1.
Definisi Kebudayaan
Secara sederhana,
kebudayaan dapat diartikans ebagai suatu cara hidup atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut “Way of life”.
Cara hidup atau pandangan hidup itu meliputi cara berfikir, cara berencana dan
cara bertindak, disamping segala hasil karya nyata yang dianggap berguna benar
dan dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakat atas kesepakatan bersama.
Menurut Koentjaraningrat (1984), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau
“akal”. dengan demikian, kebudayaan itu
dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Ada pendirian lain mengenai asal kata
“kebudayaan” ...bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budidaya,
artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.
Dalam bukunya yang lain
Koentjaraningrat (1974),
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan g,asan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu. Dalam upayanya
mendefinisikan kebudayaan, ia mencoba memperlihatkan wujudnya dalam kehidupan
masyarakat. Paling tidak, wujud
kebudayaan itu ada tiga macam yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud
kebudayaan berupa benda-benda hasil karya
manusia.
Wujud
pertama adalah wujud kebudayaan yang sifatnya abstrak, tak
dapat diraba atau digambar, sebag letaknya berada dalam kepala manusia; artinya
wujud dalam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan itu tumbuh. Akan tetapi, pada maka kini kebudayaan dapat
dituangkan melalui tulisan, bahkan dapat disimpan dalam kartu atau file
komputer, tape recorder, micro film dan sebagainya. Kebudayaan semacam ini dapat juga berupa adat
istiadat atau tata kelakuan; berarti kebudayaan merupakan segenap pengetahuan
tentang pola-pola bertindak pola-pola berperasaan serta kemampuan berpikir yang
dimiliki oleh segenap anggota masyarakat.
Pola-pola kebudayaan
dalam kehidupan masyarakat dapat berfungsi sebagai pengatur, pengawas dan dapat
memberikan arah kelakuan serta perbuatan manusia sesuai dengan kehendak
umum. Studi tentang stratifikasi ataupun
urut-urutan wujud kebudayaan ini dapat diperinci mulai dari lapisan yang paling
abstrak sampai pada lapisan yang paling nyata (konkret) dan terbatas (terbatas
artinya adat istiadat tidak selalu dapat diwujudkan secara konkret). Pada lapisan pertama yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya, lapisan
yang kedua adalah sistem norma-norma yang sedikit lebih konkrit;
sistem hukum yang berdasarkan norma-norma adalah lebih konkret lagi. Lapisan ketiga
yang paling konkret adalah peraturan-peraturan khusus mengenai kegiatan manusia
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, misalnya aturan sopan santun (adat
istiadat), lapisan ini paling konkret tetapi masih terbatas pada ruang lingkup
tertentu.
Wuju kebudayaan yang
pertama nampak mirip dengan pengertian yang pernah dikemukakan oleh Paul B. Horton dan Robert L. Hunt (1971), yaitu kebudayaan diartikan sebagai segenap
kompleksitas yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Pengertian
ini cenderung oleh mereka disebut sebagai definisi kebudayaan sepenuhnya.
Wujud
kedua, kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial yang meliputi pola-pola kelakuan
manusia itu sendiri. Menurut Tatang M. Amirin (1986), bahwa istilah
sistem mempunyai pengertian sebagai berikut:
1. Suatu hubungan yang tersusun dari sekian
banyak bagian.
2. Hubungan
yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara
bertahap.
Soleman B. Taneko
(1986), mengatakan bahwa ciri khusus yang telihat pada tiap-tiap arti intern
ini adalah terdapatnya unsur-unsur yang paling berkaitan atau hubungan dalam
satu kesatuan. Meskipun penjelasan ini
secara khusus diperuntukkan dalam menghidupkan pengertian sistem dalam sistem
sosial, akan tetapi daspat pula dijadikan pedoman untuk menyebut
istilah-istilah kebudayaan dalam lingkup studi sosiologi. Sistem sosial sendiri dalam kaitannya dengan
wujud kebudayaan yang kedua dapat dipandang bahwa sistem sosial adalah segenap
aktivitas-aktivitas yang berinteraksi
antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam masyarakat, dimana menunjukkan
pola-pola tertentu atas dasar arti adat istiadat yang berlaku. Sebagai
rangkaian akivitas manusia di dalam kehidupan masyarakat, sistem sosial itu
bersifat konkret terjadi di sekeliling pergaulan sehari-hari, dan hal ini dapat
didokumentasikan.
