Sabtu, 23 November 2013

MULTIKULTURALISME LAMPUNG: PENGHARGAAN ATAS KEARIFAN LOKAL UNTUK MENCIPTAKAN STABILITAS DAERAH

MULTIKULTURALISME LAMPUNG:
PENGHARGAAN ATAS KEARIFAN LOKAL
UNTUK MENCIPTAKAN STABILITAS DAERAH*

Oleh:
Drs. Abdul Syani, M.IP.**

Multikulturalisme di Lampung
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman (plural) atau ragam perbedaan kebudayaan. Masyarakat Multikultural (multicultural society) adalah masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Dapat pula diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Masyarakat multikultural terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, golongan, dll yang hidup dalam suatu kelompok dan menetap di wilayah tertentu. Setiap masyarakat menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat multikulturalisme merupakan masyarakat yang paham bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.
Ciri-ciri masyarakat multikultural menurut  Pierre van den Berghe  (http://sosialsosiologi.blogspot.com/2013/01/masyarakat-multikultural.html):
a. Segmentasi (terbagi) ke dalam kelompok-kelompok
b. Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama)
c. Sering mengalami konflik
d. Integrasi sosial atas paksaan
e. Dominasi (penguasaan) suatu kelompok atas kelompok lain.
Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat La mpung adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.
____________________________________
* Disampaikan pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional bagi Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Elemen masyarakat di Provinsi Lampung oleh Badan Kesbangpol dengan tema ”Meningkatkan Kewaspadaan nasional melalui deteksi dini, cegah dini, dan kewaspadaan dini demi tercapainya suawana kondusif di Provinsi Lampung, di Hotel Andalas Permai Jl.S.Parman, Bandar Lampung pada tanggal 25 Juni 2013
** Dosen Sosiologi Fisip Universitas Lampung.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka, sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai. Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun. Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.
Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi "Sumpah Pemuda", dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.

Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Keragaman (pluralitas) masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat Lampung.
tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan. Pluralisme dapat dijadikan wahana produktifitas hubungan sosial antar anggota masyarakat, di mana masing-masing pihak dapat menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara bersahabat, tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa setiap golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, dan kebutuhan-kebutuhannya yang tidak tergantung dari ukuran status atau keahliannya, melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu sikap kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong siapa saja, dan keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, ras dan golongan, kelompok dan berbagai identitas lainnya.

Berikut adalah distribusi kelompok etnis di Lampung: Lampung, Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga keturunan, dan Warga asing (China, Arab, dll). Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) kelompok adat, yaitu: masyarakat adat Lampung Sai Batin dan masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung yang disebut ”Sang Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut.

Masyarakat adat Sai Batin terbagi dari ragam marga (teritorial) atau kebuwaian (garis keturunan), diantaranya:

Sai Batin Marga 5 (lima) Kalianda dan sekitarnya, yang terdiri dari:
Marga Ratu
Marga Legun
Marga Rajabasa (2 Kepenyimbngan Adat)
Marga dantaran (2 Kepenyimbangan Adat)
Marga Katibung (Menyata, Pubian)
Sai Batin Marga Lunik
Sai Batin Marga Balak
Sai Batin Marga Bumi Waras Teluk Betung
Sai Batin Punduh (7 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Pedada (8 Kepenyimbangan Adat)
Sai Batin Way Lima
Sai Batin Kedundung
Sai Batin Gedung Tataan
Sai Batin Ratai (Sanggi Padang cermin)
Sai Batin Kelumbayan (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Talang Padang
Sai Batin Marga Pertiwi (dari Paksi Keratuan Semaka)
Sai Batin Kuta Agung dan sekitar
Sai Batin Marga Way Sindi
Sai Batin Ngaras dan Bengkunat
Sai Batin Way Suluh
Sai Batin Ngambur
Sai Batin Pugung
Sai Batin Penggawa Lima (Pesisir Tengah)
Sai Batin Kuripan (Pesisir Utara)
Sai Batin Sukau (Liwa)
Sai Batin Buway Nyerupa (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Pernong (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Belunguh (Paksi pak Skala Brak)
Sai Batin Buway Lapah di Way (Paksi pak Skala Brak)
Buway Buay Tumi (keterangan pangeran Syafei Kenali, Buway yang terlibat dalam mendirikan Paksi Pak Skala Brak)
Buay Sandang (idem)
Buay Rawan (idem)
Buay Runjung (idem)
Buay Nerima (dari istilah Paksi Pak ke Lima, Buay Nerima = keturunan Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan Luas/nama wilayah/riwayat tersendiri)
Sai Batin Liwa, Kenali, Belalau dan Tiyuh sekitar
Sai Batin Paksi Keratuan Semaka:
Marga Benawang (terdiri dari 4 kebandaran):
Marga Limau
Marga Badak
Marga Putih
Marga Pertiwi
Marga Kelumbaiyan (Sutan Syah Marga)
Pekon Unggak
Pekon Susuk
Pekon Negeri
Pekon Sukarame
Pekon Limbungan
Pekon Tanjung Agung
Pekon Sukabandung
Marga/Buway Belunguh (asal Blunguh)
Marga Ngarip (Ngakhip)
Marga Pematang Sawa
Sai Batin Tanjung Bintang, Merbau Mataram dan sekitar
Sai Batin Keratuan Melinting (Maringgai, Wana, Tebing) dan Marga Sai batin lain-lain...

Sedangkan kelompok masyarakat adat Pepadun juga terbagi dalam ragam marga atau kebuwaian adat budaya yang berbeda, yaitu diantaranya:
Pepadun Abung Siwo Mego (sembilan marga), yang terbagi dalam 9 (sembilan) marga dan kebuwaian, yaitu:
Nuban
Nunyai
Unyi
Anak Toho
Nyerupo
Selagai
Beliyuk
Kunang
Subing
(ditambah Pepadun marga Manik yang berkedudukan di Negara ratu Suka dana)
Pepadun Mego Pak (empat marga), yang terdiri dari 4 (empat) marga dan kebuwaian, yaitu:
Bolan (bulan)
Tegamo’an
Aji
Suwai Umpu
Pepadun Pubian Telu Suku , terdiri dari 3 (tiga) suku yang setara dengan marga dan kebuwaian, yaitu:
Manyarakat (banyarakat/manyakhakat)
1. Buay Kediangan
2. Buay Manik
3. Buay Nyurang
4. Buay Gunung
5. Buay Kapal
6. Buay Selagai Jurai Rawan
Tambapupus
1. Buay Nuwat
2. Buay Pemuka Pati Pak Lang
3. Buay Pemuka Menang
4. Buay Semima
5. Buay Pemuka Halom Bawak
6. Buay Kuning
Buku Jadi (bukuk jadi)
1. Buay Sejadi
2. Buay Sejaya
3. Buay Sebiyai
4. Buay Ranji
5. Buay Kaji
6. Buay Pukuk
Buway Gunung (Kampung Negerisipin, sekitar Way sekampung bagian hulu, keturunan dari Pubian Manyarakat)
Buway dari suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan:
1. Lebar Daun
2. Anak Dalam
3. Serang
4. Naga Barisang
5. Dayang
6. Rakihan (Ratu Di Belalaw/diperkirakan dari Pagaruyung)
Kebuwayan yang datang dari Pagaruyung Laras ada 2 (dua) empu, selain rakihan, yaitu:
1. Empu Cangih (bergelar RAtu Di Puncak)
2. empu Serunting (bergelar Ratu Di Pugung)
Buay Balam (Keturunan dari Poyang Sakti, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Buay Nuwat ((Keturunan dari Poyang Serata Di Langik, dari persekutuan ”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan Poyang Kuasa)
Pepadun 5 (lima) marga Way Kanan dan Sungkai, secara garis besar terdiri dari beberapa marga dan kebuwaian, yaitu antara lain:
Marga Semenguk
Marga Pemuka (Pengiran Udik, Pengiran Ilir, Pengiran Tuha, Bangsa raja)
Barasatti (Barasakti)
Baradatu (Tiyuh Balak, Way kanan)
Bahuga.
Kecuali itu ada pula marga-marga lain yang telah hidup sejajar dengan jurai Pepadun lainnya yang tersebar di wilayah Tanah Abang, Negeri Ujungkarang, dan sekitarnya, yaitu antara lain:
Harayap (Sukadana Ilir, Udik, Sungkai Selatan)
Debintang (Bandar Agung, Sungkai Selatan)
Si Gajah (Negara Tulang bawang, Sungkai Selatan)
Si Lembasi (Tanah Abang)
Si Reja (Perja) Negeri Ujungkarang
Liwa (kuta napal, Sungkai Selatan)
Buway Silamayang (di sekitar daerah Way Besai)
Buway Menyata (keturunan dari perkawinan Minak Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
Marga/Negeri Balau (Dari Persekutuan Hukum Adat Lampung Abung Kota Tanjungkarang/Telukbetung dan Lampung Selatan):
a. Buway Turgak (Kampung Rajabasa, gedungmeneng, Labuhan ratu. Anak dari Minak
     Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
b. Buway Manik (Kampung Rajabasa, Gedungmeneng, keturunan dari Pubian suku
     Manyarakat)
c. Buway Selagai runjung (Gedungmeneng)
     13. Marga-marga lain dan sub-sub Marga yang belum tersebutkan....
Provinsi Lampung yang oleh karena keragaman suku dan adat budayanya seringkali dijuluki "Indonesia Mini". Hal ini karena di sini hidup beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama dan ras. Kabupaten Lampung Tengah merupakan contoh representatif memenuhi syarat ini karena dihuni oleh berbagai suku di Indonesia, seperti suku Bali eks transmigran, misalnya di Seputih Raman, Seputih Mataram, dan Seputih Surabaya. Sedangkan suku Lampung menetap antara lain di Terbanggi Besar, Gunung Sugih, dan Blambangan Pagar, dan suku Jawa menyebar merata di seluruh wilayah itu. Tiga suku itu (Bali, Jawa, Lampung) merupakan mayoritas di Lampung Tengah. Interaksi tiga suku melahirkan satu basis sosial baru, yakni kelas pedagang di Bandarjaya. Proses pembauran (inkulturasi) Jawa dan Lampung berlangsung cepat.

Sementara itu pada wilayah lain menyebar juga Suku Padang, Batak, Semendo (Sumsel), Bugis, Banten, Lombok, Madura hingga warga keturunan, juga eksis di provinsi Lampung. Berbagai kesenian, seperti Barong Sai, Reog Ponorogo atau kesenian Jawa, tari-tarian adat Lampung dan atraksi kesenian lainnya sering saling mengisi seremoni sosial, baik formal maupun informal.

Akan tetapi faktanya masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat. Adanya diversitas (keragaman) ini sangat mungkin menimbulkan ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang enggan untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis dan budaya.

Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat bertahan tanpa konflik, kebersamaan dalam konteks Sang Bumi Ruwa Jurai dapat goyah jika kepentingan sepihak diantara mereka makin ekstrim, nilai-nilai budaya asli dibangun dan ditonjolkan terhadap kelompok yang lain, terjadi persaingan di bidang usaha, atau salah satu kelompok mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu seringkali berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual maupun kolektif. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan.

Dalam kenyataannya Pluralitas budaya di Lampung tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak, kendati masih banyak kalangan yang masih bersikap anti pluralitas karena dianggap dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Sekalipun masing-masing pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua bisa mewujudkan secara bebas keberadaannya dengan hubungan sosial terbuka saling menghargai; masih ada saja pihak yang tidak rela atas keberadaan kelompok lain.

Nilai-nilai Kearifan Lokal Piil Pesenggiri dalam kehidupan masyarakat Lampung

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

     a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lai

     c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.

Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari symbol-ssimbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik atau bangsa.

Penghargaan atas Nilai-nilai Kearifan Lokal
Sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri itu perlu adanya upaya revitalisasi, sosialisasi, pemahaman, penghayatan, penjiwaan dan aktualisasi elemen2 piil pesenggiri dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian diharapkan upaya menciptakan perdamaian, kesatuan dan kerukunan dalam rangka memelihara stabilitas darah dan jauh dari ancaman konflik dapat lebih efektif.

Untuk menghargai nilai-nilai luhur kearifan lokal, maka mau tidak mau segenap warga Negara harus menggali, memelihara, menjiwai dan mengamalkan (menerapkan) nilai-nilai Piil Pesenggiri dalam rangka meningkatkan stabilitas daerah. Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Ada beberapa bentuk penghargaan atas nilai-nilai kearifan lokal untuk menciptakan stabilitas daerah, yaitu:
Mengermbangkan Sikap Toleransi dan empati. Toleransi adalah sikap rela menerima dan menghargai perbedaan dengan pihak lain. Empati merupakan sikap mau merasakan pikiran dan perasaan orang lain. Sikap toleran dan empati sangat penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat multicultural. Dengan pengembangan sikap toleransi dan empati sosial, diharapkan masalah-masalah yang timbul akibat atas keberagaman sosial budya akan dapat dikendalikan, sehingga tidak terjadi pertentangan sosial yang dapat mengancam stabilitas daerah.
Mengembangkan Sikap disiplin. Dalam upaya menghargai nilai-nilai kearifan lokal harus memiliki kepribadian dengan sikap dan perilaku disiplin, keterbukaan, tertib dijalan raya, rapi dalam berbusana, mandiri dalam kehidupan, sikap menghargai waktu, sikap positif dalam olah raga, dan sejenisnya. Sikap dan perilaku hidup tertib dan disiplin sangat berguna untuk membina moral dan mentalitas masyarakat lokal.
Meningkatkan kewaspadaan terhadap masuknya nilai-nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter budaya daerah.
Mengembangkan budaya daerah melalui pendekatan multi kulturalisme berdasarkan nilai –nilai Falsafah hidup piil pesenggiri dengan senantiasa bercermin pada sejarah perjuangan lokal.
Mensosialisasikan dan mencari solusi terhadap pengaruh negatif globalisasi pada nilai-nilai budaya lokal.
Mengaktualisasikan budaya kepemimpinan yang menjiwai nilai-nilai piil pesenggiri yang diharapkan mampu memelihara stabilitas kesatuan, keamanan dan kerukunan warga daerah.
Mengakulturasikan budaya asli (sang bumi ruwa jurai), budaya etnis pendatang, dan budaya asing untuk pembentukan budaya daerah yang mendukung stabilitas sosial budaya daerah, sehingga terhindar dari konflik.
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tugas dan fungsi birokrat, pemimpin daerah untuk memfasilitasi dan mendukung pengembangan budaya daerah.
Memberikan pengamanan (Regulasi) dan koordinasi antar pihak untuk mencapai keselarasan tindakan dalam upaya mendeteksi, mencegah dan menangkal kemungkinan pengaruh negatif masyarakat multicultural dan pengaruh globalisasi.
Meningkatakan pembinaan terhadap pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarga-negaraan secara nyata dengan meningkatkan pemahaman dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan budaya, baik formal maupun informal dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dini agar terpeliharanya stabilitas daerah.
Mengaktualisasikan nilai-nilai budaya lokal yang sarat dengan prinsip-prinsip hidup, seperti : merevitalisasi, menjiwai dan mengemplementasikan adat pepung (rembug desa), adat manjau, warahan, dan seni suara yang mengandung pesan kehidupan.

REFERENSI:

Abdul Syani, 2007. SOSIOLOGI Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.
__________, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/
_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Pierre van den Berghe, 2013:  (http://sosialsosiologi.blogspot.com/2013/01/masyarakat-multikultural.html)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar