Secara etimologis
istilah individu berasal dari bahasa Latin yaitu individum yang berarti satuan terkecil yang tak dapat dibagi
lagi. Secara sosiologi, individu dapat
diartikan sebagai manusia perseorangan yang hidup sendiri tak berkawan. Individu adalah pribadi yang mempunyai
fikiran atas kepentingan yang bersifat subjektif. Individu dalam konsep sosiologis dapat
dirumuskan secara terbatas sebagai jumlah keseluruhan pengalaman,
pandangan/fikiran dan segenap tindakan seseorang yang kemudian membentuk dan
mewarnai ciri-ciri pribadinya.
Alvin
L. Bertrand (1980) memandang individu sebagai
kedirian. Secara objektif, kedirian (self) dapat dikatakan sebagai kesadaran
terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar
dirinya. Pada hakekatnya, kesadaran
itulah yang mendorong timbulnya sebutkan “aku” atau “saya”. Kedirian yang
subjektif itu tidaklah mudah dipelajari, meskipun oleh orang yang mempunyai
diri itu sendiri, sebab tidak seorang pun dapat meninjau dirinya sendiri secara
objektif seratus persen. Bertrand mengutip pendapat Charles H. Cooley yang menjelaskan
bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang, seperti yang berwujud
cita-cita, sikap-sikap dan kesetiaan, merupakan salah satu dimensi dari
kedirian, yaitu kedirian subjektif.
Apabila nilai-nilai tersebut diterima oleh orang bersangkutan ari
orang-orang lain, itulah yang disebut dengan dimensi kedirian objektif. Maksudnya adalah, jika pada waktu tertentu
seseorang pribadi atau individu berperilaku menurut harapan orang lain, maka
berarti individu tadi telah memandang dirinya dari dimensi objektif. Untuk menemukan suatu kesadaran sosial,
individu senantiasa memandang orang lain sebagai konsep tentang diri
sendiri. Oleh karena itu, untuk
menghilangkan pertentangan antar pribadi atau konflik dalam kehidupan
masyarakat, seseorang harus mampu melihat dirinya sebagaimana orang lain atau
dapat melihat orang lain seperti diri sendiri.
Pendapat George H. Mead
yang dikutip oleh Bertrand membagi kedirian manusia menjadi dua dimensi. Pertama,
dimensi aku sebagai objek (me). Dimensi
ini merupakan bagian dari diri mempertimbangkan atau memperhitungkan
sikap-sikap serta pendapat-pendapat orang lain. Dimensi pertama ini bercirikan
sebagai bagian yang pasif dan konvensional dari kedirian seseorang. Kedua,
dimensi aku sebagai subjek (I=ai).
dimensi ini merupakan bagian yang aktif, yaitu secara aktif dan kreatif
berbuat mempengaruhi dan bukannya dipengaruhi oleh masyarakat.
Cooley menganalisis
dimensi individu dengan “teori cermin”, yang terdiri dari tiga langkah yang
dijalani oleh seorang individu untuk menerima konsepsi kediriannya dari
orang-orang lain. Langkah-langkah ini
meliputi:
(1) Imajinasi
tentang pandangan orang-orang lain terhadap seseorang, seperti bagaimana
pakaian atau tingkah laku di mata orang lain;
(2) Imajinasi
terhadap penilaian orang lain terhadap yang terdapat pada diri masing-masing
orang, seperti misalnya mengenai ketinggalan zaman atau tidaknya pakaian yang
dipakai, dirinya termasuk tingkah laku lemah lembut atau kasar, dan sebagainya;
(3) Seperti
merasa sesuatu, misalnya bangga, kecewa, gembira atau rendah diri yang timbul
sebagai akibat imanjinasi diri sendiri sehubungan dengan penangkapan
masing-masing orang terhadap kata orang-orang lain yang ditujukan padanya.
