Dalam prosesi adat,
angkon muwakhi secara ideal dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Seluruh
tahapan yang dilalui memiliki makna tesendiri, sehingga dalam pelaksanaannya
tidak bisa sembarangan. Adapun tahapan prosesi perayaan adat angkon muwakhi
secara ringkas adalah sebagai berikut:
1.
Hippun wakhi pelambanan
(musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat dekat). Tujuannya
adalah untuk mencari dan mecapai kesepakatan bersama tentang berbagai syarat, persiapan
dan tahapan pelaksanaan pagelaran upacara adat muwakhi. Dengan demikian
rangkaian acara adat muwakhi sejak awal sampai puncak acara dapat terlaksana
secara lancar dan efektif.
2.
Hippun suku (musyawarah
antara kepala-kepala suku yang mewakili pihak-pihak keluarga-keluarga yang
melaksanakan upacara adat muwakhi). Hippun pada tingkat suku ini menunjukkan
bahwa warga adat tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu keniscayaan
hidup bersama di bawah naungan kelompok adat pada tingkat suku.
3.
Hippun tiyuh/pekon
(antar penyimbang tiyuh dari masing-masing pihak calon angkon muakhi). Hippun
ini merupakan paket musyawarah lanjutan pada tingkat lebih luas di atas
kelompok masyarakat adat yang dipimpin oleh Perwatin Suku. Hippun tiyuh ini
dipimpin oleh para kepala tiyuh atau perwatin tiyuh yang mewakili atau
melanjutkan suara kesepakatan yang telah dirumuskan sebelumnya di tingkat
Hippun Suku. Hasil hippun pada tingkat tiyuh ini adalah kesepakatan bersama
antar Perwatin Tiyuh yang melambangkan kekuatan legitimasi adat lebih tinggi,
di mana aspirasi dan harapan warga masyarakat adat telah dikuasakan kepada
Perwatin Tiyuh sepenuhnya.
4.
Hippun Marga
(musyawarah antar kepala/perwatin marga). Hippun marga ini membawa amanah
kesepakatan hasil musywarah antar perwatin tiyuh sebelumnya. Hippun pada
tingkat perwatin marga ini adalah musyawarah tingkat tinggi pada pemerintahan
adat. Kesepakatan hasil musyawarah pada tingkat perwatin marga seksligus
merupakan keputusan perwatin marga; artinya secara normatif keputusan tersebut telah
mempunyai daya pengikat dan perlindungan hukum adat yang kuat. Dengan demikian
pihak warga (baya) yang hendak melaksanakan perayaan upacara adat muwakhi telah
siap sepenuhnya, termasuk perlengkapan fisik kepanitiaan/penglaku adat dan
ritual adat istiadat yang berlaku, sebagaimana dipaparkan pada tahapan-tahapan
selanjutnya.
5.
Hippun Lamban Balak
(persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan Tuha Khaja 5 Marga dan perangkat pemerintahan adatnya, penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan tuha khaja tentang hak dan
kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji sumpah atau katam).
6.
Persiapan pakaian adat
masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon angkon muakhi
(sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal, disesuaikan), payung
adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dan lain-lain.
7.
Persiapan lokasi
prosesi angkon muakhi: di lamban balak sebagai baya jika kedua pihak atau salah satunya sebagai keturunan keluarga
penyimbang marga/tiyuh/suku di lamban salah satu calon muakhi (sebagai baya). Persiapan ini pada dasarnya sama
dengan poin 6, dengan penyesuaian secara kondisional.
8.
Persiapan dekorasi dan
perlengkapan sarana upacara adat angkon muwakhi di Lamban balak atau di rumah baya (pelaksana upacara adat). Susunan
ruang sidang/upacara adat: kursi singgasana 5 penyimbang dengan posisi tengah
untuk penyimbang marga, lengkap dengan perangkat penyimbang adat undangan lain.
Di samping kiri-kanan, kursi kebesaran dari pihak-pihak yang akan melaksanakan
angkon muwakhi bersama keluarga besar dan kerabat dekat masing-masing. Di ruang
tengah ke depan posisi podium tempat penyimbang marga berdiri memberi sambutan,
tetangguh, nasehat kepada pihak-pihak yang akan seangkonan muwakhi yang secara
bersamaan menempati posisi berdiri menghadap ke arah penyimbang marga.
9.
Persiapan penerimaan
tamu undangan. Di tempat ini sekaligus berlangsung proses penerimaan tamu
undangan, baik dari pihak perwatin (penyimbang) marga, tiyuh, dan suku dari
lima marga, maupun tamu undangan dari kerabat, para tokoh masyarakat, alim
ulama, unsur pemerintah, unsur lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat sesuai
dengan kesepakatan hasil musyawarah teknis penglaku sebelumnya.
10. Persiapan
kirab/ngarak (arak-arakan sebatas pamekonan), diteruskan mandi duway (ngeduwaikon);
selanjutnya kembali ke lamban balak/lokasi prosesi perayaan adat muwakhi.
Arak-arakan kembali menuju lokasi prosesi beguwai angkon muwakhi yang telah
disiapkan sarana jalan yang terdiri dari jejalan handak (kain putih yang
dihampar), awan telapah, dua buah payung, para tuha khaja, kandang rarang (kain
penyekat), muli-mekhanai, dan dua atau lebih tandu, atau kereta kencana
(sekarang mobil hias). Rombongan kirab ini akan disambut oleh para penyimbang
adat dari 5 marga yang sudah siap dengan formasi berdiri di depan kursi
kebesaran masing-masing lengkap dengan pakaian adat.
Pada
waktu bersamaan, sesampainya rombongan kirab di pelataran tempat acara
berlangsung biasanya disambut dengan acara seni adat berupa tari pencak silat
khas Lampung Sebatin, tari-tarian khas adat budaya lokal, seperti tari tanggai,
tari selapan, mandapan. Jika pihak baya yang melaksanaan angkon muwakhi berbeda
etnis dan budaya, maka biasanya (jika ada) disuguhkan pula tari-tari khas
masing-masing kedua atau lebih etnis yang berbeda itu atau tari-tari kreasi
yang bernuansa multikultur.
11. Penglaku
tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang senior) membacakan susunan
acara prosesi angkon muakhi, mulai dari tetangguh/acara sambutan penyimbang
marga (merangkap ketua pelaksana) sampai dengan tahapan pernyataan resmi
(penobatan/pelantikan) kemuwakhian dan pembacaan janji persaudaraan di hadapan
pihak-pihak yang berjanji, para penyimbang adat dan warga setempat yang hadir.
12. Penobatan
dan pembacaan janji angkon muwakhi. Pada saat ini diteruskan dengan acara
penobatan dan pembacaan resmi ikrar/perjanjian oleh penyimbang bandar yang
bersangkutan. Setelah tanya-jawab secara simbolis antara penyimbang marga
dengan pihak calon yang seangkonan muwakhi. Puncak upacara berakhir dengan ketuk
palu dan penandatangan naskah perjanjian angkon kemuwakhian oleh semua pihak
yang berhak dan berkewajiban adat.
13. Acara
selanjutnya adalah acara pengucapan sumpah angkon muwakhi yang dipandu oleh
tokoh agama (alim ulama yang ditunjuk) yang diikuti oleh pihak yang telah
mengikat janji kemuwakhian (telah angkat saudara).
14. Penetapan
dan pembuatan keputusan naskah kemuakhian, pengumuman oleh penglaku atau
penyimbang marga, yang menyatakan bahwa pihak2 yang bersangkutan telah menjadi
saudara kandung.
15. Penetapan/pemberian
gelar adat dan penobatan sebagai penyimbang sebatin baru. Gelar disesuaikan
dengan gelar-gelar dari saudara kandung lain dari pihak baya atau yang utama
mengangkat saudara.
16. Pembacaan
tugas pokok dan fungsi serta larangan bagi penyimbang baru atau pihak yang
bermuakhi oleh penyimbang marga atau penyimbang lain yang ditunjuk.
17. Acara
di tutup dengan doa (petugas), dan dilanjutkan dengan acara makan bersama
dengan menu khas lokal, seperti ketan lapis dan masak (sejenis rendang), gulai
taboh ikan asap, panggang ikan peros medira (asaman rampai) dan nasi akolnya,
serta kue khasnya buwak balak/basah (lapis legit khas lokal), dan lain-lain
menu alternatif. Kemudian (atau bersamaan) dilanjutkan dengan acara ramah
tamah, bersilaturahmi bersalam-salaman, dan berakhir dengan undur diri
(pamitan).
Dari tahapan-tahapan yang tergambar secara ringkas
diatas, maka dapat diketahui bahwa prosesi angkon muwakhi yang dilaksanakan
oleh Masyarakat Adat Lima Marga di Lampung Selatan sangat kental akan nuansa
adat istiadat dan budaya sehingga penting untuk selalu dilestarikan, meskipun
dalam pelaksanaannya saat ini lebih disesuaikan dengan aspek finansial.
Pemaknaan dari angon muwakhi merupakan janji suci lahir dan batin, yang
bersifat mengikat untuk menjadi saudara kandung, sehingga setiap permasalahan
bisa diselesaikan dengan baik layaknya saudara dalam sebuah keluarga. Selain
sebagai kearifal lokal budaya Lampung, angkon muwakhi bisa dijadikan sebagai
strategi kausalitas yang ampuh dalam penyelesaian persalahan/konflik yang
terjadi di dalam masyarakat. Angkon muwakhi
merupakan wujud dari semangat persaudaraan yang berrakar dari kearifan
lokal adat budaya yang dimiliki masyarakat adat Lampung.
Selain menjalani
tahapan prosesi dalam adat angkon muwakhi tersebut, terdapat juga acara angkat
sumpah taupun sumpah janji. Angkat sumpah yang dilakukan dalam pelaksanaan
angkon muwakhi ada 3 (tiga) macam:
a)
Pertama, sumpah atas
nama Allah SWT (disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing) untuk selalu
saling membantu, saling percaya, selalu menjaga tali persaudaraan sabagaimana
kuatnya ikatan saudara kandung. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya
adalah cidera dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat
dengan batas waktu tertentu, dan membayar denda adat.
b)
Kedua, sumpah atas nama
Allah SWT (disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing) untuk tidak melakukan
sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku
yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon
muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat,
di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan. Apabila salah satu atau
semuanya melanggar sumpah ini, maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk, sakit atau sejenis akibat buruk lainnya.
c)
Ketiga, muwakhi katam (bersaudara dengan
mengucapkan sumpah), yaitu bersumpah atas nama Allah SWT (disesuaikan dengan
kepercayaan masing-masing) untuk saling angkat saudara dengan syarat salah satu
atau semuanya tidak melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat
fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini
dilakukan khusus untuk prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan,
perpecahan, sengketa, penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut
tidak terselesaikan seperti halnya poin kedua. Perbedaannya adalah apabila
salah satu atau semuanya melanggar sumpah, maka pelaku pelanggaran itu akan
terkutuk mengalami kecelakaan, gila atau mati.
Kecuali sumpah muwakhi katam di atas, ada juga katam
(sumpah) yang disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bertikai, konflik
berdarah atau sedang berperang, tapi justru bukan bermuwakhi (sebaliknya sumpah
untuk tidak bersaudara) berpisah, saling menjauh, tidak saling bertemu, tidak
saling berhubungan, bahkan bersumpah untuk selamanya mengharamkan perjodohan
bagi keturunan mereka. Jika sumpah ini dikhianati, maka peperangan dan konflik
berdarah akan kembali pecah lebih dahsyat lagi.
Daya ikat dari sumpah dalam angkon muwakhi sangat
kuat, melekat pada setiap diri dari kedua belah pihak yang melakukan sumpah.
Sebagaimana diungkapkan di atas, maka angkon muwakhi dapat dijadikan sebagai
strategi kausalitas untuk menyelesaikan
permasalahan ataupun perselisihan dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
Melalui pendekatan kearifan lokal budaya, konflik dapat diselesaikan dengan
cara yang bermoral, tanpa menimbulkan kerugian dari pihak manapun. Dengan
dilandasi semangat persaudaraan, kerukunan dan perdamaian di dalam masyarakat
akan mudah tercipta dan dijaga.
Namun demikian, pendapat lain tentang angkat sumpah
dalam angkon muwakhi disampaikan oleh Wahyuddin
dengan gelar/Adok Karya Ratu Pikulun dari
Marga Legun Paksi Canggu Bandar Way Urang
dalam kutipan hasil wawancara berikut:
Masalah
sumpah pada waktu sekarang ini, yaitu dalam pelaksanaan seangkonan sudah jarang
dilakukan secara adat formal, bahkan selama saya menjabat sebagai Pangeran di
Marga tidak pernah dilakukan lagi selama puluhan tahun terakhir. Berdasarkan
apa yang saya tahu untuk masalah sumpah itu dilakukan hanya pada zaman dahulu
saja, kalau sekarang sudah tidak pernah mendengar lagi, kalaupun ada
keributan-keributan kecil cukup dengan musyawarah keluarga sudah selesai.
Sumpah itu dilakukan kalau ada perselisihan yang besar seperti keributan
Balinuraga beberapa waktu lalu. (Hasil wawancara tanggal 27 Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar