MENUMBUHKAN KEMBALI NASIONALISME
MELALUI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL*
Oleh:
Drs. Abdul Syani, M.IP.*
Drs. Abdul Syani, M.IP.*
I.
PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah
Fenomena
kebebasan yang tak terkendali makin mewarnai dinarnika politik akhir-akhir ini,
banyak yang menduga sebagai pencerminan dari lunturnya semangat nasionalisme, justru
menjadi ciri negara bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia seolah dilupakan, kerap dijadikan etos
perjuangan bangsa dalam menghadapi berbagai masalah, baik yang datang dari luar
maupun di dalam negeri. Kebebasan berpikir dan pengaruh teknologi informasi telah
menembus batas negara, sumber referensi sejarah masa lalu mulai ditinggalkan,
dan digantikan globalisme. Akibatnya, nilai-nilai budaya sebagai perekat
persatuan segenap enerji bangsa kian menghilang, kian merngurang pula
kepedulian terhadap latar belakang sosial budaya yang ada.
Nilai
budaya perekat persatuan tersebut pada masa pemerintahan orde baru, direkayasa
dengan menggunakan sistem komando. Demi stabilitas nasional, segala kemajemukan
ditolerir sejauh mendukung paradigma pernerintah tersebut. Sebaliknya,
pemerintah senantiasa bertindak tegas dalam menghadapi berbagai tafsir keragaman yang
berasal dari luar pemerintah. Termasuk keberadaan nilai-nilai kearifan lokal dieliminir
demi terselenggaranya pemerintahan yang efektif. Konsekuensinya, kesatuan
terlihat lebih
menonjol dari pada persatuan. Demi membangun harmoni politik dan kesinarnbungan pernerintahan,
nilai-nilai budaya lokal, searif apa pun, diperlakukan secara lebih kritis, dan
kemudian dimarjinalkan.
Kendati demikian, semua mengetahui bahwa bangsa Indonesia lahir atas dasar
kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun
sentrifugal (daerah).
Dari waktu ke waktu nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar,
kehilangan makna substantifnya. Lalu yang
tertinggal hanya kulit permukaan semata, menjadi simbol yang tanpa arti. Bahkan akhir-akhir ini budaya
masyarakat hampir secara keseluruhan mengalami reduksi, menampakkan diri
sekadar pajangan yang sarat formalitas. Kehadirannya tak lebih untuk komersialisasi dan mengeruk keuntungan.
Tentu banyak faktor yang membuat nilai-nilai
budaya daerah kehilangan geliat
kekuatannya. Selain kekurangmampuan masyarakat dalam rnemaknai secara kreatif
dan kontekstual kearifan lokal, juga faktor pragmatisme dan keserakahan dari sebagian elit
masyarakat. Kepentingan subyektif diri mengantarkan mereka untuk
"memanfaatkan" budaya daerah.
______________________________________
* Disampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Kewaspadaan nasional Generasi
muda dan mahasiswa di Provinsi Lampung, yang diselenggrakan oleh Badan Kesbang
dan Politik daerah Provinsi Lampung di Hotel Arinas Jl. Raden Intan Bandar Lampung, tanggal 3 Desember 2013
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Lampung
Ketika dalam praktiknya konsep pembangunan mulai
mengalarni banyak perubahan, timbul tantangan baru yang menghambat pembaruan
wawasan nasionalisme. Banyak warga yang terkaget-kaget terhadap perkembangan
mutakhir yang lebih memperkuat globalisme ketimbang nasionalisme, bahkan sampai
menentukan jenis kelaminpun jadi tidak menentu.
Sementara itu bangsa ini merindukan kemapanan
karakter yang luhur dalam kesinambungan pembangunan bangsa. Karakter bangsa yang
dibangun dan digali dari nilai-nilai budaya lokal yang luhur sebagai akar buadaya nasional. Budaya daerah sebagai dasar kearifan lokal (local wisdom) yang dulu diterapkan oleh para pendahulu tentu sangat relevan
dengan kondisi bangsa yang berada pada gerbang globalisasi dan modernitas. Degradasi moral bangsa yang ditandai dengan
maraknya praktik KKN dan mafia hukum dapat diperangi dengan nilai budaya lokal yang diintegrasikan
dalam pendidikan karakter secara berkesinambungan, terutama dukungan komponen bangsa yang memiliki kemauan moral.
Kenyataan
sekarang secara terbuka generasi muda "alergi' untuk menyelami nilai-nilai
budaya daerah. Istilah
daerah atau lokalitas dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Praktik kehidupan ini
menyadarkan tentang pentingnya nilai budaya daerah sebagai dasar kearifan lokal. Banyak permasalahan
sosial politik yang tidak bisa diselesaikan secara tuntas, tetapi justru dilakukan dengan
dernonstrasi anarkhis. Kesantunan dan kesopanan sebagai ciri bangsa tidak lagi
membanggakan. Hukum telah menjadi barang dagangan yang dapat ditukar
dengan rupiah, bahkan isu terakhir, seseorang yang sudah berstatus terdakwa pun
masih bisa dilantik menjadi wali kota. Seakan bangsa ini berada pada puncak kegelisahan dan
kehancuran.
Atas
dasar kenyataan itu, maka perlu pernikiran ulang kontekstualisasi nasionalisme
Indonesia dan nilai-nilai kearifan lokal. Pemikiran ini bisa ditindaklanjuti
melalui pembangunan karakter berbasis nilai-nilai budaya daerah. Tujuannya adalah untuk menemukan kembali nilai-nilai kearifan
lokal sebagai sumber daya untuk menumbuhkan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal
ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi seluruh bangsa, agar lebih
mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
2.
Nasionalisme
Nasionalisme dapat diartikan sebagai rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa
menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang dimiliki oleh setiap individu
pada negara tempat ia tinggal yang tercermin dari perilaku membela tanah
airnya, menjaga dan melindungi tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan
bangsa dan negaranya
Secara garis besar Nasionalisme dapat diartikan:- Paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu kepada negara dan bangsa
- Semangat/perasaan kebangsaan, yaitu semangat cinta terhadap bangsa dan tanah air
- Suatu sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bangsa dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan sehingga merasakan adanya kesetiaan mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
Karakteristik Nasionalisme melambangkan kekuatan
suatu negara dan aspirasi yang berkelanjutan, yaitu mengupayakan peningkatan kemakmuran,
pemeliharaan rasa hormat, membanggakan pribadi bangsa dan sejarah kepahlawanan suatu
negara, pembelaan kaum patriot dalam melawan pihak asing, memiliki hubungan kepercayaan
dengan nilai-nilai
tradisi, lambang nasionalisme diberikan untuk sebuah kesucian, dan penghargaan hukum.
II. NILAI-NILAI
KEARIFAN LOKAL DAN IMPLEMENTASINYA
1. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Fiil
Pesenggiri
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal
pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan
lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut
terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan
norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan
menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain
kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai
luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang
sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz,
2007). Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas,
turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang
selanjutnya disebut sebagai budaya.
Bentuk kearifan
lokal Lampung yang khas mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri.
Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan
sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan
dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan
dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara
kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai
perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi
masalah-masalah kehidupan.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang
untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi,
berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena
mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di
tengah-tengah masyarakat.
Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip
kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang
perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri
dengan mengorbankan orang lain atau
dengan mengagungkan seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau
menyengsarakan orang lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki
harga diri akan lebih bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya,
sanggup menerima tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus
asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih
baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi
adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan
nilai-nilai positif kehormatan diri
sendiri dan orang lain, yaitu sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran.
Hidup dengan penuh kesadaran berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang
sesuai kenyataan yang dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan
yang dilakukan. Arogansi dan berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri
sendiri merupakan gambaran tentang rendahnya harga diri atau runtuhnya
kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas
unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
2. Buhippun (peppung =
pepadun)
Selain dari itu ada kebiasaan berkumpul, berkomunikasi atau
berdialog bersama antar beberapa warga/tetangga/teman, baik secara kebetulan
atau dilakukan sengaja untuk membicarakan suatu rencana, peristiwa
konflik/perselisihan, tukar pendapat/informasi atau sekedar ngerumpi.
Dalam budaya masyarakat jawa
kegiatan hippun disebut rembug atau secara umum disebut musyawarah.
Istilah desa dalam bahasa Lampung disebut pekon, tiyuh, kampung atau anek. Buhippun Pekon, Peppung Tiyuh atau Rembug
desa artinya kegiatan musyawarah. Jika Buhippun itu berkaitan dengan urusan
adat budaya, maka pelaksanaannya dipimpin oleh para penyimbang adat; tapi
sebaliknya jika buhippun berkaitan dengan peristiwa sosial kemasyarakatan dan
urusan formal pemerintahan, maka buhippun dipimpin oleh perangkat desa dan
mengikutsertakan penyimbang adat setempat. Buhippun dalam kehidupan masyarakat
Lampung pada umumnya merupakan kebiasaan sebagai bagian dari adat istiadat
Lampung.
Dikatakan demikian karena setiap ada kegiatan perencanaan
adat Beguwai/begawi/nayuh, selalu di awali dengan kegiatan Hippun. Tujuannya
adalah agar prosesi upacara beguwai tersebut dapat berjalan dengan efektif
tanpa menimbulkan masalah. Kegiatan Buhippun tidak terbatas pada kegiatan adat,
akan tetapi merupakan kebiasaan umum bahwa setiap kegiatan untuk kepentingan
bersama atau berkaitan dengan kepentingan umum selalu diawali dengan kegiatan
Buhippun. Membangun kearifan lokal, khususnya Buhippun sebagai asset moral
sosial budaya dalam rangka memelihara nilai-nilai luhur adalah untuk
menciptakan kerukunan, kebersamaan dan kesejahteraan bersama; di samping untuk memperkecil
kemungkinan terjadi perselisihan antar warga, baik dalam suatu perencanaan
ataupun dalam upaya penanganan perselisihan atau perbedaan paham antar warga.
Oleh karena itu apabila Pemerintahan formal menghendaki
terciptanya kebersamaan, kerukunan, kedamaian, dan tidak terjadi kecemburuan
sosial, baik hubungan antara Publik dengan pemerintah, maupun secara horizontal
antar warga, maka merupakan keniscayaan untuk menghargai, menghormati dengan
melibatkan semua potensi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam kegiatan
pembangunan daerah, yaitu dengan memberdayakan, menyentuh dan memanfaatkan
nilai-nilai moral kebiasaan buhippun masyarakat lokal. Strategi ini dapat
memberikan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat adat lokal, sehingga dapat
memotivasi mereka untuk turut serta membantu mengawal proses pembangunan daerah.
Sebagai contoh, di Lampung dalam menyebut musyawarah desa sebagai icon
pentingntya bermusyawarah untuk mufakat dalam setiap perencanaan dan pemecahan
masalah dengan istilah rembug desa; padahal di daerah
Lampung yang seharusnya menggunakan istilah-istilah lokal, seperti Buhippun
pekon, Peppung tiyuh atau istilah lainnya yang memang diangkat dari nilai-nilai
kearifan lokal.
Sebagai
pembelajaran untuk menghargai nilai-nilai kearifan lokal tersebut, berikut ini
akan dipaparkan secara ringkas beberapa pengertian atau istilah musyawarah
dalam bahasa Lampung, diantaranya adalah Buhippun. Buhippun/buhimpun secara
bahasa terdiri dari bu = ber =melakukan; hippun diartikan sebagai kegiatan
kumpul, mengumpulkan, menghimpun (pendapat), atau menjaring aspirasi warga.
Buhippun adat artinya kegiatan
musyawarah yang dilakukan penyimbang adat berkaitan dengan peristiwa, perihal
atau urusan adat istiadat dan budaya setempat. Misalnya buhippun mengenai
rencana acara buakhak atau prosesi
ngarak (arak-arakan) pengantin di jalan papekonan (desa) tentang formasi,
pihak-pihak tuha khaja yang terlibat, dan alat-alat yang digunakan.
Dengan demikian buhippun artinya
melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai kesamaan pendapat atau kata
sepakat (supaya mencapai kesepakatan, kesepahaman) thdp rencana, kegiatan,
peristiwa, atau cara pemecahan masalah tertentu.
Buhippun merupakan
anonim dari suatu upaya untuk mencapai atau mencari kesepakatan; maksudnya
usaha menghimpun pendapat khalayak agar suatu rencana dan keputusan yang
diambil bersama lebih aspiratif dan mewakili semua lapisan sosial.
Secara ringkas, buhippun
dapat diartikan sebagai kegiatan musyawarah untuk mencapai mupakat. Istilah ini umumnya digunakan
masyarakat adat Saibatin lima marga Kalianda dan sekitar utk menyebut kegiatan
musyawarah.
3.
Angkon Muwakhi (angkat saudara)
angkon muwakhi adalah mengangkat saudara dalam adat Lampung. Tempat pelaksanaan
guwai adat angkon muwakhi atau upacara mengangkat saudara ini, biasanya di
Lamban Balak (rumah penyimbang marga, tiyuh/pekon atau suku) setempat. Akan
tetapi faktor lokasi pelaksanaan upacara adat angkon muwakhi tersebut bukanlah harga mati, melainkan bersifat
kompromistis, tergantung kesepakatan dengan berbagai pertimbangan.
Sedangkan mewaghi bagi masyarakat adat
pepadun umumnya di Sessat Agung. Akan tetapi bisa juga dilaksanakan di Nuwo Balak atau Nuwo Ghatcak, tergantung
besar kecilnya gawi; mesak matahnya (matang mentahnya) pola begawi adat yang di
sepakati dalam peppung/hippun perwatin.
Alasan angkon muwakhi bagi masyarakat
adat Lampung umumnya adalah sebagai upaya mempererat tali persaudaraan bagi
sesama kerabat dekat, kerabat jauh, warga sekitar di luar keluarga utama
(saudara kandung atau kerabat dekat) dan
warga luar adat/kampung/pekon, termasuk warga pendatang dari berbagai asal
usul, agama, suku dan golongan. Di samping alasan lain yang sifat dan tujuan
untuk menghentikan dan menyelesaikan perselisihan antar warga, baik laten
maupun dengan tujuan agar tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi
sebagaimana hubungan saudara kandung. Dalam prinsip sosiokultural hubungan tali
persaudaraan/kemuwakhian ini dikukuhkan
secara formal adat, yaitu melalui perayaan/upacara pengukuhan atau beguwai adat
angkon muwakhi. Beguwai adat muwakhi ini merupakan simbol pertalian saudara
antar pihak, di mana masing-masing telah sepakat secara ikhlas menjadi saudara kandung. Hubungan persaudaraan dalam
adat angkon muwakhi ini dikuatkan oleh ikatan perjanjian dan sumpah setia yang
disaksikan dan disah oleh segenap tuha khaja (para penyimbang adat) dan
perangkat adat lainnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa
tujuan angkon muwakhi itu adalah untuk mengikat dan mendekatkan hubungan
persaudaraan/kekeluargaan secara mendalam, sehati se-iya sekata, senasib
sepenanggungan, seiring sejalan dan musyawarah mufakat dalam segala usaha
memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini bermula dalam kurun waktu tertentu telah
terjadi hubungan baik antar individu atau kelompok dengan indikasi adanya
kesamaan pandang, perasaan, sifat, karakter, dan kesesuaian kepribadian. Faktor
kesamaan ini kemudian tumbuh menjadi alasan kuat perlunya dilaksanakannya
angkon muwakhi untuk mengikat hubungan kemuwakhian (persaudaraan). Ikatan
hubungan kemuwakhian ini kemudian
melahirkan keinginan dan kesepakatan bersama untuk mengikat hubungan
tersebut menjadi lebih erat dan mendalam sebagaimana hubungan saudara kandung
melalui prosesi resmi beguwai adat angkon muwakhi.
Kecuali itu karena angkon saudara
dianggap sebagai strategi ampuh dalam penyelesaian masalah jika pada suatu
ketika terjadi perselisihan diantara warga masyarakat adat setempat. Hal inilah
alasan perlunya dilaksanakan beguwai adat angkon muwakhi tersebut adalah karena
telah terjadi suatu kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa, sehingga terjadi
perselisihan yang berlarut-larut, meluas dan tidak bisa diselesai. Bisa juga
karena telah terjadi sengketa hak milik, seperti sengketa harta benda, batas
hak milik atas tanah, dan atau terjadi pelecehan, perbuatan tidak menyenangkan,
penghinaan atas nama keturunan/keluarga besar. Kesemuanya ini terjadi perkara
sengketa berkepanjangan dan tidak atau belum ditemukan resolusi yang efektif.
Menurut kebiasaan masyarakat adat Lampung,
satu-satunya adat kebiasan yang ditempuh sebagai jalan penyelesaian kemelut
sengketa tersebut adalah dengan melakukan hippun (musyawarah) adat oleh para
perwatin adat untuk mencari resolusi konflik dengan rekomendasi melaksanakan
beguwai adat angkon muwakhi.
Khususnya bagi keluarga besar penyimbang
adat marga, bahwa tujuan dilaksanakanya beguwai adat angkon muwakhi itu adalah
untuk penyelesaian konflik, menciptakan dan memulihkan kerukunan masyarakat, di
samping sebagai bentuk upaya pelestarian adat budaya lokal yang mengandung
nilai-nilai luhur dan berguna untuk mengembangkan kecerdasan moral, emosional,
spirituan dan kesadaran intelektual..
Dalam kehidupan masyarakat adat Lampung,
angkon muwakhi merupakan kebiasaan yang diadatkan. Artinya kegiatan
perayaan/upacara/beguwai adat angkon muwakhi (angkat saudara) dilakukan atas
dasar kepentingan sosial budaya sebagai penyangga terciptanya kerukunan,
kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat adat.
Dari paparan di atas,
nampak jelas bahwa nilai-nilai kearipan lokal, baik yang terkandung dalam
prinsip hidup piil pesenggiri, adat budaya buhippun, maupun dalam adat budaya
angkon muwakhi, semuanya sesuai dengan kehendak, pandangan dan karakter kebangsaan nasional
(nasionalisme). Dengan menumbuhkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kearifan
lokal tersebut, maka dapat menjadi sumber daya untuk melestarikan budaya
bangsa, memotivasi semangat bangsa untuk mempererat persatuan, di samping dapat
menangkal budaya-budaya asing yang bertentangan dengan budaya nasional. Dengan
demikian upayakan peningkatan kemakmuran,
pemeliharaan kehormatan pribadi bangsa
dan sejarah kepahlawanan dapat dicapai dengan perjuangan suci, bersih dan
berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Sebagaimana diketahui
bahwa kebudayaan
secara ideal pasti berkaitan dengan cita-cita hidup, sikap mental, semangat
tertentu seperti semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan
hasrat-hasrat tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan
pendidikan dalam semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks
dari symbol-symbol dengan maknanya yang
dibangun masyarakat dalam sejarah suatu komunitas yang disebut etnik atau
bangsa.
III. SIMPULAN
Dengan cara pandang seperti itu, dapat
dipahami mengapa negara dituntut memenuhi kewajibannya untuk merawat,
memelihara, mengembangkan dan menghidupkan kebudayaan yang telah ada dalam
sejarah masyarakat. Pemeliharan dan pengembangan itu diimplementasikan dalam
pendidikan formal dan non-formal, dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta
bantuan keuangan, sarana dan prasarana, serta dalam bentuk jaminan hukum dan
politik agar kebudayaan berkembang dan selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya Piil Pesenggiri sebagai nilai-nilai kearifan lokal itu harus dapat
dijadikan landasan cita-cita yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan,
perlakuan yang melanggar HAM. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran akibat korupsi
dan penyalahgunaan kekuasaan. Nilai-nilai kejiwaan semacam inilah yang
diharapkan melekat pada setiap pribadi bangsa Indinesia.
Makna
nasionalisme secara politis merupakan kesadaran nasional yang mengandung citacita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik
untuk merebut kemerdekaan atau menghilangkan
penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun diri, masyarakat, bangsa dan negaranya. Makna
nasionalisme ini dapat ditumbuhkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan
nyata dengan rnernberdayakan nilai-nilai budaya sebagai sumber kearifan lokal,
khususnya nilai-nilai Piil Pesengiri sebagai prinsip hidup
masyarakat Lampung, buhippun sebagai pembuka kegiatan agar terjadi kesepakatan
bersama, memelihara hubungan kebersamaan dan untuk mencapai kepentingan
bersama; di samping adat kemuwakhian agar dalam kegiatan atau usaha apapun
dapat berhasil secara efektif dan dapat meminimalisasi perselisihan.
Sebagai
warga negara yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal, tentu merasa bangga dan
rnencintai bangsa dan negara. Kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa dan negara bukan
berarti merasa lebih hebat dan lebih
unggul daripada bangsa dan negara lain. Warga negara yang arif tidak boleh
memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme) dan meninggalkan
nilai-nilai budaya lokal, tetapi harus mengembangkan
sikap saling menghormati, saling menghargai, mengutamakan kerukunan hidup bersama, berjuang bersama untuk membangun
kesejehtaraan bersama secara jujur, dan mampu bekerja sama dengan bangsa-bangsa
lain.
Nasionalisme tidak cukup diartikan secara sempit, hanya
sebagai sikap meninggikan bangsanya sendiri,
dan tidak untuk bangsa lain, akan tetapi juga dalam arti luas, yaitu: memaknai
nasionalisme sebagai rasa cinta terhadap bangsa dan negara sendiri, dan
sekaligus bersedia menghormati bangsa lain. Sesuai dengan pernyataan Ali
Murtopo (1978), bahwa manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama
melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang
lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam
perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga hurnanisasi menjadi
kerangka dasar dalam strategi kebudayaan. Perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan
segala fasilitas dalam lingkup kekuasaannya demi memperkaya diri, berprilaku
sewenang-wenang dalam menjalankan roda kekuasaan, tidak menghormati harkat dan
martabat orang lain contohnya gemar menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
REFERENSI
Abdul Syani, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
_________, 2012. Nilai Nilai
Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di
Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
_________, 2013. Artikel: Prosesi Angkon Muwakhi
Masyarakat Adat Marga Lima Lampung Selatan. Bahan Diskusi Budaya daerah.
Ali Murtopo.1978. Strategi Kebudayaan.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar