PENGUKURAN SIKAP
Dalam suatu teknik tidak langsung, seorang peneliti memberikan gambaran-gambaran kepada subjek, subjek diminta untuk menceritakan apa yang dia lihat dari gambar itu. Jawaban subjek kemudian di-score yang memperlihatkan sikapnya terhadap orang atau situasi di gambar itu. Menurut W.A Gerungan (1983), bahwa dalam membentuk dan merubah sikap (atitude) itu terdapat faktor intern dan ekstern rribadi induvidu yang memegang peranan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sifat seseorang tumbuh dan berkembang karena dipengaruhi faktor intern dan ekstern.
1. Faktor intern adalah faktor yang tumbuh dari dalam diri induvidu. Faktor ini memegang peranan didalam perubahan sikap, dimana dalam diri seseorang terdapat selektiviti daya pilihnya antara minat untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Rangsangan yang diterimanya tidak begitu saja, akan tetapi seseorang akan memilih perangsang yang mempunyai nilai bagi dirinya. Dengan demikian ia mengerti secara pasti apa yang harus diperbuat sehubungan dengan rangsangan tersebut, apakah akan menerima atau menolak. Dengan adanya keputusan-keputusan tersebut itu menandakan bahwa dalam diri subjek telah ada suatu pengertian tentang objek, kadang oleh seorang disadari bahwa sering terjadi tindakan yang berlainan antara tindakan dengan sikapnya. Bila hal ini terjadi maka terdapat tindakan yang berbedabeda dengan keinginana seseorang. Teori keseimbangan menyatakan bahwaterjadi keseimbangan antara sikap yang dimaksud dengan perbuatanya.
2. Faktor ekstern adalah sikap seseorang mengalami perubahan disebabkan oleh pengaruh yang berasal dari luar induvidu. Faktor yang datang dari luar berasal dari lingkungan, kelompok sosial atau hasil budaya manusia. Rangsangan dari luar induvidu akan menyokong terjadinya perubahan sikap. Karena itu tidak mengherankan bila lingkungan itu dapat berpengaruh terhadap perubahannya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jika seseorang melihat sesuatu objek yang disukai atau tidak disukai ia akan memberikan respon, menilai obyek tersebut, lalu kemudian memberikan tanggapan-tanggapan terhadap obyek tersebut yang diwujudkan dengan sikap-sikap tertentu. Sebagaimana dipaparkan Thomas Clan (Bimo walgito, 1987), bahwa sikap seseorang akan selalu diarahkan terhadap sesuatu hal atau objek yang dituju. Bila seseorang tidak mempunyai sikap tertentu terhadap kejadian yang ada diluar dirinya, maka orang itu tidak akan bergerak untuk melakukan suatu tindakan, sebaliknya bila seseorang mempunyai sikap tertentu, maka hal tersebut akan merupakan dorongan untuk dapat timbulnya suatu tindakan dengan perasaan-perasaan tertentu atas dasar pengalaman yang diperoleh. Kemudian Bimo Walgito menjelaskan bahwa sikap adalah suatu keadaan dalam diri manusia yang menggerakan untuk bertindak, melakukan respons terhadap perasaan-perasaan tertentu dan menanggapi suatu obyek diluar dirinya, yang terbentuk atas dasar pengalamn-pengalaman. Artinya setiap individu mengadakan hubungan terhadap obyek diluar dirinya, maka ia akan digerakan oleh sikap. Dalam hal ini tentu suatu objek adalah faktor rangsangan yang dapat menimbulkan sikap tertentu, dan sikap itu selalu berkaitan dengan peristiwa dan pengalaman yang disarakan oleh individu sebelumnya dalam berhubungan dengan objek lain diluar dirinya.
Ada 2 (dua) elemen penting dalam orientasi tindakan manusia (Abdul Syani, 2010), pokok-pokok Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia (SSBI), Fisip Universitas Lampung, Bandar Lampung) yaitu:
a. Orientasi motivasional, merupakan tindakan yang berhubungan dengan kehendak individu untuk memperbesar kepuasan dan sebanyak-banyaknya mengindari kekecewaan. Faktor mendorong seseorang untuk membaca adalah agar dapat mengerti sesuatu (jangka pendek) dan agar dapat lulus ujian, dan seterusnya (jangka panjang).
b. Orientasi nilai, bahwa dalam tindakan individu terdapat standard norma-norma yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan tentang berbagai tujuan dan segenap sarana-sarananya. Hal ini berarti ada kebebasan individu dalam bertindak dalam rangka usaha mencapai tujuannya yang potensial ada dalam masyarakat.
Tindakan dalam orientasi motivasional dapat pula dibedakan kedalam 3 jenis, yaitu:
a. Tindakan dalam orientasi motivasional kognitif (pengetahuan), yaitu menunjuk pada ukuran yang dipakai dalam menerima berbagai interpretasi pengetahuan tentang situasi. Misalnya, ada interpretasi masyarakat yang cenderung sangat mementingkan faktor kekayaan dari profil calon isteri ideal. Bisa juga sebagian lain masyarakat yang mementingkan keturunan (seperti di Jawa, yang penting keturunan sehat, kaya, etnis yang tertuang dalam bibit, bobot, bebetnya), atau penampilan dan pakaian serba mewah/glamor, tentang porsi makanan, dan lain-lain.
b. Tindakan dalam orientasi motivasional katektif, yaitu menunjuk pada ukuran yang berhubungan dengan nilai dari pengetahuan tentang latar belakang budaya. Makan banyak berarti kaya (gemuk sama dengan makmur). Bagi masyarakat lampung pada umumnya menilai orang yang makan banyak justeru menyenangkan, tetapi di Jawa orang makan banyak disebut rakus (ada yang menganggap orang makan sedikit lambang kesopanan, tidak rakus), dan lain-lain. Mengapa dalam pesta cenderung tersedia makanan yang serba enak?, karena dalam kondisi tersebut yang penting adalah pelayanan yang melambangkan kesenangan dan keindahan; masalah rugi urusan belakang. Mengapa di Jawa tamu cenderung makan sedikit?, karena latar belakang nilai keindahan ada pada bentuk tubuh yang langsing, maka usahanya adalah minum jamu atau menjaga tubuh agar tak berlemak.
c. Tindakan dalam orientasi motivasional evaluatif dan moral, yaitu menunjuk pada ukuran yang dipakai dalam menerima berbagai interpretasi pengetahuan tentang seleksi kehormatan/kepatuhan dan moral. Ada sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa sebuah perkawinan hanya akan berlangsung, jika calon kedua mempelai pendapat restu (disetujui) orang tua. Jika tidak, biasanya akan terjadi konflik yang berkepanjangan/meluas tidak hanya menyangkut nama baik kedua memepelai atau kedua belah pihak keluarga saja, melainkan dapat melibatkan konflik antar kerabat dan etnis. Kalau terjadi konflik atau tidak mendapat persetujuan, maka ada cara-cara evaluasi tertentu yang dianggap sebagai jalan keluar terbaik untuk mencapai tujuannya itu, misalnya dengan kawin lari, tumbur saja, minta maaf, atau dengan mohon restu. Kesemua usaha ini dilakukan melalu pertimbangan tentang nilai kehormatan dan moral individu-individu. Dalam hal ini nilai budaya sangat dominan dan menentukan tindakan manusia untuk mencapai tujuannya (bibit, bobot, dan bebet, juga termasuk ukuran nilai dari segi budaya).
Jatuhnya keputusan individu atau masyarakat untuk melakukan tindakan yang notabene tumbuh dari kesinambungan sikapnya, tentu dipengaruhi oleh beberapa elemen sosial yang mendasar, seperti adanya tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut. Menurut Parsons, dalam tindakan voluntaristik mencakup elemen-elemen sebagai berikut:
1. Adanya pelaku individual (perseorangan);
2. Adanya pelaku individu yang sedang mengejar suatu tujuan (goal);
3. Pelaku individu dianggap memiliki beberapa alternatif cara atau alat untuk mencapai tujuan itu;
4. Pelaku juga diatur oleh seperangkat nilai, norma dan ide-ide lainnya dimana ide-ide ini mempengaruhi apa yangdianggap sebagai tujuan dan alat, atau cara apa yang dipilih untuk meraihtujuan tersebut;
5. Dengn demikian tindakan mencakup pembuatan keputusan subyektif tentang alat atau cara, yangdigunakan untuk meraih tujuan; dimana semuanya itu dipengaruhi olehvalue, norms, other idea , kondisi dan situasional tertentu.
Abdul Syani (2010) menjelaskan bahwa tindakan manusia erat kaitannya dengan perannya dalam suatu posisi atau status tertentu. Ada kalanya manusia dalam hidupnya berhadapan dengan dilema, disatu pihak ia mempunyai kemampuan dalam menjalankan perannya sesuai dengan status tertentu, tetapi pada waktu bersamaan dipihak lain ia harus menanggalkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Agar tindakan dapat lebih memuaskan dalam pemecahan dilema, maka sebelumnya perlu evaluasi tindakan dengan pendekatan fungsional. Dalam pendekatan ini yang terpenting adalah teknis evaluasi dan adaptasi jati diri dalam menempatkan peran secara kolektif dalam kehidupan masyarakat dimana ia bergaul. Letak pendekatan fungsinya adalah bahwa jika seseorang sedang berdagang atau mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya, maka ia harus mampu berkonsentrasi lebih besar terhadap teknis-teknis mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Sebaliknya kalau seseorang sedang menjadi guru, maka ia harus lebih besar memperhatikan dan memperdalam cara-cara pengajaran yang efektif; dengan kata lain lebih besar memperhatikan kepentingan murid. Letak keseimbangannya adalah bahwa manusia dalam hidupnya bebas untuk melakukan usahanya diberbagai bidang profesi dan minat, sepanjang ia dapat menempatkan fungsi-fungsinya profesi dan minatnya secara proporsional. Lebih lanjut dijelaskanbahwa sikap dan perilaku yang perlu dikikis habis adalah sengaja memberi duri pada jalan yang lurus, merawat jalan yang bengkok, memberikan contoh nyata dalam melayani kepentingan umum dengan memperpanjang birokrasi yang berputar-putar, sehingga menumbuhkan kebiasaan buruk.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat dilema dalam penerapan etika perilaku, pada satu sisi manusia sebagai individu memihak pada kepentingan subyektif pribadi, bebas, dan menghindari aturan yang mengekang, sedangkan pada sisi lain manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat mungkir dari keterlibatan manusia lain dalam upaya pengembangan kesejahteraan hidupnya. Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya. Dengan arti lain, etika merupakan ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma moral(https://www.google.com/search? safe=strict&ei= pKZGXMLSKIvyrAGQh5-4Dw&q=pengertian+dilema+etika&oq=pengertian+dilema &gs_l=psy-).
Terdapat banyak alternatif untuk menyelesaikan dilema-dilema etika, tetapi perhatin yang serius harus diberikan untuk menghindari terlaksananya metode-metode yang merasionalisasikan perilaku tidak etis. Metode-metode rasionalisasi yang digunakan yang dengan mudah dapat menghasilkan tindakan tidak etis diantaranya:
1. Setiap orang melakukannya yaitu Argumentasi bahwa merupakan perilaku yang wajar bila dapat memalsukan pajak penghasilan, atau menjual produk yang cacat umumnya berdasarkan pada rasionalisasi bahwa setiap individu lainnya pun melakukan hal tersebut dan hal tersebut merupakan perilaku yang wajar. jika merupakan hal yang sah menurut hukum, hal itu etis;
2. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku yang sah menurut hukum adalah perilaku yang etis sangat bersandarpada kesempurnaan hukum. Dibawah filosofi ini, seseorang tidak memiliki kewajiban apapun untuk mengembalikan suatu obyek yang hilang kecuali jika pihak lainnya dapat membuktikan bahwa obyek tersebut miliknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dilema etika merupakan situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan mengenai perilaku yang patut (https://www.belumlama.com/dilema-etika/).
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa kesinambungan sikap yang dipengaruhi oleh beberapa elemen sosial, seperti adanya tujuan dan cara-cara mencapai tujuan dalam wujud perilaku merupakan dasar pengukuran sikap. Secara sosiologis bahwa dengan perilaku tersebut akan diketahui arah sikapnya terhadap obyek, fenomena sosial, tindakan, kejadian atau peristiwa tertentu. Dalam pengamatan langsung dilakukan terhadap tingkah laku individu dalam menanggapi suatu obyek perilaku. Semakin banyak obyek yang ditanggapi, maka makin sulit mengukur sikap secara obyektif, positif atau negatif, mendukung atau tidak, setuju adat tidak terhadap obyek ragam perilaku tersebut. Dari sudut psikologis, perilaku dalam menanggapi obyek tertentu belum tentu menunjukkan kepastian sikap pribadi, perilaku seringkali tidak sesuai dengan kehendak atau diinginkan sesungguhnya. Oleh karena itu hasil pengamatan terhadap perilaku belumdapat menggambarkan sikap yang obyektif.
Namun demikian perilaku sosial merupakan salah satu indikator sikap individu. Perilaku yang konsisten terhadap obyek atau peristiwa tertentu merupakan indikator arah dan kepastian sikap individu, tentu berdasarkan interpretasi yang harus hati-hati, artinya tidak hanya hanya didasarkan perilaku yang ditampakkan saja oleh individu.Pengukuran sikap dapat juga dilakukan secara langsung terhadap perilaku dan atau tanggapan individu dengan wawancara tatap muka. Dalam wawancara dipertanyakan tentang emosi individu terhadap obyek tertentu. Cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan mempertanyakan secara langsung tentang makna dan tujuan tindakan/perilaku yang berkaitan dengan obyek yang dimaksud.
Alasan menggunakan cara langsung tersebut adalah asumsi bahwa secara subyektif individu sangat mengetahui tentang dirinya sendiri, khususnya tentang sikapnya terhadap obyek atau peristiwa tertentu. Jika pendekatan sosial terhadap individu ini berhasil, maka pewawancara akan dapat menggali sikap secara obyektif. Dengan cara ini akan diperoleh keterangan sikap yang sesuai ataupun tidak dengan pendapat umum tentang tentang suatu obyek atau suatu peristiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar