Minggu, 25 November 2018

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA*


IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI
DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA*
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**


I.  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG 

Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh,  Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial yang berlaku.

Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. ________________________
*     Disampaikan pada kegiatan pembekalan Kulaih Kerja Nyata (KKN)  Mahasiswa berbasis Kebngsaan Di Pangkalan TNI AL (LANAL) Lampung, Piabung, Kab. Pesawaran, tanggal 25 Juni 2018
**   Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.

Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada  kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.

Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, di mana  masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan  Piil Pesenggiri  merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk  meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.

Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.

Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan, dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.

Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak. Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak­lanjuti arah perubahan kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak yang dikorbankan.

II.   IMPLEMENTASI  KEARIFAN LOKAL LAMPUNG PIIL PESENGGIRI  

1.  Pengertian Kearifan Lokal

Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).

2.  Implentasi Piil Pesenggiri

Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki  Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.

Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.

Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),  dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).

Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan  mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.

Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif  kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).

Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. Demikian juga sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan kampus, mereka memiliki tanggungjawab moral selama memikul statusnya agar dapat diimplementasikan sesuai dengan peranannya. Sebagai mahasiswa, bertanggungjawab dengan peranannya dalam belajar mengejar prestasi. Demikian juga dosennya harus mampu memberikan pencerahan dan membangun semangat mahasiswa asuhannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat
kampus dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian budaya akademik. Sivitas akademika memiliki jiwa piil pesenggiri dengan wujud keperdulian terhadap upaya meningkatkan prestasi akademik, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti
sivitas akademika dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar dalam beriteraksi di kampus; mampu bergaul, berpartisipasi dalam segala kegiatan kemahasiswaan, akademik dan administrasiarti secara santun sikap perbuatan dan tutur kata. Makna yang lebih dalam sebagai masarakat kampus adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat
kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM., khususnya di dunia kampus. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi kehidupan kampus dari segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan ikatan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, diharapkan perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas kekuasaannya di kampus demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, dapat dihindari.

III.   SUMBER DAYA NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI DALAM MEMBANGUN
        KEMANDIRIAN DESA

Piil pesenggiri  artinya rasa harga diri dan martabat yang mulya, Da;am prakteknya seseorang harus mampu berperan memperjuangkan status terhormat di tengah-tengah masyarakat. Berarti dalam usaha mencapai kehormatan hidup harus diikuti semangat kerja keras berdasarkan standar moral dan prinsip kebenaran, yang menghasilkan prestasi yang bermanfaat bagi publik.

Berkaitan dengn upaya membangun kemandirian desa, berarti mampu menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan sumber dayanya sendiri, tanpa tergantung dengan pihak manapun, tak terkecuali terhadap instansi-instansi, lembaga dan pemerintah. Dalam hal ini sangat relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, yaitu dengan semangat juang usaha untuk mencapai status hidup yang bermartabat terhormat, maka konsekuenasinya harus mampu membangun kemandirian desa demi tujuan tersebut, Pemerintah Desa dan masyarakat desa berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola potensi desa dengan Sumber dayanya sendiri, jika tidak, maka memurut prinsip piil pesenggiri, pimpinan dan segenap masyarakat desa akan menanggung malu.

Demikian juga dengan implementasi unsur-unsur Piil Pesenggiri Bejuluk-beado (bernama dan bergelar adat). Dengan diberikankannya gelar adat terhadap penyimbang dan masyarakat adat, berarti pemangkunya betrkewajiban menerapkan sikap perilaku sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, orang yang menyandang gelar adat ataupun gelar formal pendidikan, harus mampu berbuat sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang terkandung dalam gelar itu secara ideal. Dengan gelar adat seseorang harus mampu memberi teladan dalam sikap perilaku, dan  memotivasi masyarakat dalam aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya menunjukkan kemampuan mengatur rumah tanga desanya sendiri dengan sumber dayanya sendiri dalam menciptakan kemandirian desa  Sanksi sosial bagi seseorang yang ingkar terhadap tanggungjawabnya gelarnya, maka ia akan di caap sebagai orang yang tidak punya malu..

Implementasi unsur Piil Pesenggiri Nemui-nyimah, yang mengandung pengertian ramah dan terbuka terhadap tamu dan masyarakat denan tidak membedakan asal usul, suku, agama, ras dan antar golongan.. Hal ini erat kaitannya dengan penegakan prinsip transparansi/keterbukaan, keteraturan, ketertiban, persatuan, toleransi dan empati dalamm kehidupan masyarakat desa. Dengan prinsip-prinsip ini sangat penting fungsinya dalam mendorong sumber daya masyarakat untuk dapat berejasama dan bekerjasama dalam upaya membangun kemandirian desa. Dengan prinsip nemui-nyimah, maka pemimpin, tokoh desa dan masyarakat desa diharapkan mampu mewujudkan kemandirian desa..

Unsur Nengah-nyappur yang mengandung arti suka bergaul, suka berbaur di tengah-tengah masyarakat dalam segala kegiatan dan suka ikutserta dalam penyelesaian masalah sosial. Dengan prinsip nemui-nyimah merupakan semangat suka bekerjasama, kepedulian dan suka berpartisipasi dalam kegiatan pemecahan masalah masyarakat berdasarkan  nilai solidaritas sosial yang tinggi antar sesamanya. Prinsip nemui-nyimah ini sangat pentinginya sebagai sumer daya masyarakat dalam kegiatan membangun kemandirian desa, khususnya mewujudkan kesejahteraan masyarakay desa.

Unsur Sakai-sambayan yang mengandung arti suka melakukan kegiatan tolong menolong dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan sakay-sambayan merupakan  partisipasi, rasa kepedulian dan solidaritas terhadap sesama anggota masyarakat setempat, baik dalam kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana prinsip sakay-sambayan, maka pimpina , tokok dan masyarakat desa akan merasa kurang terpandang jika tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan desa. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi secara suka rela dalam kegiatan membangun desa tanpa tergantung dengan pihak-pihak lain. Segebap pimpinan,Tokoh dan masyarakat desa yang memahami nilai-nilai karifan loal sakay-sambayan memiliki semangat dan kehendak yang tinggi untuk melakukan pekerjaan membangun kemandirian desa, karena mereka merasa malu dan akan kehilangan kehormatan jika tidak mampu berpartisipasi dalam memberi pertolongan dan kegiatan gotong royong. Dengan demikian prinsip sakay sembayan di lingkungan desa sangat berguna untuk menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong dalam bekerja untuk menciptakan kemandirian desa.

IV.  SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan  dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan, khususnya masyarakat dea.

Khususnya dalam rangka upaya mewujudkan kemandiriandesai, berarti harus memiliki kemampuan menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan sumber dayanya sendiri. Dalam hal ini sangat relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, yaitu dengan semangat juang atas kehormatannya, maka harus mampu mewujudkn desa mandiri, Pemerintah Desa dan masyarakat desa berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola potensi desa dengan Sumber dayanya sendiri, jika tidak, maka pimpinan dan segenap masyarakat desa akan menanggung malu.

Untuk mewujudkan cita-cita kemandirian desa, perlu keterbukaan dan kejujuran dalarn setiap aktualisasi program pembangunan desa dalam rangka menciptakan kemandirian desa, sesuai dengan standar nilai-nila piil pesenggiri bersama dengan 4 (empat) unsurnya. Nilai-nilai budaya budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai nemui-nyimah (keramahtamahan) yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Piil pesenggiri sebagai sumber nilai ketulusan perlu dijadikan modal dasar bagi tokoh dan masyarakat desa, hususnya dalam proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses membangun kemandirian desa dapat dicapai dengan mudah tanpa hambatan yang berarti.


REFERENSI

_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar