ARSITEKTUR
BANGUNAN MASYARAKAT LAMPUNG,
BEBERAPA JENIS DAN
FUNGSINYA
Oleh: Adul Syani
A. Rumah Penyimbang (Kepala Adat)
Rumah tempat tinggal Penyimbang atau Kepala Adat yang
disebut lamban balak, biasanya memiliki pembagian nama dan fungsi ruangan
yang berbeda dengan rumah tempat tinggal penyimbang-penyimbang
lainnya dan anggota masyarakat pada umumnya. Ciri-ciri
rumah Kepala Adat, diantaranya adalah:
1.
Serambi depan
tidak berdinding yang berfungsi sebagai tempat untuk menerima
tamu;
2.
Ruang tengah,
digunakan untuk rapat adat anggota kerabat pria;
3.
Kebik temen, yaitu
kamar tidur pertama untuk anak penyimbang bumi;
4.
Kebik ghangek,
yaitu kamar tidur kedua untuk anak penyimbang ratu, anak laki-laki
kedua atau anak dari isteri ratu kedua;
5.
Kebik tengah, yaitu
kamar tidur ketiga untuk anak penyimbang batin, anak laki-laki ketiga
atau anak isteri ratu ketiga;
6.
Ranjang
Tundo, yaitu kamar tidur keempat untuk anak
penyimbang raja, anak laki-laki keempat atau anak dari isteri
bangsawan keempat;
7.
Lapang agung,
yaitu tempat duduk bersidang kaum wanita anak anggota kerabat
penyimbang;
8.
Selak sukang,
yaitu kamar untuk isteri atau anak sebah, isteri atau anak dari keturunan
rendah;
9.
Tengah resi,
yaitu kamar atau ruang untuk isteri atau anak keturunan
pembantu (budak) atau beduwo (beduwa);
10. Serudu, yaitu kamar untuk isteri anak
lambang (orang bawaan ratu ketika kawinnya);
11. Ruang selir, yaitu tempat anak isteri gundik yang asalnya
sebagai barang sesan, barang bawaan dari isteri
12. Dapur, yaitu ruang masak;
13. Dapur tanoh (taneh), yaitu ruang tempat
kediaman taban (tawanan) dan keturunannya (seorang taban tidak
diketahui asal usul keturunannya.
Dengan demikian berarti rumah tempat tinggal yang umumnya disebut Lamban
atau Nuwow, biasanya dibedakan atas tiga kategori menurut strata
kepenyimbangannya, yaitu lamban balak, lamban gedung atau nuwow balak,
lamban lunik, dan lamban biasa. Lamban balak biasanya dimiliki oleh penyimbang
marga, lamban lunik biasanya dimiliki atau dihuni oleh penyimbang suku,
dan lamban biasa adalah rumah yang dimiliki anggota masyarakat pada
umumnya.
B. Rumah Penyimbang pada umumnya
Secara umum arsitektur bangunan rumah masyarakat Lampung memiliki ciri
khas, yaitu rumah panggung (lamban khanggal atau
nuwow gatcak). Rumah tradisional masyarakat Lampung berbentuk
persegi empat panjang (pesagi ngehanyuk). Secara lebih
rinci bagian-bagian rumah ini sesuai dengan fungsinya, yaitu
sebagai berikut:
1. Lepau, yaitu bagian pendek depan
(ambin=kalianda) yang biasanya menghadap jalan raya
(ghanglaya atau sungi= kalianda);
2. Juyu atau ilung kudan, yaitu bagian belakang
rumah;
3. Bahlamban, yaitu bagian bawah rumah yang
terbuka tanpa dinding (sekarang banyak yang sudah diberi dinding);
4. Tangebah atau tengahbah, yaitu
dataran tanah di depan rumah atau pekarangan yang
biasanya digunakan untuk menjemur kopi atau cengkeh;
5. Lapang luwah, yaitu ruangan untuk
musyawarah, jika ada tamu, maka ruang ini digunakan
sebagian untuk tempat tidur tamu dengan memasang tabir
yang dilengkapi dengan tikar atau kasur.
6. Lapang lom, adalah ruangan tengah
rumah yang biasanya digunakan untuk tidur anggota keluarga. Ruang
ini biasanya sebagian kecil dibagi-bagi atas bilik-bilik (kamar),
sedang bagian besarnya memanjang yang digunakan untuk
musyawarah atau berkumpul bersama keluarga;
7. Tengah resi (ghesi), yaitu ruangan untuk
musyawarah kaum wanita atau tempat menginap bagi tamu wanita;
8. Sudung atau seghudu, yaitu ruang makan
dan ruang untuk menyimpan beras dan barang pecah belah,
termasuk gudang (sebagian masyarakat memanfaatkan
bahlamban sebagai gudang);
9. Sakelak, yaitu ruang dapokh (dapur) tempat
masak memasak;
10. Gaghang
(gakhang), yaitu tempat cuci mencuci atau bekekos di sebelah luar bagian dapur,
biasanya berhubungan langsung dengan dapokh (dapur).
Bentuk arsitektur bangunan rumah di atas pada umumnya dimiliki oleh para
penyimbang suku dan orang-orang kaya yang tinggal menetap
di pusat anek/pekon/tiyuh atau tiyuh balak.
C. Rumah Biasa (sederhana)
Rumah orang-orang biasa atau orang yang tidak mampu,
biasanya hanya memiliki bentuk arsitektur rumah yang
sederhana. Rumah tinggal ini hanya memiliki serambi saja
(haluan kiri), dapurnya tidak terpisah (tanpa
dihubungkan dengan jembatan/geragal). Bangunan rumah semacam
ini disebut sederhana jika dibandingkan dengan kedua
tipe rumah penyimbang sebagaimana diterangkan di atas.
Akan tetapi menurut ukuran sekarang rumah ini termasuk
mahal, karena bahan-bahannya sudah sulit dicari. Oleh karena itu rumah
tipe sederhana ini sekarang sebagian sudah dimodifikasi
dengan menutup haluan menjadi kamar-kamar. Sedangkan
bagian lepaunya dibuat ruang tamu tertutup yang
dimanfaatkan sebagai ruang tamu.
D. Rumah Ibadah
Rumah ibadah yang umum di Lampung adalah Mesigit (Masjid),
sedangkan rumah ibadah lainnya yang lebih sederhana, yaitu
Sughau (Surau) atau Langgar. Pada jaman dulu Surau ini disamping digunakan
sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat belajar mengaji. Surau
biasanya dibangun dipinggir kali tempat pangkalan mandi
laki-laki. Ukuran bangunan Mesjid lebih besar dari pada
Surau, oleh karena itu kegunaannyapun lebih banyak, seperti untuk
sembahyang berjama'ah lima waktu, untuk sembahyang jum'at, dan
pada malam harinya untuk belajar ngaji bagi anak-anak anek/pekon/tiyuh
setempat.
Bentuk Mesjid Lampung umumnya persegi empat dan pada bagian atas atap
di buat bertingkat yang maksudnya agar nampak indah, disamping agar suara azan
dapat lebih lantang di dengar oleh masyarakat setempat dan sekitarnya, karena
pada masa itu belum ada perlengkapan pengeras suara seperti sekarang.
Sebagian masyarakat menganggap bubungan bertingkat (seolah menara)
itu sebagai lambang agamis yang dapat membawa keberkahan dalam beribadah,
oleh karena itu bangunan semacam ini sampai sekarang masih
dipertahankan. Dalam perkembangannya sekarang rata-rata
mesjid sudah membuat bubungan yang terbuat dari seng atau
aluminium berbentuk bulat, dan di atas/puncaknya dipasang lambang bulan
bintang. Begitu juga fungsi beduk sebagai pertanda masuknya waktu sembahyang,
sekarang sudah diganti dengan pengeras suara dengan sistem elektronik.
Secara umum susunan ruangan Mesjid sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
sebagai berikut:
a. Ruang bagian beranda
(beranda depan), yaitu sebagai tempat sembahyang jika
pada bagian dalam sudah penuh, dan untuk tempat meletakkan makanan pada waktu
perayaan hari-hari besar Islam. Kecuali itu, sebagai tempat
istirahat dikala melepas lelah pada waktu gotong royong.
b. Kolam,
yaitu semacam gaghang untuk cuci kaki dan untuk berwudlu.
Kolam ini biasanya dibangun di samping kiri mesjid yang
berdekatan dengan sumur sebagai sumber air.
c. Ruang tengah Mesjid biasanya
di buat tabir kain sebagai pembatas antara jema'ah perempuan dan
laki-laki, terutama pada waktu sholat tarawih atau pada waktu
sholat hari aya Idul Fitri atau Idul Adha.
d. Pada bagian
depan, terdapat ruang pengimaman yang berdampingan dengan tempat khottib
membaca khotbah pada waktu sholat Jum'at, Idul Fitri atau Idul Adha.
e. Pada bagian samping yang sejajar
dengan ruang pengimaman bagian luar biasanya ditempatkan
Keranda, yaitu alat tandu untuk memikul mayat menuju ke
kuburan.
E. Rumah tempat musyawarah (Sessat)
Rumah tempat musyawarah atau umumnya disebut Sessat dengan bentuk bangunan
seperti huruf "T" dengan kaki lebih pendek
dibanding dengan rumah-rumah masyarakat Lampung pada umumnya. Secara
keseluruhan bangunan sessat berbentuk persegi panjang, tinggi dinding
dibuat setengah bangunan, sedangkan tangganya terletak di tengah bangunan
anjung yang berhubungan dengan bangunan induk. Bangunan sessat di
sebagian daerah Lampung, seperti di Sukadana, Kuto bumi dan sekitarnya
nampak masih dipertahankan keasliannya. Akan tetapi di
sebagian daerah lain, seperti di Negeri Katun, bangunan sessat tidak
lagi menggunakan kaki, melainkan berupa bangunan tembok
pendek. Masyarakat setempat tidak mempermasalahkan perubahan ini,
bagi mereka yang penting fungsi dan maknanya sebagai tempat
musyawarah masih tetap dipertahankan.
Ruangan pada sessat merupakan hamparan memanjang
yang mirip bangsal, oleh karenanya ada
sebagian masyarakat menyebutnya sebagai balai
panjang. Fungsi sessat hampir sama dengan Balai Desa,
yaitu sama-sama sebagai tempat bermusyawarah. Bedanya,
Balai desa diperuntukkan sebagai tempat
musyawarah urusan Pemerintahan Desa, sedangkan Sessat
diperuntukkan sebagai tempat musyawarah urusan
masyarakat yang erat kaitannya dengan adat istiadat.
Sessat ini memang sudah jarang ditemukan, lebih-lebih sessat tua
yang asli. Apabila akan dilakukan upacara adat, seperti upacara adat
perkawinan, biasanya masyarakat membangun balai adat darurat
(sementara), yaitu menyerupai tetarub, jika telah selesai acara
musyawarah dan upacara adat, maka sessat ini dibongkar.
Bagian bangunan Sessat yang disebut anjung adalah serambi sessat yang
dapat juga digunakan untuk musyawarah atau pertemuan kecil, kecuali itu
dapat juga digunakan untuk istirahat bagi penyimbang sebelum acara musyawarah
adat dimulai. Sedangkan Pusiban (tempat siba) adalah ruang sebagai
tempat para penyimbang duduk dalam pertemuan atau musyawarah.
Pusiban ini dapat juga digunakan untuk acara bujang gadis, menari, ngediyou,
bebandung, pisaan atau bisa untuk tempat cangget.
F. Lumbung Penyimpanan
Lumbung penyimpanan adalah bangunan yang dibuat untuk menyimpan
padi, khususnya padi giding atau padi gabah (renai)
sebagai simpanan selama persediaan beras masih
ada. Bagi masyarakat Lampung pesisir kalianda, lumbung ini
memang dikhususkan untuk menyimpan padi, akan tetapi
bagi masyarakat Lampung di daerah lainnya, seperti Lampung
Barat, Lampung Utara dan sekitarnya, biasanya lumbung ini digunakan
juga untuk menyimpan Damar, kopi, lada, dan hasil-hasil bumi
lainnya. Letak bangunan lumbung penyimpanan ini biasanya di
sekitar juyu (belakang) rumah tempat tinggal yang kira-kira
berjarak antara 5 sampai 10 meter. Tetapi bagi masyarakat di daerah
atau tiyuh lain ada yang membuat lumbung ini terpisah jauh dari tiyuh.
Di tempat ini biasanya terdapat beberapa lumbung penyimpanan
(lumbung lamon) milik anggota masyarakat yang mirip dengan
perkampungan khusus. Lumbung yang dibangun jauh di
perkampungan khusus ini adalah agar kotoran gabah (huwok)
tidak mencemari perkampungan. Disamping itu agar pada waktu
menjemur padi tidak diganggu oleh ayam peliharaan
masyarakat kampung.
Bentuk bangunan lumbung itu terdiri dari dua
ruangan, yaitu bagian luwah dan bagian lom. Bagian luwah
berfungsi untuk meletakkan padi sebelum di masukkan ke dalam lumbung,
atau sebaliknya sebelum padi diturunkan di tanah. Tempat ini memudahkan
bergotong royong mengeluarkan atau memasukkan padi. Dalam pengertian lain
lepau ini sebagai tempat tunda pengangkatan padi
pada waktu penyusunan padi ke bagian dalam lumbung.
Bisa juga digunakan untuk ngilik pakhi (menginjak-injak padi)
agar lepas dari tangkainya. Perlu dijelaskan pula bahwa lumbung ini
menyerupai bangunan panggung, sedangkan dindingnya dipasang pada
bagian dalam. Maksudnya agar dinding lumbung tidak mudah beka
(jebol), disamping agar tidak mudah di dongkel pencuri.
Pada sisi lain diketahui ada beberapa jenis bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal perlindungan sementara dari
hujan dan teriknya mata hari, seperti kubu, sapu huma, dan sapu umbul.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat keterangan di bawah ini:
1. Kubu atau petakhuan
Jenis bangunan yang disebut kubu adalah tempat
masyarakat berlindung dari panas dan hujan yang
bersifat sementara. Bangunan kubu ini biasanya
didirikan di ladang-ladang, di kebun duren, kebun rambutan, kebun
duku, dan sebagainya. Kubu ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
berteduh, juga untuk tempat istirahat dikala sedang menjaga
keamanan lahan pertanian atau perkebunan-perkebunan tersebut. Jenis
bangunan kubu biasanya berbentuk persegi empat berukuran kecil yang
dibuat dari bambu bertiang kayu, berlantai pelupuh
bambu (khesi), beratap rumbai atau alang-alang, tidak berdinding,
dan diikat dengan tali rotan, ijuk enau, kulit bambu apus (bekunul), atau
bisa juga menggunakan tali dari kulit pohon tangkil/takkil
(melinjo), atau kulit pohon waru (bakhu). Tapi dalam perkembangannya
sekarang, kubu ini tidak diikat dengan tali atau rotan,
melainkan menggunakan paku.
2. Kepalas atau sapu (sapew)
Jenis bangunan sapu berbentuk anjung yang bertiang
tinggi, mempunyai atap, lantai pelupuh bambu yang
dilengkapi tepi batas didinding, dan mempunyai tangga naik.
Sapu ini dibuat dari bahan kayu atau bambu dengan atap alang-alang
digunakan sebagai tempat menjaga ladang padi, dan biasanya dari sapu ada
gantungan tali ke orang-orang di bawah untuk mengusir burung. Ukuran
besarnya sapu ini cukup untuk memuat dua sampai empat orang.
3. Sapew umbul
Sapew (sapu=sebatin) umbul
adalah suatu bangunan rumah darurat di daerah
peladangan atau umbulan (talang) tempat kebun-kebun tanaman
keras seperti kubu, bedanya sapu umbul ini biasanya ditempati untuk
menguinap beberapa lama, bisa satu minggu atau bahkan bisa
berbulan-bulan, tergantung kepentingan dalam perawatan
kebunnya.
Rumah-rumah asli orang Lampung pada umumnya mempunyai ukiran dan
hiasan. Pada beberapa daerah lampung lainnya, diketahui sudah
sangat sedikit masyarakat yang masih mempertahankan bentuk banguan rumah
asli arsitektur khas lampung. Pada beberapa kampung asli
orang Lampung paling banyak sepuluh buah rumah yang masih
mempunyai ukiran arsitektur asli Lampung. Seperti di
daerah Belambangan Pagar, Bumi Ratu, Gunungsugih dan
Terbanggi besar, sudah jarang ditemukan rumah-rumah
yang berasitekturkan khas Lampung. Pada umumnya
sisa-sisa rumah-rumah asli khas Lampung yang ada terbuat dari kayu dan
merupakan rumah panggung yang dibuat pada zamannya oleh
tukang-tukang dari Meranjat (Sumatera Selatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar