Oleh
Drs. Abdul Syani, M.IP.**
I. KEARIFAN LOKAL LAMPUNG
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain, karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan, di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan kehidupan mereka. Artinya masing-masing
etnis itu memiliki kearifan lokal sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal
terbuka menerima etnis lain sebagai saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga
terbuka, Jawa terkenal dengan tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura
dan Bugis memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan
keuletannya dalam usaha. Demikian juga etnis-etnis lain seperti, Minang,
Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga
memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan
yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan
kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan
masyarakat setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan
sosial budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman
budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter
dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian
penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping
itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari
warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan
peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta
pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat
tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati
karena warisan budaya dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak
kearifan lokal yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan
seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya
pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari.
________________________
* Disampaikan pada seminar/lokakarya pada kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas
Lampung, tanggal 27 November 2016
** Dosen tetap pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Lampung
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya
kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan formalitas, bahkan
seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan
kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai
sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahtaraan
bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam
memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal Lampung adalah prinsip
hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya penyimpangan
kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak
kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan
lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan dan menimbun
harta dunia. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal
di hadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana
diketahui bahwa pada realisasinya justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahan
kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial
budayanya masih bersifat obyektif sederhana makin tersesat meneladani sikap dan
perilaku elit mereka, juga makin lelah menanti janji masa depan, sehingga
akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat
daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian
dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan
lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal,
di mana masyarakat harus membuka
kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan
menjadi prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah”
sebagai kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam
pergaulan hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan
memiliki harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas
dan peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna
kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai
budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh kehidupan masyarakat
agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan Piil Pesenggiri merupakan aset (modal,
kekayaan) budaya
bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran
jatidiri bangsa untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan
hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai
budaya lokal berbicara pada tataran penawaran
terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian
masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan pertumbuhan antagonis
berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal,
proses kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan,
dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula
yang bertentangan. Hasilnya selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan,
setiap elemen mendapatkan tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai
sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak lepas dari hasil
kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak.
Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara
garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan
semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindaklanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
Dalam kehidupan masyarakat kampus juga tidak terlepas
dari keragaman budaya, etnis dan kepentingan, baik dari segi akademika,
karyawan sebagai pendukung kegiatan proses belajar mengajar, mahasiswa, dosen,
dan unsur pengamanan kampus. Keadaan ini seringkali menimbulkan perselisihan
dan gagal paham antara sivitas akademika, lantaran terjadi pengingkaran
terhadap peraturan akademik, etika mahasiswa, standar nilai (ganda), kebijakan
sepihak, dan kekurangpercayaan terhadap pimpinan.
Idealnya budaya kampus semestinya terkondisi stabilitas
atmosfer saling memahami dan mendukung kinerja lainnya, yaitu pegawai
administrasi, petugas keamanan dan kebersihan; dalam interaksi dan
komunikasi diantara komponen itu tentu disertai sikap santun. Mahasiswa yang
baik dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang santun dan ramah. Hal ini akan
sangat membantu dalam mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat hususnya di
kampus.
Oleh karena itu direkomendasikan bahwa nilai-nilai
kearifan lokal Lampung, khususnya pandangan hidup piil pesengiri dapat diadopsi
sebagai pedoman moral spiritual dalam beraktivitas akademik. Tujuannya adalah
menamamkan prinsip hidup terhormat dan memiliki harga diri diletakkan dalam
upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan peranan yang bermanfaat bagi
masyarakat akademiki perguruan tinggi. Kemudian pada gilirannya, nilai-nilai
budaya ini harus dibumikan sebagai jati diri ke dalam seluruh jaringan kehidupan
kampus.
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang pengertian
kearifan lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan dengan
regulasi penataan harmonisasi kehidupan kampus, dapat diakomodasikan dengan
baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan keadilan
sosial.
II. KEARIFAN LOKAL PIIL
PESENGGIRI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS
1. Pengertian Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom)
berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi
sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang
interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian,
kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak
dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan
menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh
karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum
dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi
nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya.
Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007).
2. Piil Pesenggiri dan Implentasinya
Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas
mengandung nilai budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini
mengandung pandangan hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam
tata pergaulan untuk memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan harga diri yang berkaitan dengan perasaan
kompetensi dan nilai pribadi, atau merupakan perpaduan antara kepercayaan dan
penghormatan diri. Seseorang yang memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai
perasaan penuh keyakinan, penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi
masalah-masalah kehidupan.
Jika diterapkan dalam kehidupan kampus, maka segenap sivitas akademika
dituntut untuk memelihara kehormatan tertingginya, yaitu prestasi akademik
dengan semangat belajar yang tinggi. Malu sebagai mahasiswa jika tidak mampu
meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Dari segi moral, khususnya
mahasiswa dan dosen, akan merasa bangga jika dapat menunjukkan prestasi
akademiknya; dam sebaliknya akan merasa malu, jika tidak mampu berprestasi di
kampus.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri itu mendorong orang
untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi,
berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena
mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di
tengah-tengah masyarakat.
Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu berpasangan, juluk
berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai
dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna. Juluk adek (terprogram,
keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan saling menghargai),
nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam masyarakat, kebersamaan, kesetaraan),
dan sakai sambaian (prinsip kerjasama, kebersamaan).
Sementara itu
bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan Piil Pesenggiri dalam
beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip persatuan); tetengah
tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip penghormatan); ghopghama
delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil bupesenggiri (prinsip
bercita-cita dan keberhasilan).
Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip kosong, melainkan
mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang perlu di dipahami dan
diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejatinya Piil
Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan
seseorang yang jauh lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang
lain utk membahagiakan seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih
bersemangat, lebih mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima
tantangan, lebih percaya diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah
memikul tanggung jawab, mampu menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan
merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi adalah kepribadian
yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu
sanggup menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran
berarti mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang
dihadapi, bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang
rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani,
2010: http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas unsur-unsur Piil
Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan karyanya. Demikian juga sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan kampus, mereka memiliki tanggungjawab moral selama memikul statusnya agar dapat diimplementasikan sesuai dengan peranannya. Sebagai mahasiswa, bertanggungjawab dengan peranannya dalam belajar mengejar prestasi. Demikian juga dosennya harus mampu memberikan pencerahan dan membangun semangat mahasiswa asuhannya untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat kampus dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian budaya akademik. Sivitas akademika memiliki jiwa piil pesenggiri dengan wujud keperdulian terhadap upaya meningkatkan prestasi akademik, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti sivitas akademika dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar dalam beriteraksi di kampus; mampu bergaul, berpartisipasi dalam segala kegiatan kemahasiswaan, akademik dan administrasiarti secara santun sikap perbuatan dan tutur kata. Makna yang lebih dalam sebagai masarakat kampus adalah harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu
kepada seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang
bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas.
Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok
orang atau untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat kampus akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan akademika di kampus. Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga figur mahasiswa, dosen dan karyawan akan memberikan bantuan secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat pihak lain. Sakai sembayan di lingkungan peguruan tinggi berguna menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong. Dengan demikian akatan kekeluargaan antar sesama insan kampus akan terpelihara secara harmonis.
Dengan cara
pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut memenuhi
kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan
kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan
pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal,
dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana,
serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan
selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki
keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk penyelewengan,
ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM., khususnya di dunia kampus. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi kehidupan kampus dari segala
bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan ikatan nilai-nilai kearifan lokal piil pesenggiri,
diharapkan perilaku korupsi, menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas
kekuasaannya di kampus demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang, tidak
menghormati harkat dan martabat orang lain, dapat dihindari.
III. KEHIDUPAN KAMPUS YANG IDEAL
Kondisi
kampus yang ideal bagi mahasiswa adalah kondisi kampus yang mampu
memberikan kenyamanan dalam kegiatan belajar. Elemen kampus paling dominan
adalah mahasiswa dan dosen, oleh karena itu mahasiswa dan dosen harus menyadari
hal ini. Komponen yang mengisi kampus didominasi oleh mahasiswa yang juga
didukung oleh keberadaan komponen lain yang mendukung, seperti dosen, karyawan
dalam manajemen kampus, petugas keamanan, petugas kebersihan, dan lain-lain.
Berbicara
mengenai mahasiswa, rasanya kurang lengkap jika tidak mengulas mengenai tempat
dimana mahasiswa menjalani kehidupannya sebagai cendekia muda. Tempat tersebut
adalah universitas atau perguruan tinggi. Lebih akrabnya, tempat tersebut
disebut kampus.
Di
lingkungan kampus, kesan individualistik cenderung lebih menonjol dan biasanya
sifat yang kurang begitu peduli pada sekitar ini dimiliki oleh hampir semua
mahasiswa sehingga semuanya berpotensi menganut paham ini. Sesungguhnya hal ini
lebih dikarenakan kondisi kampus yang menuntut mahasiswanya untuk menjadi lebih
mandiri, namun hal ini bisa kita minimalisir dengan memperbanyak mengikuti
berbagai kegiatan di kampus.
Secara lebih
detail, proses pembelajaran dalam perkuliahan mengenal berbagai istilah yang
kemungkinan besar belum diketahui oleh pelajar pada umumnya. Diantara
istilah-istilah tersebut, yang paling sering di dengar adalah SKS (Satuan
Kredit Semester) dan KRS (Kartu Rencana Studi). SKS adalah satuan yang
digunakan untuk menyatakan besarnya beban studi mahasiswa, besarnya pengakuan
atas keberhasilan usaha mahasiswa, besarnya pengakuan atas keberhasilan usaha
kumulatif bagi suatu program tertentu, dan besarnya usaha untuk
menyelenggarakan pendidikan di universitas. Sedangkan KRS adalah rancangan SKS
yang akan diambil pada setiap semesternya. Dan jika ada semacam perubahan dalam
pelaksanaan prosesnya bisa diperbaiki dengan Kartu Perubahan Rencana Studi
(KPRS). Di akhir semester mahasiswa akan mendapatkan Kartu Hasil Studi (KHS)
yang berisiskan pencapaian nilai-nilai mahasiswa selama proses pembelajarannya
dalam satu semester.
Agar
tercipta atmosfer saling memahami dan mendukung kinerja lainnya, yaitu pegawai
administrasi, petugas keamanan dan kebersihan; dalam interaksi dam komunikasi
diantara komponen itu tentu disertai sikap santun. Mahasiswa yang baik dapat
menempatkan diri sebagai pribadi yang santun dan ramah. Hal ini akan sangat
membantu dalam mewujudkan keharmonisan hidup bermasyarakat hususnya di kampus.
Jika
semua elemen sudah bersinergi, maka
pertama kali yang harus dikejar adalah perprestasi akademis, cetak angka IPK
yang memuaskan. Tentu IPK bukan satu-satunya ukuran prestasi akademik, akan
tetapi kemampuan dibidang organisasi, mengenal kepribadian banyak orang dengan
berbagai latar belakang dan kondisi ego yang berbeda di luar kegiatan belajar. Tujuannya adalah
agar setelah keluar dari kampus nanti, lulusannya dapat dengan mudah
menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan masyarakat sekitar.
Bagaimana
caranya agar dapat diterima di lingkungan baru yang
mungkin sebagian besar asing. Tentu dengan mempelajari budayanya, tata
kramanya, dan dan hukum-hukum adatnya. Selepas dari kampus, mahasiswa sebagai
alumni akan menginjakkan kaki dalam kehidupan masyarakat; bekalnya adalah
semangat pengalaman belajar di kampus, pengalaman berorganisasi dan kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan masyarakat.
Keberadaan
organisasi kemahasiswaan dengan wujud apa saja dari yang terbesar seperti BEM
dan BLM sampai dengan unit terkecil seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
adalah sangat penting. Salah satu sarana pengembangan diri yang nyata dan dapat
dirasakan langsung oleh mahasiswa adalah elemen-elemen kampus tersebut
sebagai wadah untuk menyalurkan minat dan bakat sekaligus berorganisasi. Dalam
organisasi-organisasi kampus tersebut, mahasiswa baik secara langsung maupun
tidak langsung dibentuk menjadi seorang yang mampu berfikir kritis, berjiwa
sosial, bertanggung jawab, dan banyak hal positif lainnya.
Dengan masing-masing keunikan dosen dan mahasiswa, mereka membutuhkan
kualitas interaksi yang baik secara
timbal balik. Dalam interaksi dengan para mahasiswanya,
seorang dosen berperan sebagai mentor yang dituntut memiliki sejumlah kualitas.
Di antaranya kualitas sebagai teman sekaligus pembimbing dan pengasuh, lebih
matang, memiliki otoritas akademik, dan bertindak sepenuh hati. Mentoring dosen
cukup penting dalam menciptakan kesukacitaan belajar di kampus. Dosen harus
terus menerus mengasah empati agar kampus tak sekadar diliputi semangat
pragmatisme dan industrial belaka, melainkan betul-betul menjadi lembaga
pendidikan yang ideal.
Sebagai
mahasiswa yang aktif, sudah sewajarnya jika setiap mahasiswa ikut
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kampus. Mahasiswa juga diharapkan
menjadi partisipan yang aktif untuk menggunakan hak suaranya dalam proses
demokrasi dalam dunia kampus. Sekali lagi, kegiatan-kegiatan tersebut akan
sangat bermanfaat bagi mahasiswa jika dilakukan dengan kebebasan yang
bertanggung jawab.
Setelah
kondisi kampus dapat dikatakan ideal, dimana hak dan kewajiban primer dari
setiap komponen kampus dapat tertunaikan, maka baru bisa berbicara tentang
kepribadian mahasiswa. dengan berbagai keunikan budaya dan latar belakang yang
berbeda. Tidak mudah membentuk kepribadian mahasiswa sebagai generasi-generasi
penerus bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan
pribadi. Artinya, output kampus tidak hanya membuat mahasiswanya dapat
mandiri setelah lulus, tetapi juga dapat
memberi manfaat yang besar terhadap orang/masyarakat lain. Oleh karena itu,
status mahasiswa sekarang bukan sekedar perpindahan status siswa ke mahasiswa,
melainkan dituntut lebih dari sekedar penerima teori dan mendapat apresiasi,
melainkan dituntut pula bisa menemukan teori baru dan berjiwa besar mengapresiasi
keberhasilan orang lain di sekitarnya.
Semua uraian
diatas yang menggambarkan mahasiswa dan apa yang sudah dilakukan para pejuang
muda ini sudah sepantasnya mendapatkan apresiasi yang setinggi-tingginya dari
kita semua, terlebih sebagai mahasiswa baru, hal tersebut haruslah menjadi
panutan bagi kita semua agar menyadari besarnya peran mahasiswa saat ini.
Secara
keseluruhan uraian di atas adalah potret ideal mahasiswa dan kehidupan kampus
yang akan dijalaninya, namun di balik semua itu kehidupan mahasiswa dan dunia
kampusnya terkadang jauh dari gambaran tersebut, terlebih lagi mahasiswa yang
berada di tempat-tempat terpencil dan belum sepenuhnya bisa berinteraksi dengan
dunia luar. Setidaknya beginilah potret kehidupan mahasiswa yang dapat penulis gambarkan.
Dalam hal ini, sungguh menjadi seorang mahasiswa yang mau mengoptimaliasasikan
diri adalah sebuah harapan kita bersama. Semoga kehidupan mahasiswa di bangsa
ini menjadi lebih baik dari tahun ke tahun dan bisa benar-benar memberikan
sebuah kontribusi untuk perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik pula.
IV. SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang
terkandung di dalam kearifan lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak
sepenuhnya terdokumentasi dengan baik. Di samping itu ada norma-norma sosial,
baik yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan
untuk aktivitas tertentu yang perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu
dikembangkan suatu bentuk knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan
lokal tersebut agar dapat digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat
secara berkesinambungan.
Dalam dunia kampus modal dasar bagi sivitas akademika adalah perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan,
ikhlas membuang egoisme, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya akademik.
Sivitas akademika di berbagai tingkatan harus mampu menjadi garda depan dengan
prinsip kearifan lokal, bukan sekedar bicara kajian ilmiah, tapi harus mampu
memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk keberpihakan pada kepentingan pelangan,
yaitu mahasiswa dan masyarakat sekitar. Harapannya adalah untuk menyatukan gerak
langkah antara antara sivitas akademika, mahasiswa dengan dosen dan karyawan bersama-sama
secara arif dan bijak mendukung terlaksananya pendidikan yang ideal, yaitu
menghasilkan lulusan yang berprestasi, siap menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri dan bekerja mandiri.
Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut perlu keterbukaan
dan kejujuran dalarn setiap aktualisasi pendidikan dan pengajaran sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diajarkan dalam pandangan hidup piil pesenggiri. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi sebagai nemui-nyimah
(keramahtamahan) yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Piil
pesenggiri sebagai sumber nilai ketulusan memang
perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur sivitas akademika. Kemudian diperlukan
proses pelembagaan yang harus dikembangkan agar proses pembangunan mutu perguruan
tinggi dapat melahirkan lulusan yang berprestasi secara seimbang dan merata.
REFERENSI
Abdul Syani, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
_________, 2012. Nilai
Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No.
1, Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.