METODE SOSIO-KULTURAL
PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Oleh: Abdul Syani
1. BENTUK KESATUAN HIDUP MASYARAKAT LAMPUNG
Bentuk kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup bertetangga di kampung-kampung penduduk asli pada umumnya didasarkan pada hubungan territorial dan genealogis. Kerukunan kampung dibagi dalam beberap "bilik", mengikuti aliran sungai atau jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat rupakan penerus perintah Kepala Kampung. Kepala suku hanya merupakan penerus perintah Kepala Kampung, dan tidak berhak untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau keluarga somah.
Terbentuknya kesatuan hidup sekampung atau hidup mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau penangkapan ikan. Pada mulanya mereka berbeda dalam asal-usul keturunan, tetapi kemudian bersati karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu baik karena hubungan ikatan pertali darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).
Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses musyawarah dan mufakat yang diketahui oleh seorang kepala keluarga dari keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat adat pepadun). Dewan musyawarah dan mufakat tidak selamanya harus dipimpin oleh seorang ketua tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama Ketua. Pimpinan demikian itu berlaku tidak saja di adalam musyawarah orang tua-tua kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku dalam kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara.
Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong dan persaudaraan. Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan, saling memberi serta saling menghargai, merupakan inti keakraban di antara merka. Keakraban ini akan bertambah kuat apabila mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam pembukaan ladang bersama, kebun tanaman keras bersama, pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan bersama, serta kegiatan lainnya.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, biasanya sekaligus tumbuh pula berbagai nilai dan norma sosial yang baru, dan dapat mengakibatkan bergesernya ukuran-ukuran taraf kehidupan tertentu, yang kemudian menjadi suatu kelaziman bagi masyarakat.
Pada perkembangan terakhir, di mana kondisi hubungan masyarakat semakin komplek menuntut kreatifitas kearah usaha pertahanan sosial ekonomi secara internal. Masyarakat pada umumnya cenderung mengurangi perhatian dan ketergantungan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya tradisional dan semakin sibuk dengan kepentingan keluarganya sendiri. Ada indikasi bahwa keberadaan penyimbang dan institusi adat tradisional dianggap tidak mampu menampung dan menyelesaikan masalah sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat masa kini. Kondisi kehidupan masyarakat demikian, kemudian mendorong masyarakat untuk mencari usaha alternatif yang keluar dari batas-batas ideal ketentuan adat. Oleh karena sebagian besar penganut adat budaya ini melakukan terobosan baru kearah pola sikap perilaku yang rasional dan ekonomis, maka norma-norma dan sanksi adat semakin longgar dan lemah. Sementara itu kehidupan modern yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat dicerna sebagai alternatif untuk meningkatkan status sosial ekonominya kearah yang lebih baik.
2. TIPE DAN PERILAKU KEJAHATAN
Kejahatan menurut William W. Bonger adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar memperoleh reaksi dari negara berupa hukuman. Thorsten Sellin: Kejahatan adalah pelanggaran norma-norma kelakuan (conduct Norms) yang tidak harus terkandung dalam hukum. Secara umum kejahatan dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan, merampas hak-hak dan kebahagiaan orang lain, yang menimbulkan kecemasan dan terganggunya ketertiban umum. Menurut paradigma realitas sosial, kejahatan bukanlah sesuatu yang melekat (inherent) dalam perilaku, melainkan lebih merupakan suatu penilaian yang dibuat oleh suatu pihak terhadap tindakan-tindakan dan ciri-ciri pihak lain (Mulyana W. Kusumah (1984:25).
Berdasarkan kualitasnya kejahatan dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu: Pertama, kejahatan yang dilakukan dengan sadar dan niat, yaitu perbuatan melanggar yang dilakukan dengan sengaja dan secara sadar. Pelaku benar-benar mengetahui akibatnya dapat merugikan masyarakat, melanggar hukum negara. Dengan unsur sengaja ini dapat lebih mudah mengembangkan tujuan jahat dan mengorganisasi dalam masyarakat. Kedua, kejahatan yang dilakukan dengan tidak sadar/tanpa niat, yaitu perbuatan yang dilakukan tidak diketahui secara jelas akan berakibat merugikan masyarakat dan seberapa besar kadar pelanggaran hukumnya. Apa yang dilakukan mungkin karena tekanan dan keterpaksaan tertentu yang berkaitan dengan kesulitan kehidupan sehari-hari. Jika kondisinya tidak berubah, maka batasan ini bisa berkembang menjadi batasan sebelumnya. Ketiga, kejahatan yang dilakukan karena membela diri atau karena gangguan/sakit jiwa.
Sedangkan menurut berat ringannya kejahatan dapat dinilai atas kuantitas pelakunya dan ukuran solidaritas dari anggota-anggota kelompok penjahat (gang). Menurut von LIZT (Stephan Hurwitz, 1986:144) dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu:
1. Pelanggar hukum yang kadang-kadang/karena ada kesempatan;
2. Pelanggar hukum yang kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku berkurang sekali dan sukar/hampir tidak dapat diperbaiki dengan jalan denda atau pidana penjara selama waktu pendek;
3. Pelanggar hukum yang tidak ada pengharapan dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Menurut cara melakukannya dapat dibedakan atas 5 kategori, yaitu:
1. Dengan kekerasan yang meliputi penganiayaan, pembunuhan dan pemerkosaan; biasanya tipe kejahatan ini diawali dengan penodongan, perampokan atau pemerasan terhadap sasaran;
2. Dengan tindak pencurian, yang meliputi segala hak milik berupa harta benda atau perekonomian;
3. Dengan penggelapan atau penyalahgunaan wewenang atas kedudukan tertentu. Sifat kejahatan ini relatif rumit dan tak nyata, sehingga reaksi masyarakat juga samar;
4. Dengan melakukan penghianatan, sabotase atau dengan mata-mata (meliputi seluruh kejahatan politik);
5. Melakukan kekacauan terhadap keamanan (termasuk pelanggaran hukum ketertiban, seperti pelacuran, pengmis, gelandangan, aksi protes, dsb.).
Berat ringannya kejahatan dapat juga dilihat dari aneka ragam bentuk kejahatan dan perkembangan karier penjahat, yaitu:
1. Kejahatan tergolong ringan karena baru satu jenis kejahatan saja yang pernah dilakukan atau ditekuni;
2. Kejahatan tergolong menengah ringan karena paling sedikit telah melakukan atau memiliki keahlian 4 jenis kejahatan berlainan;
3. Kejahatan digolongkan menengah berat karena telah melakukan minimal 4 kali dari masing-masing 4 jenis kejahatan berlainan;
4. Kejahatan tergolong berat apabila telah dilakukan pengembangan melalui organisasi dan dapat berubah dari satu jenis kejahatan kepada jenis kejahatan lain dengan mudah.
Secara garis besar tipe kejahatan dapat dibedakan atas 2 bagian, yaitu Kejahatan karena ada niat (getaran hati) dan kesempatan. Tindak kejahatan atas dasar kesempatan dapat dikategorikan ringan karena pelakunya rata-rata hanya menanti, menemukan atau menanti kesempatan tertentu. Dalam sub kategori menemukan kesempatan jauh lebih berat godaannya untuk berlanjut menjadi tindak kejahatan, karena tidak sewaktu-waktu dapat ditemukan; apalagi bentuk godaan besar sedangkan pelanggarannya mudah, seperti menemukan sekarung uang ditempat yang sepi. Sementara tidak kejahatan atas dorongan niat atau getaran hati dapat dikategorikan lebih berat, karena menyangkut dorongan keinginan dan pikiran yang dimantapkan dengan arah tujuan mengenai keuntungan atau kepuasan diri. Misalnya, oleh karena camer tak setuju, putus cinta, dendam, dan akhirnya terdorong untuk membunuh pacar dengan cara-cara tertentu.
3. LATAR BELAKANG KEJAHATAN
Timbulnya kejahatan bermula dari stabilitas norma-norma masyarakat mulai terganggu, dan tidak dapat berfungsi efektif dalam mengatur tingkah laku masyarakat, sehingga sebagian individu yang sensitif terhadap kondisi tersebut dengan segala kekurangannya cenderung bersikap dan berperilaku anti sosial. Disamping itu karena pengaruh kemiskinan, yaitu suatu keadaan dimana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Keadaan ini mendorong seseorang untuk berbuat dan menciptakan sendiri cara-cara pencapaian perbaikan ekonominya secara subyektif dan diluar ketentuan publik. Jika usahanya itu mengalami kegagalan, maka seseorang akan melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan hukum. Jadi perbuatan jahat terjadi karena ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang ada dalam masyarakat.
Ada beberapa aliran tentang sebab-sebab kejahatan, yaitu:
a. Aliran lingkungan seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor sekitarnya/lingkungan, baik ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta kebudayaan luar termasuk penemuan teknologi baru.
b. Aliran antropologis mengatakan bahwa kejahatan dipengaruhi oleh faktor keturunan, ciri pisik, keterbelakangan budaya dan moral. Lambroso mengatakan bahwa ciri-ciri manusia yang mempunyai persamaan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh keturunan yang lebih jauh (keturunan kera menurut teori evolusi Darwin).
c. Aliran bio-sosiologi menjarkan bawa kejahatan itu timbul karena faktor individu dan faktor lingkungan sosial. sifat individu warisan orang tua, seperti kondisi pisik, kelamin, umur, intelektualitas, temperamen, dan kesehatan. Lingkungan sosial terdiri dari keadaan alam, ekonomi, tingkat peradaban dan kehidupan masyarakat sekitar. Menurut Sellin (Soedjono D., 1977:41), bahwa manusia dilahirkan dalam suatu kebudayaan, dan biologis siap untuk penyesuaian dirinya terhadap orang lain dalam masyarakat. Hubungan sosialnya merupakan suatu proses koordinasi yang terus menerus, dengan menerima idea-idea/nilai-nilai yang diakui masyarakat (adat, kepercayaan dll). Hal ini jika seseorang tak mampu melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, maka kemudian ia akan semakin mengisolir diri (anti sosial) yang pada akhirnya ia akan masuk dalam kategori manusia sosio-path.
d. Aliran spiritualis, bahwa kejahatan itu timbul karena ketidaktaatan terhadap agama. Dalam ajaran ini menganggap bahwa ajaran kesolehan beragama dapat mengekang kehendak hati untuk berbuat jahat, minimal seseorang akan merasa takut berbuat dosa.
Untuk menetapkan perilaku tertentu tergolong kejahatan atau bukan dapat diukur dari kelengkapan unsur kejahatan itu, adapun unsur-unsur itu adalah:
1. Pelaku (actor);
2. Perbuatan (the action);
3. Obyek perbuatan itu;
4. Hasil perbuatan itu;
5. Tempat perbuatan tersebut;
6. Waktu dilakukannya perbuatan itu;
7. Lingkungan sosial perbuatan itu;
8. Observasi perbuatan itu;
9. Laporan perbuatan itu;
10. Referensi perbuatan dihadapan pengadilan;
11. Pengadilan dan keputusan hakim;
12. Permohonan dan pengesahan (keputusan hukum).
4. TUJUAN DAN KEPENTINGAN TINDAK KEJAHATAN
Tujuan dan kepentingan penjahat pada umumnya yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan diantaranya adalah:
1. Keinginan untuk hidup mewah (ekonomi, kekayaan, harta benda, karena desakan, kekurangan atau keserakahan);
2. keinginan untuk mencari popularitas;
3. keinginan mendapat status atau jabatan (sosial, politik, ekonomi);
4. kebutuhan seks yang tak terkendali;
5. keinginan untuk menjadi orang sakti (kuat);
6. keinginan menjadi orang terhormat/berwibawa; kebutuhan fasilitas.
Untuk mencapai tujuan atau kepentingan itu dapat dilakukan secara langsung atau tak langsung (perantara). Secara langsung berarti seseorang dalam usaha mencapai kepentingannya itu bertindak dengan kemampuannya sendiri, yaitu dengan mengandalkan keterampilan, keahlian, kebiasaan, kekuatan dan cara-caranya sendiri. Kemampuan sendiri ini dipraktekkan langsung pada sasaran secara tak halal dan bertentangan dengan hukum dan peradaban umum. Sedangkan cara yang tak langsung dilakukan dengan menggunakan perantara, diantaranya melalui jasa orang lain (seperti, jabatan, kekuasaan orang lain); bisa juga melalui kekuatan magis. Bentuk tindak kejahatan dapat berupa aksi terror, aksi pengaruh dengan akal/ pikir, kekerasan/penganiayaan (terbuka/terang), Penipuan (gelap), dan dengan menggunakan kekuatan supernatural (magis).
Khususnya melalui kekuatan supernatural (magis) biasanyanya dapat dengan memanfaatkan jasa pihak lain atau dengan melakukan sendiri dengan proses tertentu atau harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti patigeni, mutih, bertapa, minum darah ular atau dengan membunuh sejumlah orang.
5. MODUS OPERANDI KEJAHATAN
Berbagai tindak kejahatan yang sering terjadi khususnya di Lampung, seperti pencurian, perampokan dengan kekerasan, pengedaran obat-obat terlarang, perjudian, pemalsuan, penyalahgunaan wewenang dan lain-lain. Beberapa jenis kejahatan tersebut dilakukan dengan sengaja mendatangi sasaran dengan memaksa, dan jika diperlukan dengan kekerasan sampai pada pembunuhan. Bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan pisik bisa dilakukan dengan cara menipu dan mencari kesempatan.
Ada tiga golongan modus operandi kejahatan sesuai dengan kemampuan, keberanian dan profesi pelakunya. Pertama, kelompok kejahatan insidental yang melakukan kejahatan atas dorongan desakan kebutuhan sekarang secara cepat. Para pelakunya rata-rata relatif muda sebagai pemula yang kurang terampil dan tanpa rencana yang matang. Sasaran kejahatan pada umumnya adalah pihak-pihak yang dianggap lemah, dengan waktu dan lingkungan yang tak terjangkau pertolongan. Itulah sebabnya maka pelaku kejahatan semacam ini jika tidak berhasil melaksanakan aksinya sering dihakimi massa. Kedua, kejahatan yang beroperasi di pinggiran kota, di pusat kota yang kumuh atau di daerah-daerah yang bersifat marginal. Opearasinya cenderung dilakukan beberapa orang yang disertai kekerasan dengan senjata tradisional, seperti meminta dengan paksa (penodongan) dan pemerkosaan. Ketiga, kejahatan yang tergolong profesional, gerakannya cenderung terencana dengan estimasi dan seleksi sasaran yang relatif akurat. Resiko diperhitungkan, termasuk teknik perlawanan terhadap korban. Pemilihan peran pelaku kelompok kejahatan ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan keahlian masing-masing agar dapat dilaksanakan dengan waktu yang singkat. Termasuk ada bagian yang bertugas mengawasi pihak yang berwajib atau yang bekerjasama dengan aparat hukum. Oleh karena itu kelompok penjahat ini ada yang menggunakan senjata api, radio panggil, HT., obat bius dan kekerasan lainnya jika saat diperlukan. Dalam operasi kejahatan tertentu, mereka sering melibatkan oknum pejabat atau penguasa tertentu.
Kejahatan di Lampung selama tahuan terakhir nampak menunjukan perkembangan sehubungan dengan menurunnya nilai rupiah dan meningkatnya harga bahan pokok. Kejahatan jenis perampokan yang sertai kekerasan dan penganiayaan, cenderung dilakukan secara berutal, nekad dan lebih berani melawan ancaman masyarakat, termasuk ancaman pihak yang berwajib. Disinyalir para penjahat ini pada umumnya menggunakan senjata tajam (celurit, golok, pisau, parang), besi dan benda tumpul lainnya, bahkan beberapa kejahatan yang menggunakan senapa api. Senjata ini semula digunakan untuk mengancam, akan tetapi jika tidak berhasil atau karena pihak sasaran melawan, maka mereka tidak segan-segan menggunakan senjata tersebut untuk melukai atau membunuhnya.
6. AKIBAT TINDAK KEJAHATAN
Setiap tindak kejahatan selalu mengakibatkan kerugian bagi berbagai kalangan, khususnya bagi individu ataupun bagi masyarakat, khususnya bagi pihak korban secara langsung. Pada umumnya kejahatan itu dapat berakibat merugikan secara ekonomis; disamping merugikan secara psikologis (keadaan kejiwaan dari masyarakat yang dilukai perasaan kesusilaannya dengan kejahatan itu), khususnya bagi korban cukup tertekan perasaan dan jiwanya karena kehilangan anggota keluarganya. Dari pihak penjahat dan keluarganya sendiri cukup menderita akibat perbuatannya, apalagi sekarang Dukun AS yang konon kabarnya diancam hukuman mati.
Mengenai ukuran kerugian itu dapat dilihat dari sifat dan luasnya kerugian yang diakibatkan terhadap masyarakat secara keseluruhan, termasuk pribadi-pribadi, masyarakat dan kere-sahan kalangan penegak hukum. Kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan dapat dihitung dari kehilangan hak-hak yang sebelumnya dimiliki korban, seperti kekayaan, status dan fasilitas-fasilitas tertentu.
Kecuali itu dapat juga dilihat dari buruknya persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap tingkat kekacauan dan ketertiban sosial yang terjadi akibat suatu kejahatan. Secara rasional kerugian dapat dihitung melalui bahaya, kerusuhan dan kere-sahan yang timbul, serta jumlah korban dan kerugian materi. Secara emosional dapat dilihat dari kondisi perkembangan reaksi masyarakat terhadap akibat kejahatan itu. Ada kecenderungan besarnya rasa ketakutan, kecemasan dan dendam masyarakat terhadap pelaku kejahatan, dapat mendorong masyarakat untuk bertindak secara membabi buta, diluar kontrol dan main hakim sendiri.
7. UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN
Secara garis besar ada 3 cara penanggulangan kejahatan yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan, yaitu: penanggulangan preventif, represif, dan kuratif.
1. Penanggulangan preventif
Penanggulangan dengan metode preventif dimaksudkan sebagai upaya pencegahan secara dini terhadap kemungkinan timbulnya tindak kejahatan, yaitu dengan melakukan berbagai persiapan, baik sarana, pelatihan teknis maupun peningkatan sumber daya manusia. Upaya penanggulangan tersebut dapat diwujudkana dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:
1.1 Peningkatan kualitas program pengendalian dengan sistem informasi tentang data kejahatan antar daerah rawan oleh pihak kepolisian dan aparat keamanan yang terkait. Tujuannya adalah agar segala keputusan dan strategi pengintaian dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan dapat lebih terkonsentrasi, kompak, dan efektif.
1.2 Peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat dengan cara memperbesar peluang usaha diberabagai sektor sesuai dengan potensi masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat mengurangi kekosongan kerja, penganguran dan tekanan-tekanan ekonomi yang rentan dengan timbulnya kejahatan.
1.3 Peningkatan kualitas Unit Reaksi Cepat (URC) dalam mengimbangi kecenderungan perkembangan kecepatan gerak dan sepak terjang pelaku kejahatan. Dalam hal ini dimaksudkan agar pihak kepolisian betul-betul tanggap terhadap setiap tindak kejahatan dan senantiasa siap siaga dalam pengejaran pelaku kejahatan.
1.4 Mengidentifikasi gejala-gejala penyimpangan perilaku individu-individu yang menunjukkan potensi kriminal atau anti sosial. Potensi-potensi kriminal ini biasanya dapat dilihat dari perilaku yang bersifat eksentrik, baik gerak, kostum, suara, atau asesori yang digunakan cukup mengundang perhatian massa. Untuk menangani masalah ini perlu adanya petugas sosial yang sekaligus dapat mem-berikan bimbingan kearah perilaku yang wajar.
1.5 Peningkatan dinamisasi operasional polisi patroli kota dalam mengawasi setiap gejala kriminal, terutama di lokasi rawan dan pusat-pusat keramaian kota.
1.6 Peningkatan upaya penertiban pemilikan dan penggunaan senjata api dikalangan intern kepolisian dan jajaran anggota ABRI pada umumnya. Upaya ini sangat mendesak untuk ditindak-lanjuti dalam rangka menjaga kemungkinan adanya oknum yang bekerjasama atau membecking operasi kejahatan. Sedangkan secara ekstern perlu peningkatan kegiatan pengusutan sampai tuntas terhadap kejahatan yang menggunakan senjata api, sebab tidak mustahil ada segolongan pemberontak yang didukung pihak asing yang anti pemerintah dengan sengaja ingin mengacaukan ketertiban dan keamanan masyarakat.
1.7 Perlu adanya upaya akomodasi terhadap partisipasi masyarakat secara optimal, sehingga anggota masyarakat dapat mendukung langkah aparat Kamtibmas secara sukarela sebagai kepentingannya sendiri. Dengan demikian diharapkan kontrol sosial masyarakat dapat turut membantu tugas aparat Kamtibmas, baik berupa pelaporan kejadian maupun persiapan tindakan darurat masyarakat dalam menganti-sipasi terjadinya tindak kejahatan. Partisipasi masyarakat ini sangat penting mengingat jumlah aparat Kamtibmas, khususnya Polisi jauh lebih kecil dari pada ruang lingkup pengawasannya. Kontrol sosial akan lebih efektif lagi apabila lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.
1.8 Peningkatan perlakuan peduli, persuasif dan manusiawi terhadap mantan narapidana yang telah kembali dalam kehidupan masyarakat, bahkan kalau perlu berikan tanggungjawab yang sesuai agar ia merasa lebih berarti dihadapan masyarakat. Dengan demikian diharapkan residivisme tidak terjadi.
2. Penangulangan Represif
Penanggulangan represif dimaksudkan sebagai upaya pemeberantasan secara langsung terhadap fenomena dan tindak kejahatan yang sedang mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat dan negara. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka memberantas kejahatan, antara lain adalah:
2.1 Penindakan secara langsung terhadap pelaku kejahatan dengan cara-cara sebagai berikut:
2.1.1 Razia dan penangkapan
2.1.2 Penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan
2.1.3 Pengembalian kepada keluarga atau ditahan sementara
2.1.4 Diajukan kepengadilan jika cukup bukti telah melakukan kejahatan.
2.2 Pembinaan khusus (treatment dan rehabilitasi), yaitu:
2.2.1 Bimbingan keterampilan dalam sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan khusus. Dapat juga disalurkan kepada lembaga-lembaga lain yang berkaitan, seperti: Biro konsultasi psikologi sosial bekerjasam dengan Departemen Sosial. Tujuannya adalah untuk mengetahui perkembangan kejiwaannya sehubungan dengan sikap dan persepsinya terhadap kejahatan.
2.2.2 Pengembalian kepada masyarakat dengan rekomendasi yang jelas dan meyakinkan
2.2.3 Penyaluran kedalam pelatihan dan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian
2.2.4 Pengawasan partisipatif dalam kehidupan masyarakat dalam jangka waktu tertentu.
3. Penanggulangan Kuratif
Penanggulangan Kuratif dimaksudkan sebagai upaya menekan atau menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan, seperti kesenjangan ekonomi, pengangguran, urbanisasi, dan lain-lain. Teknik penanggulangan ini dalam pelaksanaan harus benar-benar menerapkan sistem cabut akar, dan tidak mengandung unsur dilematis. Jika hendak memberantas minuman keras, jangan sombong karena sudah menggilas botolnya; ibarat melarang berjudi tetapi membuka bandar. Diantara upaya-upaya penanggulangan kuratif tersebut adalah sebagai berikut:
3.1 Upaya menekan, memperkecil atau kalau mungkin menghilangkan kesenjangan ekonomi masyarakat dengan cara membuka lapangan kerja baru, upaya pemerataan intensifikasi dan ekstensifikasi dibidang industri dan pertanian dikalangan masyarakat, peningkatan upah minimum atau gaji pegawai secara kumulatif dengan nilai tukar lebih tinggi dibanding kenaikan harga kebutuhan primer dan sekunder. Oleh karena masalah kesenjangan ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya terhadap tumbuhnya kejahatan, maka tidak boleh tidak harus dapat ditangani secara sungguh-sungguh, obyektif, dan berkesinambungan. Ibarat sebilah keris jangan dibiarkan terlalu lama tanpa sarung, karena akan bertambah banyak pihak yang terluka.
3.2 Untuk menekan dan memperkecil terjadinya urbanisasi, dapat dilakukan razia KTP. dan pemulangan penghuni liar ke dareah asal, disamping pelaksanaan program tranmigrasi secara efektif.
3.3 Untuk menghambat terjadinya pengangguran dapat dilakukan dengan pemerataan kesempatan kerja, pembinaan anak-anak putus sekolah dengan peningkatan efektivitas program anak asuh, disamping melakukan penyaluran tenaga kerja ke luar negeri dengan pengawasan dan perlindungan hukum.
3.4 Perubahan dan perbaikan terhadap lingkungan, baik pisik maupun sosial, dengan membangun berbagai fasilitas kehidupan yang sesuai dengan kebutuhan, seperti sarana olah raga, penataan perumahan, saluran pembuangan limbah rumah tangga, serta pembinaan mental dan kerukunan tetangga.
3.5 Pelatihan teknis operasi ketertiban dan keamanan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran, kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.
3.6 Penerangan dan pembimbingan terhadap para orang tua tentang cara pengawasan pendidikan anak dalam keluarga
3.7 Peningkatan bimbingan dibidang moral dan kerohanian, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam rangka membentengi diri dari berbagai pengaruh negatif akibat perkembangan pembangunan.
Secara operasional diharapkan kalangan intelektual, cendekiawan, budayawan, pihak yang berwenang dan masyarakat harus dapat bersama-sama berusaha mencari jalan penyelesaian masalah dengan dialog, saling mendengar, menghargai dan menghindari sentuhan rentanitas sosial. Dengan demikian diharapkan berbagai pihak dapat menerima perbedaan pendapat, kepentingan, sekaligus menerima keragaman. Proses ini mengajak kita semua untuk lebih memikirkan posisi "kita" ketimbang "kami". Agar segala atribut dan perbedaan kekuasaan, derajad, etnis dan agama dapat terpelihara sebagai sistem kekuatan masyarakat.
Kekuatan masyarakat dapat diukur dari terpeliharanya nilai kesetiakawanan sosial, yaitu kehidupan bersama berdasarkan ikatan kesetiaan dengan ikatan persahabatan yang bersifat psikologis batiniah dalam segala kondisi untuk mencapai tujuan bersama tertentu. Konsekuensinya bagi individu dan kelompok dalam setiap aktivitasnya adalah harus mampu saling menghormati penuh dengan kejujuran, terbuka dan kekeluargaan. Dalam kehidupan bersama ini tersedia kondisi-kondisi yang dapat menuntun orang-orang kepada kehidupan yang membahagiakan dan memuaskan.
Menurut teori pertukaran sosial yang pernah dikemukakan oleh Peter M. Blaw, bahwa faktor yang mendorong terjadinya saling berinteraksi antara anggota masyarakat adalah karena adanya suatu harapan berupa imbalan tanpa resiko hukum. Jika proses umpan balik antara pemberian dan penerimaan, baik berupa moral, perlakuan, maupun materi ekonomis, semuanya berjalan seimbang dan mampu mengisi kepuasan masing-masing pihak, maka disiplin sosial dapat dipertahankan dalam kurun waktu tertentu. Konsekuansi dari prinsip pertukaran sosial adalah (1) beban kewajiban untuk tunduk bagi pihak penerima imbalan; (2) Untuk membebaskan beban kewajiban itu, maka pihak yang dinberi wajib tunduk atau memberi imbalan kembali yang seimbang; (3) hubungan sosial dapat dipertahankan jika kedua belah pihak menerima atau puas dengan imbalan-imbalan itu.
Berdasarkan teori tersebut, maka dapat dimengerti bahwa pengakuan, perlakuan ataupun pemberian jalan keluar yang nyata terhadap pelaku pelanggaran juga merupakan beban kewajiban yang harus dilunasi dengan sikap dan perilaku yang seimbang, sedikitnya para pelaku kejahatan dan pelanggar hukum lainnya akan tunduk pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Jika ini dilakukan oleh pihak yang berwenang, maka imbalan yang diharapkan adalah kesadaran dan kepatuhan para penjahat (termasuk pelanggar lainnya) terhadap hukum. Dalam situasi ini perlu adanya kemampuan untuk memotivasi dan menciptakan kehidupan yang lebih memuaskan dari keadaan sebelumnya. Secara sosiologis perlu adanya upaya pendekatan yang berhubungan dengan interaksi informal yang intim dan keterbukaan antara berbagai pihak. Situasi informal mana dapat terjadi selaras dan timbal balik, apabila arah pengembangan diri itu dilakukan melalui pertimbangan potensi para pelaku kejahatan, prostitusi, perjudian, termasuk minat dan kebutuhan pokoknya.
Pada dasarnya pendekatan sosiologi dengan kontek pertukaran sebagaimana diungkapkan Blaw adalah sebagai upaya pembiasaan saling bekerjasama, saling mendorong kearah kemajuan tanpa perhitungan ekonomis. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sempit, susah mencari uang, maka perlu pemindahan pola ukuran pamrih menjadi ukuran sosial. Dalam berbagai upaya penanggulangan masalah sosial, termasuk kejahatan, prostitusi dan perjudian perlu diawali dengan memberikan perhatian dan kesungguhan upaya menunjukkan alternatif jalan untuk mengembalikan apa yang hilang, berikan dukungan usaha untuk mewujudkan harapan mereka dengan jalan yang sesuai dengan kemampuan, nilai-nilai dan hukum yang berlaku. Kemudian berikan tanggungjawab atas pekerjaan tertentu yang sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing, sebagaimana tanggungjawab yang dimiliki orang lain. Dengan begitu biasanya mereka akan berangsur menyadari bahwa ada pengakuan terhadap keberadaan dan kehormatan mereka dalam masyarakat normal dan tidak lagi sebagai orang yang terkucil atau anti sosial. Berikan informasi tentang kehidupan yang lebih baik dengan sumber yang legal dan dapat dipercaya, sehingga tidak mengecewakan bagi mereka yang menelusurinya. Pindahkan perhatian mereka dari keadaan yang tidak memadai ke arah yang lebih berarti dengan bukti-bukti yang dapat dipercaya. Perlu adanya adaptasi diri terhadap perilaku, bahasa dan kebiasaan mereka, dengan maksud agar tidak terjadi salah pengertian, apriori dan kecurigaan.
Jika pelaku kejahatan, telah dapat dikuasai, maka upaya penyadarannya adalah memberikan tanggungjawab dan aktivitas yang nyata, yaitu dengan melibatkan mereka terhadap sebagian kegiatan yang mengarah pada usaha kehidupan yang wajar dan manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syani, 1987. Sosiologi Kriminalitas. Penerbit: CV. Remadja Karya, Bandung.
Mulyana W. Kusumah, 1984. Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas. Penerbit: Armico, Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo, 1977. Pengantar Kriminologi (Seri:A). Penerbit: PT.Tribisana Karya, Bandung.
Stephan Hurwitz, 1986 (disadur oleh: Ny. L.Moeljatno). Kriminologi. Penerbit: Bina Aksara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar