PLURALITAS BUDAYA DI LAMPUNG, KONFLIK DAN SOLUSINYA
Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.
1. Pluralitas Budaya di Lampung
Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan
sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya
tak henti-henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai
daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu
provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu
berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari
penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari
luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini
merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung
adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung
sebagai etnis terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar
kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan
perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat
atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil
pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti
ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk
berkeberatan menerima penduduk pendatang. Pada masa pasca kemerdekaan,
citra sebagai masyarakat adat yang menerima kehadiran orang lain itu
cenderung diterima secara terbuka, sehingga kemudian mengkristal di
dalam konsep Sang Bumi Ruwa Jurai. Harapannya adalah agar kehidupan
sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini
menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun,
berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan
kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap komunitas
menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu dalam rasa
persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai sendiri sebenarnya
merupakan simbol kesatuan hidup dua akar budaya yang berbeda dari
masyarakat Lampung Asli, yaitu Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan
Pepadun. Dengan hadirnya etnis dan budaya luar, diharapkan dapat
berdampingan atau bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang
telah ada, sehingga dapat terhindar dari konflik.
Pada masa Orde Baru, kesadaran plural tersebut diredam dengan kemasan
kesatuan dan persatuan yang prinsipnya monokulturalisme, sehingga
wawasan multikulturalisme, khususnya masyarakat Lampung berkembang
relatif lambat. Seringkali timbul pemahaman bahwa multikultur justru
dapat mempertegas batas identitas antar individu, bahkan multi kultur
dapat memperuncing masalah asli atau tidak asli.
Untuk mewujudkan masyarakat Lampung yang multikultural adalah dengan
memperdalam pemahaman yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kultur. Dengan pola ini, melihat suatu
keragaman kebudayaan berlaku umum dalam masyarakat secara umum, artinya
dalam masyarakat Lampung tercakup semua kebudayaan dari
kelompok-kelompok yang berbeda lebih kecil, kemudian membentuk kelompok
yang lebih besar. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah terungkap
dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa
(Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan
sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan
adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling
melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada
masa-masa lalu nilai-nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai
perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat yang beragam suku,
kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya pada masa
itu antara lain dalam bentuk sosialisasi “Sumpah Pemuda”, dan bentuk
kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal ini menjadi penting
ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam kebutuhan membangun
kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan
berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.
Dalam konteks wawasan nusantara, pluralisme budaya dalam
perkembangannya dapat dijadikan sebagai wahana dialog antara pluralisme
masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing.
Pandangan yang diharapkan ke depan adalah agar semangat hubungan yang
harmonis dan sinergis antarkelompok masyarakat adat dalam hubungan
internal maupun eksternal dapat terpelihara. Untuk ini perlu adanya
keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan, agar
pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak pemaknaan yang
negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam
kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Pluralitas masyarakat Lampung dapat terbentuk dari beberapa sumber, seperti:
1. perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat,
mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang berpendidikan tinggi
dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang desa.
2. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik dalam suatu masyarakat.
3. adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada beberapa
kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya
ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas mastarakat
Lampung.
4. tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan mencari
penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang melimpah
dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang
ketat, sangat mendorong warga pendatang
5. dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis yang sama.
Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa
menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru
menjadi minoritas.
6. karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka terhadap etnis
pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat pendatang berbaur,
sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Signifikansi pluralisme baru berarti jika dalam aktualitas kegiatan
pergaulan hidup sehari-hari antar warga masyarakat berjalan secara
harmonis, yaitu membiasanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda
dapat dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi
yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai
institusi hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan
keberadaanya secara bebas.
Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk
menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai perbedaan dan
mendorong kerja sama berdasar kesetaraan. Pluralisme dapat dijadikan
wahana produktifitas hubungan sosial antar anggota masyarakat, di mana
masing-masing pihak dapat menunjukkan sikap saling menghargai, saling
menghormati dan saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara
bersahabat, tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa
setiap golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama
yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu
pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme berarti menghormati
orang lain dalam identitasnya, dengan kepercayaan-kepercayaan,
cita-cita, dan kebutuhan-kebutuhannya yang tidak tergantung dari ukuran
status atau keahliannya, melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena
itu sikap kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong
siapa saja, dan keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis,
agama, etnik, ras dan golongan, kelompok dan berbagai identitas lainnya.
Berikut adalah distribusi kelompok etnis di Lampung:
Lampung, Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak,
Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga
keturunan, dan Warga asing (China, Arab, dll)
Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam 2
(dua) kelompok adat, yaitu: masyarakat adat Lampung Sai Batin dan
masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi dalam
kesatuan adat budaya masyarakat Lampung yang disebut ”Sang Bumi Ruwa
Jurai”. Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang tersebar
di berbagai wilayah; pada mulanya secara umum tersebar di kawasan
pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah
pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat
adat Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi)
dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok
budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau kebuawaian
dari masing-masing kelompok budaya tersebut.
Masyarakat adat Sai Batin terbagi dari ragam marga (teritorial) atau kebuwaian (garis keturunan), diantaranya:
1. Sai Batin Marga 5 (lima) Kalianda dan sekitarnya, yang terdiri dari:
a. Marga Ratu
b. Marga Legun
c. Marga Rajabasa (2 Kepenyimbngan Adat)
d. Marga dantaran (2 Kepenyimbangan Adat)
e. Marga Katibung (Menyata, Pubian)
2. Sai Batin Marga Lunik
3. Sai Batin Marga Balak
4. Sai Batin Marga Bumi Waras Teluk Betung
5. Sai Batin Punduh (7 Kepenyimbangan Adat)
6. Sai Batin Pedada (8 Kepenyimbangan Adat)
7. Sai Batin Way Lima
8. Sai Batin Kedundung
9. Sai Batin Gedung Tataan
10. Sai Batin Ratai (Sanggi Padang cermin)
11. Sai Batin Kelumbayan (dari Paksi Keratuan Semaka)
12. Sai Batin Talang Padang
13. Sai Batin Marga Pertiwi (dari Paksi Keratuan Semaka)
14. Sai Batin Kuta Agung dan sekitar
15. Sai Batin Marga Way Sindi
16. Sai Batin Ngaras dan Bengkunat
17. Sai Batin Way Suluh
18. Sai Batin Ngambur
19. Sai Batin Pugung
20. Sai Batin Penggawa Lima (Pesisir Tengah)
21. Sai Batin Kuripan (Pesisir Utara)
22. Sai Batin Sukau (Liwa)
23. Sai Batin Buway Nyerupa (Paksi pak Skala Brak)
24. Sai Batin Buway Pernong (Paksi pak Skala Brak)
25. Sai Batin Buway Belunguh (Paksi pak Skala Brak)
26. Sai Batin Buway Lapah di Way (Paksi pak Skala Brak)
27. Buway Buay Tumi (keterangan pangeran Syafei Kenali, Buway yang terlibat dalam mendirikan Paksi Pak Skala Brak)
28. Buay Sandang (idem)
29. Buay Rawan (idem)
30. Buay Runjung (idem)
31. Buay Nerima (dari istilah Paksi Pak ke Lima, Buay Nerima = keturunan
Puteri Indra Bulan di Cinggiring dan Luas/nama wilayah/riwayat
tersendiri)
32. Sai Batin Liwa, Kenali, Belalau dan Tiyuh sekitar
33. Sai Batin Paksi Keratuan Semaka:
a. Marga Benawang (terdiri dari 4 kebandaran):
1. Marga Limau
2. Marga Badak
3. Marga Putih
4. Marga Pertiwi
5. Marga Kelumbaiyan (Sutan Syah Marga)
- Pekon Unggak
- Pekon Susuk
- Pekon Negeri
- Pekon Sukarame
- Pekon Limbungan
- Pekon Tanjung Agung
- Pekon Sukabandung
b. Marga/Buway Belunguh (asal Blunguh)
c. Marga Ngarip (Ngakhip)
d. Marga Pematang Sawa
34. Sai Batin Tanjung Bintang, Merbau Mataram dan sekitar
35. Sai Batin Keratuan Melinting (Maringgai, Wana, Tebing) dan Marga Sai batin lain-lain…
Sedangkan kelompok masyarakat adat Pepadun juga terbagi dalam ragam
marga atau kebuwaian adat budaya yang berbeda, yaitu diantaranya:
1. Pepadun Abung Siwo Mego (sembilan marga), yang terbagi dalam 9 (sembilan) marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Nuban
b. Nunyai
c. Unyi
d. Anak Toho
e. Nyerupo
f. Selagai
g. Beliyuk
h. Kunang
i. Subing
(ditambah Pepadun marga Manik yang berkedudukan di Negara ratu Suka dana)
2. Pepadun Mego Pak (empat marga), yang terdiri dari 4 (empat) marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Bolan (bulan)
b. Tegamo’an
c. Aji
d. Suwai Umpu
3. Pepadun Pubian Telu Suku (empat suku), yang terdiri dari 3 (tiga) suku yang setara dengan marga dan kebuwaian, yaitu:
a. Manyarakat (banyarakat/manyakhakat)
1. Buay Kediangan
2. Buay Manik
3. Buay Nyurang
4. Buay Gunung
5. Buay Kapal
6. Buay Selagai Jurai Rawan
b. Tambapupus
1. Buay Nuwat
2. Buay Pemuka Pati Pak Lang
3. Buay Pemuka Menang
4. Buay Semima
5. Buay Pemuka Halom Bawak
6. Buay Kuning
c. Buku Jadi (bukuk jadi)
1. Buay Sejadi
2. Buay Sejaya
3. Buay Sebiyai
4. Buay Ranji
5. Buay Kaji
6. Buay Pukuk
4. Buway Gunung (Kampung Negerisipin, sekitar Way sekampung bagiajn hulu, keturunan dari Pubian Manyarakat)
5. Buway dari suku bangsa bertempat tingal di sungai Tatang dekat Bukit Siguntang Sumatera Selatan:
1. Lebar Daun
2. Anak Dalam
3. Serang
4. Naga Barisang
5. Dayang
6. Rakihan (Ratu Di Belalaw/diperkirakan dari Pagaruyung)
6. Kebuwayan yang datang dari Pagaruyung Laras ada 2 (dua) empu, selain rakihan, yaitu:
1. Empu Cangih (bergelar RAtu Di Puncak)
2. empu Serunting (bergelar Ratu Di Pugung)
7. Buay Balam (Keturunan dari Poyang Sakti, dari persekutuan ”Paksi Pak
Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang didirikan
oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak Sakti dan
Poyang Kuasa)
8. Buay Nuwat ((Keturunan dari Poyang Serata Di Langik, dari persekutuan
”Paksi Pak Tukket Pedang” di disekitar tiyuh Batu Brak Skala Brak, yang
didirikan oleh Poyang Sakti, Poyang Serata Di Langik, Poyang Pandak
Sakti dan Poyang Kuasa)
9. Pepadun 5 (lima) marga Way Kanan dan Sungkai, secara garis besar
terdiri dari beberapa marga dan kebuwaian, yaitu antara lain:
a. Marga Semenguk
b. Marga Pemuka (Pengiran Udik, Pengiran Ilir, Pengiran Tuha, Bangsa raja)
c. Barasatti (Barasakti)
d. Baradatu (Tiyuh Balak, Way kanan)
e. Bahuga.
Kecuali itu ada pula marga-marga lain yang telah hidup sejajar dengan
jurai Pepadun lainnya yang tersebar di wilayah Tanah Abang, Negeri
Ujungkarang, dan sekitarnya, yaitu antara lain:
a. Harayap (Sukadana Ilir, Udik, Sungkai Selatan)
b. Debintang (Bandar Agung, Sungkai Selatan)
c. Si Gajah (Negara Tulang bawang, Sungkai Selatan)
d. Si Lembasi (Tanah Abang)
e. Si Reja (Perja) Negeri Ujungkarang
f. Liwa (kuta napal, Sungkai Selatan)
10. Buway Silamayang (di sekitar daerah Way Besai)
11. Buway Menyata (keturunan dari perkawinan Minak Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
12. Marga/Negeri Balau (Dari Persekutuan Hukum Adat Lampung Abung Kota Tanjungkarang/Telukbetung dan Lampung Selatan):
a. Buway Turgak (Kampung Rajabasa, gedungmeneng, Labuhan ratu. Anak dari Minak
Rio Belunguh dengan Puteri Bulan Bara Jurai dari Puteri Indra Bulan)
b. Buway Manik (Kampung Rajabasa, Gedungmeneng, keturunan dari Pubian suku
Manyarakat)
c. Buway Selagai runjung (Gedungmeneng)
13. Marga-marga lain dan sub-sub Marga yang belum tersebutkan….
Provinsi Lampung yang oleh karena keragaman suku dan adat budayanya
seringkali dijuluki “Indonesia Mini”. Hal ini karena di sini hidup
beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama dan ras. Kabupaten Lampung
Tengah merupakan contoh representatif memenuhi syarat ini karena dihuni
oleh berbagai suku di Indonesia, seperti suku Bali eks transmigran,
misalnya di Seputih Raman, Seputih Mataram, dan Seputih Surabaya.
Sedangkan suku Lampung menetap antara lain di Terbanggi Besar, Gunung
Sugih, dan Blambangan Pagar, dan uku Jawa menyebar merata di seluruh
wilayah itu. Tiga suku itu (Bali, Jawa, Lampung) merupakan mayoritas di
Lampung Tengah. Interaksi tiga suku melahirkan satu basis sosial baru,
yakni kelas pedagang di Bandarjaya. Proses pembauran (inkulturasi) Jawa
dan Lampung berlangsung cepat.
Sementara itu pada wilayah lain menyebar juga Suku Padang, Batak,
Semendo (Sumsel), Bugis, Banten, Lombok, Madura hingga warga keturunan,
juga eksis di provinsi Lampung. Berbagai kesenian, seperti Barong Sai,
Reog Ponorogo atau kesenian Jawa, tari-tarian adat Lampung dan atraksi
kesenian lainnya sering saling mengisi seremoni sosial, baik formal
maupun informal.
Akan tetapi faktanya masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi
atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat
dari adanya etnosentrisme yang kuat. Adanya diversitas (keragaman) ini
sangat mungkin menimbulkan ancaman dan rasa tidak nyaman bagi sebagian
warga masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bahwa kadangkala seseorang
enggan untuk bergaul atau berada diantara orang-orang yang berbeda etnis
dan budaya.
Bukan berarti toleransi dalam masyarakat Lampung selalu dapat
bertahan tanpa konflik, kebersamaan dalam konteks Sang Bumi Ruwa Jurai
dapat goyah jika kepentingan sepihak diantara mereka makin ekstrim,
nilai-nilai budaya asli dibangun dan ditonjolkan terhadap kelompok yang
lain, terjadi persaingan di bidang usaha, atau salah satu kelompok
mendapat perlakuan diskriminatif. Dalam teori sosiologi pada umumnya,
ragam latar belakang sosial demografis dan kultural seperti itu
seringkali berpengaruh terhadap timbulnya ragam sikap dan perilaku
individual maupun kolektif. Tidak terkecuali pada kondisi kehidupan
sosial budaya masyarakat Lampung, benturan (konflik) budaya nyaris tak
terelakkan.
Dalam kenyataannya Pluralitas budaya di Lampung tidak bisa
dihindarkan apalagi ditolak, kendati masih banyak kalangan yang masih
bersikap anti pluralitas karena dianggap dianggap mengancam eksistensi
etnologis atas kelompoknya. Pihak lain lagi masih ada yang menolak
Pluralisme budaya karena dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik
sosial dan tindakan anarkis dalam kehidupan masyarakat. Sekalipun
masing-masing pihak menyadari bahwa masyarakat Lampung merupakan
masyarakat yang plural, akan tetapi tidak semua bisa mewujudkan secara
bebas keberadaannya dengan hubungan sosial terbuka saling menghargai;
masih ada saja pihak yang tidak rela atas keberadaan kelompok lain.
2. Konflik Budaya
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan membuatnya tidak berdaya
atau melenyapkannya. Akan tetapi secara rinci, istilah konflik dapat
diartikan sebagai berikut:
1. sebagai bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu
atau kelompok karena adanya perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
serta kepentingan;
2. merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun
kelompok) yang merasa memiliki harapan tertentu, akan tetapi
masing-masing memiliki perbedaan yang tajam tentang pemikiran, perasaan,
dan cara berbuat;
3. merupakan pertikaian karena ada perbedaan motifasi dalam kegiatan atau usaha tertentu;
4. merupakan proses mempengaruhi pihak lain dengan cara curang atau
negatif, dengan cara kekerasan fisik yang membuat orang lain serta
fisiknya merada tidak nyaman;
5. merupakan bentuk pertentangan yang bersifat fungsional, yaitu
mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun menghilangkan
tampilan kelompok yang sudah ada sebelumnya;
6. merupakan suatu proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
7. merupakan bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara
antagonis; kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.
Secara umum konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat
istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Konflik antarbudaya yang
sering muncul dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini
merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak
dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik.
Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kelompok yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber
daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan
perklawanan di kalangan masyarakat. Konflik dalam kehidupan manusia
hampir tidak mungkin dapat dihilangkan secara sempurna, karena setiap
manusia atau kelompok selalu memiliki perbedaan nilai, status,
kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya. Jika hak dan kewajiban tidak
dapat terpenuhi dengan baik dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya itu,
maka besar kemungkinan akan terjadi benturan yang menimbulkan konflik.
Menurut Samuel P. Huntington (2003) yang meramalkan bahwa sebenarnya
konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh
faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh
masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sayangnya
belum ada pemetaan mengenai pola hubungan antar etnik didalam masyarakat
di Indonesia. Jika saja pemetaan diadakan, hal itu akan sangat berguna
dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik
sehingga bisa diupayakan pencegahannya.
Dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keragaman etnis dan budaya,
terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya konflik, yaitu:
1. Rasa kesukuan individu atau kelompok pendatang dan pribumi yang kuat
melekat pada sifat dan perilaku dalam pergaulan sehari-hari. Jika rasa
kesukuan ini masing-masing diacungkan tinggi-tinggi di hadapan yang
lain, maka seringkali menimbulkan perilaku penolakan, sehingga dapat
menimbulkan pertengkaran antarindividu, kemudian tumbuh menjadi
pertengkaran antarkelompok, pertikaian antarkelompok yang akhirnya
menjadi perang suku.
2. Kecenderungan terjadi pengelompokan suku dalam pola pemukiman,
sehingga memperkuat paham etnosentris dan terhalangnya proses asimilasi
dari pluralitas suku tersebut.
3. Krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat
(suku, agama, ras). Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling
percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah
berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga
yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai
ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak
terhindarkan.
Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa
suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah
masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.
4. Perbedaan latar belakang kebudayaan dapat membentuk perbedaan pola
pemikiran, pendirian kelompok dan kepribadian, sehingga kemudian dapat
memicu terjadinya konflik sosial.
5. Adanya perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok
lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik
akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi konflik antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu.
6. Posisi ekonomi dan tingkat pendidikan etnis pendatang relatif rendah,
cenderung sulit mengolah informasi dan beradaptasi dengan lingkungan
sosial budaya yang berbeda.
7. Perbedaan agama dan adat istiadat, juga merupakan bom budaya yang mempunyai daya ledak tinggi terjadinya konflik.
8. Tingginya frekuensi penggunaan bahasa daerah asal masing-masing suku
juga menambah jauhnya harmonisasi hubungan kekeluargaan. Hal ini
seringkali menimbulkan jarak sosial, kesalah-pahaman dan prasangka buruk
diantara kelompok paham, sehingga rentan terjadinya konflik sosial.
9. Pandangan primodial, di mana konflik terjadi karena adanya pandangan
masyarakat yang berbeda tentang faktor genetika seperti suku, ras juga
agama.
10. Masyarakat memandang bahwa suku, agama dan identitas yang lain
sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar
keuntungan.
Pada prinsipnya konflik terjadi karena:
1. lemahnya ikatan emosional diantara kelompok masyarakat yang memiliki keragaman budaya.
2. tidak ada kesepahaman dan kesepakatan bersama antar etnis
3. budaya yang diyakini oleh tiap etnis seringkali dijadikan alat
justifikasi masing-masing dalam bertindak, sehingga konflik sering
terjadi.
4. Kekeliruan sepihak atau masing-masing etnis dalam memahami
pengetahuan dan informasi yang diterima, sehingga menimbulkan prasangka
buruk.
5. Rendahnya keinginan, kesadaran dan kerelaan masing-masing pihak untuk membuka diri dalam menyelesaikan konflik.
3. Solusi Penyelesaian Konflik
3.1 Syarat Utama Penyelesaian konflik
Penyelesaian konflik akibat dari pluralitas kultur dapat diwujudkan
dengan cara: (1), menyebarluaskan pentingnya pemahaman konsep pluralisme
terhadap kelompok etnis budaya lokal, sehingga dapat diadopsi sebagai
pedoman hidup bersama. (2), Adanya kesungguhan dalam upaya mewujudkan
tujuan tersebut dengan menekankan bahwa pluralitas (keragaman)
kebudayaan dalam kesederajatan. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuat
pedoman etika sesuai nilai-nilai budaya dan moral yang terserap dalam
hak dan kewajiban sekaligus dibakukan menjadi pedoman bertindak dalam
berbagai interaksi sosial.
3.2 Sistem pendidikan nasional
juga mengadopsi pemahaman keragaman budaya untuk diberlakukan dalam
pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA.
Sebaiknya multikulturalisme atau pluralitas dimasukkan dalam kurikulum
sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstra-kurikuler yang menjadi bagian dari kurikulum sekolah, khususnya
di daerah Lampung yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Dengan
mempelajari kebudayaan lain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman
akan makna keragaman budaya, sehingga dapat mendorong masing-masing
etnis yan berbeda saling memerlukan, saling menghormati, dan saling
bertoleransi dalam setiap interaksi sosial dan usaha bersama.
3.3 Menumbuhkan integrasi nasional
Upaya menumbuhkan integrasi nasional melalui revitalisasi nilai-nilai
budaya lokal yang mencakup asas kebiasaan musyawarah, mufakat, dan
sistem kesetaraan antar etnis dan budaya yang berbeda. Di samping
memperkuat pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama yang berkaitan
dengan pemeliharaan rasa kasih sayang, damai, keadilan dan persatuan
dalam ruang lingkup pergaulan sesama warga masyarakat.
3.4 Rekonsiliasi
Rekonsiliasi, yaitu melakukan pertemuan kembali antara penyimbang adat,
tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pejabat pemerintah untuk konsolidasi
(melakukan penguatan) membahas berbagai masalah budaya (tradisi,
adat-istiadat) Lampung. Rekonsiliasi diharapkan dapat memperoleh
kesepakatan baru yqng berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing
dalam mengatur rumah tangga sendiri, dan selanjutnya dikukuhkan dengan
peraturan daerah, sehingga mendapat pengakuan masyarakat adat secara
luas.
3.5 Pendekatan budaya
Orang Lampung memiliki filsafat hidup berupa piil pesenggiri,
nilai-nilai filosofis dalam budaya yang sangat luhur. Orang Jawa juga
memiliki tradisi tata-krama yang halus dalam bergaul, di mana
masing-masing mempunyai kesamaan makna dalam segi moral dan etika
pergaulan, sehingga mereka menyadarai tidak boleh menganggap budaya satu
pihak lebih tinggi dari pada yang lain. Mengenai upaya memelihara
kehormatan nilai-nilai budaya satu suku bangsa dengan cara menghormati
keberadaan budaya kelompok yang lain. Jika sikap perilaku ini dapat
diaktualisasikan, maka akan meningkatkan kerukunan dan keutuhan dalam
kehidupan bersama secara berdampingan. Tampaknya justru ketika
membiarkan suatu kelompok dengan identitas budayanya, di ikuti dengan
menumbuhkan toleransi antar kelompoklah yang akan mencipta persatuan
yang hakiki. Dengan demikian, berarti etika pluralitas budaya atau
multikulturalisme dapat dijadikan sumber daya yang handal dalam
mengartikulasikan kebenaran budaya dengan tidak saling merugikan antara
kelompok masyarakat.
Pendekatan yang paling ampuh dalam mengelola konflik adalah
pendekatan budaya, di mana nilai budaya menjadi media, sesuai latar
belakang budaya masing-masing. Pendekatan budaya ini dapat melalui
kerjasama dengan tokoh-tokoh setempat, pemerhati budaya, dan
lembaga-lembaga terkait. Ketika nampak gejala konflik yang berbau SARA
(Suku, agama, ras dan antargolongan), maka langkah preventif yang dapat
dilakukan adalah pedekatan sosial budaya, antara lain melalui dialog
dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Langkah preventif ini pernah
dilakukan yaitu dalam bentuk istigosah (doa bersama) umat semua agama
dalam satu tanah lapang tanpa sekat, dengan ritus masing-masing dan
dalam waktu yang sama. Istigosah lintas agama ini bertujuan untuk
membangun toleransi atau saling menghargai dalam perbedaan.
Penyelesaian konflik akan lebih efektif dengan menggunakan
model-model pendekatan terhadap budaya setempat. Penyelesaian konflik
idealnya dilakukan atas sebesar-besarnya inisiatif masyarakat yang masih
memegang teguh adat lokal. Biasanya mereka menyadari tentang pentingnya
nilai-nilai budaya lokal dalam menjaga dan menjamin kerukunan
masyarakat. Tradisi dan kearifan lokal yang masih berlaku dalam
kehidupan masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup
rukun dan damai.
3.6 Pendekatan dialogis
Pendekatan dialogis atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk
mengatasi gejala-gejala konflik. Ada 3 (tiga) syarat dalam proses
pendekatan hubungan timbal balik dalam masyarakat plural, yaitu:
(a) Pengetahuan budaya, yaitu memiliki cukup pengetahuan budaya
lokal yang memungkinkan mereka dapat terlibat dalam hubungan
komunikatif, sehingga dapat membuat interpretasi-interpretasi yang
berguna untuk tercapainya konsesus dalam kehidupan masyarakat plural.
(b) Pengetahuan kemasyarakatan, yaitu bagi mereka yang memiliki
pengetahuan kemasyarakatan memungkinkan dapat terlibat dalam hubungan
komunikatif, sehingga dapat memperkuat solidaritas soaial dalam
kehidupan masyarakat plural.
(c) Pengetahuan kepribadian, yaitu dengan pengetahuan kepribadian,
seseorang mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik antar
etnis budaya, dan dapat memelihara kerukunan tanpa harus kehilangan
jati diri dalam ragam gelombang perubahan.
Dengan paradigma tersebut, intensitas proses interaksi sosial
antarkomunitas perlu ditingkatkan agar upaya membangun kerukunan hidup
bersama lebih mudah. Bentuk interaksi yang paling efektif adalah membuka
seluas-luasnya komunikasi antarkomunitas sosial yang bersangkutan
secara dialogis lintas etnis, budaya, agama dan golongan, terutama dalam
pelaksanaan aktivitas bersama. Kecuali itu dapat pula dengan membentuk
wadah musyawarah kerukunan masyarakat adat, yang dapat diprakarsai oleh
siapa pun yang menghendaki terciptanya kerukunan hidup berdampingan
dalam keragaman budaya.
Untuk merealisasikan semua harapan itu, maka harus ada jaminan dari
segi fasilitas, dukungan dan perlindungan hukum dari pemerintah terhadap
kedudukan dan peranan setiap kesatuan budaya yang ada. Tanpa adanya
dukungan secara kelembagaan, baik informal maupun formal, maka akan
sangat sulit untuk mewujudkan harapatn tersebut dalam aplikasinya yang
nyata dalam kehidupan masyarakat.
Referensi
Abdul Syani, 2011. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
__________, 2009. MASYARAKAT, Dinamika kelompok dan Implikasi Kebudayaan
dalam Pembangunan. Penerbit: Universitas Lampung, Bandar Lampung.
__________, 1995. SOSIOLOGI dan PRUBAHAN MASYARAKAT. Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya (anggota IKAPI), Jakarta.
Samuel P. Huntington, 2003. Tertib Politik, di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa. Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Tim Peneliti Universitas Lampung, 2000. Konsep Pengelolaan dan Desain
Museum Budaya Lampung. Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas
Lampung, Bandar Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar