Dari realitas
penanganan konflik di Lampung Selatan pada 2 tahun terakhir, ternyata belum dapat menyelesaikan konflik
secara tuntas. Hal ini disebabkan karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai
kearifan lokal, akar masalah, dan latar belakang konflik yang terjadi. Menurut
penuturan informan, ada beberapa faktor penyebab sulitnya penanganan konflik di
Lampung pada umumnya, krn telah
terjadi timbunan konflik laten sebelumnya. Timbunan konflik laten ini
diantaranya adalah sebagai berikut:
- Resolusi konflik tdk tepat, lemah, tdk tuntas/formalitas (dilapangan) mediator/pihak ke-3 tdk dipercaya (fungsi independensi dan perilaku tdk memberi sumbangan nyata bagi masyarakat yg berkonflik), akar masalah tidak ditemukan, ibarat perlu kail diberi cangkul
- Proses resolusi konflik cenderung subyektif/memihak, shg keputusan tidak diakui dan tidak membawa kesadaran masyarakat
- Kemampuan pemerintah dlm mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal rendah (tdk memahami), kebiasaan/tradisi yg melekat dlm kehidupan masyarakat makin pudar, spt falsafah hidup dan sistem kemuakhian lemah.
- Adanya kepentingan thdp konflik, pengalihan masalah, dan pencitraan, shg sasaran resolusi konflik menjadi samar/semu atau penerapan adat kemuarian yg salah, krn kepentingan ttt, ini memudarkan/mebelokkan tujuan kemuarian (dijelaskan berikut).
- Resolusi konflik dg intimidasi dan kekerasan sekedar meredam sementara...
- Butir2 janji perdamaian topdown, tdk aspiratif, dipaksakan, campur tangan pemerintah menggilas kearifan lokal, tempat, lembaga adat danTokoh yg terlibat tdk mewakili lembaga dan tokoh lokal yg dipercaya
- Rendahnya kualitas keharmonisan sosial interaetnik dan interetnik (antar klpk satu kepenyimbangan marga, beberapa kepenyimbangan marga dlm kesatuan kebandaran, beberapa klpk penyimbangan kebandaran wilayah, kelopok jurai budaya, dan antar klpk penyimbang adat Lampung (Sang Bumi Ruwa Jurai) dengan kelompok masyarakat adat pendatang, kesatuan etnis dan komunitas sosial lainnya.
Untuk menyelesaikan konflik dan
memelihara kembali perdamaian pasca konflik, perlu melibatkan tokoh-tokoh adat
setempat dengan memanfaatkan norma-norma hukum adat yang masih dijiwai oleh
masyarakat adat setempat sebagai unsur kearifan lokal. Kearifan (wisdom)
berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi
sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi
di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan
lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku
sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan
memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat.
Salah
satu kearifan lokal Lampung yang biasa digunakan untuk menyelesaikan konflik
adalah “adat muwakhi” (mewarei=bersaudara=pepadun), yang berarti bersaudara
atau adat persaudaraan dalam hubungan sosial. Muwakhi berasal dari kata puwakhi
yang artinya saudara sekandung, dan saudara sepupu dari garis pihak bapak
maupun ibu. Muwakhi merupakan nilai dasar etika sosial dilandasi falsafah hidup
Piil Pesenggiri. Oleh karena itu perlu dilestarikan, dipelihara, dikembangkan dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, kerabat,
kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber M. Abas Syahputra gelar/Adok Pangeran
Sasuhunan Sampurna Jaya Marga Katibung, dalam kutipan hasil wawancara sebagai
berikut:
Angkon itu secara umum bisa kita bedakan
menjadi dua macam, yang pertama ngangkon secara adat yang kedua ngangkon secara
umum. Nah, ngangkon yang secara adat ini yang harus melalui prosesi adat
ataupun tata cara adat, ada tahapan-tahapanya dan biasanya membutuhkan biaya
besar jika melihat situasi zaman sekarang. Sedangkan yang kedua, untuk ngangkon
secara umum itu lebih simpel dan tidak membutuhkan biaya besar karna hanya
pertemuan antara kedua belah pihak yang mau ngangkon, kemudian musyawarah. Saat
ini yang wajar dilakukan ngangkon yang umum yang tau-tau sudah ngangkon dan si
A punya adok ini dan si B punya adok itu.( Hasil Wawancara tanggal 09 Mei 2017).
Sedangkan untuk tempat beguwai adat
mewaghi/muwakhi bagi masyarakat adat Pepadun, menurut ketentuan adatnya adalah
di Sessat Agung. Akan tetapi bisa juga dilaksanakan di Nuwo Balak atau Nuwo
Ghatcak, tergantung besar kecilnya gawi (guwaian), mesak matahnya (matang
mentahnya) pola begawi adat yang di sepakati dalam peppung/hippun perwatin.
Alasan angkon muwakhi bagi masyarakat
adat Lampung pada umumnya adalah sebagai upaya mempererat tali persaudaraan
bagi sesama kerabat dekat, kerabat jauh, warga sekitar di luar keluarga utama
(saudara kandung atau kerabat dekat) dan warga luar adat/kampung/pekon,
termasuk warga pendatang dari berbagai asal usul, agama, suku dan golongan. Di
samping alasan lain yang sifat dan tujuannya untuk menghentikan dan
menyelesaikan perselisihan/konflik antar warga, baik laten maupun terbuka
dengan tujuan agar tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi sebagaimana
hubungan saudara kandung. Hal ini senada dengan penjelasan dari kutipan hasil
wawancara dengan Zainal Abidin gelar/Adok Pangeran Naga Beringsang Marga
Dantaran sebagai berikut:
Menurut Zulkifli
Tahir dengan gelar/Adok Temenggung Niti
Zaman Bandar Kesugihan Marga Legun, bahwa pelaksanaan kegiatan
mewarei (sebatin=muwakhi) tersebut biasanya melalui beberapa tahapan paska
konflik. Pelaksanaan adat muwakhi ini didasarkan atas dukungan niat yang luhur
dan kemampuan dari kedua belah pihak guna penyelesaian konflik yang terjadi.
Dalam bagian penting dari prosesi adat muwakhi itu adalah tahap penegasan status/posisi mereka yang
angkon muwakhi (angkat saudara) dalam suatu tatanan masyarakat adat setempat.
Karena peristiwa mewakhi berpedoman pada
status hirarki dan status dalam keluarga dan masyarakat, maka pedoman awal yang
digunakan adalah status pihak yang berinisiatif dalam masyarakat adat yang
bersangkutan. Status pihak yang dimaksud adalah kedudukan pihak yang
berinisiatif dalam masyarakat adatnya, yaitu secara tegas apakah yang
bersangkutan berstatus sebagai punyimbang marga, penyimbang pekon/tiyuh,
penyimbang suku, atau masyarakat adat biasa yang berada di bawah salah satu
status kepemimpinan/penyimbang adat.
Dalam prinsip sosiokultural hubungan
tali persaudaraan/kemuwakhian ini dikukuhkan secara formal adat, yaitu melalui
perayaan/upacara pengukuhan atau beguwai adat angkon muwakhi. Beguwai adat
muwakhi ini merupakan simbol pertalian saudara antar pihak, di mana
masing-masing telah sepakat secara ikhlas menjadi saudara kandung dengan segala
tanggungjawab, hak dan kewajibannya. Hubungan persaudaraan dalam adat angkon
muwakhi ini dikuatkan oleh ikatan perjanjian dan sumpah setia yang disaksikan
dan disahkan oleh segenap tuha khaja (para penyimbang adat) dan perangkat adat
lainnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Sebagaimana
dipaparkan di atas, bahwa tujuan angkon muwakhi itu adalah untuk mengikat dan
mendekatkan hubungan persaudaraan/kekeluargaan secara mendalam, sehati se-iya
sekata, senasib sepenanggungan, seiring sejalan dan musyawarah mufakat dalam
segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping berfungsi sebagai strategi
ampuh dalam penyelesaian masalah jika pada suatu ketika terjadi perselisihan
diantara warga masyarakat adat setempat.
Nilai kearifan lokal akan memiliki makna
apabila tetap menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial,
lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan
konflik. Keberadaan nilai kearifan lokal justru akan diuji ditengah-tengah
kehidupan sosial yang dinamis. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh
dan berkembang pada masyarakat Lampung telah teruji keampuhannya, paling tidak
ketika proses perubahan dan konflik berlangsung, dapat diredam dengan
mengingatkan dan mendarakan kembali bahwa mereka memiliki nilai-nilai falsafah
hidup luhur sebagai masyarakat yang mengutamakan kerukunan.
Dalam rangka penanganan konflik yang
selama ini mengalami kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola yang
tidak relevan dengan kearifan lokal masyarakay adat setempat, pada akhirnya
justeru menimbulkan masalah baru, yaitu diantaranya konflik laten, kecemasan
berkepanjangan, dan keragaman faktor pemicu konflik terbuka susulan yang sulit
diprediksi.
Ada beberapa alasan pentingnya
merevitalisasi dan implementasi kearifan lokal angkon muwakhi tersebut, yaitu:
- Masyarakat adat Lampung nilai-nilai kearifan lokal berupa tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam penyelesaian konflik, yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
- Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat kemuarian tertuang dlm bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
- Landasan adat kemuarian adalah falsafah hidup Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan, maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial yg mengedepankan musyawarah utk mufakat. Masyarakat adat Lampung selalu terbuka, baik thdp sesama etnis Lampung maupun pendatang
- Maksud : tradisi penyelesaian konflik dg model angken muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak yg terlibat konflik menjadi saudara angkat. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki ikatan hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa curiga, tak ada dusta, dan hapus semua bentuk perselisihan.
- Dalam ikrar/sumpah/janji mewarei terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam) dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin. Kecuali itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok Pemerintahan Adat.
- adat mewarei ditetapkan melalui hasil musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki DAYA IKAT yang relatif kuat dan sanksi yg cukup berat jika ingkar/dilanggar.
- Tujuan : Jika telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Artinya, agar perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional maupun rasional.
- Bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yg sangat sakral dan agung itu
- Maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal adat mewarei sbg pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.
Langkah-langkah untuk membangun kearifan
lokal adat muwakhi itu, maka para pemuka adat, masyarakat, dan tokoh agama
secara simultan melakukan sosialisasi ke setiap kelompok warga masyarakat adat
untuk memberikan pencerahan akan arti pentingnya adat muwakhi untuk menciptakan
kerukunan intern dan antar warga. Kecuali itu agar masyarakat tidak terseret
pada pemikiran sempit yang memanfaatkan konflik demi kepentingan pribadi dak
golongan. Hal ini diharapkan dapat mencerahkan semangat baru kearifan lokal
angkon muwakhi yang dapat memelihara dan membangun kerukunan masyarakat meski dalam suasana multikultural
dan multietnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar