Konflik yang terjadi di Lampung
disebabkan oleh beragam sebab. Seiring berkembangnya
zaman, perubahan kini tidak terelakan. Perubahan yang terjadi telah menggerus kearifan lokal budaya yang
ada. Generasi-generasi baru saat ini mulai meninggalkan budaya luhur yang sejak
dahulu terpelihara sebagai modal menciptakan kerukunan hidup bersama. Sikap
toleransi antar sesama memudar berganti dengan etnosentrisme sehingga memupuk
kebencian antara etnis yang satu dengan yang lainya. Keadaan yang dulunya
tentram, rukun serta damai antara etnis pribumi dengan etnis pendatang kini
berubah menjadi konflik yang sering berlatar belakang SARA (suku, agama, ras
dan antar golongan).
Menurut
Wijono (2012), konflik itu dapat dipahami dan dipelajari sebagai suatu proses
yang dinamis. Sebaliknya, konflik tidak dapat dipahami, jika konflik tersebut
dipandang sebagai suatu yang sifatnya statis dan kaku. Pada umumnya, konflik
sering kali melibatkan intervensi di antara berbagai pihak yang saling
betentangan, baik konflik dalam diri individu, konflik antar pribadi/kelompok,
maupun konflik organisasi.
Adapun
ciri-ciri konflik adalah sebagai berikut:
a)
Paling tidak ada
dua pihak secara pribadi maupun kelompok terlibat dalam suatu interaksi yang
saling bertentangan satu sama lain.
b)
Timbul
ertentangan antara dua pihak secara pribadi maupun kelompok dalam mencapai
tujuan, memaikan peran, ambigus, dan adanya nilai-nilai atau norma-norma yang
saling bertentangan satu sama lain.
c)
Munculnya
interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling mengadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak
lain. Tujuanya adalah untuk memperoleh keuntungan di antaranya untuk pemenuhan
kebutuhan fisik, seperti materi, tatus dan jabatan. Selain itu, untuk pemenuhan
kebutuhan sosial psikologis, seperti rasa aman, relasi, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan, dan alkulturasi diri.
d)
Munculnya
tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari adanya perselisihan
dan pertentangan yang berlarut-larut.
e)
Adanya ketidak
seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan misalnya
kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri,
dan prestasi.
Menurut Franz
Magnis-Suseno (2003)
yang melatarbelakangi konflik itu timbul adalah:
a)
Modernisasi dan
globalisasi
b)
Akumulasi kebencian
dalam masyarakat
c)
Budaya kekerasan
d)
Sistem politik
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa keempat faktor itulah yang kemudian
menjadikan kesensitifan warga semakin tipis, modernisasi dan globalisasi,
akumulasi kebencian dalam masyarakat, budaya kekerasan, dan sistem politik
merupakan celah kecil yang bisa menyebabkan sebuah konflik sosial berupa
kerusuhan itu terjadi. Bukan hanya faktor dari masyarakat
saja yang bisa memicu konflik, namun
faktor dari aparatpun turut menyumbang betapa semakin sempitnya gesekan
itu terjadi. Menurut penjelasan Robin (dalam Wijono 2012) bahwa suber konflik meliputi:
a) Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources)
b) Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence)
c) Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity)
d) Masalah status (status problem)
e) Rintangan komunikasi (communication barriers)
f) Sifat-sifat individu (individual traits)
Dalam penjelasan di atas diketahui adanya ketergantungan terhadap tugas,
kekaburan deskripsi tugas, masalah status, rintangan komunikasi, sifat-sifat
individu yang melekat pada aparat pemerintah maupun penegak hokum, juga menjadikan celah bagi
masyarakat untuk berkonflik. Tindakan aparat yang hanya bertugas sesuai
perintah, ataupun kekaburan deskripsi tugas yang diterimanya atau juga
rintangan komunikasi yang menyebabkan salah dalam menerima informasi (miscomunication), bahkan sifat-sifat
individu para aparat penegak hukum dan pemerintah yang terlalu mementingkan individunya, mengakibatkan tugas utama untuk mencitakan
ketentaman, kesejahteraan dan keamanan menjadi terkesampingkan.
Konflik
sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan
hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi
kemerdekaan. Konflik sangat erat kaitanya dengan kerusuhan. Dalam kerusuhan ini objek
yang paling sering menjadi sasaran adalah benda-benda yang mudah dilihat dan
ada di mana-mana, misalnya, fasilitas umum kota. Berikutnya, objek yang menjadi
sasaran kerusuhan, adalah benda-benda yang mewakili atribut atau simbol
kemapanan dan kemakmuran, seperti : kios, toko swalayan, bangunan megah, dan
sebagainya. Benda lainnya adalah yang mewakili simbol kekuasaan dan otoritas,
seperti : pos keamanan, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Objek kerusuhan
tidak hanya berupa material tetapi juga objek fisik yang lebih sering memakan
korban jiwa.
Namun demikian pada
dasarnya tidak ada sebuah permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dan tidak
akan ada sebuah pertikaian yang melibatkan masa apabila salah satu kelompok
masa tersebut tidak merasakan sebuah tekanan yang begitu berat yang dimana
mereka memandang kelompok lain sebagai kelompok beruntung yang kemudian menurut
kelompok tersebut adalah sebagai musuh, akibatnya untuk meluapkan tekanan itu
adalah pemberontakan berupa kekerasan yang dilakukan secara masa.
Konflik yang terjadi di Lampung pada umumnya merupakan konflik kesekian kalinya yang pernah terjadi. Persoalan yang sederhana kadang
begitu mudah
dijadikan alasan untuk berkonflik
atau melakukan
penyerangan antara etnis yang satu dengan etnis yang lainnya. Tercatat beberapa
konflik antar etnis sering terjadi di
Lampung.