IMPLEMENTASI
ADAT BUDAYA LAMPUNG SAIBATIN
DALAM
PEMBANGUNAN LAMPUNG NOW*
Oleh: Abdul
Syani**
I. PENDAHULUAN
Masyarakat Multikultural (multicultural
society) adalah masyarakat
yang terdiri dari banyak kebudayaan
dan antara pendukung kebudayaan saling menghargai
satu sama lain. Dapat pula diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap
di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu
membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Masyarakat multikultural terdiri dari berbagai elemen, baik itu
suku, ras, golongan, dll yang hidup dalam suatu kelompok dan menetap di wilayah
tertentu. Setiap
masyarakat menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas
bagi masyarakat tersebut.
Jadi, masyarakat multikulturalisme merupakan
masyarakat yang paham bahwa berbagai budaya yang berbeda memiliki
kedudukan yang sederajat.
Bagi Masyarakat adat Lampung yang
multi-kultur-etnis terhimpun dalam motto/semboyan “Sang Bumi Ruwa Jurai”. Semboyan ini diartikan sebagai keragaman
(plural) kebudayaan, yang terdiri dari 2 (dua) kelompok adat budaya besar yang berbeda,
yaitu adat saibatin dan pepadun. Akan tetapi tidak sedikit
pihak yang kurang memahami makna simbol Sang
Bumi Ruwa Jurai tersebut. Demikian juga dengan hadirnya etnis pendatang, ternyata sebagian mereka belum dapat (bahkan
tidak) beralkurturasi (berdampingan) atau bergabung dengan kedua jurai budaya Lampung yang telah ada, sehingga seringkali menimbulkan
perselisihan/konflik.
Semboyan Pemerintah Provinsi Lampung adalah Sang
Bumi Ruwa Jurai, artinya “satu bumi dua adat budaya”; kata sang
bumi berasal dari sanga bumi (sango
bumei=pepadun), artinya se-bumi. Sedangkan ruwa jurai, artinya dua kelompok budaya yang berbeda, yaitu
kelompok masyarakat adat pepadun dan sebatin. Sang bumi ruwa jurai ini
merupakan simbol keragaman etnis dan budaya Lampung: sedangkan etnis pendatang
tidak digolongkan sebagai jurai ke-3 dalam konsep ini. Dalam simbol budaya Sang Bumi Ruwa Jurai tidak ada kategori
ulun Lampung dan pendatang; ini tidak sesuai dengan pemahaman unsur-unsur piil
pesenggiri, terutama unsur nemui-nyiman. Justeru kelompok pendatang diposisikan sebagai ulun Lampung pada
kedua kelompok budaya itu, yaitu pepadun dan sebatin secara bebas dan terbuka,
sesuai pilihan, teritorial pemukinan dan penetapan golongan ke dalam warga adat
di mana mereka bermukim tetap.
___________________
* Focus Group
Discussion (FGD) dalam Rangka
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat,
diselenggarakan Oleh Dinas PMD Provinsi Lampung di Arnes Hotel Jl.Cut Nyak Din
No.20 Bandar Lampung, Rabu-Kamis tgl.29-30 November 2017
** Dosen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung
Namun demikian dalam kenyataannya masih ada pandangan bahwa etnik tertentu dianggap lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini
merupakan konsekuensi dari etnosentrisme masing-masing kelompok masyarakat. Adanya diversitas (keragaman) masyarakat adat ini membuka peluang timbulnya ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian
warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang enggan
untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis dan budaya.
Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat bertahan
tanpa konflik. Kebersamaan dalam semboyan Sang Bumi Ruwa
Jurai dapat terancam, jika kepentingan sepihak makin ekstrim,
nilai-nilai budaya dibangun untuk
kepentingan kelompok, terjadi
persaingan dan ketimpangan penguasaan
di bidang usaha, serta terjadinya perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya, ragam latar
belakang sosial demografis dan kultural seperti itu dapat berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku individual dan kolektifitas. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan sosial
budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak terelakkan.
Dalam kenyataannya pluralitas budaya di
Lampung tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak, karena pluralitas adat budaya dianggap mengancam eksistensi etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi
masih ada yang menolak Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu
terjadinya konflik sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Meskipin pihak-pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan masyarakat
yang plural, akan tetapi tidak semua dapat mewujudkan hubungan
sosial yang terbuka saling menghargai; masih ada pihak yang sulit
menerima keberadaan kelompok lain.
Berhadapan dengan kenyataan itu, masyarakat adat Lampung memiliki piranti wawasan nusantara dan perangkat filosofi Sang Bumi Ruwa Jurai dan
prinsip hidup Piil Pesenggiri. Pluralisme adat budaya Lampung justeru mendorong semangat untuk berusaha beradaptasi agar tercipta
saling memahami, saling berdampingan dan saling menghormati. Dalam perkembangannya dapat dijadikan
sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menyadari dan
memahami kultur masing-masing. Harapan
ke depan adalah agar terbentuk hubungan yang harmonis dan sinergis antarkelompok masyarakat adat, baik hubungan internal maupun eksternal. Untuk ini perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan
yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam kehidupan
masyarakat majemuk di Lampung.
Pluralitas masyarakat Lampung
dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
1. perbedaan arus informasi dan pengetahuan
yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang
berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang
desa.
2. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan
terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
3. adanya komitmen persatuan antara berbagai
etnik, meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi,
tetapi dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas
mastarakat Lampung.
4. tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai
wilayah tujuan mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan
yang melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi
yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
5. dominannya warga pendatang di Lampung,
terutama dari etnis yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi
di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi
mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
6. karakteristik budaya masyarakat Lampung yang
terbuka terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat
pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Signifikansi pluralisme baru berarti jika dalam
aktualitas kegiatan pergaulan hidup sehari-hari antar warga masyarakat berjalan
secara harmonis, yaitu membiasanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda
dapat dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi yang
beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi hadir di
tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya secara bebas berakulturasi.
Masyarakat adat Saibatin (sebatin) terdiri dari ragam marga
yang tersebar di berbagai wilayah Lampung; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir
pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan
sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun yang umumnya bermukim didaerah pedalaman
Lampung, kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan
kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya secara
umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian dari masing-masing
kelompok budaya tersebut (Abdul
Syani, 2011).
Kelompok masyarakat terdiri dari dua golongan,
yaitu masyarakat Pepadun dan masyarakat Pesisir saibatin. Perbedaan keduanya
adalah terletak pada system rekruitmen kepemimpinan kelompok. Bagi masyarakat adat Saibatin
kepemimpinan seseorang dalam kelompok adalah berdasarkan keturunan. Anak
tertua laki-laki seorang pimpinan kelompok kebuwayan otomatis menjadi pewaris
tahta keadatan. Pemecahan kelompok yang disebabkan oleh banyaknya anggota
komunitas, hanya mungkin dilakukan pada tingkat garis kedua ke bawah.
Berbeda dengan kelompok pendukung Adat Pepadun, yang memberikan peluang secara lebih longgar kepada setiap seseorang untuk meningkatkan kedudukannya dalam status adatnya. Pengembangan subkelompok menjadi kelompok kelompok sederajat, melalui proses Cakak Pepadun. Cakak Pepadun adalah salah satu upacara daur hidup masyarakat darah Lampung.
Berbeda dengan kelompok pendukung Adat Pepadun, yang memberikan peluang secara lebih longgar kepada setiap seseorang untuk meningkatkan kedudukannya dalam status adatnya. Pengembangan subkelompok menjadi kelompok kelompok sederajat, melalui proses Cakak Pepadun. Cakak Pepadun adalah salah satu upacara daur hidup masyarakat darah Lampung.
Profil
masyarakat adat Saibatin secara ideal memiliki pola pergaulan hidup dengan
prinsip musyawarah dan mufakat. Prinsip ini sangat relevan untuk digali dalam
rangka mendukung upaya revitalisasi dan pemberdayaan nilai-nilai budaya daerah.
Meskipun budaya masyarakat adat setempat masih bersifat tradisonal, namun tidak
statis, melainkan dinamis sesuai dengan berkembangan masyarakat pendukung hukum
adat itu sendiri.
Warga
masyarakat adat saibatin secara umum merupakan sejumlah kolektivitas sosial
yang masing-masing memiliki aturan internal tersendiri. Secara kultural
masyarakat adat Saibatin merupakan kesatuan-kesatuan hidup yang diatur oleh
peraturan-peraturan yang berasal dari norma-norma sosial dan hukum adat yang
hidup berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Eksitensi institusi perwatin
adat merupakan wadah penyimbang adat dalam setiap musyawarah, terutama mengenai
urusan adat dan kemasyarakatan. Seorang penyimbang adat mempunyai kewenangan
untuk membuat keputusan hasil musyawarah. Kewenangan dan fatwanya secara
internal dipatuhi sebagai norma hukum yang dapat mengatur dan melindungi
stabilitas hubungan sosial antar warga, termasuk keserasian hubungan masyarakat
dengan alam sekitar. Karakteristik masyarakat adat Saibatin dalam
perkembangannya lebih menekankankan pada konsensus dalam upaya penyerasian
terhadap berbagai kepentingan masyarakat dan tuntutan zaman.
Dalam upaya
pemeliharaan nilai-nilai budaya dan hukum adat secara internal senantiasa
mempertahankan dan mengutamakan kepentingan masyarakat adat dengan prinsip
kemandirian, terutama dalam penggalian potensi daerah atas kekuasaan dan
kekayaan sendiri. Masyarakat adat setempat sebagian masih tetap hidup dengan
hukum adatnya sendiri, baik berdasarkan ikatan teritorial maupun geneologis.
Dalam kelompok masyarakat adat memiliki tradisi yang memungkinkan lebih dekat
dengan nilai-nilai hukum adat. Kondisi kehidupan semacam ini tentu perlu
digali, ditemukenali dan dipertahankan agar generasi muda dapat memahami serta
memiliki kebanggaan terhadap adat budayanya sendiri sebagai bagian kepentingan
untuk mencapai keselarasan hidupnya. Perilaku sopan santun dan atau ramah tamah
dalam tegur sapa antar anggota masyarakat merupakan kelaziman dalam institusi
adat. Oleh karena itu potensi budaya dan hukum adat setempat perlu dilestarikan
sebagai kerangka dasar pola pembangunan, baik dalam rangka pelestarian hukum
adat dan budaya, maupun sebagai sumber motivasi dalam kegiatan pembangunan
sosial ekonomi masyarakat yang berwawasan budaya. Dengan demikian diharapkan
sumber daya masyarakat adat dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber
motivasi dalam upaya menggali potensi sosial ekonomi daerah.
Mengingat
masih tersedianya potensi budaya masyarakat adat setempat dan eksistensi hukum
adat yang masih tersimpan dalam kehidupan masyarakat, maka perlu dilakukan
penggalian dan revitalisasi budaya secara seksama. Hal ini diharapkan dapat
memberikan solusi strategis dalam upaya memotivasi masyarakat agar dapat
berpartisipasi aktif dalam mendukung pembangunan daerah yang berwawasan budaya
tersebut.
Masyarakat adat saibatin mempunyai falsafah hidup yang sama dengan
masyarakat adat pepadun, meskipun memiliki istilah dan bahasa sendiri dalam
menyebut pandangan hidupnya, yaitu Bupiil Bupusanggiri. Adapun 4 (empat) unsur
penopang Piil Pesenggiri yang dimaksud adalah: 1) Juluk-adok, 2) Nemui-nyimah,
3) Nengah-nyappur, dan 4) Sakai-sambaiyan.
II.
IMPLEMENTASI ADAT BUDAYA LAMPUNG SAIBATIN
1.
Implementasi Adat Budaya Piil
Pesenggiri
Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya
luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup
masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk
memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan
harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau
merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang
memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti
mempunyai perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup
mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Etos dan semangat kelampungan
(spirit of Lampung) piil
pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan
teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas
tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat
seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat adat Saibatin dan Pepadun menganut sumber/kitab yang sama dalam
menentukan fahsafah hidupnya, yaitu berdasarkan kitab Kuntara Raja Niti. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:
1. piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina
menurut agama serta memiliki harga diri).Pi`il Pusanggiri diartikan sebagai
segala sesuatu yang menyangkut harga diri, perilaku dan sikap yang dapat
menjaga dan menegakkan nama baik dan martabat secara pribadi maupun secara
berkelompok senantiasa dipertahankan. Dalam hal-hal tertentu seseorang
(Lampung) dapat mempertaruhkan apa saja termasuk nyawanya demi untuk
mempertahankan pi`ill pesenggiri tersebut.
2. juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan
gelar adat yang disandangnya).Bejuluk Beadok adalah didasarkan kepada
"Titei Gemettei" yang diwarisi tutun temurun dari zaman dahulu, tata
ketentuan pokok yang selalul diikuti (Titei Gemettei) termasuk antara lain
menghendaki agar seseorang disamping mempunyai nama juga diberi gelar sebagai
panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga diberi juluk (bejuluk)
dan setelah kawin di beri gelar.
3. Nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk
bersilaturahmi serta ramah menerima tamu).nemui Nyimah diartikan sebagai
bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak, baik terhadap orang dalam
satu klan maupun dari luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan
dengannya.
4. Nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan
bermasyarakat dan tidak individualistis).Nengah Nyapur adalah tata pergaulan
masyarakat Lampung dengan kesempatan membuka diri dalam pergaulan masyarakat
umum dan berpengetahuan luas, serta ikut berpartisipasi dalam segala hal yang
bersifat baik, yang dapat membawa kemajuan sesuai dengan perkembangan zaman.
5. Sakai-sambaian (gotong-royong dan saling
membantu dengan anggota masyarakat lainnya). Sakai Sambayan meliputi beberapa
pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu
membahu, dan saling memberi terhadap sesuatu yagn diperlukan bagi pihak-pihak
lain. Dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang bersifat materi saja,
tetapi juga dalam arti moril termasuk sumbangan pikiran dan lain sebagainya.
Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip
kehormatan) selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah,
nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab
dan makna. Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah,
terbuka dan saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun
dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan), dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan).
Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan
Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat
(prinsip persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak
waya (prinsip penghormatan); ghopghama delom beguwai (prinsip kerja
keras); bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Lebih disederhanakan lagi,
bahwa bupiil bupusanggiri menurut istilah masyarakat adat Saibatin adalah
sebagai berikut:
Bupiil Bupusanggiri
(pusanggikhi), artinya memiliki harga diri, hidup bermartabat, dan menjunjung
tinggi hidup terhormat dalam masyarakat. Sedangkan 4 unsur penopangnya sebagai
indikator tercapai atau tidaknya prinsip hidup bupiil bupusanggikhi itu adalah:
Bupiil Bupusenggiri (memiliki harga diri, bermartabat dan terhormat; malu
melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri):
1.
Khepot delom mufakat (selalu musyawah untuk mufakat; mempunyai
kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya; setara degan Bejuluk-beadoq)
2.
Bupuidak Waya (berwajah ramah/ceria; suka saling
mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima
tamu);
setara dengan Nemui-nyimah)
3.
Tetengah tetanggah ( suka berada ditengah bersama masyarakat, suka bergaul; aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individu; setara dengan Nengah-nyappur)
4.
Khopkhama delom bekekhja (selalu mengutamakan kebersamaan dalam bekerja; suka tolong
menolong antar sesama warga masyarakat, dan suka bergotong royong dalam
kepentingan umum; setara dengan Sakai-sambaian)
Sifat-sifat ulun Lampung itu seringkali
diungkapkan dalam adi-adi (pantun), yatu:
1.
Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
(tandanya orang Lampung, memiliki kehormatan)
2.
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
(mulia atau hina diperhitungkan, ada rasa malu dan harga diri)
3. Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
(gelar
adat dipegang teguh, ramah tamah dan bersaudara)
4. Nengah-nyampur
mak ngungkung, sakai-sambaian gawi
(bergaul tidak terbatas, saling mambantu dan bergotong royong)
Unsur-unsur Piil Pesenggiri
mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil
Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan
seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang
lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih
bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima
tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah
memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan
merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang
memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki kesadaran
untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu
sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran
berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang
dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang
rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani,
2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Juluk-Adok
a. Juluk-Adok
Secara etimologis Juluk-adok (gelar adat) terdiri dari kata juluk
dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan
keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau
remaja yang belum menikah, dan adok bermakna gelar/nama panggilan adat seorang
pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan
tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan
keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak
keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adok merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adok merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adok ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adok ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adok melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adok merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.
b. Nemui-Nyimah
Juluk-adok merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adok merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adok ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adok ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adok melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adok merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian
menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi.
Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja
"nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara
harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan,
suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan
ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan
kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu
keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi,
dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip
keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian
berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur
berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur
atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka
bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota
masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap
suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama,
tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat
menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi
antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau
mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap
terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu
konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk
mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan
seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan
serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat
Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah
menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada
seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai
ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan
sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau
untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Terkait dengan falsafah
hidup bupiil bupusaenggiri sebagai
bentuk adat budaya Lampung Saibatin, dalam implementasinya dapat dijadikan
landasan inspirasi dalam pelaksanaan program pembangunan di Lampung. Oleh
karena penganut falsafah hidup ini memiliki tanggung jawab dalam memelihara
harga diri, martabat dan kehormatan kelompoknya, maka konsekuensinya harus mampu
mengilepentasikan program pembangunan secara efektif. Menurut perspektif bupiil
bupusanggiri, bahwa para agen
pembangunan akan menanggung malu jika tidak berhasil mewujudkan hasil program
pembangunan yang telah diencanakan.
2. Implementasi Adat Budaya Hippun
Adat budaya hippun adalah suatu kebiasaan
bermusyawarah dalam setiap perencanaan, kegiatan ataupun dalam penyelesaian
masalah yg berlaku bagi masyarakat adat. Bagi warga yang tidak mendukung,
menghindar atau menghambat acara hippun, seringkali ia disebut “mak ngidok piil” (tidak punya malu).
Adat hippun secara ideal dilaksanakan
melalui beberapa tahapan. Seluruh tahapan yang dilalui memiliki makna
tesendiri, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bisa sembarangan. Adapun tahapan
prosesi hippun secara ringkas adalah sebagai berikut:
1.
Hippun wakhi pelambanan
(musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat dekat).
2.
Hippun suku (musyawarah antara kepala-kepala suku yang
mewakili pihak-pihak keluarga-keluarga yang melaksanakan upacara adat muwakhi).
3.
Hippun tiyuh/pekon (antar penyimbang tiyuh
dari masing-masing pihak calon angkon muakhi).
4.
Hippun Marga (musyawarah antar kepala/perwatin marga).
5.
Hippun Lamban Balak
(persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan Tuha Khaja dan perangkat
pemerintahan adatnya, penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan
tuha khaja tentang hak dan kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji
sumpah atau katam).
6.
Persiapan pakaian
adat masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon angkon
muakhi (sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal, disesuaikan),
payung adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dan lain-lain.
7.
Persiapan lokasi
prosesi pelaksanaan hippun
8.
Pembacaan susunan
acara oleh Penglaku tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang
senior)
9.
Penetapan dan pembuatan keputusan hippun
10.
Acara petutup
dengan doa (petugas).
Dari tahapan tersebut dapat diketahui bahwa prosesi hippun (pemekonan) yang dilaksanakan
oleh Masyarakat Adat Lampung sangat penting, terutama untuk memelihara
silaturahmi antar warga, menjaga kerukunan dan ketertiban masyarakat. Oleh
karena itu acara hippun perlu dilestarikan, meskipun dalam pelaksanaannya
disesuaikan dengan tuntutan kemajuan zaman dan rasional. Adat hippun merupakan
wujud semangat kearifan lokal masyarakat Lampung dalam upaya mencapai
kesepakatan bersama. Dengan hippun diperoleh kesepakatan yang mengikat keberbersama
warga atas usaha pemeliharaan ketenteraman dan keamanan masyarakat tersebut.
Artinya, nilai kearifal lokal hippun ini
dapat dijadikan sebagai strategi pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat, khususnya masyarakat Desa. Kecuali itu adat hippun dapat dijadikan
strategi dan pendekatan ampuh dalam penyelesaian perselisihan/konflik.
Dalam tahapan prosesi adat hippun tersebut, seperti
hippun penyelesaian perselisihan warga, lazim juga disertai dengan perjanjian
formal adat lokal. Perjanjian ini memiliki daya ikat yang kuat untuk memelihara
perdamaian antar pihak, sehingga jauh dari ancaman konflik. Perjanjian dalam
adat hippun biasanya berupa pernyataan perjanjian atas nama Allah SWT untuk
selalu saling menjaga kesepakatan, saling percaya, selalu menjaga ketenteraman
dan ketertiban warga. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya adalah cidera
dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat dengan batas
waktu tertentu, dan membayar denda adat.
Daya ikat dari perjanjian dalam adat hippun itu sangat kuat, melekat
pada setiap diri dari pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Oleh karena itu
upaya pemeliharaan dan implementasi nilai-nilai adat hippun memiliki potensi strategis
dalam pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa. Di samping dapat
digunakan sebagai strategi menyelesaikan perselisihan dalam masyarakat secara
arif dan bijaksana. Melalui pendekatan kearifan lokal budaya, konflik dapat
diselesaikan dengan cara yang bermoral, tanpa menimbulkan kerugian dari pihak
manapun.
Pendekatan sosial secara interaktif dapat dilakukan penyederhanaan kondisi sosial, yaitu merujuk pada spesifikasi budaya dlm menentukan prioritas pengembangan
potensi masyarakat. Sasarannya
adalah revitalisasi
kekuatan partisipasi masyarakat
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) melibatkan masyarakat dlm setiap perencanaan &
pengambilan keputusan program pembangunan sebagai wujud demokrasi
sosial,
2) program yang dilegitimasi dapat menjamin prioritas hak-hak masyarakat, dan
pemerataan (kesempatan usaha),
3) memberdayakan
independensi peranserta masyarakat,
4) membangun kemitraan
dengan pemerintah, kaum intelektual,
dan lembaga-lembaga terkait.
5) mengangkat dan memberdayakan nilai-nilai
gotong royong dan aspirasi masyarakat, agar tupoksi dpt menyentuh
kepentingan masyarakat, setidaknya dapat
mencerminkan cara hidup yang
terarah dengan contoh-contoh perilaku
dan perlakuan yang nyata dan simpatik.
Kalau ingin memberantas minuman keras jangan demon terhadap botol minuman, melarang merokok tapi kalau merokok katanya
MACHO (Abdulsyani, 2010. makalah seminar budaya tentang
pendekatan sosial budaya).
Dalam rangka penanganan perselisihan yang selama ini mengalami
kebuntuan akibat dari berbagai campurtangan dan pola pendekatan yang tidak
relevan dengan kearifan lokal masyarakat adat setempat. Pada akhirnya seringkali
menimbulkan masalah baru, yaitu konflik laten, kecemasan berkepanjangan, dan
keragaman faktor pemicu konflik terbuka yang sulit diprediksi. Ada beberapa
alasan pentingnya memeliharan dan implementasi kearifan lokal adat hippun tersebut,
yaitu:
1.
Nilai-nilai kearifan lokal
hippun merupakan tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam
membuat keputusan tentang perencanaan
pembangunan desa, khususnya dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat desa
2.
Nilai-nilai kearifan lokal
hippun merupakan tradisi /pedoman yg dianggap ampuh/efektif dalam
membuat keputusan tentang penyelesaian konflik,
yaitu adat kemuarian (kemuakhian/mewarei adat/angke(o)n muakhi)
3.
Mekanisme resolusi konflik dg tradisi adat hippun kemuarian tertuang dlm
bentuk upacara perdamaian pihak2 yg berkonflik, bermusyawarah secara
kekeluargaan yg difasilitasi oleh lembaga peradilan adat atau formal menurut
hukum pemerintahan adat (akan lebih baik formal secara kenegaraan)
4.
Landasan adat hippun adalah falsafah hidup
Piil Pesenggiri khususnya elemen nemui nyimah, negah nyappur, sakai sambayan,
maka masyarakat adat Lampung termasuk kelompok masyarakat yg dinamis dg berpegang pd norma kesusilaan dan sosial
yg mengedepankan musyawarah utk mufakat.
5.
Acara hippun ditetapkan atas dasar hasil
musyawarah (pepung/hippun) dan diputuskan berdasarkan hukum adat yg memiliki
daya ikat sangat kuat dan bersanksi jika dilanggar.
6.
Jika
telah ditetapkan keputusan bersama tentang rencana tertentu, khususnya upaya
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat setempat, maka
konsekuensinya siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul,
mereka tetap saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling
membela, melindungi, dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil
pesengiri. Keputusan hippun disadari oleh berbagai pihak yang terlibat secara
arif, baik emosional maupun rasional.
7.
Bagi pihak-pihak yang terlibat dalam hippun, senantiasa
akan terikat kuat dengan ikrar/janji) yg telah disepakati bersama sebagai
keputusan sakral. Oleh karena itu masyarakat adat Lampung pada umumnya
menjadikan tradisi lokal adat hippun sebagai pedoman strategis, khususnya dalam
upaya dalam pemeliharaan ketenteraman
dan ketertiban masyarakat, di samping upaya penyelesaian konflik.
Sesuai dengan falsafah pemersatu Lampung yang mengajarkan bahwa "mabulat
khupa iyuk, malukhus khupa sepuk"; bulat seperti bambu peniup api,
lurus seperti jalannya panah, Artinya sikap mental seiya-sekata (persatuan dan
kesatuan) antarwarga sepatutnya memang dimiliki demi mencukupi kepentingan
bersama suatu lingkungan, komunitas atau negara.
Atas dasar pembahasan di atas, maka nilai kearifan lokal prinsip “piil
pesenggiri” dan “adat hippun” dapat direkomendasikan
sebagai strategi dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat, di
samping upaya penyelesaian konflik. Perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat adat tanpa memandang perbedaan latar belakang sosial budaya. Pendekatan ini menyentuh kesadaran hati, empati, erbuka, pengampunan, rekonsiliasi,
kebenaran, keadilan restorative (pemulihan hubungan yang sudah retak), dan kerjasama, melalui keteladanan. Praktik fungsi-fungsi sosial ini perlu dilakukan secara
berkesinambungan sampai membentuk karakter
kebajikan pribadi yang memiliki kekuatan mengikat.
Implementasi hippun bagi masyarakat adat saibatin sudah merupakan
tradisi dalam setiap akan dimulai peencanaan program usaha bersama untuk
kepentingan bersama. Sesuai dengan konsep bupiil bupusanggiri, tradisi hippun
ini penting untuk mencari dan menetapkan keputusan bersama, khususnya program
pembangunan daerah setempat. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan akan
berjalan secara efektif; segala risiko dalam pelaksanaan pembangunan disepakati
ditanggung bersama tanpa selisih dan konflik
3.
Implementasi Adat Budaya Angkon
Muwari
Salah
satu tradisi penyelesaian konflik dalam masyarakat adat Lampung pada umumnya
adalah dengan angkon muari (angkat saudara) atau mendamaikan kedua belah pihak
yang konflik menjadi saudara angkat. Dengan bersaudara dimaksudkan agar
perselisihan diantara keduanya reda menjadi sebuah kesadaran, baik emosional
maupun rasional. Menurut adat Lampung, symbol persaudaraan ini
merupakan pertanda pengakuan penuh bahwa keduabelah pihak memiliki hubungan
hubungan dekat secara lahir maupun batin, tanpa cela, tanpa ktirik, tanpa rasa
curiga, dan hapus semua bentuk perselisihan.
Jika
telah ditetapkan sebagai dua atau lebih orang bersaudara, maka konsekuensinya
siapapun, dari manapun, seperti apapun bentuk, rupa asal usul, mereka tetap
saling menghormati, menghargai, toleransi, terbuka, saling membela, melindungi,
dan tolong menolong sebagaimana prinsip hidup piil pesengiri. Hubungan saudara angkat sifatnya sakral, karena dalam
pengikraran mewarei itu terkandung harapan, janji suci, sumpah setia, dan akan
selalu hidup rukun bersama, baik senang maupun susah. Ikrar dalam adat mewarei
ini didasarkan pada hukum adat yang berlaku, atas nama keyakinan, Agama (Islam)
dan Tuhan Yang Maha Esa secara lahir dan batin.
Kecuali
itu pengucapan ikrar mewarei adat ini dilakukan bersama atas kesaksian
perorangan dan keluarga besar yang terlibat perselisihan/konflik, para
penyimbang adat marga kedua-belah pihak, dan penyimbang Bandar kelompok
Pemerintahan Adat.
Penyelesaian
konflik dengan tradisi adat mewarei dalam kehidupan masyarakat adat merupakan
strategi pamungkas, setelah menempuh cara-cara dan model pendekatan sosial
budaya secara persuasive berdasarkan elemen nemui-nyimah nengah-nyappur dalam
prinsip piil pesenggiri. Disebut dmk krn
ikrar dalam adat mewarei melibatkan banyak pihak dan berdasarkan hukum adat yg
memiliki daya ikat yg relative kuat dan sanksi yg cukup berat jika dilanggar.
Oleh karena itu tidak sembarang dilakukan; hanya dalam kondisi mendesak
menyangkut ancaman terhadap kerukunan publik saja, acara adat mewarei ini
digelar.
Sebaliknya
bagi pihak2 yg telah bermewarei adat (angkat saudara), senantiasa
akan terikat kuat dengan ikrar (sumpah/janji) yang notabene sangat sakral dan
agung itu. Salah satu sanksi berat bagi pelanggar ikrar adat mewarei itu,
diantaranya dikucilkan dari pergaulan, dikeluarkan dari adat kebuwaian (tidak
diakui sebagai warga masyarakat adat), sampai diusir dari kampung di mana
mereka tinggal.
Dengan
alasan itu, maka masyarakat adat Lampung pada umumnya menjadikan tradisi lokal
adat mewarei tersebut sebagai pedoman strategis dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian konflik ini biasanya dilakukan secara bertahap berjenjang antar
pribadi, antar keluarga, antar suku bahkan tidak tertutup kemungknan antar
kampung atau marga/kebuwaian.
Adat
mewarei pada umumnya disebabkan 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Karena/atas dasar hubungan yang sangat baik misalnya
a.
Terselamatnya jiwa/kehormatan
seseorang dalam suatu peristiwa tertentu;
b.
Hubungan
pertemanan/persahabatan yang sudah sangat lama pada saat sekolah, sekantor,
sepemukiman dan sebagainya.
2. Karena alasan telah
terjadi suatu peristiwa yang kurang baik misal pertikaian dimana seseorang/beberapa
orang terbunuh kecelakaan;
Pada umumnya kegiatan yang dilakukan
dimulai dengan kegiatan pendekatan dan
negosiasi pada pihak yang bermasalah. Biasanya sebelum sampai ke tahap
pembicaraan adat dilakukan pembicaraan antar keluarga dimana yang mewakili
keluarga biasanya seseorang yang berwibawa dalam keluarga tetapi biasanya
diwakili oleh pihak ketiga yang diperkirakan berkemampuan untuk itu, terlebih
lagi bila peristiwa itu ada yang jatuh korban meninggal dunia.
3. Karena hubungan perkawinan keluarga Lampung dengan
masyarakat luar Lampung. Sebagaimana difahami
bahwa perkawinan bagi masyarakat adat Lampung adalah suatu peristiwa yang
sangat sakral, karena dilakukan untuk satu kali dalam masa hidup. Oleh karena itu suatu perkawinan yang terjadi,
biasanya melakukan suatu proses yang cukup panjang, dan terseleksi melalui
suatu kegiatan nindai, ngahago, nunang yang segala sesuatunya penuh dengan
liku-liku pengorbanan; kadangkala tidak hanya melibatkan keluarga tetapi
kerabat bahkan masyarakat.
Pada prinsipnya nilai-nilai
kearifan lokal tradisi angkon muwari merupakan budaya yang menghendaki adanya
kerukunan, persatuan dan kedekatan hubungan kekerabatan, tanpa memperhitungkan
unsur sedarah seketurunan. Tujuannya adalah agar kehormatan diri dan kelompok
terselamatkan dari konflik berkepanjangan; agar hubungan perkawinan dan
kekerabatan pihak-pihak keluarga besar dapat dipertahankan selamanya; dan agar
hubungan kebaikan antar pihak yang terikat dengan sumpah angkon muwari tidak
berubah. Bagi masyarakat adat Lampung yang memiliki ikatan persaudaraan,
senderung berusaha menghindari perselisihan dalam setiap usaha kerjasama untuk
kepentingan bersama. Oleh karena itu jika prinsip dan nilai-nilai kearifan
lokal angkon muwari ini di jadikan landasan dalam program pembangunan dasrah,
maka diharapkan dapat terlaksana secara efektif.
4.
Implementasi Adat
Budaya Namong
Adat
Namong (upaara adat pemberian nama dari garis lurus kakek), “Namong” berasal dari kata dasar “Tamong”, yang artinya orang
yang dituakan, dihormati dan diagungkan (seperti kakek, nenek atau buyut).
Mungkin pada jaman dulu Tamong dalam bahasa lampung kuno disebut dengan
“Phu-Yang” (orang yang dituakan dan dihormati) atau “Umpu” (anak cucu yang
masih hubungan darah atau keturunan). Arti dari kata “Namong” menurut bahasa berarti mempunyai Tamong atau
ber-Tamong. Tapi menurut makna, “Namong” adalah seorang anak ber-Tamong kepada
seseorang (masih hubungan darah) yang diharapkan menjadi penerus sifat kebaikannya
(kearifan, kedermawanan dan kebijaksanannya).
Namong
sebagai ikatan keluarga luas lurus tak terputus. Segala jens pewarisan dalam
bentuk keteladanan jatidiri kebaikan, serta pesan-pesan moral dan tanggungjawab
keuarga dibebankan kepada pewaris sepenuhnya. Semangat jiwa/nurani yang
terkandung dalam adat namong ini adalah semangat kerjssama berdasarkan moral
dan kebenaran bersama keuarga besarnya, masyarakat umumnya dengan saling
menghormati, menjaga martabat dan haga diri masng-masing. Adapun syarat-syarat Namong adalah sbb:
a.
Harus ada
hubungan darah (keturunan) baik dari pihak bapak atau ibu si anak. (contohnya :
Kakek dan Nenek dari pihak ibu atau bapak, atau Kakek dan Nenek dari pihak
paman /sepupu ibu atau bapak).
b.
Anak yang
ber-Tamong kepada seseorang, syaratnya harus beda 2 generasi. ( contohnya :
Cucu dengan Kakek atau Nenek).
c.
Anak laki-laki
dengan kakek, sedangkan anak perempuan dengan nenek.
d.
Anak laki-laki
Namong kepada seorang kakek, maka kakeknya memanggil anak tersebut dengan
sebutan “Sabai Kuya”, dan neneknya memanggil kepada anak tersebut dengan
sebutan “Enggom”. Sebaliknya begitu juga pada anak perempuan yang Namong kepada
seorang nenek, neneknya memanggil “Sabai” dan kakek memanggil ”Enggom”.
e.
Begitu juga anak
tersebut dipanggil oleh anak dari kakek atau nenek yang di-Namong-kan. Jika
anak itu laki-laki, maka anak dari kakek atau nenek memanggilnya “bapak” dengan
maksud menuakan dan menyayangi. Dan juga jika anak itu perempuan, mereka akan
memanggil “Induk”. Tapi orang tuanya (bapak ibu) tetap memanggil dengan
sebuatan biasa kepada anak tersebut, walaupun anak tersebut namong kepada kakek
atau neneknya sendiri, tapi panggilan itu hanya dari paman dan bibinya saja.
f.
Kepercayaan
dulu, jika Anak (bayi) tersebut setelah diberi nama dan Namong, biasanya sering
sakit-sakitan. Maka biasanya di-isyaratkan bahwa anak itu tidak menerima
ke-Namong-annya. Lalu Namong-annya diganti dengan yang lain, dan baru anak
tersebut tidak sakit-sakitan lagi.
Nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam tradisi Namong adalah berupa pesan-pesan etika
moral langsung oleh kakek dan neneknya kepada cucu-cucunya. Pesan-pesan moral
ini bersifat sakral dan harus diterapkan dalam sikap dan perilaku dalam
kehidupan masyarakat, sekarang dan masa depan. Jika pesan ini tidak di
laksananakan, maka dianggap pengingkaran dan dipercaya akan melahirkan akibat
buruk. Oleh karena itu orang Lampung dalam mengelola program pembangunan Lampung
now, harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
Namong. Harapannya adalah dengan berlandaskan nilai-nilai tradisi Namong, maka
diharapkan pelaksanaan program pembangunan now dapat dilaksanakan secara
efektif.
III.
IMPLEMENTASI
ADAT BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN LAMPUNG NOW
Dengan pendekatan kebudayaannya yang
struktural dan funfsional, van Peursen
menyajikan suatu model kebudayaan yang bertahap tiga (mitologis, ontologis, dan
fungsional), tapi yang serentak bersifat progresif dan integral antara
ketiganya. Peursen juga menandaskan bahwa kebudayaan itu terus menerus nampak
sebagai suatu strategi (atau rencana) yang harus dibuat guna membebaskan
manusia dari penjara yang dibuat manusia sendiri melalui kreativitas etis dan
pembaharuan yang invensif (van Peursen, 1989).
Dalam perspektif Peursen, pembangunan sebuah
bangsa yang bercirikan fluralisme kebudayaan dengan pola pendekatan fungsional
kebudayaan akan menunjang kebudayaan-kebudayaan lokal untuk secara sadar “berada”
(eksis) dan berperan (partisipatif) dalam proses kristalisasi kebudayaan
nasional dan pembangunan bangsa. Menuru Peursen mengutif pendapat filsuf jerman Immanuel Kant, bahwa ciri khas
kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untu mengajar dirinya sendiri.
Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat terus menerus
belajar.
Dalam implementasi Pembangunan Lampung Now, untuk seluruh
Kabupeten/Kota telah ditetapkan masing-masing motto/slogan/semboyan adat budaya
sebagai pedoman/dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan hasil
pembangunan. Motto/slogan/simbol/semboyan
dengan pernyataan khas masing-masing daerah mengandung nilai.nilai spiritual
dan pendorong keativitas kearah kerja keras dalam mewujudkan kesejahteraan
bersama. Slogan-slogan itu merupakan tolok-ukur dan sebagai dasar
pijak/landasan dalam musyawarah (hippun adat), perencanaan, pelaksanaan dan
pemeliharaan pembangunan.
Untuk
mewujudkan harapan tersebut, di daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung telah
ditetapkan slogan/semboyan kearifan lokal Lampung sebagai landasan dan tujuan
pembangunan now agar pimpinan daerah selalu bekerjasama, besama-sama dengan
masyarakat untuk mencapai kebutuhan dan kesejehtaraan bersama.
Motto/slogan/semboyan
adat budaya itu adalah sbb:
Beberapa contoh
penjelasan tentang makna dan nilai motto/slogan/semboyan adat budaya, khususnya
semboyan Pembangunan Now Lampung Saibatin
1. Kabupaten Lampung Selatan:
Khagom Mufakat,
artinya kompak
atau bersatu dalam rencana, langkah dan tujuan, sedangkan mufakat adalah
kesepakatan/keputusan bersama atas dasar hasil musyawarah, jadi mufakat
merupakan keputusan yang
sudah disepakati bersama. Dengan kata lain bahwa makna
khagom mufakat adalah suka
bermusyawarah untuk menuju mufakat. Menurut sejarah
pemula khagom mufakat, bahwa arti
kata KHAGOM ialah kompa, sedangkan MUFAKAT diartikan sebagai suatu keputusan
yang sudah sama-sama telah disepakati.
2. Kabupaten Tanggamus:
Begawi Jejama.
Arti dari semboyan kearifan lokal yang dirumuskan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Tanggamus ini adalah bekerja
secara bersama-sama.
Kabupaten
tanggamus memilih semboyan "Bumi Jejama". Bumi artinya alam dan
jejama artinya bersama, lebih tepatnya milik bersama.Hanya dibedakan denga kata
secancanan dengan Kabupaten Pringsewu yang merupakan pecahan dari Tanggamus.
Pilihan atas semboyan itu bukan tampa alasan. Daerah yang merupakan wilayah
dari kelompok Lampung pesisir yang memanjang dari Putihdoh, Limau dan
sekitarnya, menyisir pantai hingga wilayah Kota Agung, berputar melalui
Banjarmanis, Talangpadang hingga Sukaratu, adalah merupakan masyarakat yang
sangat terbuka. Mereka memberikan tempat bagi pindahan dari lampung Barat dan
bahkan daerah Sumatera selatan srta pulau Jawa.
Semangat
kebersamaan dengan Bumi Jejama yang merupakan bagian dari Piil pesenggiri
khususnya nemui nyimah. Dirasakan sangat perlu ditanamkan agar masyarakat yang
cukup majemuk ini berpijak dari kesamaan kesamaan yang mereka miliki. Sekarang
motto/semboyannya berubah menjadi “Begawi Jejama” Begawi Jejama, artinya bekerja bersama
3. Kota Bandar Lampung
(terdiri dari masyarakat adat campuran): Ragom Gawi. Semboyan Ragom Gawi
mengandung semangat bergotong
royong, bekerjasama, bersatu padu dalam menggerakkan roda pembangunan dengan
hati yang tulus ikhlas dan pantang menyerah dalam bekerja dan pengabdian
terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.
Makna Motto/Slogan/Semboyan:
Tulisan RAGOM GAWI merupakan
motto daerah yg merupakan semboyan kerja yg bermakna bergotong royong,
bekerjasama, bersatu padu dlm menggerakkan roda pembangunan dg hati yang tulus ikhlas dan pantang menyerah dalam
bekerja dan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan Negara.Secara linguistik
cultural terdiri dari dua suku kata yaitu “Ragom” yang berarti kompak, bersatu,
bersama-sama dan Gawi berrarti kerja, melaksanakan tugas pengabdian atau dengan
kata lain Gotong Royong. Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti pikul
atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Sehingga jika diartikan
secara harafiah, gotong royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama.
Nilai-nilai dalam motto/semboyan:
Jika dilihat sekilas, tampaknya hanya terlihat seperti suatu hal yang
mudah dan sederhana. Namun dibalik kesederhanaannya tersebut, motto Ragom
Gawi menyimpan berbagai nilai yang mampu memberikan nilai positif bagi
masyarakat. Nilai-nilai positif dalam Mott antara lain:
1. Kebersamaan
Gotong royong mencerminkan kebersamaan yang tumbuh dalam lingkungan
masyarakat. Dengan gotong royong, masyarakat mau bekerja secara bersama-sama
untuk membantu orang lain atau untuk membangun fasilitas yang bisa dimanfaatkan
bersama.
2. Persatuan
Kebersamaan yang terjalin dalam gotong royong sekaligus melahirkan
persatuan antar anggota masyarakat. Dengan persatuan yang ada, masyakarat
menjadi lebih kuat dan mampu menghadapi permasalahan yang muncul.
3. Rela berkorban
Gotong royong mengajari setiap orang untuk rela berkorban. Pengorbanan
tersebut dapat berbentuk apapun, mulai dari berkorban waktu, tenaga, pemikiran,
hingga uang. Semua pengorbanan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama.
Masyarakat rela mengesampingkan kebutuhan pribadinya untuk memenuhi kebutuhan
bersama.
4. Tolong menolong
Gotong royong membuat masyarakat saling bahu-membahu untuk menolong satu
sama lain. Sekecil apapun kontribusi seseorang dalam gotong royong, selalu
dapat memberikan pertolongan dan manfaat untuk orang lain.
5. Sosialisasi
Di era modern, kehidupan masyarakat cenderung individualis. Gotong
royong dapat membuat manusia kembali sadar jika dirinya adalah maskhluk sosial.
Gotong royong membuat masyarakat saling mengenal satu sama lain sehingga proses
sosialisasi dapat terus terjaga keberlangsungannya.
6. Bekerja Keras
Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa
mengenal lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai
dan selalu mengutamakan atau memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan
yang dilakukan. Kerja keras dapat
diartikan bekerja mempunyai sifat yang bersungguh-sungguh untuk mencapai
sasaran yang ingin dicapai. Mereka dapat memanfaatkan waktu optimal sehingga
kadang-kadang tidak mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang dihadapainya.
Mereka sangat bersemangat dan berusaha keras untuk meraih hasil yang baik dan
maksimal.
Jika makna.nilai-nilai adat budaya yang
telah dijadikan simbol/semboyan pembangunan tersebut dapat benar-benar di
implementasikan oleh pemimpin darah sebagai tolok ukur dalam setiap
perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan now tanpa kecurangan, maka
upaya peningkatan hasil pembangunan, baik infrastruktur maupun kesejahteraan
masyarakat dapat tercapai dengan mudah.
IV. PENUTUP
Masyarakat
adat Saibatin secara ideal memiliki pola pergaulan hidup dengan prinsip
musyawarah dan mufakat. Prinsip ini sangat relevan untuk digali dalam rangka
mendukung upaya revitalisasi dan pemberdayaan nilai-nilai budaya daerah.
Meskipun budaya masyarakat adat setempat masih bersifat tradisonal, namun tidak
statis, melainkan dinamis sesuai dengan berkembangan masyarakat pendukung hukum
adat itu sendiri.
Dalam kelompok masyarakat adat memiliki tradisi yang memungkinkan lebih
dekat dengan nilai-nilai hukum adat. Kondisi kehidupan semacam ini tentu perlu
digali, ditemukenali dan dipertahankan agar generasi muda dapat memahami serta
memiliki kebanggaan terhadap adat budayanya sendiri sebagai bagian kepentingan
untuk mencapai kesejahteraan dan keselarasan hidupnya. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup Piil Pesenggiri
yang merupakan pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan,
kesejahteraan dan keadilan. Seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai
perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi
masalah-masalah kehidupan.
Karakteristik
orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian yang memiliki
kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu
sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran
berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang
dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan.
Prinsip
tersebut sesuai dengan inti nilai perjuangan yang terkandung dalam semboyan
pembangunan masing-masing Pemerintah Darah Lampung. Oleh karena itu Implementasi falsafah hidup piil pesenggiri menyangkut
prinsip harga diri, sikap dan perilaku yg dpt menjaga dan menegakkan nama baik
serta martabat (kehormatan) pribadi dan kelompok. Konsekuensi adalah segenap aparat pemerintan dan agen pembangunan harus
memiliki semangat yg tinggi dan kerja keras dalam mewujudkan cita-cita bersama
sesuai dengan semboyan masing-masing daerah Lampung now.
Sebagaimana
nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan masing-masing daerah, agar lebih
mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya
diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, dan
mampu merubah kualitas kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Sebaliknya
menghidari perbuatan memalukan, hina, arogansi, amoral dan perbuatan kejahatan
lainnya, krn perbuatan ini merupakan gambaran
rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang. Dalam
karakteristik itu terdapat prinsip malu
jika tidak mampu memelihara kehormatannya, malu jika tidak berhasil mengejar
berprestasi.
Pada
akhirnya perlu upaya revitalisasi dan pelestarian adat budaya, khususnya prinsip
hidup piil pesenggiri dan tradisi hippun dalam segala rencana kerjasama dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan bersama.
REFERENSI
__________, 2012. Nilai Nilai
Budaya Bangsa dan
Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas
Lampung tanggal 05 Mei 2012
__________, 2013. Makalah: Kearifan
Lokal Sebagai
Aset Budaya Bangsa Dan Implementasinya Dalam Kehidupan Masyarakat (di sampaikan pada seminar/lokakarya pada
kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2013).
__________, 2007. SOSIOLOGI Skematika, Teori dan Terapan.
Bumi Aksara, Jakarta.
__________, 2013.
Makalah: Multikulturalisme Lampung: Penghargaan Atas Kearifan Lokal Untuk
Menciptakan Stabilitas Daerah (Disampaikan
pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional bagi Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan
Elemen masyarakat di Provinsi Lampung oleh Badan Kesbangpol dengan tema
”Meningkatkan Kewaspadaan nasional melalui deteksi dini, cegah dini, dan
kewaspadaan dini demi tercapainya suawana kondusif di Provinsi Lampung, di
Hotel Andalas Permai Jl.S.Parman, Bandar Lampung pada tanggal 25 Juni 2013).
___________, 2010. makalah seminar budaya tentang pendekatan sosial budaya.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan
dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003)
‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007)
‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni 2007, hal
27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
van Peursen, 1989. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta, Penerbit: Kanisus,
edisi kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar