Sabtu, 04 Januari 2014

SEKILAS TENTANG PROSEDUR PELAKSANAAN UPACARA ADAT ANGKON MUWAKHI PADA MASYARAKAT ADAT SEBATIN MARGA LIMA KALIANDA


SEKILAS TENTANG
PROSEDUR PELAKSANAAN UPACARA ADAT ANGKON MUWAKHI
PADA MASYARAKAT ADAT SEBATIN MARGA LIMA KALIANDA

Oleh:
Abdul Syani
                                       
Beguwai (begawi=pepadun) Adat Angkon Muwakhi adalah upacara perayaan angkat (mengangkat) saudara dalam adat Lampung sebatin. Tempat pelaksanaan guwai adat angkon muwakhi atau upacara mengangkat saudara ini, biasanya di Lamban Balak (rumah penyimbang marga, tiyuh/pekon atau suku) setempat.

Namun demikian, faktor lokasi/tempat pelaksanaan upacara adat angkon muwakhi tersebut  bukanlah harga mati, melainkan bersifat kompromistis, tergantung kesepakatan bersama dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang terkait dengan batas kemampuan finansial, waktu, jarak atau pertimbangan lain yang dapat diterima para majelis penyimbang adat; di samping pertimbangan lain yang dianggap tidak memberatkan pihak baya (keluarga yang melaksanakan/penanggungjawab upacara adat angkon muwakhi tersebut).

Sedangkan tempat beguwai adat mewaghi/muwakhi bagi masyarakat adat pepadun, menurut ketentuan adatnya adalah di Sessat Agung. Akan tetapi bisajuga dilaksanakan  di Nuwo Balak atau Nuwo Ghatcak, tergantung besar kecilnya gawi (guwaian), mesak matahnya (matang mentahnya) pola begawi adat yang di sepakati dalam peppung/hippun perwatin.

Alasan angkon muwakhi bagi masyarakat adat marga lima Kalianda pada umumnya adalah sebagai upaya mempererat tali persaudaraan bagi sesama kerabat dekat, kerabat jauh, warga sekitar di luar keluarga utama (saudara kandung atau kerabat dekat)  dan warga luar adat/kampung/pekon, termasuk warga pendatang dari berbagai asal usul, agama, suku dan golongan. Di samping alasan lain yang sifat dan tujuannya untuk menghentikan dan menyelesaikan perselisihan/konflik antar warga, baik laten maupun terbuka dengan tujuan agar tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi sebagaimana hubungan saudara kandung. Dalam prinsip sosiokultural hubungan tali persaudaraan/kemuwakhian  ini dikukuhkan secara formal adat, yaitu melalui perayaan/upacara pengukuhan atau beguwai adat angkon muwakhi. Beguwai adat muwakhi ini merupakan simbol pertalian saudara antar pihak, di mana masing-masing telah sepakat secara ikhlas menjadi saudara kandung dengan segala tanggungjawab, hak dan kewajibannya. Hubungan persaudaraan dalam adat angkon muwakhi ini dikuatkan oleh ikatan perjanjian dan sumpah setia yang disaksikan dan disahkan oleh segenap tuha khaja (para penyimbang adat) dan perangkat adat lainnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa tujuan angkon muwakhi itu adalah untuk mengikat dan mendekatkan hubungan persaudaraan/kekeluargaan secara mendalam, sehati se-iya sekata, senasib sepenanggungan, seiring sejalan dan musyawarah mufakat dalam segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping berfungsi sebagai strategi ampuh dalam penyelesaian masalah jika pada suatu ketika terjadi perselisihan diantara warga masyarakat adat setempat.

Kecuali itu dilaksanakannya beguwai adat angkon muwakhi itu biasanya karena dalam kurun waktu tertentu telah terjadi hubungan baik antar individu atau kelompok dengan indikasi adanya kesamaan pandang, perasaan, sifat, karakter, dan kesesuaian kepribadian. Ikatan hubungan yang selaras ini kemudian  melahirkan keinginan dan kesepakatan bersama untuk mengikat hubungan tersebut menjadi lebih erat dan mendalam sebagaimana hubungan saudara kandung melalui prosesi resmi beguwai adat angkon muwakhi.

Alasan lain dilaksanakan beguwai adat angkon muwakhi tersebut adalah karena telah terjadi suatu kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa, sehingga terjadi perselisihan yang berlarut-larut, meluas dan tidak bisa diselesai. Bisa juga karena telah terjadi sengketa hak milik, seperti sengketa harta benda, batas hak milik atas tanah, dan atau terjadi pelecehan, perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan atas nama keturunan/keluarga besar. Kesemuanya ini berlanjut menjadi perkara sengketa atau konflik berkepanjangan dan tidak atau belum ditemukan resolusi yang efektif.

Menurut kebiasaan masyarakat adat marga lima Kalianda, satu-satunya adat kebiasan yang ditempuh sebagai jalan penyelesaian kemelut sengketa tersebut adalah dengan melakukan hippun (musyawarah) adat oleh para perwatin adat untuk mencari resolusi konflik dengan rekomendasi melaksanakan beguwai adat angkon muwakhi.
  
Khususnya bagi keluarga besar penyimbang adat marga lima Kalianda Lampung Selatan, bahwa tujuan dilaksanakanya beguwai adat angkon muwakhi itu adalah untuk penyelesaian konflik, menciptakan dan memulihkan kerukunan masyarakat yang sebelumnya terkoyak, di samping sebagai bentuk upaya pelestarian adat budaya lokal yang mengandung nilai-nilai luhur dan berguna untuk mengembangkan kecerdasan moral, emosional, spiritual dan kesadaran intelektual..

Dalam kehidupan masyarakat adat marga lima Kalianda, angkon muwakhi merupakan kebiasaan yang diadatkan. Artinya kegiatan perayaan/upacara/ beguwai adat angkon muwakhi (angkat saudara) dilakukan atas dasar kepentingan sosial budaya sebagai penyangga terciptanya kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat adat.

Adapun tahapan prosesi perayaan adat angkon muwakhi secara ringkas adalah sebagai berikut:

1.        Hippun wakhi pelambanan (musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat dekat). Tujuannya adalah untuk mencari dan mecapai kesepakatan bersama tentang berbagai syarat, persiapan dan tahapan pelaksanaan pagelaran upacara adat muwakhi. Dengan demikian rangkaian acara adat muwakhi sejak awal sampai puncak acara dapat terlaksana secara lancar dan efektif.

2.        Hippun suku (musyawarah antara kepala-kepala suku yang mewakili pihak-pihak keluarga-keluarga yang melaksanakan upacara adat muwakhi). Hippun pada tingkat suku ini menunjukkan bahwa warga adat tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu keniscayaan hidup bersama di bawah naungan kelompok adat pada tingkat suku.

3.        Hippun tiyuh/pekon (antar penyimbang tiyuh dari masing2 pihak calon angkon muakhi). Hippun ini merupakan paket musyawarah lanjutan pada tingkat lebih luas di atas kelompok masyarakat adat yang dipimpin oleh perwatin suku. Hippun tiyuh ini dipimpin oleh para kepala tiyuh atau perwatin tiyuh yang mewakili atau meanjutkan suara kesepakatan yang telah dirumuskan sebelumnya di tingkat hippun suku. Hasil hippun pada tingkat tiyuh ini adalah kesepakatan bersama antar perwatin tiyuh yang melambangkan kekuatan legitimasi adat lebih tinggi, di mana aspirasi dan harapan warga masyarakat adat telah dikuasakan kepada perwatin tiyuh sepenuhnya.

4.        Hippun marga (musyawarah antar kepala/perwatin marga). Hippun marga ini membawa amanah kesepakatan hasil musywarah antar perwatin tiyuh sebelumnya. Hippun pada tingkat perwatin marga ini adalah musyawarah tingkat tinggi pada pemerintahan adat. Kesepakatan hasil musyawarah pada tingkat perwatin marga seksligus merupakan keputusan perwatin marga; artinya secara normatif keputusan tersebut telah mempunyai daya pengikat dan perlindungan hukum adat yang kuat. Dengan demikian pihak warga (baya) yang hendak melaksanakan perayaan upacara adat muwakhi telah siap sepenuhnya, termasuk perlengkapan fisik kepanitiaan/penglaku adat dan ritual adat istiadat yang berlaku, sebagaimana dipaparkan pada tahapan-tahapan selanjutnya.

5.        Hippun Lamban Balak (persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan tuha khaja 5 marga dan perankat pemerintahan adatnya,  penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan tuha khaja tentang hak dan kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji sumpah atau katam).

6.        Persiapan pakaian adat masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon angkon muakhi (sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal, disesuaikan), payung adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dll.

7.        Persiapan lokasi prosesi angkon muakhi: di lamban balak sbg baya jika kedua pihak atau salah satunya sebagai keturunan keluarga penyimbang marga/tiyuh/suku di lamban salah satu calon muakhi (sbg baya). Persiapan ini pada dasarnya sama dengan poin 6, dg penyesuaian secara kondisional.

8.        Persiapan dekorasi dan perlengkapan sarana upacara adat angkon muwakhi di Lamban balak atau di rumah baya (pelaksana upacara adat). Susunan ruang sidang/upacara adat: kursi singgasana 5 penyimbang dengan posisi tengah untuk penyimbang marga, lengkap dengan perangkat penyimbang adat undangan lain. Di samping kiri-kanan, kursi kebesaran dari pihak2 yang akan melaksanakan angkon muwakhi bersama keluarga besar dan kerabat dekat masing-masing. Di ruang tengah ke depan posisi podium tempat penyimbang marga berdiri memberi sambutan, tetangguh, nasehat kepada pihak2 yang akan seangkonan muwakhi yang secara bersamaan menempati posisi berdiri menghadap ke arah penyimbang marga.

9.        Persiapan penerimaan tamu undangan. Di tempat ini sekaligus berlangsung proses penerimaan tamu undangan, baik dari pihak perwatin (penyimbang) marga, tiyuh, dan suku dari lima marga, maupun tamu undangan dari kerabat, para tokoh masyarakat, alim ulama, unsur pemerintah, unsur lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah teknis penglaku sebelumnya.

10.    Persiapan kirab/ngarak (arak-arakan sebatas pamekonan), diteruskan mandi duway (ngeduwaikon); selanjutnya kembali ke lamban balak/lokasi prosesi perayaan adat muwakhi.

Arak-arakan kembali menuju lokasi prosesi beguwai angkon muwakhi yang telah disiapkan   sarana jalan yang terdiri dari jejalan handak (kain putih yang dihampar), awan telapah, dua buah payung, para tuha khaja, kandang rarang (kain penyekat), muli-mekhanai, dan dua atau lebih tandu, atau kereta kencana (sekarang mobil hias). Rombongan kirab ini akan disambut oleh para penyimbang adat dari 5 marga yang sudah siap dengan formasi berdiri di depan kursi kebesaran masing-masing lengkap dg pakaian adat.

Pada waktu bersamaan, sesampainya rombongan kirab di pelataran tempat acara berlangsung biasanya disambut dengan acara seni adat berupa tari pencak silat khas Lampung Sebatin, tari-tarian khas adat budaya lokal, seperti tari tanggai, tari selapan, mandapan. Jika pihak baya yang melaksanaan angkon muwakhi berbeda etnis dan budaya, maka biasanya (jika ada) disuguhkan pula tari-tari khas masing-masing kedua atau lebih etnis yang berbeda itu atau tari-tari kreasi yang bernuansa multikultur.


11.    Penglaku tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang senior) membacakan susunan acara prosesi angkon muakhi, mulai dari tetangguh/acara sambutan penyimbang marga (merangkap ketua pelaksana) sampai dengan tahapan pernyataan resmi (penobatan/pelantikan) kemuwakhian dan pembacaan janji persaudaraan di hadapan pihak-pihak yang berjanji, para penyimbang adat dan warga setempat yang hadir.

12.    Penobatan dan pembacaan janji angkon muwakhi. Pada saat ini diteruskan dengan acara penobatan dan pembacaan resmi ikrar/perjanjian oleh penyimbang bandar yang bersangkutan. Setelah tanya-jawab secara simbolis antara penyimbang marga dengan pihak calon yang seangkonan muwakhi. Puncak upacara berakhir dengan ketuk palu dan penandatangan naskah perjanjian angkon kemuwakhian oleh semua pihak yang berhak dan berkewajiban adat.

13.    Acara selanjutnya adalah acara pengucapan sumpah angkon muwakhi yang dipandu oleh tokoh agama (alim ulama yang ditunjuk) yang diikuti oleh pihak yang telah mengikat janji kemuwakhian (telah angkat saudara).

14.    Penetapan dan pembuatan keputusan naskah kemuakhian, pengumuman oleh penglaku atau penyimbang marga, yang menyatakan bahwa pihak2 yang bersangkutan telah menjadi saudara kandung.

Acara angkat sumpah ini ada 3 (tiga) macam, yaitu:

pertama, sumpah atas nama Allah SWT untuk selalu saling membantu, saling percaya, selalu menjaga tali persaudaraan sabagaimana kuatnya ikatan saudara kandung. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya adalah cidera dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat dengan batas waktu tertentu, dan membayar denda adat;

kedua, sumpah atas nama Allah SWT untuk tidak melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan. Apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah ini, maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk, sakit  atau sejenis akibat buruk lainnya;

ketiga, muwakhi katam (bersaudara dengan mengucapkan sumpah), yaitu bersumpah atas nama Allah SWT untuk saling angkat saudara dengan syarat salah satu atau semuanya tidak melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan seperti halnya poin kedua. Perbedaannya adalah apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah, maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk mengalami kecelakaan, gila atau mati.
     
Kecuali sumpah muwakhi katam di atas, ada juga katam (sumpah) yang disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bertikai, konflik berdarah atau sedang berperang, tapi justeru bukan bermuwakhi (sebaliknya sumpah untuk tidak bersadara) berpisah, saling menjauh,  tidak saling bertemu, tidak saling berhubungan, bahkan bersumpah untuk selamanya mengharamkan perjodohan bagi keturunan mereka. Jika sumpah ini dikhianati, maka peperangan dan konflik berdarah akan kembali pecah lebih dahsyat lagi.

15.    Penetapan/pemberian gelar adat dan penobatan sebagai penyimbang sebatin baru. Gelar disesuaikan dengan gelar2 dari saudara kandung lain dari pihak baya atau yang utama mengangkat saudara.

16.    Pembacaan tugas pokok dan fungsi serta larangan bagi penyimbang baru atau pihak yang bermuakhi oleh penyimbang marga atau penyimbang lain yang ditunjuk.

17.    Acara di tutup dengan do'a (petugas), dan dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan menu khas lokal, seperti ketan lapis dan masak (sejenis rendang), gulai taboh ikan asap, panggang ikan peros medira (asaman rampai) dan nasi akolnya, serta kue khasnya buwak balak/basah (lapis legit khas lokal), dan lain-lain menu alternatif. Kemudian (atau bersamaan) dilanjutkan dengan acara ramah tamah, bersilaturahmi bersalam-salaman, dan berakhir dengan undur diri (pamitan).

Rangkaian acara tersebut dilaksanakan secara terbuka dan luwes, tidak mengikat simpul dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada, kurang atau lebih. Kemudian pada  malam harinya atau malam berikutnya diadakan acara muli mekhanai (bingi bayu), sebagai ruang jodoh para remaja sambil makan bersama, pattun, (sekarang mungkin sms-an), saling tukar cerita, memadu kasih, dst. Acara ini di awasi oleh ketua pemuda penyimbang muda atas rekomendasi dari penyimbang adat yang membidangi urusan muli mekhanai..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar