SEKILAS TENTANG
PROSEDUR PELAKSANAAN UPACARA ADAT ANGKON MUWAKHI
PADA MASYARAKAT ADAT SEBATIN
MARGA LIMA KALIANDA
Oleh:
Abdul Syani
Beguwai (begawi=pepadun)
Adat Angkon Muwakhi adalah upacara perayaan
angkat (mengangkat) saudara dalam adat Lampung sebatin. Tempat pelaksanaan
guwai adat angkon muwakhi atau upacara mengangkat saudara ini, biasanya di
Lamban Balak (rumah penyimbang marga, tiyuh/pekon atau suku) setempat.
Namun demikian,
faktor lokasi/tempat pelaksanaan upacara adat angkon muwakhi tersebut bukanlah harga mati, melainkan bersifat
kompromistis, tergantung kesepakatan bersama dengan berbagai pertimbangan.
Pertimbangan yang terkait dengan batas kemampuan finansial, waktu, jarak atau
pertimbangan lain yang dapat diterima para majelis penyimbang adat; di samping
pertimbangan lain yang dianggap tidak memberatkan pihak baya (keluarga yang
melaksanakan/penanggungjawab upacara adat angkon muwakhi tersebut).
Sedangkan tempat
beguwai adat mewaghi/muwakhi bagi masyarakat adat pepadun, menurut ketentuan
adatnya adalah di Sessat Agung. Akan tetapi bisajuga dilaksanakan di Nuwo Balak atau Nuwo Ghatcak, tergantung
besar kecilnya gawi (guwaian), mesak matahnya (matang mentahnya) pola begawi
adat yang di sepakati dalam peppung/hippun perwatin.
Alasan angkon
muwakhi bagi masyarakat adat marga lima Kalianda pada umumnya adalah sebagai
upaya mempererat tali persaudaraan bagi sesama kerabat dekat, kerabat jauh,
warga sekitar di luar keluarga utama (saudara kandung atau kerabat dekat) dan warga luar adat/kampung/pekon, termasuk
warga pendatang dari berbagai asal usul, agama, suku dan golongan. Di samping
alasan lain yang sifat dan tujuannya untuk menghentikan dan menyelesaikan
perselisihan/konflik antar warga, baik laten maupun terbuka dengan tujuan agar
tercipta kerukunan sosial dan perdamaian abadi sebagaimana hubungan saudara
kandung. Dalam prinsip sosiokultural hubungan tali
persaudaraan/kemuwakhian ini dikukuhkan
secara formal adat, yaitu melalui perayaan/upacara pengukuhan atau beguwai adat
angkon muwakhi. Beguwai adat muwakhi ini merupakan simbol pertalian saudara
antar pihak, di mana masing-masing telah sepakat secara ikhlas menjadi saudara
kandung dengan segala tanggungjawab, hak dan kewajibannya. Hubungan
persaudaraan dalam adat angkon muwakhi ini dikuatkan oleh ikatan perjanjian dan
sumpah setia yang disaksikan dan disahkan oleh segenap tuha khaja (para
penyimbang adat) dan perangkat adat lainnya sesuai dengan hukum adat yang
berlaku.
Sebagaimana
dipaparkan di atas bahwa tujuan angkon muwakhi itu adalah untuk mengikat dan
mendekatkan hubungan persaudaraan/kekeluargaan secara mendalam, sehati se-iya
sekata, senasib sepenanggungan, seiring sejalan dan musyawarah mufakat dalam
segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping berfungsi sebagai strategi
ampuh dalam penyelesaian masalah jika pada suatu ketika terjadi perselisihan
diantara warga masyarakat adat setempat.
Kecuali itu
dilaksanakannya beguwai adat angkon muwakhi itu biasanya karena dalam kurun
waktu tertentu telah terjadi hubungan baik antar individu atau kelompok dengan
indikasi adanya kesamaan pandang, perasaan, sifat, karakter, dan kesesuaian
kepribadian. Ikatan hubungan yang selaras ini kemudian melahirkan keinginan dan kesepakatan bersama
untuk mengikat hubungan tersebut menjadi lebih erat dan mendalam sebagaimana
hubungan saudara kandung melalui prosesi resmi beguwai adat angkon muwakhi.
Alasan lain
dilaksanakan beguwai adat angkon muwakhi tersebut adalah karena telah terjadi
suatu kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa, sehingga terjadi perselisihan
yang berlarut-larut, meluas dan tidak bisa diselesai. Bisa juga karena telah
terjadi sengketa hak milik, seperti sengketa harta benda, batas hak milik atas
tanah, dan atau terjadi pelecehan, perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan
atas nama keturunan/keluarga besar. Kesemuanya ini berlanjut menjadi perkara
sengketa atau konflik berkepanjangan dan tidak atau belum ditemukan resolusi
yang efektif.
Menurut kebiasaan
masyarakat adat marga lima Kalianda, satu-satunya adat kebiasan yang ditempuh
sebagai jalan penyelesaian kemelut sengketa tersebut adalah dengan melakukan
hippun (musyawarah) adat oleh para perwatin adat untuk mencari resolusi konflik
dengan rekomendasi melaksanakan beguwai adat angkon muwakhi.
Khususnya bagi
keluarga besar penyimbang adat marga lima Kalianda Lampung Selatan, bahwa
tujuan dilaksanakanya beguwai adat angkon muwakhi itu adalah untuk penyelesaian
konflik, menciptakan dan memulihkan kerukunan masyarakat yang sebelumnya
terkoyak, di samping sebagai bentuk upaya pelestarian adat budaya lokal yang
mengandung nilai-nilai luhur dan berguna untuk mengembangkan kecerdasan moral,
emosional, spiritual dan kesadaran intelektual..
Dalam kehidupan
masyarakat adat marga lima Kalianda, angkon muwakhi merupakan kebiasaan yang
diadatkan. Artinya kegiatan perayaan/upacara/ beguwai adat angkon muwakhi
(angkat saudara) dilakukan atas dasar kepentingan sosial budaya sebagai
penyangga terciptanya kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat
adat.
Adapun tahapan prosesi perayaan adat angkon muwakhi secara ringkas adalah sebagai berikut:
1.
Hippun
wakhi pelambanan (musyawarah antar anggota keuarga, keluarga besar, kerabat
dekat). Tujuannya adalah untuk mencari dan mecapai kesepakatan bersama tentang
berbagai syarat, persiapan dan tahapan pelaksanaan pagelaran upacara adat
muwakhi. Dengan demikian rangkaian acara adat muwakhi sejak awal sampai puncak
acara dapat terlaksana secara lancar dan efektif.
2.
Hippun
suku (musyawarah antara kepala-kepala suku yang mewakili pihak-pihak
keluarga-keluarga yang melaksanakan upacara adat muwakhi). Hippun pada tingkat
suku ini menunjukkan bahwa warga adat tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan
suatu keniscayaan hidup bersama di bawah naungan kelompok adat pada tingkat
suku.
3.
Hippun
tiyuh/pekon (antar penyimbang tiyuh dari masing2 pihak calon angkon muakhi).
Hippun ini merupakan paket musyawarah lanjutan pada tingkat lebih luas di atas
kelompok masyarakat adat yang dipimpin oleh perwatin suku. Hippun tiyuh ini
dipimpin oleh para kepala tiyuh atau perwatin tiyuh yang mewakili atau
meanjutkan suara kesepakatan yang telah dirumuskan sebelumnya di tingkat hippun
suku. Hasil hippun pada tingkat tiyuh ini adalah kesepakatan bersama antar
perwatin tiyuh yang melambangkan kekuatan legitimasi adat lebih tinggi, di mana
aspirasi dan harapan warga masyarakat adat telah dikuasakan kepada perwatin
tiyuh sepenuhnya.
4.
Hippun marga (musyawarah antar kepala/perwatin marga).
Hippun marga ini membawa amanah kesepakatan hasil musywarah antar perwatin
tiyuh sebelumnya. Hippun pada tingkat perwatin marga ini adalah musyawarah
tingkat tinggi pada pemerintahan adat. Kesepakatan hasil musyawarah pada
tingkat perwatin marga seksligus merupakan keputusan perwatin marga; artinya
secara normatif keputusan tersebut telah mempunyai daya pengikat dan
perlindungan hukum adat yang kuat. Dengan demikian pihak warga (baya) yang
hendak melaksanakan perayaan upacara adat muwakhi telah siap sepenuhnya,
termasuk perlengkapan fisik kepanitiaan/penglaku adat dan ritual adat istiadat
yang berlaku, sebagaimana dipaparkan pada tahapan-tahapan selanjutnya.
5.
Hippun
Lamban Balak (persiapan penentuan gelar adat calon wakhi, undangan tuha khaja 5
marga dan perankat pemerintahan adatnya,
penyusunan naskah cawa tetangguh/pidato/wejangan/pesan tuha khaja
tentang hak dan kewajiban penyimbang wakhi, dan penyusunan janji sumpah atau
katam).
6.
Persiapan
pakaian adat masing penyimbang/tuha khaja, keluarga, dan pihak-pihak calon
angkon muakhi (sigokh/siger/mahkota adat, baju/beskap/jas, sarung tupal,
disesuaikan), payung adat, jejalan handak, kebung, lamat/kursi/dll.
7.
Persiapan
lokasi prosesi angkon muakhi: di lamban balak sbg baya jika kedua pihak atau
salah satunya sebagai keturunan keluarga penyimbang marga/tiyuh/suku di lamban
salah satu calon muakhi (sbg baya). Persiapan ini pada dasarnya sama dengan
poin 6, dg penyesuaian secara kondisional.
8.
Persiapan
dekorasi dan perlengkapan sarana upacara adat angkon muwakhi di Lamban balak
atau di rumah baya (pelaksana upacara adat). Susunan ruang sidang/upacara adat:
kursi singgasana 5 penyimbang dengan posisi tengah untuk penyimbang marga,
lengkap dengan perangkat penyimbang adat undangan lain. Di samping kiri-kanan,
kursi kebesaran dari pihak2 yang akan melaksanakan angkon muwakhi bersama
keluarga besar dan kerabat dekat masing-masing. Di ruang tengah ke depan posisi
podium tempat penyimbang marga berdiri memberi sambutan, tetangguh, nasehat
kepada pihak2 yang akan seangkonan muwakhi yang secara bersamaan menempati
posisi berdiri menghadap ke arah penyimbang marga.
9.
Persiapan penerimaan tamu undangan. Di tempat ini sekaligus berlangsung
proses penerimaan tamu undangan, baik dari pihak perwatin (penyimbang) marga,
tiyuh, dan suku dari lima marga, maupun tamu undangan dari kerabat, para tokoh
masyarakat, alim ulama, unsur pemerintah, unsur lembaga-lembaga dan organisasi
masyarakat sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah teknis penglaku
sebelumnya.
10.
Persiapan kirab/ngarak
(arak-arakan sebatas pamekonan), diteruskan mandi duway (ngeduwaikon); selanjutnya kembali ke lamban
balak/lokasi prosesi perayaan adat muwakhi.
Arak-arakan
kembali menuju lokasi prosesi beguwai angkon muwakhi yang telah disiapkan sarana jalan yang terdiri dari jejalan handak (kain putih yang
dihampar), awan telapah, dua buah payung, para tuha khaja, kandang rarang (kain
penyekat), muli-mekhanai, dan dua atau lebih tandu, atau kereta kencana (sekarang mobil hias). Rombongan kirab ini akan disambut oleh
para penyimbang adat dari 5 marga yang sudah siap dengan formasi berdiri di depan kursi kebesaran
masing-masing lengkap dg pakaian adat.
Pada waktu bersamaan, sesampainya rombongan kirab di pelataran tempat acara berlangsung biasanya
disambut dengan acara seni adat berupa tari pencak silat
khas Lampung Sebatin, tari-tarian khas adat budaya lokal, seperti tari tanggai,
tari selapan, mandapan. Jika pihak baya yang melaksanaan angkon muwakhi berbeda
etnis dan budaya, maka biasanya (jika ada) disuguhkan pula tari-tari khas
masing-masing kedua atau lebih etnis yang berbeda itu atau tari-tari kreasi
yang bernuansa multikultur.
11.
Penglaku
tuha (petugas/panitia penyelenggara adat tetap yang senior) membacakan susunan
acara prosesi angkon muakhi, mulai dari tetangguh/acara sambutan penyimbang
marga (merangkap ketua pelaksana) sampai dengan tahapan pernyataan resmi
(penobatan/pelantikan) kemuwakhian dan pembacaan janji persaudaraan di hadapan
pihak-pihak yang berjanji, para penyimbang adat dan warga setempat yang hadir.
12.
Penobatan
dan pembacaan janji angkon muwakhi. Pada
saat ini diteruskan dengan acara penobatan dan pembacaan resmi ikrar/perjanjian
oleh penyimbang bandar yang bersangkutan. Setelah tanya-jawab secara simbolis
antara penyimbang marga dengan pihak calon yang seangkonan muwakhi. Puncak
upacara berakhir dengan ketuk palu dan penandatangan naskah perjanjian angkon kemuwakhian
oleh semua pihak yang berhak dan berkewajiban adat.
13.
Acara
selanjutnya adalah acara pengucapan sumpah angkon muwakhi yang dipandu oleh
tokoh agama (alim ulama yang ditunjuk) yang diikuti oleh pihak yang telah
mengikat janji kemuwakhian (telah angkat saudara).
14.
Penetapan
dan pembuatan keputusan naskah kemuakhian, pengumuman oleh penglaku atau
penyimbang marga, yang menyatakan bahwa pihak2 yang bersangkutan telah menjadi
saudara kandung.
Acara angkat sumpah ini ada 3
(tiga) macam, yaitu:
pertama, sumpah atas nama Allah SWT untuk selalu
saling membantu, saling percaya, selalu menjaga tali persaudaraan sabagaimana
kuatnya ikatan saudara kandung. Apabila terjadi pelanggaran, maka sanksinya
adalah cidera dan tercela secara sosial budaya, dikucilkan dari kegiatan adat
dengan batas waktu tertentu, dan membayar denda adat;
kedua, sumpah atas nama Allah SWT untuk tidak
melakukan sesuatu atau menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah
dan perilaku yang menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk
prosesi angkon muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa,
penganiayaan berat, di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan.
Apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah ini, maka pelaku pelanggaran
itu akan terkutuk, sakit atau sejenis
akibat buruk lainnya;
ketiga, muwakhi katam (bersaudara dengan
mengucapkan sumpah), yaitu bersumpah atas nama Allah SWT untuk saling angkat
saudara dengan syarat salah satu atau semuanya tidak melakukan sesuatu atau
menjauhi larangan yang bersifat fitnah, pemecah-belah dan perilaku yang
menimbulkan permusuhan. Sumpah ini dilakukan khusus untuk prosesi angkon
muwakhi atas dasar sebab kecelakaan, perpecahan, sengketa, penganiayaan berat,
di mana sebelumnya berlarut-larut tidak terselesaikan seperti halnya poin
kedua. Perbedaannya adalah apabila salah satu atau semuanya melanggar sumpah,
maka pelaku pelanggaran itu akan terkutuk mengalami kecelakaan, gila atau mati.
Kecuali sumpah muwakhi katam di atas, ada juga katam
(sumpah) yang disepakati oleh pihak-pihak yang sedang bertikai, konflik
berdarah atau sedang berperang, tapi justeru bukan bermuwakhi (sebaliknya
sumpah untuk tidak bersadara) berpisah, saling menjauh, tidak saling bertemu, tidak saling
berhubungan, bahkan bersumpah untuk selamanya mengharamkan perjodohan bagi
keturunan mereka. Jika sumpah ini dikhianati, maka peperangan dan konflik
berdarah akan kembali pecah lebih dahsyat lagi.
15.
Penetapan/pemberian
gelar adat dan penobatan sebagai penyimbang sebatin baru. Gelar disesuaikan
dengan gelar2 dari saudara kandung lain dari pihak baya atau yang utama
mengangkat saudara.
16.
Pembacaan
tugas pokok dan fungsi serta larangan bagi penyimbang baru atau pihak yang
bermuakhi oleh penyimbang marga atau penyimbang lain yang ditunjuk.
17.
Acara
di tutup dengan do'a (petugas), dan dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan menu khas lokal, seperti ketan lapis dan masak (sejenis rendang), gulai
taboh ikan asap, panggang ikan peros medira (asaman rampai) dan nasi akolnya,
serta kue khasnya buwak balak/basah (lapis legit khas lokal), dan lain-lain menu
alternatif. Kemudian (atau bersamaan) dilanjutkan dengan acara ramah tamah, bersilaturahmi bersalam-salaman, dan
berakhir dengan undur diri (pamitan).
Rangkaian acara
tersebut dilaksanakan secara terbuka dan luwes, tidak mengikat simpul dan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada, kurang atau lebih. Kemudian pada malam
harinya atau malam berikutnya diadakan acara muli mekhanai (bingi bayu),
sebagai ruang jodoh para remaja sambil makan bersama, pattun, (sekarang mungkin
sms-an), saling tukar cerita, memadu kasih, dst. Acara ini di awasi oleh ketua
pemuda penyimbang muda atas rekomendasi dari penyimbang adat yang membidangi
urusan muli mekhanai..