George
H. Mead (Soerjono Soekanto: 1983) menyatakan bahwa hakekat pribadi
atau individu terbentuk dari tanggapan yang berasal dari pihak-pihak lain. Oleh karena itu, maka identitas merupakan
suatu gejala sosial yang mempunyai ciri-ciri yang tetap maupun situasional. Ciri-ciri tetap yang bersifat stabil
diperoleh dari tanggapan-tanggapan pihak-pihak lain yang bersifat sinambung,
sedangkan variasi situasional mungkin ada karena peranan yang berbeda-beda dari
pihak-pihak lainnya yang tidak mustahil mengalami perubahan pad kedudukan
maupun peranan. Dengan demikian berarti keberadaan
pribadi-pribadi lain di dalam proses interaksi sosial merupakan hal yang sangat
penting di dalam pembentukan identitas pribadi maupun perkembangannya kemudian.
Setiap
individu, dalam hidupnya mempunyai pikiran atau akal pikiran (rasio) dan perasaan
atau emosi. Akal pikiran pribadi berfungsi sebagai penggerak dalam setiap
usahanya mengembangkan diri, seperti usaha meraih cita-cita dan atau usaha
mengatasi berbagai masalah dalam perjalanan hidupnya. Dengan akal pikirannya, individu dapat
berkarya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Sedangkan unsur perasaan atau emosi merupakan
suara nurani manusia yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap dan menilai
kegunaan hasil karya; seperti rasa suka terhdap benda-benda, rasa bahagia atas
keberhasilan usaha atau dapat juga berupa perasaan cinta terhadap alam atau
sesama. Masing-masing individu mempunyai
perasaan yang berbeda-beda sesuai dengan
selera dan kepentingan pada waktu tertentu.
Perasaan bisa juga ditinjau dari sudut fisik, seperti perasaan sedap
terhadap makanan tertentu, rasa panas sengatan matahari atau rasa sakit pada
tubuh di kala jatuh dari tangga.
Cooley
memperinci individu atas tiga fase (Wila Huky 1982) yaitu:
1. Fase
persepsi, yaitu apa yang dilihat orang lain dalam kepribadian dan tingkah
lakuku;
2. Fase
penafsiran, yaitu bagaimana orang-orang lain menilai apa yang mereka lihat
dalam diriku;
3. Dalam
fase ketiga, individu dengan dasar jawabannya sendiri terhadap
pertanyaan-pertanyaan itu, menimbulkan sejumlah perasaan tentang diri sendiri
dan mengembangkan sejumlah sikap tentang dirinya, seperti sikap bangga,
sombong, rendah hati dan sebagainya.
Dalam
buku Sosiologi Skematika, Teori dan
Terapan, Abdul Syani (1974)
menyatakan bahwa telaah manusia sebagai individu pada umumnya ditempatkan pada
nomor dua setelah kajian masyarakat, kaena sosiologi yang mempunyai objek studi
masyarakat lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap kolektivitas
sosiologis. Masyarakat adalah wadah
hidup bersama dari individu-individu yang terjalin dan terikat dalam hubungan
interaksi serta interelasi sosial.
Dalam
studi masyarakat, individu tidak dipandang sebagai orang tersendiri tanpa
hubungan dengan individu lain. J.L.
Gillin dan J.P Gillin, menamakan masyarakat sebagai kelompok manusia yang
terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang
sama. Menurut Auguste Comte masyarakat merupakan kelompok-kelompok mahluk hidup
dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri
dan berkembang menurut pola perkembangannya sendiri. Masyaralat dapat membentuk kepribadian yang
khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akanmampu
untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya.
Hassan Shadiliy mendefinisikan masyarakat sebagai golongan
besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian
secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain. Kemudian Ralp
Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang
telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat
mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya dalam satu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu.
Ciri-ciri
masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut Soerjono Soekanto (1982) adalah sebagai berikut:
a. Manusia
yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang
mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang
harus ada. Akan tetapi secara teoritis,
angka minimumnya adalah du orang yang hidup bersama.
b. Bercampur
untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan
dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya
kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena
dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa
dan mengerti; mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan
kesan-kesan atau perasaan-perasaannya.
Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan
timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam
kelompok tersebut.
c. Mereka
sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan;
d. Mereka
merupakan suatu sistem hidup bersama.
Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap
anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.
Secara
ringkas, kumpulan individu baru dapat disebut sebagai masyarakat jika telah
memenuhi empat syarat utama, yaitu: (a) Dalam kumpulan manusia harus ada ikatan
perasaan dan kepentingan; (b) mempunyai tempat tinggal atas daerah yang sma
atau mempunyai ciri kelompok tertentu; (c) Hidup bersama dalam jangka waktu
yang cukup lama; (d) dalam kehidupan bersama itu terdapat aturan atau hukum
yang mengatur perilaku mereka dalam mencapai tujuan dan kepentingan bersama.
dengan
demikian, berarti masyarakat bukan sekedar kumpulan manusia semata tanpa
ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu sama lainnya.
Setiap individu mempunyai kesadaran akan keberadaannya di tengah-tengah
individu yang lainnya. Sistem pergaulan
didasarkan atas kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan. Menurut Mac Iver (Harsodjo: 1972), di dalam
masyarakat terdapat suatu sistem cara kereja dan prosedur dari pada otoritas
dan saling bantu membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan
pembagian-pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia
dan kebebasan.
Hidup
bermasyarakat adalah sangat penting bagi manusia, ia tidak sempurna dan tidak
dapat hidup sendirian secara berkelanjutan tanpa mengadakan hubungan dengan
sesamanya dalam masyarakat Adham Nasution (1983) menjelaskan bahwa
hidup bermasyarakat adalah mutlak bagi manusia supaya ia dapat menjadi manusia
dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebagai human
being, orang atau oknum. Bukan sekedar dalam pengertian biologis, tetapi
benar-benar ia dapat berfungsi sebagai manusia yang mampu bermasyarakat dan
berkebudayaan.
Sebagaimana
hubungan individu dalam masyarakat yang pada hakekatnya merupakan hubungan
fungsional, sekaligus sebagai kolektivita yang terbuka dan saling
ketergantungan antara satu sama lainnya.
Individu dalam hidupnya senantiasa menghubungkan kepentingan dan
kepuasannya pada orang lain. Charles H.
Cooley menamakannya sebagai “the looking
glass self” yaitu perkembangan kesadaran diri sendiri sebagai pencerminan
dari pandangan orang-orang lain. Menurut
Hassan Shadily (1983) manusia akan tertarik kepada hidup bersama
dalam masyarakat karena didorong oleh beberapa faktor:
1. Hasrat
yang berdasar naluri (kehendak biologis yang di luar penguasaan akal) untuk
mencari teman hidup, pertama untuk memenuhi kebutuhan seksual yang sifatnya
biologis sebagaimana terdapat pada semua mahluk hidup.
Dari sifat manusia yang biologis itu kemudian mendorongnya untuk
memenuhi kebutuhan seksnya. Kebutuhan
ini sebagai manusia yang beradap dan beragama biasanya dipenuhi dengan
syarat-syarat perkawinan secara sah.
Ikatan suami isteri berdasarkan pernikahan mewajibkan orang tua
memelihara keturunan dengan baik mulai dari ketika ia bayi dalam pendidikannya
dan kalau bisa juga dalam penjodohannya, sehingga anak itu menjadi anggota
masyarakat yang baik menurut adat yang dianut oleh orang tua. Dari keluarga-keluarga yang terbentuk itu
kemudian menjadi kelompok-kelompok sosial yang disebut masyarakat.
2. Kelemahan
manusia selalu mendesak untuk mencari kekuatan bersama, yang terdapat dalam
berserikat dengan orang lain, sehingga dapat berlindung bersama-sama dan dapat
memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari dengan usaha bersama. Keadaan demikian ini juga akhirnya mendorong
setiap individu (manusia) untuk tidak terlepas hidup bermasyarakat.
3. Aristoles,
berpendapat bahwa menusia ini adalah zoon politikon, yaitu mahluk sosial yang
hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup
bersama, lebih suka dari pada hidup sendiri.
4. Menurut Bergson, bahwa manusia ini hidup bersama bukan oleh
karena persamaan, melainkan oleh karena perbedaan yang terdapat dalam sifat,
kedudukan dan sebagainya. Ia mengatakan
bahwa kenyataan hidup baru terasa dengan perbedaan antara manusia masing-masing
itu dalam kehidupan bergolongan.
Berdasarkan
adat, sifat meniru dan sebagainya, perasaan solidarias dalam golongan keluarga,
suku bangsa, negara dan seterusnya akan menjadi kuat dan luas, dan ikatan ini
akan bertambah kuat dalam menghadapi bahaya.
Dengan meluasnya pertalian dari keluarga kepada suku bangsa, kepada
negara dan sebagainya, maka pertalian dalam ikatan yang terkecil akan terasa
lebih lemah. Baik juta diperhatikan
bahwa ikatan solider ini berlainan sifatnya ke dalam dan keluar; yang ke dalam
merupakan ikatan diantara anggota-anggonya, sedangkan ikatan keluar, artinya
terhadap golongan lain. Ikatan-ikatan
dalam kelompok, memang mempunyai kelemahan-kelemahan, akan tetapi juga dapat
menghilangkan permusuhan antar golongan, malahan dapat mengikat mereka bersama
menjadi persatuan yang lebih luas. Demikian
inilah, maka terbentuknya masyarakat memang merupakan suatu kodra sebagai wadah
kehidupan manusia mahluk kepentingan.
Mengenai
harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia dalam hidup bermasyarakat, Mayor
Polak (1979) menjelaskan bahwa harapan (expectation)
dan tujuan (goal) adalah dekat sekali dengan norma dan nilai. Tujuan-tujuan sosial adalah anggapan-anggapan kolektif tentang apa yang patut dan
pantas diinginkan dan diusahakan.
Tujuan-tujuan seseorang adalah banyak sekali ada yang dekat, ada yang
jauh, ada yang diutamakan, ada yang kurang dipentingkan dan sebagainya.
Dalam
kehidupan sehari-hari hubungan antar manusia yang terikat dalam kesatuan
kelompok masyarakat itu, terdapat banyak variasi kejadian, seperti solider dan kebencian. Kompleksitas kejadian ini dalam sosiologi
disebut proses mengikat mendekati dan bersatu; ada pula yang disebut proses
perpisahan yaitu bercerai dan perpisahan hidup masing-masing.
Konsekuensi
hidup bermasyarakat memang menghilangkan sebagian kemerdekaan individu,
seolah-olah masyarakat mendesak individu-individu untuk mengakui
kekuasaannya. Dengan adanya masyarakat,
maka sifat manusia secara individual menjadi terpendam dan terintegrasi ke
dalam sifat masyarakat. Integrasi sosial
merupakan kesatuan hubungan yang bersifat pisik dan komunikatif sekaligus
merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusiawi
merupakan suatu dasar dari pada yang dimaksudkan dengan derajad keselarasan
dalam kehidupan masyarakat.
Terbentuknya
masyarakat dapat pula didorong oleh kekuatan faktor sosial, yaitu toleransi,
tolong menolong. Toleransi merupakan
sikap bersedia untuk mengalah atau menerima ide dan pendirian pihak lain untuk
suatu kompromi. Sebagai mahluk sosial
manusia dilahirkan sudah mempunyai dua hasrat pokok, yaitu (1) hasrat untuk
hidup bersama manusia lain; (2) hasrat untuk bersatu dengan suasana alam
sekitarnya.
Menurut
Ogburn dan Nimkoff, integrasi manusia
dalam kelompok dapat dicapai jika memenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Anggota
kelompok (masyarakat) merasa berhasil mengisi kebutuhan antara satu dengan yang
lainnya;
2. Tercapainya
suatu konsensus (kesepakatan) mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial;
3. Norma-norma
cukup laa dan konsisten (tetap) tidak ada perubahan.
Alex Inkeles
mengutip pendapat Marion Levy
mengusulkan empat kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kelompok sebelum
kelompok tersebut dapat dianggap sebagai suatu masyarakat. Kelompok tersebut harus mampu berada lebih
lama dari pada masa hidup seorang individu; kelompok tersebut harus merekrut
anggota-anggota barunya, setidak-tidaknya untuk sebagian, melalui pembiakan;
kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiaannya kepada suatu
kompleks “sistem tindakan utama”
bersama; dan sistem tindakan tersebut
harus “swasembada”. Kriteria yang
terakhir ini memerlukan sedikit penjelasana tambahan. Yang kami maksudkan dengan “sistem tindakan” ialah seluruh perangkan
kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan cara-cara bertindak yang baku yang
biasanya diwujudkan oleh suatu kelompok yang mempunyai hubungan sosial timbal
balik yang relatif langgeng.
Adas
tiga alternatif corak dan arah hubungan individu dengan masyarakat, yaitu: (1)
individu memiliki status yang relatif dominan terhadap masyarakat; (2)
masyarakat memiliki status yang relatif dominan terhadap individu; (3) individu
dan masyarakat saling bergantung (hubungan interdependen).
Setiap
satuan individu tersebut masing-masing mempunyai kekhususan yang berpengaruh
terhadap dinamika kehidupan masyarakat.
Soepomo menjelaskan kedudukan individu sebagai pribadi menyatakan, bahwa
di dalam Hukum Adat pribadi (individu) bukanlah merupakan pribadi yang terasing
dari masyarakat. Setiap pribadi
merupakan warga atau anggota masyarakat; akan tetapi yang utama adalah tetap
masyarakat yang merupakan pusat kehidupan hukum. Pribadi dianggap sebagai warga atau anggota
masyarakat yang hidup terutama untuk mencapai tujuan-tujuan dari
masyarakat. Oleh karena itu, maka dalam
kehidupan Hukum Adat ada anggapan yang kuat bahwa kehidupan pribadi adalah
untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat.
Akan tetai, pengabdian tersebut tidak dirasakan sebagai beban oleh
pribadi-pribadi yang bersangkutan, yang diberikan atau ditugaskan oleh suatu
kekuasaan yang berada di luar dirinya.
Pengabdian tersebut bukanlah merupakan pengorbanan yang harus diberikan
oleh pribadi demi kepentingan umum.
Masyarakat
tidak merupakan badan kepentingan tersendiri seperti individu-individu yang
bercerai berai; melainkan merupakan kelompok homogen yang menganut kepentingan
bersama. Individu-individu merupakan bagian dari suatu keseluruhan. Menurut Soepomo,
bahwa individu ialah suatu makhluk, dalam
mana masyarakat mengkhususkan diri.
Masyarakat adalah keseluruhan dari sekian anggota-anggota
seorang-seorang. Karena itu keinsafan
kemasyarakatan dan keinsyafan individu bercampur baur.
Abdul
Syani (1994) menyimpulkan bahwa walaupun telah terjadi pembauran, bukan berarti
eksistensi individu sama sekali tidak ada dan sama sekali tidak ada peluang
bagi kehidupan yang bersifat pribadi. Sebaliknya, meskipun dalam kehidupan
masyarakat yang telah mengalami proses serba individualistis pun, kehidupan
bersama tetap tidak akan dapat ditinggalkan.
Dengan demikian, akhirnya dapat disimpulkan bahwa individu dan
masyarakat merupakan perangkat yang senantiasa ada di dalam setiap pergaulan
hidup; individu tidak mungkin dapat hidup dengan sempurna tanpa bermasyarakat.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIndividu adalah pokok kajian psykologi sementara sosiologi pokok kajiannya orang-orang yang berada dalam kelompok atau msyarakat.
BalasHapus