Wujud
ketiga, kebudayaan dapat disebut dengan kebudayaan fisik,
sebab secara keseluruhan merupakan benda sebagai hasil aktivitas,
perbuatan-perbuatan atau karya-karya manusia dalam masyarakat. Mensurut Selo
Soemardjan dan Soeleman Soemardi
(1964), bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material cultur) yang diperlukan oleh
masyarakat untuk menaklukkan dan menguasai alam dengan maksud mengambil
manfaatnya demi keperluan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Rasa meliputi
wujud dari jiwa manusia, yaitu segala norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang
perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Yang termasuk di dalamnya misalnya idiologi,
agama, kesenian, kebatinan dan semua anasir yang merupakan hasil ekspresi jiwa
manusia yang hidup sebagai nggota masyarakat.
Cipta merupakan kemampuan
mental, kemampuan berfikir dari orang
yang hidup bermasyarakat, yang antara lain menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan,
baik itu wujud ilmu pengetahuan murni maupun yang berwujud ilmu pengetahuan
terapan untuk diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan itu
sesungguhnya dimiliki oleh setiap masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang
terlepas dari kebudayaan; yang ada hanya
perbedaan latar belakang, perkembangan dan pemanfaatannya bagi
kepentingan masyarakat, sehingga terjadi berbagai perbedaan kemajuan peradaban.
Bertrand
memandang
kebudayaan sebagai semua cara hidup (way
of life) yang dipelajari dan diharapkan, yang sama-sama diikuti oleh para
anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan ini meliputi semua bangunan,
perkakas,dan benda-benda fisik lainnya maupun teknik-teknik, lembaga-lembaga
sosial, sikap-sikap nilai yang dikenal oleh kelompok tersebut. Dari definisi ini orang dapat melihat bahwa
kebudayaan itu tidak saja meliputi cara-cara berpikir dan berbuat yang dianggap
benar oleh suatu kelompok masyarakat, melainkan juga meliputi hasil-hasil daya
usaha yang bisa disaksikan dengan mata dan dapat diraba.
Selo
Soemardjan dan Soeleman
Soemardi (1964) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan
cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasikan teknologi dan kebudayaan kebendaan atay kebudayaan jasmaniah
(kebudayaan material) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan pada keperluan
masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa
manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai kemasyarakatan yang
aperlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental,
kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup dalam masyarakat yang kemudian
menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa dan
cipta dapat juga disebut sebagai kebudayaan rohaniyah (spiritual atau immaterial culture).
Dari segi material
mengandung karya, yaitu kamampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau
hasil-hasil perbuatan manusia yang berwujud materi. Sedangkan dari segi spiritual, mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan; karsa
menghasilkan kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum dan
selanjutnya rasa menghasilkan keindahan.
Jadi manusia berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan melalui lotika,
menyeasikan tingkah lakunya terhadap kaidah-kaidah melalui etika, dan
mendapatkan keindahan melalui estetika.
Hal itu semua merupakan kebudayaan.
Kluchohn,
memperinci kebudayaan atas tujuah unsur yang dianggap sebagai cultrual
universal yaitu:
1. Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata alat-alat produksi, transportasi dan sebagainya).
2. Mata
pencaharian hidup dan sistem–sistem ekonomli (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa
(lisan maupun tertulis).
5. Kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem
pengetahuan.
7. Religi
(sistem kepercayaan).
Kebudayaan hanya ada
pada kelompok-kelompok pergaulan hidup individu dalam masyarakat. Kebudayaan
merupakan sarana manusia dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Roucek dan Warren
mengatakan bahwa kebudayaan itu bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi
juga benda-benda yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat olejh
manusia. Itulah sebabnya kemudian ia
mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah
masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup,
meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal-hal tersebut adalah seperti pengumpulan
bahan-bahan kebendaan, pola organisasi sosial, cara tingkah laku yang
dipelajari, ilmu pengetahuan. Kepercayaan dan kegiatan lain yang berkembang
dalam pergaulan manusia. Kemudian Roucek
dan Warren menganggap bahwa kebudayaan adalah sebagai sumbangan manusia kepada
alam lingkungannya.
Kebudayaan yang di
dalamnya terkandung norma-norma dan adat istiadat berfungtsi mengatur agar
manusia dapat memahami bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku, berbuat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.
Sebagai perbandingan,
berikut ini ditampilkan beberapa pendapat para ahli tentang definisi kebudayaan
itu:
1. Herskovits
dan Malinowski memberikan definisi kebudayaan
sebagai suatu yang superorganik. Karena
kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus atau
berkesinambungan meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat
senantiasa silih berganti disebabkan karena irama kematian dan kelahiran.
2. E.B. Taylor melihat
kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.
3. Roucek dan Warren mendifinisikan
kebudayaan sebagai satu cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat
guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan
keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya.
4. Hassan Shadily, kebudayaan
berarti keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi
terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan
kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain
kepandaian
5. Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi mengemukakan bahwa kebudayaan itu adalahm semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
6. C. Kluchohn mengemukakan
batasan bahwa kebudayaan itu adalah seluruh cara hidup suatu masyarakat.
7. Koentjaraningrat mengartikan
kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya
itu.
Dari beberapa definisi
kebudayaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui beberapa
kesamaannya, yakni: pertama,
kebudayaan hanya dimiliki oleh masyarakat manusia; kedua, kebudayaan yang
dimiliki manusia itu diturunkan melalui proses belajar dari tiap
individu dalam kehidupan masyarakat; ketiga, kebudayaan merupakan pernyataan
perasaan dan pikiran manusia.
Meskipun setiap
masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, akan tetai pada hakekatnya
kebudayaan mempunyai sifat yang sama dan berlaku umum. Soerjono
Soekanto mengutip pendapat Robert M.
Williams (jr), memperinci sifat hakekat kebudayaan atas empat bagian yaitu:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari
perikelakuan manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada
lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia
generasi yang bersangkutan.
3. Kebudayaan
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4. Kebudayaan
mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan
tindakan-tindakan yang diizinkan.
Sifat hakekat
kebudayaan merupakan inti kekuatan yang mengikat dan mengatur tindakan manusia
dalam usaha pencapaian kehendak dan cita-citanya sesuai dengan kaidah-kaidah
yang hidup dan diterima masyarakat secara umum.
Dengan demikian, berarti kebudayaan merupakan standar hidup
bermasyarakat yang berfungsi sebagai pengatur hubungan manusia dalam setiap
usaha mencapai keinginannya yang diikat oleh segenap nurani dan perasaan.
Menurut Soejono Soekanto (1982), bahwa apabila
manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri pada alam, juga
kalau dia telah dapat hidup dengan manusia-manusia lain dalam suasana damai,
maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu yang menyatakan
perasaan dan keinginannya kepada orang lain, hal mana juga merupakan fungsi
daripada kebudayaan. Akhirnya Seorjono
Soekanto menyimpulkan bahwa fungsi kebudayaan adalah sangat besar bagi manusia,
yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan
sebagai wadah daripada segenap perasaan manusia.
2.
Nilai
dan Norma Sosial
Nilai dan norma senantiasa berkaitan satu sama
lainnya, walaupun keduanya dapat dibedakan.
Nilai sebagaimana pokok pembicaraan disini dapat disebut sebagai ukuran
sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik
buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu objek, baik material
maupun non material.
Dalam buku Pengantar Sosiologi karangan D.A. Wila
Huky (1982), disebutkan ada sebelas ciri-ciri nilai sosial yaitu:
1.
Nilai merupakan konstruksi masyarakat
yang tercipta melalui interaksi diantara para anggota masyarakat. Nilai tercipta
secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir.
2.
Nilai sosial ditularkan. Nilai yang
menyusun sistem nilai diteruskan dan ditularkan diantara anggota-anggota. Nilai ini dapat diteruskan dan ditularkan
dari satu grup ke grup yang lain dalam suatu masyarakat melalui berbagai macam
proses sosial, dari satu masyarakat serta kebudayaan kepada yang lainnya
melalui akulturasi, defusi dan sebagainya.
3.
Nilai dipelajari. Nilai dicapai dan bukan bawaan lahir. Proses
belajar dan pencapaian nilai-nilai itu, dimulai sejak masa kanak-kanak dalam
keluarga melalui sosialisasi.
4.
Nilai memuaskan manusia dan mengambil
bagian dalam usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial. Nilai yang disetujui
dan yang telah diterima secara sosial itu menjadi dasar bagi tindakan dan
tingkah laku, baik secara pribadi atau grup dan masyarakat secara keseluruhan. Nilai juga membantu masyarakat agar dapat
berfungsi dengan baik. Tanpa suatu
sistem nilai, masyarakat akan menjadi kacau. Oleh karena itu, sistem nilai
sosial dipandang penting oleh masyarakat, khususnya untuk pemeliharaan
kemakmuran dan kepuasan sosial bersama.
5.
Nilai merupakan asumsi-asumsi abstrak
dimana terdapat konsensus sosial tentang harga relatif dari objek dalam masyarakat. Nilai-nilai secara konseptual merupakan
abstraksi dari unsur-unsur nilai dan bermacam-macam objek di dalam masyarakat.
6.
Nilai cenderung berkaitan satu dengan yang lain secara komunal
untuk membentuk pola-pola dan sistem nilai dalam masyarakat. Bila tidak terdapat keharmonisan yang
integrasi dari nilai-nilai sosial, maka akan timbul problem sosial.
7.
Sistem-sistem nilai bervariasi antara
kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain, sesuai dengan harga relatif yang
diperlihatkan oleh setiap kebudayaan terhadap pola-pola aktivitas dan tujuan
serta sasarannjya. Dengan kata lain,
keanekaragaman kebudayaan dengan bentuk dan fungsi yang saling berbeda,
menghasilkan sistem-sistem nilai yang saling berbeda.
8.
Nilai selalu menggambarkan alternatif
dan sistem-sistem nilai yang terdiri dari struktur ranking
alternatif-alternatif itu sendiri, sehingga saling menyempurnakan dan mengisi,
dalam menentukan ranking dari posisi atau level dari objek-objek yang ada.
9.
Masing-masing nilai dapat mempunyai efek
yang berbeda terhadap orang perorangan dan masyarakat sebagai keseluruhan.
10. Nilai-nilai
juga melibatkan emosi.
11. Nilai-nilai
dapat mempengaruhi pengembangan pribadi dalam masyarakat secara positif maupun
secara negatif.
Nilai biasanya diukur
berdasarkan kesadaran terhadap apa yang pernah diketahui dan dialami, yaitu
pada waktu seseorang terlibat dalam suatu kejadian yang dianggap baik atau
buruk, benar atau salah, baik oleh dirinya sendiri maupun menrut anggapan
masyarakat.
Abdul
Syani (1994) mendifinisikan nilai sebagai kumpulan
perasaan mengenai apa yang diinginkan atau yang tidak diharapkan; mengenai apa
yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.
Alvin L. Bertrand (1980), menyatatakan bahwa nilai-nilai (dalam pengertian
sebagai penggambaran kecenderungan terhadap apa-apa yang disukai dan apa-apa
yang tidak disukai) akan kelihatan bila sistem-sistem sosial dipakai sebagai
alat konsepsi di dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial. Nilai-nilai itu merupakan sekadar salah satu
bagian komponennya belaka. Sedangkan
konsep keyakinan merupakan kumpulan pikiran dan kepercayaan terhadap suatu
fakta yang boleh atau tidak boleh untuk dibuktikan kebenarannya. Keyakinan,
apabila tidak diterjemahkan sebagai nilai, maka ia tidak perlu diusut
kebenarannya secara empiris.
Robin Wiliam
menyebutkan empat buah kualitas dari nilai-nilai, yaitu:
1. Nilai-nilai itu mempunyai sebuah elemen
konsepsi yang lebih mendalam dibandingkan hanya sekedar sensasi, emosi agtau
kebutuhan. Dalam pengertian ini, nilai
dapat dianggap sebagai abstraksi yang ditarik dari pengalaman-pengalaman
seseorang.
2. Nilai-
nilai itu menyangkut atau penuh dengan semacam pengertian yang memiliki suatu
aspek emosi. Emosi boleh jadi tak
diutarakan dengan sebenarnya tetapi selamanya ia merupakan suatu potensi.
3. Nilai-nilai
bukanlah merupakan tujuan konkret dari pada tindakan, tetapi ia tetap mempunyai
hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai kriteria
dalam memilih tujuan-tujuannya tadi.
Seseorang akan berusaha mencapai segala sesuatu yang menurut
pandangannya mempunyai nilai-nilai.
4. Nilai-nilai
tersebut merupakan unsur penting dan sama sekali tidak dapat diremehkan bagi
orang bersangkutan. Dalam kenyataan terlihat bahwa nilai-nilai tersebut
berhubungan dengan pilihan dan pilihan itu merupakan prasyarat untuk mengambil
suatu tindakan.
Nilai yang diakui
bersama sebagai hasil konsensus, erat kaitannya dengan pandangan terhadap
harapan kesejahteraan bersama dalam hidup bermasyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai sosial dapat
disebut sebagai ketentuan-ketentuan atau cita-cita dari sesuatu yang dinilai
baik dan benar oleh masyarakat lus sebagai ukuran kebaikan atau pedoman hidup (way of life) yang cenderung gdipertahankan. Jika seseorang berperilaku menyimpang atau
berbuat menurut ukuran nilai dirinya sendiri, maka ia akan menerima sanksi
sosial atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat sekitarnya Jadi nilai-nilai sosial merupakan kumpulan
ukuran atas dasar perasaan bersama (in-group
feeling) yang dapat berfungsi sebagai petunjuk arah dalam
rangka usaha mencapai tujuan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Huky, ada
beberapa fungsi umum dari nilai-nilai sosial, yaitu:
1. Nilai-nilai menyumbangkan seperangkat alat
yang siap dipakai untuk menetapkan harga sosial dari pribadi dan grup. Nilai-nilai ini memungkinkan sistem
stratifikasi secara menyeluruh yang ada pada setiap masyarakat. Nilai-nilai itu membantu orang perorangan
untuk mengetahui tempat ia berdiri di depan sesamanya dalam lingkup tertentu.
2. Cara-cara
berpikir dan bertingkah laku secara ideal dalam sujumlah masyarakat diarahkan
atau dibentuk oleh nilai-nilai. Hal ini
terjadi karena anggota masyarakat selalu dapat melihat cara bertindak dan
bertingkah laku yang terbaik, dan ini sangat mempengaruhi dirinya sendiri.
3. Nilai-nilai
merupakan penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya. Mereka menciptakan minat dan memberi semangat
pada manusia untuk mewujudkan apa yang diminta dan diharapkan oleh
peranan-peranannya menuju tercapainya sasaran-sasaran masyarakat.
4. Nilai-nilai
dapat berfungsi sebagai alat pengawas dengan daya tekan dan daya mengikat
tertentu. Mereka mendorong, menuntun dan kadang-kadang menekan manusia untuk
berbuat yang baik. Nilai-nilai yang
dipandang baik dan berguna oleh masyarakat, menimbulkan perasaan bersalah yang
cukup menyiksa bagi orang yang melanggarnya.
5. Nilai
dapat berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok dan
masyarakat.
Dalam pandangan
sosiologis, nilai-nilai sosial dapat langsung mempengaruhi segala aktivitas
individu atau kelompok, terutama dalam rangka menyesuaikan diri dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial dapat
dijadikan ukuran dalam menentukan besar kecil atau tinggi rendahnya status dan
peranan seseorang dalam kehidupan masyarakat.
Sementara itu, norma
sosial lebih banyak menitikberatkan fungsinya sebagai peraturan-peraturan yang
disertai sanksi-sanksi. Sanksi merupakan
ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terburuk atau terbaik untuk
dilakukan. Alvin L. Bertrand (1980)
mendefinisikan norma sebagai suatu standar tingkah laku yang terdapat di dalam
semua masyarakat. Ia mengatakan bahwa
norma sebagai suatu bagian dari kebudayaan non-materi, dan norma-norma tersebut
menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisir dari tingkah laku. Sudah barang tentu memang benar bahwa tingkah
laku erat hubungannya dengan apa yang menurut pendapat seseorang itu benar atau
baik; walaupun begitu, tingkah laku yang sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek
dari organisasi sosial.
Norma-norma tersebut biasanya oleh masyarakat dinyatakan
dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat atau hukum
adat. Pada awalnya, norma terbentuk
tidak disengaja; akan tetapi dalam proses sosial yang relatif lama, tumbuhlah
berbagai aturan yang kemudian diakui bersama secara sadar. Kekuatan daya ikat suatu norma tidak sama
adanya dalam masyarakat, ada yang lemah dan ada pula yang kuat. Norma yang
lemah sering dilanggar dan norma yang kuat dipatuhi sebagai mana hukum yang
mengandung sanksi. Jadi, norma-norma
sosial berfungsi sebagai pengawasan sosial (social
controle) terhadap perilaku individu; maksudnya agar hubungan sosial yang
serasi dalam kehidupan masyarakat dapat terjamin.
Secara sosiologis,
norma sosial merupakan rangkaian peraturan umum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, mengenai tingkah laku atau perbuatan manusia yang dianggap baik atau
buruk, pantas atau tidak menurut penilaian sebagian besar warga
masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari,
norma-norma sosial berfungsi sebagai alat kendali terhadap perilaku warga
masyarakat agar tetap memihak pada peraturan atau kaidah-kaidah hukum yang
berlaku. Norma sosial dianggap sebagai
hukum kemasyarakatan diwujudkan dalam bentuk perintah dan larangan. Norma dalam
bentuk perintah menunjukkan kaidah hukum yang dapat membawa manfaat jika
dilaksanakan.
Sedangkan norma dalam
bentuk larangan menunjukkan kaidah hukum yang dapat membawa bahaya atau
kerugian jika dilanggar. Setiap anggota
masyarakat dapat menerima hukum masyarakat itu sebagai patokan kebenaran dalam
berprilaku. Hukum masyarakat atau norma
sosial tidak sekedar berisi ancaman atau sanksi terhadap pelanggarnya, tetapi
lebih menekankan pada kesadaran moral bahwa hukum itu merupakan kebutuhan hidup. Dengan demikian, berarti norma-norma sosial
itu merupakan hukum masyarakat yang dibentuk atas dasar kehendak bersama,
kepentingan bersama, dilestarikan bersama dan dipatuhi bersama.
Menurut strata
kekuatannya norma-norma sosial dapat diklasifikasikan atas empat tingkatan
yaitu:
a. Cara
berbuat (usage)
Norma yang disebut “cara” hanya
mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibandingkan norma yang
lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada
hubungan-hubungan antar individu dengan individu dalam kehidupan
masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya
(norma), seseorang hanya mendapatkan sanksi-sanksi yang ringan, seperti celaan
dari individu lain yang dihubunginya.
Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tesebut
dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak,
makan berdiri dan sebagainya.
b. Kebiasaan
atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways).
Kebiasaan adalah perbuatan yang
berulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara. Kebiasaan merupakan suatu indikator kalau
orang-orang lain setuju atau menyukai perbuatan tertentu yang dilakukan seseorang. Misalnya bertutur sapa lembut (sopan santun)
terhadap orang lain yang lebih tua atau kebiasaan mengucapkan salam setiap
bertemua orang lain dan sebagainya.
c. Tata
kelakuan
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan
yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap
berprilaku. Tata kelakuan lebih
menunjukkan fungsi sebagai pengawasa kelakuan oleh kelompok terhadap
anggota-anggotanya. Tata kelakuan
mempunyai kekuatan memaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; jika
terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi berupa pemaksaan
terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum
sebagaimana telah digariskan. Bentuk
hukumannya biasanya dikucilkan masyarakat dari pergaulan bahkan mungkin terjadi
pengusiran dari tempat tinggalnya.
d. Adat
istiadat (custom).
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang
berupa aturan-aturan yang mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar
adat-istiadat akan mendapatkan sanksi
hukum, baik formal maunpun informal.
Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan
undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi
hukum. Misalnya pemerkosaan, menjual
kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencara kerja dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya
diterapkan dengan kurang, atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan
pada kepentingan masyarakat. Misalnya
dalam kasus yang sama, seorang yang diketahui (atau tertangkap basah) melakukan
pemerkosaan, maka ia akan mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan untuk
selamanya atau diusir dari tempat tinggalnya untuk tidak kembali atau dapat
juga dilakukan pemutusan hubungan keluarga dan lain-lain. Pada masyarakat tertentu, untuk memulihkan
nama baik yang tercemar diperlukan suatu upacara adat yang tidak sedikit
mengeluarkan biaya.
Norma-norma sosial, seperti cara, kebiasaan, tata
kelakuan dan adat-istiadat, kesemuanya merupakan aturan perilaku kehidupan
sosial yang bersifat kemasyarakatan.
Menurut David Berry (1983),
sifat kemasyarakatan ini adalah bukan
saja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial, tetapi juga
karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan
masyarakat.
Kesepakatan masyarakat terhadap norma-norma yang
melembaga tersebut menurut Abdul Syani
(1994) adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan masyarakat. Seseorang yang telah menjiwai norma biasanya
selalu mengutamakan kepuasan dalam setiap bertindak untuk mencapai tujuan
sosialnya, sebagaimana orang lain melakukan sesuatu dengan patokan yang
sama. Jika ia melakukan sesuatu
menyimpang dari patokan kepuasan umum, maka warga masyarakat lainnya sudah siap
untuk menerapkan sanksinya sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar