Selasa, 19 April 2016

ARSITEKTUR BANGUNAN MASYARAKAT LAMPUNG, BEBERAPA JENIS DAN FUNGSINYA..



ARSITEKTUR  BANGUNAN MASYARAKAT  LAMPUNG,
BEBERAPA JENIS DAN FUNGSINYA
Oleh: Adul Syani


A.   Rumah Penyimbang (Kepala Adat)

Rumah  tempat  tinggal Penyimbang atau Kepala Adat  yang  disebut lamban balak, biasanya memiliki pembagian nama dan fungsi ruangan yang  berbeda dengan rumah tempat  tinggal penyimbang-penyimbang lainnya  dan  anggota masyarakat pada  umumnya.  Ciri-ciri  rumah Kepala Adat, diantaranya adalah:

1.      Serambi  depan  tidak berdinding yang  berfungsi  sebagai tempat untuk menerima tamu;
2.      Ruang tengah, digunakan untuk rapat adat anggota  kerabat pria;
3.      Kebik temen, yaitu kamar tidur pertama untuk anak penyim­bang bumi;
4.      Kebik ghangek, yaitu kamar tidur kedua untuk anak penyim­bang  ratu,  anak laki-laki kedua atau anak  dari  isteri ratu kedua;
5.      Kebik tengah, yaitu kamar tidur ketiga untuk anak penyim­bang  batin, anak laki-laki ketiga atau anak isteri  ratu ketiga;
6.      Ranjang  Tundo,  yaitu  kamar tidur  keempat  untuk  anak penyimbang  raja, anak laki-laki keempat atau  anak  dari isteri bangsawan keempat;
7.      Lapang  agung, yaitu tempat duduk bersidang  kaum  wanita anak anggota kerabat penyimbang;
8.      Selak  sukang, yaitu kamar untuk isteri atau anak  sebah, isteri atau anak dari keturunan rendah;
9.      Tengah  resi,  yaitu kamar atau ruang untuk  isteri  atau anak keturunan pembantu (budak) atau beduwo (beduwa);
10.  Serudu,  yaitu  kamar untuk isteri  anak  lambang  (orang bawaan ratu ketika kawinnya);
11.  Ruang selir, yaitu tempat anak isteri gundik yang asalnya sebagai barang sesan, barang bawaan dari isteri
12.  Dapur, yaitu ruang masak;
13.  Dapur  tanoh (taneh), yaitu ruang tempat  kediaman  taban (tawanan) dan keturunannya (seorang taban tidak diketahui asal usul keturunannya.

Dengan demikian berarti rumah tempat tinggal yang umumnya disebut Lamban atau Nuwow, biasanya dibedakan atas tiga kategori  menurut strata kepenyimbangannya, yaitu lamban balak, lamban gedung  atau nuwow balak, lamban lunik, dan lamban biasa. Lamban balak biasan­ya dimiliki oleh penyimbang marga, lamban lunik biasanya dimiliki atau  dihuni oleh penyimbang suku, dan lamban biasa adalah  rumah yang dimiliki anggota masyarakat pada umumnya.

B.   Rumah Penyimbang pada umumnya

Secara umum arsitektur bangunan rumah masyarakat Lampung memiliki ciri  khas,  yaitu  rumah panggung (lamban  khanggal  atau  nuwow gatcak).  Rumah tradisional masyarakat Lampung berbentuk  persegi empat  panjang  (pesagi ngehanyuk). Secara  lebih  rinci  bagian-bagian rumah ini sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai berikut:

1.    Lepau,  yaitu bagian pendek depan  (ambin=kalianda)  yang biasanya  menghadap  jalan raya  (ghanglaya  atau  sungi= kalianda);
2.    Juyu atau ilung kudan, yaitu bagian belakang rumah;
3.    Bahlamban,  yaitu bagian bawah rumah yang  terbuka  tanpa dinding (sekarang banyak yang sudah diberi dinding);
4.    Tangebah  atau  tengahbah, yaitu dataran tanah  di  depan rumah  atau  pekarangan  yang biasanya  digunakan  untuk menjemur kopi atau cengkeh;
5.    Lapang  luwah, yaitu ruangan untuk musyawarah,  jika  ada tamu,  maka  ruang ini digunakan  sebagian  untuk  tempat tidur  tamu dengan memasang tabir yang dilengkapi dengan tikar atau kasur.
6.    Lapang  lom,  adalah ruangan tengah rumah  yang  biasanya digunakan untuk tidur anggota keluarga. Ruang ini biasan­ya  sebagian kecil dibagi-bagi atas bilik-bilik  (kamar), sedang  bagian  besarnya memanjang yang  digunakan  untuk musyawarah atau berkumpul bersama keluarga;
7.    Tengah resi (ghesi), yaitu ruangan untuk musyawarah  kaum wanita atau tempat menginap bagi tamu wanita;
8.    Sudung  atau seghudu, yaitu ruang makan dan  ruang  untuk menyimpan  beras dan barang pecah belah, termasuk  gudang (sebagian   masyarakat  memanfaatkan  bahlamban sebagai gudang);
9.    Sakelak, yaitu ruang dapokh (dapur) tempat masak memasak;
10. Gaghang (gakhang), yaitu tempat cuci mencuci atau bekekos di sebelah luar bagian dapur, biasanya berhubungan  lang­sung dengan dapokh (dapur).

Bentuk arsitektur bangunan rumah di atas pada umumnya dimiliki oleh para penyimbang  suku dan orang-orang kaya yang  tinggal  menetap  di pusat anek/pekon/tiyuh atau tiyuh balak.

C.   Rumah Biasa (sederhana)

Rumah  orang-orang  biasa atau orang yang tidak  mampu,  biasanya hanya  memiliki  bentuk arsitektur rumah  yang  sederhana.  Rumah tinggal  ini hanya memiliki serambi saja (haluan kiri),  dapurnya tidak  terpisah  (tanpa  dihubungkan  dengan  jembatan/geragal). Bangunan rumah semacam ini disebut sederhana  jika  dibandingkan dengan  kedua  tipe rumah penyimbang sebagaimana  diterangkan  di atas.  Akan  tetapi menurut ukuran sekarang  rumah ini  termasuk mahal, karena bahan-bahannya sudah sulit dicari. Oleh karena  itu rumah  tipe sederhana ini sekarang sebagian  sudah  dimodifikasi dengan  menutup  haluan  menjadi kamar-kamar.  Sedangkan  bagian lepaunya  dibuat  ruang tamu tertutup yang  dimanfaatkan sebagai ruang tamu.

D.   Rumah Ibadah

Rumah  ibadah yang umum di Lampung adalah Mesigit  (Masjid),  se­dangkan  rumah ibadah lainnya yang lebih sederhana, yaitu  Sughau (Surau) atau Langgar. Pada jaman dulu Surau ini disamping diguna­kan  sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat belajar  mengaji. Surau biasanya  dibangun dipinggir kali tempat  pangkalan  mandi laki-laki.  Ukuran bangunan Mesjid lebih besar dari  pada  Surau, oleh karena itu kegunaannyapun lebih banyak, seperti untuk sembahyang  berjama'ah lima waktu, untuk sembahyang jum'at,  dan  pada malam harinya untuk belajar ngaji bagi anak-anak anek/pekon/tiyuh setempat.

Bentuk Mesjid Lampung umumnya persegi empat dan pada bagian  atas atap di buat bertingkat yang maksudnya agar nampak indah, disamp­ing agar suara azan dapat lebih lantang di dengar oleh masyarakat setempat dan sekitarnya, karena pada masa itu belum ada  perlengkapan pengeras suara seperti sekarang. Sebagian masyarakat  men­ganggap  bubungan bertingkat (seolah menara) itu sebagai  lambang agamis yang dapat membawa keberkahan dalam beribadah, oleh karena itu  bangunan  semacam ini sampai sekarang  masih  dipertahankan. Dalam  perkembangannya  sekarang rata-rata mesjid  sudah  membuat bubungan  yang terbuat dari seng atau aluminium berbentuk  bulat, dan di atas/puncaknya dipasang lambang bulan bintang. Begitu juga fungsi beduk sebagai pertanda masuknya waktu sembahyang, sekarang sudah diganti dengan pengeras suara dengan sistem elektronik.

Secara umum susunan ruangan Mesjid sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:

a.              Ruang  bagian  beranda  (beranda  depan),  yaitu  sebagai tempat sembahyang jika pada bagian dalam sudah penuh, dan untuk tempat meletakkan makanan pada waktu perayaan hari-hari  besar Islam. Kecuali itu, sebagai tempat  istirahat dikala melepas lelah pada waktu gotong royong.
b. Kolam,  yaitu semacam gaghang untuk cuci kaki  dan  untuk berwudlu.  Kolam  ini biasanya dibangun di  samping  kiri mesjid yang berdekatan dengan sumur sebagai sumber air.
c.              Ruang  tengah Mesjid biasanya di buat tabir kain  sebagai pembatas antara jema'ah perempuan dan laki-laki, terutama pada  waktu  sholat tarawih atau pada waktu  sholat  hari aya Idul Fitri atau Idul Adha.
d.  Pada bagian depan, terdapat ruang pengimaman yang berdam­pingan  dengan tempat khottib membaca khotbah pada  waktu sholat Jum'at, Idul Fitri atau Idul Adha.
e.              Pada bagian samping yang sejajar dengan ruang  pengimaman bagian  luar  biasanya ditempatkan  Keranda,  yaitu  alat tandu untuk memikul mayat menuju ke kuburan.

E.   Rumah tempat musyawarah (Sessat)

Rumah tempat musyawarah atau umumnya disebut Sessat dengan bentuk bangunan  seperti huruf "T" dengan kaki lebih  pendek  dibanding dengan rumah-rumah masyarakat Lampung pada umumnya. Secara  kese­luruhan bangunan sessat berbentuk persegi panjang, tinggi dinding dibuat setengah bangunan, sedangkan tangganya terletak di  tengah bangunan anjung yang berhubungan dengan bangunan induk.  Bangunan sessat di sebagian daerah Lampung, seperti di Sukadana, Kuto bumi dan  sekitarnya  nampak  masih  dipertahankan  keasliannya. Akan tetapi di sebagian daerah lain, seperti di Negeri Katun, bangunan sessat  tidak  lagi menggunakan kaki, melainkan  berupa  bangunan tembok pendek. Masyarakat setempat tidak mempermasalahkan peruba­han  ini,  bagi mereka yang penting fungsi dan  maknanya  sebagai tempat musyawarah masih tetap dipertahankan.

Ruangan  pada  sessat  merupakan hamparan  memanjang  yang  mirip bangsal,  oleh  karenanya  ada  sebagian  masyarakat  menyebutnya sebagai  balai  panjang. Fungsi sessat hampir sama  dengan  Balai Desa,  yaitu  sama-sama sebagai  tempat  bermusyawarah. Bedanya, Balai desa diperuntukkan  sebagai tempat musyawarah urusan Pemer­intahan  Desa, sedangkan  Sessat  diperuntukkan  sebagai  tempat musyawarah  urusan  masyarakat yang erat kaitannya  dengan  adat istiadat.  Sessat ini memang sudah jarang ditemukan,  lebih-lebih sessat tua yang asli. Apabila akan dilakukan upacara adat, seper­ti  upacara adat perkawinan, biasanya masyarakat membangun  balai adat  darurat (sementara), yaitu menyerupai tetarub, jika  telah selesai  acara musyawarah dan upacara adat, maka sessat  ini  di­bongkar.

Bagian bangunan Sessat yang disebut anjung adalah serambi  sessat yang dapat juga digunakan untuk musyawarah atau pertemuan  kecil, kecuali itu dapat juga digunakan untuk istirahat bagi penyimbang sebelum acara musyawarah adat dimulai. Sedangkan Pusiban  (tempat siba) adalah  ruang sebagai tempat para penyimbang  duduk  dalam pertemuan atau musyawarah. Pusiban ini dapat juga digunakan untuk acara bujang gadis, menari, ngediyou, bebandung, pisaan atau bisa untuk tempat cangget.

F.    Lumbung Penyimpanan

Lumbung  penyimpanan adalah bangunan yang dibuat untuk  menyimpan padi,  khususnya padi  giding atau padi  gabah  (renai)  sebagai simpanan  selama  persediaan  beras masih  ada. Bagi  masyarakat Lampung  pesisir kalianda, lumbung ini memang  dikhususkan  untuk menyimpan  padi,  akan tetapi bagi masyarakat Lampung  di  daerah lainnya,  seperti Lampung Barat, Lampung Utara  dan  sekitarnya, biasanya lumbung ini digunakan juga untuk menyimpan Damar,  kopi, lada,  dan hasil-hasil bumi lainnya. Letak bangunan lumbung  pen­yimpanan  ini  biasanya di sekitar juyu (belakang)  rumah  tempat tinggal yang kira-kira berjarak antara 5 sampai 10 meter.  Tetapi bagi  masyarakat di daerah atau tiyuh lain ada yang membuat  lum­bung ini terpisah jauh dari tiyuh. Di tempat ini biasanya  terda­pat  beberapa lumbung penyimpanan (lumbung lamon)  milik  anggota masyarakat  yang mirip dengan perkampungan khusus.  Lumbung  yang dibangun  jauh  di perkampungan khusus ini  adalah agar  kotoran gabah  (huwok) tidak mencemari perkampungan. Disamping  itu  agar pada waktu  menjemur padi tidak diganggu  oleh  ayam  peliharaan masyarakat kampung.

Bentuk  bangunan  lumbung  itu terdiri dari  dua  ruangan,  yaitu bagian  luwah dan bagian lom. Bagian luwah berfungsi untuk  mele­takkan padi sebelum di masukkan ke dalam lumbung, atau sebaliknya sebelum padi diturunkan di tanah. Tempat ini memudahkan bergotong royong mengeluarkan atau memasukkan padi. Dalam pengertian  lain lepau  ini  sebagai  tempat tunda pengangkatan  padi  pada  waktu penyusunan  padi  ke bagian dalam lumbung.  Bisa  juga digunakan untuk  ngilik pakhi (menginjak-injak padi) agar lepas dari  tang­kainya. Perlu dijelaskan pula bahwa lumbung ini menyerupai bangu­nan  panggung, sedangkan dindingnya dipasang pada  bagian  dalam. Maksudnya agar dinding lumbung tidak mudah beka (jebol), disamp­ing agar tidak mudah di dongkel pencuri.

Pada  sisi lain diketahui ada beberapa jenis bangunan  yang  ber­fungsi  sebagai tempat tinggal perlindungan sementara dari  hujan dan teriknya mata hari, seperti kubu, sapu huma, dan sapu umbul. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat keterangan di bawah ini:

1. Kubu atau petakhuan

Jenis  bangunan  yang disebut kubu  adalah  tempat  masyarakat berlindung  dari  panas  dan hujan  yang  bersifat  sementara. Bangunan  kubu  ini biasanya didirikan  di  ladang-ladang, di kebun duren, kebun rambutan, kebun duku, dan sebagainya.  Kubu ini  dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berteduh,  juga  untuk tempat  istirahat dikala sedang menjaga keamanan lahan  perta­nian atau perkebunan-perkebunan tersebut. Jenis bangunan  kubu biasanya berbentuk persegi empat berukuran kecil yang  dibuat dari  bambu  bertiang kayu, berlantai pelupuh  bambu  (khesi), beratap rumbai atau alang-alang, tidak berdinding, dan  diikat dengan tali rotan, ijuk enau, kulit bambu apus (bekunul), atau bisa  juga  menggunakan tali dari kulit pohon  tangkil/takkil (melinjo),  atau kulit pohon waru (bakhu). Tapi dalam perkem­bangannya sekarang,  kubu ini tidak diikat dengan  tali  atau rotan, melainkan menggunakan paku.

2.  Kepalas atau sapu (sapew)

Jenis  bangunan  sapu berbentuk anjung yang  bertiang  tinggi, mempunyai  atap,  lantai pelupuh bambu  yang  dilengkapi  tepi batas  didinding, dan mempunyai tangga naik. Sapu  ini dibuat dari  bahan kayu atau bambu dengan atap alang-alang  digunakan sebagai tempat menjaga ladang padi, dan biasanya dari sapu ada gantungan tali ke orang-orang di bawah untuk mengusir  burung. Ukuran  besarnya sapu ini cukup untuk memuat dua sampai  empat orang.

3.  Sapew umbul
Sapew (sapu=sebatin)  umbul  adalah suatu bangunan rumah  darurat  di  daerah peladangan  atau umbulan (talang) tempat  kebun-kebun  tanaman keras seperti kubu, bedanya sapu umbul ini biasanya ditempati untuk  menguinap beberapa lama, bisa satu minggu  atau  bahkan bisa  berbulan-bulan, tergantung kepentingan  dalam  perawatan kebunnya.

Rumah-rumah asli orang Lampung pada umumnya mempunyai ukiran  dan hiasan.  Pada beberapa daerah lampung lainnya,  diketahui  sudah sangat sedikit masyarakat yang masih mempertahankan bentuk banguan  rumah  asli arsitektur khas lampung. Pada  beberapa kampung asli  orang Lampung paling banyak sepuluh buah rumah  yang  masih mempunyai ukiran  arsitektur  asli Lampung.  Seperti  di  daerah Belambangan  Pagar, Bumi Ratu, Gunungsugih dan  Terbanggi  besar, sudah  jarang  ditemukan rumah-rumah  yang berasitekturkan  khas Lampung.  Pada  umumnya sisa-sisa rumah-rumah asli  khas  Lampung yang  ada  terbuat dari kayu dan merupakan  rumah  panggung  yang dibuat  pada zamannya oleh tukang-tukang dari Meranjat  (Sumatera Selatan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar