Senin, 18 April 2016

PERSPEKTIF KULTURAL MASYARAKAT ADAT SAIBATIN LIMA MARGA LAMPUNG SELATAN

PERSPEKTIF KULTURAL
MASYARAKAT ADAT SAIBATIN LIMA MARGA
LAMPUNG SELATAN
Oleh: Abdul Syani, Drs., M.IP.


Secara kultural, masyarakat adat Lampung Saibatin terdiri dari kesatuan-kesatuan hidup yang diatur oleh peraturan-peraturannya sendiri yang lahir dari norma-norma sosial dan hukum adat yang hidup berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Eksistensi institusi perwatin adat merupakan wadah pimpinan adat dalam setiap musyawarah yang berkaitan dengan urusan adat. Seorang pimpinan adat mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan dari hasil musyawarah. Kewenangan dan kebijakannya secara internal dipatuhi secara sadar sebagai kebutuhan dasar yang dapat mengatur dan melindungi stabilitas hubungan sosial antar warga, termasuk keserasian hubungan masyarakat dengan alam sekitar. Karakteristik masyarakat adat Lampung Saibatin dalam perkembangannya lebih menekankan pada konsensus dalam upaya penyerasian terhadap berbagai kepentingan dan tuntutan jaman.

Masyarakat adat Lampung Saibatin di Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam perubahan perjalanan sejarahnya sampai sekarang masih memiliki keterikatan terhadap adat istiadat dan tradisi komunitas setempat sebagai warisan budaya leluhur mereka. Meskipun dalam proses prakteknya tidak sepenuhnya sesuai dengan tradisi murni, akan tetapi sebagian tahapan upacara adat masih dipatuhi sebagai pedoman hukum adat. Di antara pelaksanaan upacara adat itu adalah upacara adat kelahiran, perkawinan, penobatan penyimbang baru, pembangunan rumah, upacara-upacara adat yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa adat, upacara adat pengukuhan pertalian saudara (mewari) antar anggota masyarakat yang berlainan garis kebiwaian (keturunan), dan upacara adat yang berkaitan dengan kematian. Begitu juga dalam penerapan falsafah hidup fiil pesenggiri, masyarakat setempat masih nampak terikat dengan hukum adat, khususnya yang berhubungan dengan pengaturan perilaku dalam rangka mempertahankan kehormatan melalui keramahan sikap, adaptasi pergaulan, perilaku saling menolong dan bergotong royong.

Masyarakat adat setempat masih memiliki pola pergaulan hidup dengan prinsip musyawarah untuk mufakat. Prinsip ini sangat relevan untuk digali dan dilestarikan sebagai upaya pemberdayaan nilai-nilai budaya dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan daerah. Dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat adat setempat pada dasarnya cenderung mengedepankan terciptanya kerukunan, keserasian dan keselarasan pergaulan hidup. Meskipun budaya masyarakat setempat masih bersifat tradisional, namun tidak statis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukung hukum adat itu sendiri.

Oleh karena kebudayaan nasional merupakan puncak dari kebudayaan daerah, maka kebudayaan masyarakat daerah Lampung pada umumnya amat strategis untuk diberdayakan dan dikembangkan sebagai upaya pelestarian aset budaya nasional agar masyarakat adat Lampung dapat ikutserta dalam proses pembinaan, pembentukan dan pembangunan moral bangsa. Upaya ini perlu dilakukan dengan pembenahan dan penataan kembali idealisme kebudayaan daerah agar terhindar dari ancaman kepunahan, kekeliruan persepsi terhadap nilai-nilai budaya dan pergeseran perlakuan terhadap karya-karya budaya masyarakat adat Lampung. Pembenahan dan penataan kembali idealisme kebudayaan daerah ini dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginformasikan nilai-nilai budaya secara obyektif, terarah dan terpadu. Dengan demikian, maka aset adat budaya masyarakat Lampung Saiabatin khususnya dapat dikenali dan dimanfaatkan sebagai mediasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan obyek wisata budaya, pendidikan dan kegiatan pembangunan sosial ekonomi.

Masalahnya sekarang adalah nampak gejala-gejala kepudaran dan perubahan persepsi terhadap nilai-nilai dan karakteristik budaya masyarakat adat Lampung, terutama bagi generasi muda pada umumnya. Nampak mereka belum cukup mampu untuk memahami makna dan fungsi budaya yang ada, sehingga dalam proses pewarisan nilai-nilai budaya setempat seringkali bertentangana dengan tuntutan modernitas sosial yang melingkupinya. Masyarakat luarpun mengalami kesulitan dalam mempelajari adat istiadat masyarakat Lampung, lantaran belum ditemukannya standar karakteristik budaya, kemajemukan latar belakang keturunan, dialek dan perilaku. Hal ini mungkin disebabkan rendahnya efektivitas sosialisasi pewarisan nilai budaya, penyimpangan kreasi, pemaknaan yang subyektif, dan proses adopsi budaya yang serampangan.

Sehubungan hal itu, maka dirasakan cukup mendesak untuk melakukan penggalian dan pemberdayaan potensi budaya masyarakat adat Lampung melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan identifikasi profil budaya masyarakat adat Lampung Saibatin di Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai budaya masyarakat adat setempat, diperlukan langkah-langkah inovatif, baik  dalam melakukan pendekatan, maupun penggalian terhadap sumber daya sosial budaya masyarakat. Upaya ini merupakan tataran strategi sosial budaya dalam upaya mempertahankan stabilitas sosial dan kepastian hukum tentang pola pembangunan daerah yang berwawasan budaya sebagaimana diharapkan.

Meneurut kerangka pemikiran Clyde Kluckhonhn (dalam Kuntjaraningrat, 1984), bahwa semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia ini, sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu:

mengenai hakekat dari hidup manusia;
mengenai hakekat dari karya manusia;
mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu;
mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Dalam upaya pemeliharaan nilai-nilai budaya dan hukum adat lebih bersifat internal, yaitu senantiasa mempertahankan dan mengutamakan kepentingan masyarakat adat dengan prinsip kemandirian dalam penggalian potensi daerah atas kekuasaan dan kekayaan lokal. Masyarakat adat setempat sebagian besar masih tetap hidup dengan hukum adatnya sendiri, baik berdasarkan ikatan teritorial maupun geneologis. Dalam kelompok masyarakat adat memiliki tradisi internal yang amemungkinkan lebih dekat dengan nilai-nilai sosial dan norma hukum adatnya. Khususnya generasi tua masyarakat adat Lampung Saibatin sampai saat ini masih tetap mempertahankan institusi tradisional sebagai simbol adat budaya. Hal ini dapat diketahui dari sikap perilaku dan sistem kepercayaan dalam berbagai kegiatan hubungan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Sebagian besar tradisi dalam proses musyawarah dan begawi adat, sampai sekarang masih dipertahankan sebagai suatu bagian kepentingan untuk mencapai keselarasan hidup. Perilaku sopan santun, ramah tamah dalam proses tegus sapa antar anggota masyarakat merupakan kelaziman dalam institusi adat, terutama sebagai wahana dalam acara musyawarah untuk mufakat. Hal ini menunjukkan bahwa profil budaya masyarakat adat Lampung berkaitan erat dengan peranan tokoh adat, khususnya dalam penanganan masalah sosial budaya. Oleh karena itu potensi budaya dan hukum adat setempat perlu ditemukenali untuk kemudian dapat dikembangkan menjadi aset daerah sebagai kerangka dasar pola pembangunan daerah Lampung, baik dalam rangka pelestarian hukum adat dan budaya, maupun sebagai sumber motivasi dalam kegiatan pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang berwawasan budaya.

Koentjaraningrat (1984) menegaskan bahwa secara ideal kebudayaan dapat disebut sebagai adat tatakelakuan atau adat istiadat. Kebudayaan berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Ada tiga wujud kebudayaan yang mengatur kehidupan manusia pada umumnya, yaitu:

sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya;
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sehubungan dengan awal bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah, khususnya bagi masyarakat adat Lampung dalam proses sosialisasinya nampak kurang motivasi secara optimal, sehingga relatif banyak generasi muda yang kurang memahami budayanya sendiri. Ada kecenderungan wilayah pemerintahan administratif formal, tumpang tindih dengan garis batas kebuwaian yang tersebar dan berdomisili pada wilayah-wilayah lain di luar batas wilayah administratif dan bercampur pula dengan masyarakat pendatang.

Pada sisi lain, eksistensi budaya dan tokoh-tokoh adat masyarakat Lampung Saibatin sebagian besar belum dijadikan dasar pertimbangan dalam segala kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan program pembangunan daerah. Kenyataan ini dimungkinkan karena rendahnya efektivitas sosialisasi pewarisan nilai budaya, penyimpangan kreasi, disinterpretasi pemaknaan terhadap norma hukum adat setempat. Akibatnya masyarakat semakin kehilangan pedoman dalam upaya mengenal idealisme budayanya sendiri. Perubahan-perubahan makna kebudayaan asli pada umumnya sebagai akibat dari proses adopsi kebudayaan luar secara besar-besaran tanpa filter yang adaptif. Perubahan-perubahan makna ini mendorong generasi muda untuk mengurangi penghayatan dan pengamalan aterhadap keutuhan nilai-nilai budayanya sendiri, terutama prinsip perilaku Piil Pesenggiri.

Dalam kondisi kehidupan sosial budaya demikian, maka sumber daya budaya masyarakat yang berhubungan dengan upaya penggalian potensi daerah belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber motivasi dalam upaya menggali potensi sosial ekonomi daerah. Kekhawatiran yang timbul sekarang adalah realitas ragam persepsi masyarakat terhadap nilai dan fungsi adat budaya Lampung, khususnya yang berhubungan dengan sikap perilaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai budaya yang semakin jauh dari bingkai ideal fiil pesenggiri sebagai falsafah hidup masyarakat adat Lampung. Hal ini dapat menimbulkan benturan budaya dan kesenjangan visi tentang makna dan fungsi budaya Lampung, sehingga rencana strategis (renstra) pembangunan daerah yang berwawasan budaya menjadi relatif terhambat. Menurut Koentjaraningrat (1984), karena ada beberapa sifat kelemahan yang bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas, yaitu:

 (1) Sifat mentalitas yang meremehkan mutu;
 (2) Sifat mentalitas yang suka menerabas;
 (3) Sifat tak percaya kepada diri sendiri;
 (4) Sifat tak berdisiplin murni;
 (5) dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan  tanggungjawab yang kokoh.

Dengan pemahaman yang cukup memadai terhadap prinsip hidup dan makna budaya dalam menggalang kerukunan masyarakat, maka diharapkan dapat tercipta kesadaran sosial budaya, termasuk di dalamnya upaya penggalian potensi wisata budaya dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam usaha mensukseskan pembangunan daerah secara menyeluruh dan merata. Partisipasi masyarakat dapat mempermudah penggalian potensi daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menunjang efektivitas pembangunan daerah. Betapapun tingginya teknologi dan besarnya dana yang digunakan, tanpa dukungan sumber daya budaya masyarakat, maka keberhasilan pembangunan akan sulit dicapai secara utuh dan bahkan tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Upaya pencapaian tujuan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu memerlukan partisipasi secara optimal. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari sektor pertumbuhan pisik dan hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan saja, melainkan harus memprioritaskan segi kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Untuk mempermudah penyaluran partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka perlu adanya upaya pemberdayaan terhadap institusi-institusi lokal (nilai-nilai tradisional yang secara internal terpelihara) dengan segenap atribut budayanya. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan teknis pendekatan sosial budaya dengan cara beradaptasi dan mengikutsertakan para tokoh adat ke dalam derap langkah kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Dengan demikian sosialisasi program pembangunan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan, nyata dan mudah dipahami masyarakat, serta tidak berseberangan dengan adat istiadat yang berlaku. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan adat budaya tidak boleh ditangani atas kemauan sendiri, melainkan melalui institusi adat dalam proses musyawarah untuk memperoleh keputusan bersama. Hal ini memungkinkan untuk dapat memperkuat apresiasi adat budaya masyarakat daerah, baik sebagai aset daerah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, juga sebagai aset kekayaan kultural yang strategis dalam aspek pembangunan, khususnya di bidang perekonomian masyarakat adat Lampung Saibatin di Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Mengingat tersedianya potensi budaya masyarakat adat setempat dan eksistensi norma hukum adat yang masih tersimpan dalam kehidupan masyarakat, maka perlu dilakukan penggalian dan revitalisasi nilai-nilai budaya secara seksama. Hal ini diharapkan dapat memberikan solusi strategis dalam upaya memotivasi masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam mendukung pembangunan daerah yang berwawasan budaya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar