menciptakan minat dan memberi semangat pada manusia untuk mewujudkan apa yang diminta dan diharapkan oleh peranan-peranannya menuju tercapainya sasaran-sasaran masyarakat.
4.    Nilai-nilai dapat berfungsi sebagai alat pengawas dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu. Mereka mendorong, menuntun dan kadang-kadang menekan manusia untuk berbuat yang baik.  Nilai-nilai yang dipandang baik dan berguna oleh masyarakat, menimbulkan perasaan bersalah yang cukup menyiksa bagi orang yang melanggarnya.
5.    Nilai dapat berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok dan masyarakat.

Dalam pandangan sosiologis, nilai-nilai sosial dapat langsung mempengaruhi segala aktivitas individu atau kelompok, terutama dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat sekelilingnya.  Oleh karena itu, nilai-nilai sosial dapat dijadikan ukuran dalam menentukan besar kecil atau tinggi rendahnya status dan peranan seseorang dalam kehidupan masyarakat.

Sementara itu, norma sosial lebih banyak menitikberatkan fungsinya sebagai peraturan-peraturan yang disertai sanksi-sanksi.  Sanksi merupakan ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terburuk atau terbaik untuk dilakukan.  Alvin L.  Bertrand (1980) mendefinisikan norma sebagai suatu standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat.  Ia mengatakan bahwa norma sebagai suatu bagian dari kebudayaan non-materi, dan norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisir dari tingkah laku.  Sudah barang tentu memang benar bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau baik; walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.

Norma-norma  tersebut biasanya oleh masyarakat dinyatakan dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat atau hukum adat.  Pada awalnya, norma terbentuk tidak disengaja; akan tetapi dalam proses sosial yang relatif lama, tumbuhlah berbagai aturan yang kemudian diakui bersama secara sadar.  Kekuatan daya ikat suatu norma tidak sama adanya dalam masyarakat, ada yang lemah dan ada pula yang kuat. Norma yang lemah sering dilanggar dan norma yang kuat dipatuhi sebagai mana hukum yang mengandung sanksi.  Jadi, norma-norma sosial berfungsi sebagai pengawasan sosial (social controle) terhadap perilaku individu; maksudnya agar hubungan sosial yang serasi dalam kehidupan masyarakat dapat terjamin.

Secara sosiologis, norma sosial merupakan rangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tingkah laku atau perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk, pantas atau tidak menurut penilaian sebagian besar warga masyarakat.  Dalam kehidupan sehari-hari, norma-norma sosial berfungsi sebagai alat kendali terhadap perilaku warga masyarakat agar tetap memihak pada peraturan atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku.  Norma sosial dianggap sebagai hukum kemasyarakatan diwujudkan dalam bentuk perintah dan larangan. Norma dalam bentuk perintah menunjukkan kaidah hukum yang dapat membawa manfaat jika dilaksanakan.

Sedangkan norma dalam bentuk larangan menunjukkan kaidah hukum yang dapat membawa bahaya atau kerugian jika dilanggar.  Setiap anggota masyarakat dapat menerima hukum masyarakat itu sebagai patokan kebenaran dalam berprilaku.  Hukum masyarakat atau norma sosial tidak sekedar berisi ancaman atau sanksi terhadap pelanggarnya, tetapi lebih menekankan pada kesadaran moral bahwa hukum itu merupakan kebutuhan hidup.  Dengan demikian, berarti norma-norma sosial itu merupakan hukum masyarakat yang dibentuk atas dasar kehendak bersama, kepentingan bersama, dilestarikan bersama dan dipatuhi bersama.

Menurut strata kekuatannya norma-norma sosial dapat diklasifikasikan atas empat tingkatan yaitu:

a.    Cara berbuat (usage)
Norma yang disebut “cara” hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibandingkan norma yang lainnya.  Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungan antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat.  Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya mendapatkan sanksi-sanksi yang ringan, seperti celaan dari individu lain yang dihubunginya.  Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tesebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan berdiri dan sebagainya.
 
b.    Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways).
Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama.  Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara.  Kebiasaan merupakan suatu indikator kalau orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu yang dilakukan seseorang.  Misalnya bertutur sapa lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau kebiasaan mengucapkan salam setiap bertemua orang lain dan sebagainya. 

c.    Tata kelakuan
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berprilaku.  Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawasa kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya.  Tata kelakuan mempunyai kekuatan memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan.  Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan masyarakat dari pergaulan bahkan mungkin terjadi pengusiran dari tempat tinggalnya.

d.   Adat istiadat (custom).
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras.  Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapatkan sanksi  hukum, baik formal maunpun informal.  Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum.  Misalnya pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencara kerja dan sebagainya.  Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang, atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat.  Misalnya dalam kasus yang sama, seorang yang diketahui (atau tertangkap basah) melakukan pemerkosaan, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan untuk selamanya atau diusir dari tempat tinggalnya untuk tidak kembali atau dapat juga dilakukan pemutusan hubungan keluarga dan lain-lain.  Pada masyarakat tertentu, untuk memulihkan nama baik yang tercemar diperlukan suatu upacara adat yang tidak sedikit mengeluarkan biaya.

Norma-norma sosial, seperti cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat-istiadat, kesemuanya merupakan aturan perilaku kehidupan sosial yang bersifat kemasyarakatan.  Menurut David Berry (1983), sifat kemasyarakatan ini  adalah bukan saja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial, tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan masyarakat.

Kesepakatan masyarakat terhadap norma-norma yang melembaga tersebut menurut Abdul Syani (1994) adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan masyarakat.  Seseorang yang telah menjiwai norma biasanya selalu mengutamakan kepuasan dalam setiap bertindak untuk mencapai tujuan sosialnya, sebagaimana orang lain melakukan sesuatu dengan patokan yang sama.  Jika ia melakukan sesuatu menyimpang dari patokan kepuasan umum, maka warga masyarakat lainnya sudah siap untuk menerapkan sanksinya sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar