1.
Struktur
Masyarakat
Secara
harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak
harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Secara sosiologi, struktur sosial dapat diartikan sebagai tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok kelompok sosial dalam
masyarakat.
Istilah struktur dapat diterjemahkan sebagai susunan,
bagan, bangunan, skema, gambar konkret tentang sesuatu. Struktur masyarakat atau disebut juga sebagai
struktur sosial adalah susunan atau bangunan masyarakat yang penggambaran
tentang sesuatu lembaga kemasyarakatan atau pranta sosial yang
berlapis-lapis. Dalam struktur
masyarakat terdapat hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan
bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang
mungkin dilakukan secara organisatoris.
Struktur masyarakat mencakup berbagai hubungan
sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang
merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Perangkat struktur masyarakat yang paling
utama adalah status dan peranan yang keduanya tersusun atas tinggi rendahnya
dan besar kecil secara teratur. Dalam
sosiologi, struktur masyarakat sering digunakan untuk menjelaskan tentang
keteraturan sosial yang menunjuk pada prinsip perilaku yang berulang-ulang
dengan bentuk dan cara yang sama.
Dengan menggunakan istilah struktur sosial Soerjono Soekanto (1983) memberikan pengertian
sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara
peranan-peranan. Interaksi dalam sistem
sosial dikonsepkan secara lebih terperinci dengan menjabarkan tentang manisia
yang menempati posisi-posisi dan melaksanakan peranannya (dalam sosiologi
disebut pendekatan struktural fungsional). Sedangkan Talcott Parsons memandang struktur sosial sebagai aspek yang relatif statis dari pada aspek fungsional
dalam usaha sistem sosial.
Menurut
Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi
mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi
mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial
sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat
yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott
Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai
kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat
struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau
masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku
berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam
masyarakat.
Pembahasan mengenai struktur
sosial oleh Ralph Linton (1967) dikenal adanya dua konsep yaitu status dan
peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran
adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang
menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan
statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status
menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved
status). Status yang diperoleh
adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau
perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai
status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan
pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau
usaha pribadi.
Sedangkan Merton (1964) mempunyai pandangan yang berbeda dengan
Linton. Menurut Merton ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang
tidak hanya melibatkan satu peran, melainkan sejumlah peran yang saling
terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set).
Social inequality
merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi
beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu
struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat
tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau
stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan
kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas
dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang
sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan
pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur
masyarakat adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang
di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan
batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan
perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Sedangkan
kelas merupakan pembagian dari status yang bertanggungjawab terhadap peran-peran
yang terkandung di dalamnya.
2.
Fungsi
Struktur Masyarakat
Dengan adanya struktur, maka secara psikologis anggota masyarakat merasa berada pada
batas-batas kewenangan tertentu dalam setiap melakukan aktivitasnya; individu
senantiasa menyesuaikan diri dengan ketertiban dan keteraturan masyarakat yang
ada. Jadi, nilai-nilai dan norma-norma
kemasyarakatan diharapkan dapat berfungsi sebagai pembatas pereilaku individu
agar tidak melanggar batas-batas hak dan kepentingan anggota masyarakat yang
lain. Menrut Mayor Polak (1979), struktur berfungsi sebagai pengawasan sosial,
yaitu sebagai penekan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran-pelanggaran terhadap
norma-norma, nilai-nilai dan peraturan-peraturan tadi, sehingga disiplin dalam
kelompok cenderung dapat dipertahankan. Pengawasan dimaksudkan sebagai tujuan untuk
mendisiplinkan para anggota kelompok dan menghindarkan atau membatasi adanya
penyelewengan-penyelewengan dari norma-norma kelompok.
Tujuan untuk mendisiplinkan kelompok pada dasarnya
didorong oleh suatu keinginan dan semangat persatuan diantara anggota kelompok,
kesadaran menerima hukum dan norma-norma yang berlaku, dan tunduk kepada kepentingan dan kesejahteraan kelompok secara
keseluruhan. Untuk itu diharapkan
individu senantiasa dapat melaksanakan pengawasan terhadap diri sendiri dan
terhadap anggota-anggota masyarakat yang lain.
Dengan keadaan masyarakat yang relatif terikat terhadap struktur
sosialnya, maka kelangsungan hidup sebagaimana tercermin dalam ikatan moral
dapat dipertahankan. Ada kecenderungan
sikap masyarakat lebih tenteram dalams keadaan bersahaja daripada melakukan
perubahan dengan perjuangan melawan variasi gejolak sosial, perselisihan dan
berbagai penyimpangan yang tidak kunjung rampung. Anggota masyarakat pada umumnya lebih condong
untuk mengidentifikasi dirinya dengan kebiasaan dan perilaku yang berbuah nyata
dan langsung sifatnya. Mereka
beranganggapan bahwa ketertiban dan kestabilan masyarakat sangat tergantung
pada norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada saat tertentu.
Menurut Emile
Durkheim (Abdul Syani: 1987),
bahwa keteraturan ini disebabkan adanya faktor pengikatnya yang ditingkatkan
menjadi moralitas masyarakat. Fakta itu
adalah antara lain:
1. Kontrol sosal
2. Stabilitas
keluarga yang besar
3. Sifat
heterogenitas lebih kecil daripada sifat kolektivitas.
Dalam teori sibenertik
tentang General system of action (Ankie M.M. Hoogvelt: 1985), dijelaskan
bahwa suatu masyarakat akam dapat dianalisis dari sudut syarat-syarat
fungsionalnya yaitu:
1. Fungsi mempertahankan pola (pattern maintenance).
Fungsi ini berkaitan dengan hubungan
antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kebudayaan. Hal itu berarti mempertahankan
prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat, oleh karena diorientasikan realitas
yang terakhir.
2. Funsi
integrasi. Hal ini mencakup jaminan
terhadap koordinasi yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial,
khususnya yang berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan peranannya
dalam keseluruhan sistem.
3. Fungsi
pencapaian tujuan (goal attainment). Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat
sebagai sistem sosial dengan sub-sistem aksi kepribadian. Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan
yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi warga masyarakat untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
4. Fungsi
adaptasi yang menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial
dengan sub-sistem organisme perilaku dan dengan dunia fisika organik, Hal ini
secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari
lingkungan hidupnya.
Struktur dalam kehidupan
masyarakat dapat juga berfungsi sebagai dasar untuk menanaman suatu disiplin
sosial; karena aturan disiplinnya berasl dari dalam kelompok sendiri, maka
perlakuan pengawasan dalam kelompoknya cenderung lebih mudah untuk dapat
diterima sebagai kepentingan sendiri.
Setiap anggota masyarakat akan mendapat pengetahuan dan kesadaran,
terutama perihal sikap, adat kebiasaan dan kepercayaan group. Dengan demikian, anggota kelompok dapat
mengetahui cara-cara bersikap dan berprilaku yang sesuai dengan ketentuan dan
harapan-harapan umum, sehingga kemungkinan terjadi perbedaan-perbedaan paham
sedikit dapat dikurangi.
3.
Pelapisan
dan Sistem Pelapisan dalam Masyarakat
Menurut Petirin A. Sorokin (Abdul Syani: 1994), bahwa stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara
hirarkhis). Pelapisan masyarakat
merupakan pembedaan (diferensiasi) yang berhubungan dengan perngertian
perbedaan tingkat, dimana anggota-aggota masyarakat berada di dalamnya. Pelapisan dalam masyarakat dapat pula
didasarkan atas perbedaan jenis kelamin, perbedaan antara pemimpin dengan yang
dipimpin, pembagian kerja dan sebagainya.
Dengan istilah
sebagaimana digunakan Sorokin, Abdul
Syani (1994) memperinci ciri umum adanya pelapisan dalam masyarakat ke
dalam beberapa bagian yaitu:
1. Pemilikan atas kekayaan yang bernilai ekonomis
dalam berbagai bentuk dan ukuran; artinya strata dalam kehidupan masyarakat
dapat dilihat dari nilai kekayaan seseorang dalam masyarakat.
2. Status
atas dasar fungsi dalam pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh atau
pekerja teknis dan sebagainya semua ini sangat menentukan status seseorang
dalam masyarakat.
3. Kesolehan
seseorang dalam beragama; jika seseorang sungguh-sungguh penuh dengan ketulusan
dalam menjalankan agamanya, maka status seseorang tadi akan dipandang lebih
tinggi oleh masyarakat.
4. Status
atas dasar keturunan, artinya keturunan dari orang yang dianggap terhormat
(ningrat) merupakan ciri seseorang yang memiliki status tinggi dalam
masyarakat.
5. Latar
belakang rasial dan lamanya seseorang atau sekelompok orang tinggal pada suatu
tempat. Pada umumnya seseorang sebagai
pendiri suatu kampung atau perguruan tertentu, biasanya dianggap masyarakat
sebagai orang yang berstatus tinggi, terhormat dan disegani.
6. Status
atas dasar jenis kelamin dan umur seseorang.
Pada umumnya seseorang yang lebih tua umurnya lebih dihormati, dan dipandang tinggi statusnya dalam masyarakat. Begitu juga jenis kelamin; laki-laki pada
umumnya dianggap lebih tinggi statusnya dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Dari beberapa ciri
tersebut kemudian berproses ke dalam berbagi kondisi sosial masyarakat,
misalnya perbedaan ciri biologis, etnis, ataupun ras. Jika diantaranya terdapat
kelompok yang mampu menguasai yang lainnya, maka terjadilah pembedaan status
yang menunjuk pada eksistensi pelapisan masyarakat.
Sementara itu Robin Williams J.R. (1967) menyebutkan
pokok-pokok pedoman tentang proses terjadinya stratifikasi dalam masyarakat,
yaitu sebagai berikut:
1. Sistem
stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam
masyarakat. Sistem demikian hanya
mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat tertentu yang menjadi objek
penyelidikan.
2. Sistem
stratifikasi sosial dapat dianalisism dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai
berikut:
a. distribusi
hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan, kekayaan,
keselamatan (kesehatan, laju angka kejahatan), wewenang dan sebagainya;
b. sistem
pertentangan yang diciptakan warga-warga masyarakat (prestige dan penghargaan);
c. kriteria
sistem pertentangan, yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi,
keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang aau kekuasaan;
d. lambang-lambang
status, seperti misalnya tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan,
keanggotaan pada suatu organisasi dan sebagainya;
e. mudah
atau sukarnya bertukar status;
f. solidaritas
diantara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki status
yang sama dalam sistem sosial masyarakat:
i. pola-pola
interaksi (struktur cliqe, keanggotaan organsiasi perkawinan dan sebagainya);
ii. kesamaan
atau perbedaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai-nilai;
iii. kesadaran
akan status masing-masing;
iv. aktivitas
sebagai organ kolektif.
Semakin kompleks dan
majunya pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat, maka sistem lapisan-lapisan
dalam masyarakat akan semakin kompleks pula.
Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang
lebih rendah. Istilah kelas merupakan
pengertian paralel dengan lapisan, tanpa harus terikat dengan perbedaan faktor
dasar lapisan. Kelas sosial sebagaimana
dinyatakan oleh Hassan Shadiliy (1983), adalah sebagai golongan yang terbentuk
karena adanya perbedaan kedudukan yang tinggi dan yang rendah, dan karena
adanya rasa segolongan dalam kelas itu
masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas yang lain.
Unsur-unsur yang ada
dalam kelas-kelas itu adalah status dan peranan; keduanya mempunyai hubungan
timbal balik yang berfungsi menentukan posisi seseorang dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto membedakan status dengan status sosial; status diartikan
sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan
dengan orang-orang lain dalam kelompok
tersebut atau tempat suatu kelompok berhubungan dengan kelompok-kelompok
lainnya didalam kelompok yang lebih besar lagi. Sedangkan status sosial
diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan
orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestigenya dan hak-hak serta
kewajiban-kewajibannuya. Dalam kehidupan
kelompok masyarakat, seseorang senantiasa memiliki suatu status sosial, yaitu
merupakan kedudukan individu dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
Sementara itu yang
dimaksud dengan peranan adalah aspek dinamis dari status. Peranan merupakan wqujud perbuatan tertentu
dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang
dimilikinya. Peranan lebih banyak menunjukkan
proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dapat dikatakan berperanan jika ia
telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya di dalam
masyarakat. Jika seseorang memiliki
status tertentu dalam kehidupan masyarakat, maka selanjutnya ada kecenderungan akan timbul suatu
harapan-harapan baru. Dari
harapan-harapan ini seseorang kemudian akan bersikap dan bertindak atau
berusaha untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, peranan dapat juga
didefinisikan sebagai kumpulan harapan yang terencana seseorang yang mempunyai
status tertentu dalam masyarakat. Dengan
singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan seseorang sesuai
dengan statusnya dalam masyarakat.
Dengan singkat peranan dapat dikatakan sebagai sikap dan tindakan
seseorang sesuai dengn statusnya dalam masyarakat. Jadi, status dapat memberikan pengaruh,
kehormatan kewibawaan pada seseorang; sedangkan peranan merupakan sikap tindak
seseorang yang mengundang status dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan
masyarakat senantiasa terdapat perbedaan status antara orang satu dengan yang
lainnya, antara kelompok satu dengan yang lainnya. Ada yang mempunyai status sosial yang tinggi
dan ada pula yang mempunyai status yang paling rendah dalam kehidupan masyarakat. Jika dilihat dari bentuknya seakan-akan
status manusia dalam masyarakat itu berlapis-lapis dari atas ke bawah. Menurut
konsep status sosial, bahwa di dalam sekelompok masyarakat pasti di dalamnya
terdapat beberapa orang yang lebih dihormati dari pada orang lainnya.
Sistem pelapisan sosial
dalam masyarakat ada yang bersifat terbuka dan ada pula yang besifat
tertutup. Pelapisan sosial yang terbuka
ada kemungkinan anggota masyarakat dapat untuk berpindah dari status satu ke
status yang lainnya berdasarkan usaha-usaha tertentu. Sistem pelapisan terbuka lebih dinamis, dan
anggota-anggotanya selalu mengalami kehidupan yang tegang dan was-was, lantaran
di dalam memperjuangkan cita-cita itu selalu bersaing dan berebut kesempatan
untuk naik status yang jumlahnya relatif terbatas; sebgai akibatnya banyak anggota
masyarakat yang mengalami goncangan dan konflik antar sesamanya.
Pada sistem pelapisan
sosial yang tertutup terdapat pembatasan kemungkinan untuk pindah dari status
satu ke status yang lainnya dalam
masyarakat. Dalam sistem ini,
satu-satunya kemungkinan untuk dapat masuk pada status tinggi dan terhormat
dalam masyarakat adalah karena kelahiran atau keturunan. lHal ini jelas dapat diketahui dari kehidupan
masyarakat yang mengagungkan kasta seperti di India misalnya; atau dalam
kehidupan masyarakat yang masih menganut paham feodalisme, atau dapat pula
terjadi pada suatu masyarakat dimana statusnya ditentukan atas dasa ukuran perbedaan ras dan suku
bangsa.
Pelapisan tertutup
lebih bersifat statis, lebih-lebih bagi mereka yang termasuk dalam golongan
bawah, jarang ada yang memiliki cita-cita yang tinggi. Sistem pelapisan
tertutup ini sering disebut sebagai sistem yang kaku dan ekstrem, oleh karena
seseorang yang dilahirkan sebagai penyimbang adat, ia tidak dapat ingkar atau
meninggalkannya; kemampuan pribadi tidak diperhitungkan dalam menentukan tinggi
rendahnya status.
Pelapisan masyarakat
dapat terjadi secara tidak disengaja (terjadi dengan sendirinya) dalam
kehidupan masyarakat, dapat pula dibentuk dengan sengaja dalam rangka usaha
manusia untuk mengejar cita-cita bersama.
Stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya, seperti pembedaan
umur, sifat keaslian adat istiadat, atau mungkin harta benda karena
warisan. Sedangkan pelapisan yang dibentuk
dengan sengaja, biasanya berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang
yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, partai
politik, angkatan bersenjata dan lain-lain bentuk perkumpulan. Pembagian kekuasaan dan sebagainya itu sama
halnya dengan sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang menyangkut
pembagian uang, tanah, kehormatan dan benda-benda ekonomi lainnya. Uang dapat dibagi secara bebas diantara
anggota suatu organisasi berdasarkan kepangkatan atau ukuran senioritas tanpa
merusak keutuhan organisasi yang bersangkutan.
Abdul
Syani (1994) menyatakan bahwa sumber dasar dari
terbentuknya stratifikasi (pelapisan) dalam masyarakat adalah suku bangsa
(etnis) dan unsur sosial. Stratifikasi
yang terbentuk bersumber dari etnis apabila ada atau lebih grup etnis, dimana
grup etinis yang satu menguasai grup etnis yang lainnya dalam waktu yang
relatif lama.
Sedangkan stratifikasi
yang terbentuk dari sumber sosial, karena adanya tuntutan masyarakat terhadap
faktor-faktor sosial tertentu. Faktor-faktor
sosial itu merupakan ukuran yang bisanya ditetapkan masyarakat berdasarkan
sistem nilai itu kemudian dimasukkan pada level tertentu sesuai dengan tinggi
rendahnya daya guna yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya.
Hassan Shadily (1983)
mengatakan bahwa pada umumnya lapisan dalam masyarakat menunjukkan:
1. Keadaan senasib. Dengan paham ini kita mengenal lapisan yang
terendah, yaitu lapisan pengemis, lapisan rakyat dan sebagainya.
2. Persamaan
batin ataupun kepandaian: lapisan terpelajar dan sebagainya.
Faktor utama yang
mendorong terjadinya pelapisan dalam masyarakat adalah karena tidak ada
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban,
kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya
diantara anggota-anggota masyarakat. Bisa juga karena kondisi kelangkaan
alokasi hak dan kesempatan, atau perbedaan posisi, kekuasaan dalam bentuk waktu
yang sama; kesemuanya itu dapat mendorong terbentuknya pelapisan masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto (1982), selama dalam
suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat mempunyai
sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan
adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesholehan dalam
beragama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.
Bagi siapa saja yang
memiliki sesuatu yang dihargai atau dibanggakan dalam jumlah yang lebih dari
pada yang lainnya, maka ia akan dianggap mempunyai status yang lebih tinggi
pula dalam masyarakat. Sebaliknya bagi
mereka yang hanya mempunyai kuantitas sesuatu yang dibanggakan lebih sedikit,
maka akan dianggap mempunyai status dalam masyarakat yang lebih rendah. Bagi seseorang yang memiliki status, baik yang
rendah maupun yang tinggi, sama-sama mempunyai sifat yang kumulatif; artinya
bagi mereka yang mempunyai status ekonomi yang tinggi biasanya relatif mudah ia
akan dapat menduduki status-status yang lain,seperti status sosial, politik,
ataupun kehormatan tertentu dalam masyarakat.
Begitu juga bagi mereka yang sedikit mempunyai status atau mereka yang
tidak mempnyai sama sekali sesuatu yang dibanggakan, biasanya merka cenderung
akan semakin sulit untuk dapat naik status, atau bahkan dapat dikatakan seorang
yang miskin cenderung semakin menjadi-jadi kemiskinannya.
Orang yang mempumyai
kebanggaan tertentu di bidang politik (kekuasaan), biasanya cenderung akan
menduduki juga lapisan tertentu atas dasar nilai ekonomis. Mereka yang kaya biasanya mempunyai
kecenderungan dapat menempati kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan,
sepanjang didukung oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang
bersangkutan. Orang yang kaya dan
mempunyai kekuasaan tinggi cenderung mempunyai keluarga dan anak-anak yang
cantik-cantik, lantaran orang-orang miskin yang tidak mempunyai pemilikan yang
pantas untuk dibanggakan senantiasa tahu diri, tidak berani mendekatkan diri
dan memang tidak boleh mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar