IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI
DALAM MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA*
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**
I. KEARIFAN LOKAL LAMPUNG
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing
etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal
terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga
terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura
dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan
keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang,
Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga
memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan
yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan
kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman
budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter
dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian
penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping
itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari
warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan
peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta
pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat
tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati
karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak
kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan
seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya
pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. ________________________
* Disampaikan pada kegiatan pembekalan Kulaih Kerja Nyata (KKN) Mahasiswa berbasis Kebngsaan Di Pangkalan TNI AL (LANAL) Lampung, Piabung, Kab.
Pesawaran, tanggal 25 Juni 2018
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Lampung
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya
kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan
seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan
kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai
sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan
bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam
memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip
hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan
kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak
kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan
lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun
harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal
di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana
diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan
kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial
budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan
perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga
akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu
terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan
lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan.
Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka
melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai
sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna
substantif kearifan lokal, di mana masyarakat
harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk
sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya
nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai
keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai
prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat,
demikian juga dengan makna-makna kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian
pada gilirannya, nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke
dalam seluruh kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat
daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset (modal,
kekayaan) budaya
bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran
jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan
hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai
budaya lokal berbicara pada tataran penawaran
terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian
masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis
berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal,
proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan,
dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula
yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan,
setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai
sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil
kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak.
Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara
garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan
semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
II. IMPLEMENTASI KEARIFAN LOKAL LAMPUNG PIIL PESENGGIRI
1. Pengertian Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom)
berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi
sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang
interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian,
kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak
dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan
menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh
karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum
dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi
nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya.
Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
2. Implentasi Piil Pesenggiri
Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas
mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini
mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam
tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan
kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan
penghormatan diri. Seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai
perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi
masalah-masalah kehidupan.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang
untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi,
berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena
mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di
tengah-tengah masyarakat.
Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk
berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai
dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram,
keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai),
nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),
dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan).
Sementara itu
bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam
beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah
tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama
delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip
bercita-cita dan keberhasilan).
Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan
mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil
Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan
seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang
lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih
bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima
tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah
memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan
merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian
yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu
sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran
berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang
dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang
rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani,
2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas unsur-unsur Piil
Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. Demikian juga sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan kampus, mereka memiliki tanggungjawab moral selama memikul statusnya agar dapat diimplementasikan sesuai dengan peranannya. Sebagai mahasiswa, bertanggungjawab dengan peranannya dalam belajar mengejar prestasi. Demikian juga dosennya harus mampu memberikan pencerahan dan membangun semangat mahasiswa asuhannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat kampus dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian budaya akademik. Sivitas akademika memiliki jiwa piil pesenggiri dengan wujud keperdulian terhadap upaya meningkatkan prestasi akademik, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti sivitas akademika dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar dalam beriteraksi di kampus; mampu bergaul, berpartisipasi dalam segala kegiatan kemahasiswaan, akademik dan administrasiarti secara santun sikap perbuatan dan tutur kata. Makna yang lebih dalam sebagai masarakat kampus adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu
kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang
bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas.
Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok
orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Dengan cara
pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi
kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan
kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan
pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal,
dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana,
serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan
selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki
keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan,
ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM., khususnya di dunia kampus. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi kehidupan kampus dari segala
bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan ikatan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri,
diharapkan perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas
kekuasaannya di kampus demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang, tidak
menghormati harkat dan martabat orang lain, dapat dihindari.
III. SUMBER DAYA NILAI-NILAI PIIL PESENGGIRI
DALAM MEMBANGUN
KEMANDIRIAN DESA
Piil
pesenggiri artinya rasa harga
diri dan martabat yang mulya, Da;am prakteknya seseorang harus mampu berperan
memperjuangkan status terhormat di tengah-tengah masyarakat. Berarti dalam
usaha mencapai kehormatan hidup harus diikuti semangat kerja keras berdasarkan
standar moral dan prinsip kebenaran, yang menghasilkan prestasi yang bermanfaat
bagi publik.
Berkaitan dengn
upaya membangun
kemandirian desa,
berarti mampu menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan
sumber dayanya sendiri, tanpa tergantung dengan pihak manapun, tak terkecuali
terhadap instansi-instansi, lembaga dan pemerintah. Dalam hal ini sangat
relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri, yaitu
dengan semangat juang usaha untuk mencapai status hidup yang bermartabat
terhormat,
maka konsekuenasinya harus mampu membangun kemandirian desa demi tujuan tersebut, Pemerintah
Desa dan masyarakat desa berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola
potensi desa dengan Sumber dayanya sendiri, jika tidak, maka memurut prinsip piil pesenggiri, pimpinan dan segenap masyarakat
desa akan menanggung malu.
Demikian juga
dengan implementasi unsur-unsur Piil Pesenggiri Bejuluk-beado (bernama
dan bergelar adat). Dengan diberikankannya gelar adat terhadap penyimbang dan
masyarakat adat, berarti pemangkunya betrkewajiban menerapkan
sikap perilaku sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, orang yang menyandang gelar adat ataupun gelar formal
pendidikan, harus mampu berbuat sesuai dengan hak dan tanggungjawab yang
terkandung dalam gelar itu secara ideal. Dengan gelar
adat seseorang harus mampu memberi teladan dalam
sikap perilaku, dan memotivasi masyarakat dalam aktivitas-aktivitas
yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya
menunjukkan kemampuan mengatur rumah tanga desanya sendiri dengan sumber dayanya
sendiri dalam menciptakan kemandirian desa Sanksi sosial bagi seseorang yang
ingkar terhadap tanggungjawabnya gelarnya, maka ia akan di caap sebagai orang
yang tidak punya malu..
Implementasi
unsur Piil Pesenggiri Nemui-nyimah, yang mengandung pengertian
ramah dan terbuka terhadap tamu dan masyarakat denan
tidak membedakan asal usul, suku, agama, ras dan antar golongan.. Hal
ini erat kaitannya dengan penegakan prinsip transparansi/keterbukaan,
keteraturan, ketertiban, persatuan, toleransi dan empati dalamm kehidupan masyarakat desa. Dengan
prinsip-prinsip ini sangat penting fungsinya dalam mendorong sumber daya
masyarakat untuk dapat berejasama dan bekerjasama dalam
upaya membangun kemandirian desa. Dengan
prinsip nemui-nyimah, maka pemimpin, tokoh
desa dan masyarakat desa diharapkan mampu
mewujudkan kemandirian desa..
Unsur Nengah-nyappur
yang mengandung arti suka bergaul, suka berbaur di tengah-tengah masyarakat
dalam segala kegiatan dan suka ikutserta dalam penyelesaian masalah sosial.
Dengan prinsip nemui-nyimah merupakan semangat suka bekerjasama, kepedulian dan suka berpartisipasi
dalam kegiatan pemecahan masalah masyarakat berdasarkan nilai
solidaritas
sosial yang tinggi
antar sesamanya. Prinsip
nemui-nyimah ini sangat pentinginya sebagai sumer daya masyarakat dalam kegiatan membangun kemandirian desa, khususnya mewujudkan kesejahteraan masyarakay desa.
Unsur Sakai-sambayan yang mengandung arti suka melakukan kegiatan tolong menolong dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan
sakay-sambayan merupakan partisipasi, rasa kepedulian dan solidaritas terhadap sesama anggota masyarakat setempat, baik dalam kegiatan
pribadi dan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana prinsip sakay-sambayan, maka pimpina , tokok
dan masyarakat desa akan merasa kurang terpandang jika tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
desa. Perilaku ini
menggambarkan sikap toleransi secara
suka rela dalam kegiatan membangun desa tanpa
tergantung dengan pihak-pihak lain. Segebap pimpinan,Tokoh dan masyarakat desa yang memahami nilai-nilai karifan
loal sakay-sambayan memiliki semangat dan
kehendak yang tinggi untuk melakukan pekerjaan membangun kemandirian desa, karena mereka merasa malu dan akan kehilangan
kehormatan jika tidak mampu berpartisipasi dalam memberi pertolongan dan
kegiatan gotong royong. Dengan demikian prinsip sakay sembayan di lingkungan desa sangat berguna untuk
menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong
dan gotong royong dalam bekerja untuk menciptakan kemandirian desa.
IV. SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang
terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak
sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial,
baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan
untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu
dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan
lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat
secara berkesinambungan, khususnya masyarakat dea.
Khususnya dalam rangka upaya mewujudkan
kemandiriandesai, berarti harus memiliki kemampuan
menggali potensi dan mengelola rumah tangganya sendiri dengan sumber dayanya
sendiri. Dalam hal ini sangat relevan jika didukung oleh nilai-nilai kearifan
lokal piil pesenggiri, yaitu dengan semangat juang atas kehormatannya, maka
harus mampu mewujudkn desa mandiri, Pemerintah Desa dan masyarakat desa
berkewajiban dan harus mampu menggali dan mengelola potensi desa dengan Sumber
dayanya sendiri, jika tidak, maka pimpinan dan segenap masyarakat desa akan
menanggung malu.
Untuk
mewujudkan cita-cita kemandirian desa, perlu keterbukaan
dan kejujuran dalarn setiap aktualisasi program pembangunan desa dalam rangka
menciptakan kemandirian desa, sesuai dengan standar nilai-nila piil pesenggiri
bersama dengan 4 (empat) unsurnya. Nilai-nilai budaya budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai nemui-nyimah
(keramahtamahan) yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Piil
pesenggiri sebagai sumber nilai ketulusan perlu
dijadikan modal dasar bagi tokoh dan masyarakat desa, hususnya dalam proses
pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses membangun kemandirian desa dapat dicapai
dengan mudah tanpa hambatan yang berarti.
REFERENSI
Abdul Syani, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
_________, 2012. Nilai
Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No.
1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar